Translate

Jumat, 28 Oktober 2016

THE MEMOIRS, a gay chronicle bab 7

BAB 7







Siang ini aku kembali pulang bersama Wina dan yang lain. Seperti biasa, kami ngobrol ngalor ngidul tanpa juntrungan. Dari bahas pelajaran sekolah, sampai gosip seleb terbaru yang di muat di majalah remaja. Namun baru saja kami keluar dari gerbang sekolah, sebuah sedan peugeot yang sudah ku kenal berhenti disamping kami. Pintu terbuka dan ku dapati Bi Atun keluar.

“Den...”

Untuk sejenak, aku hanya mampu bengong dengan mulut terbuka tanpa suara. Wina dan yang lain juga tak kalah herannya. Mereka melihat bergantian antara aku dan Bi Atun. Entah apa yang mereka pikirkan.

“Bi Atun? Kenapa Bi?” tanyaku setelah sadar dengan nada khawatir. Aku segera menghampirinya.

“Bisa ikut saya Den?” pintanya pelan.

“Tentu saja,” jawabku langsung. Aku berpaling pada Wina dan yang lain. Mereka masih setia pada pose bengong melompong melihat kami berdua, “Girls, sorry ya, gue ada keperluan mendadak. Gua tinggal dulu ok?” pamitku. Dan tanpa menunggu jawaban dari mereka, aku mengikuti Bi Atun masuk ke dalam mobil.

“Maaf Den kalo Bibi ngagetin,” ujar Bi Atun saat kami melaju menembus arus lalu lintas.

“Emang kenapa Bi? Soni kenapa? Ga ada yang gawat kan?” berondongku khawatir.

“Gawat sih enggak Den. Cuma....... Den Soni kumat lagi mogok makannya. Dari semalem juga Den Soni gak mau makan. Den Soni Cuma makan pas ada Aden kemarin itu. Sampai sekarang perutnya masih kosong.”   

Aku menghela nafas lega seklaigus jengkel mendengarnya. Setidaknya Bi Atun tidak menyampaikan kabar buruk, “Soni tau Bibi ke sekolah?”

“Engga Den. Bibi tadi pamit pergi untuk beli sesuatu. Untung aja si Surya tahu dimana sekolah Den Soni. Tadi Bibi udah berencana, kalo gak ketemu Aden di sekolah, Bibi mau langsung ke rumah Aden. Untung saja ketemu,” jelas Bi Atun membuatku tersenyum simpul. Cerdik juga dia.

“Eh ya Bi, emang orang tua Soni ada dimana?” tanyaku baru sadar akan hal itu. Kemarin saat berada di rumah Soni, aku memang di buat kagum akan kemewahannya. Meski begitu, aku merasa ada yang kurang. Photo keluarga. Dari semua hiasan yang tersebar di rumh itu, guci, vas, lukisan dan barang-barang lainnya, aku tak melihat satupun foto keluarga. Atau Cuma aku aja yang gak liat? , “Seperti apa mereka?” gumamku lirih, lebih ku tujukan pada diriku sendiri.

Aku lalu berpaling ke Bi Atun, dan segera saja di buat bengong oleh reaksi Bi Atun. Beliau malah diam dengan wajah yang terlihat suram. Jelas ada satu alasan yang membuatnya terbebani dan mencegahnya menjawabku.

“Bi.........................?” panggilku heran.

“Kalo soal itu, mungkin biar Den Soni yang jelasin Den. Bibi gak punya hak. Tapi kalo bisa, tolong jangan pernah bertanya ataupun menyinggung hal yang berhubungan dengan orang tua pada Den Soni. Bila tiba waktunya, Biar Den Soni  bercerita dengan sendirinya. Bibi pinta dengan sangat ya Den....?” mohon Bi Atun dengan wajah penuh hara.

Nah lho? Satu lagi teka teki tentang Soni muncul di permukaan.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum menenangkan meski benakku terasa penuh akan tanya, “Bibi udah buatin bubur buat Soni?” tanyaku mencoba mengalihkan topik yang mulai terasa berat.

“Sudah Den. Tinggal kasih ke Den Soni aja.”

Aku mengacungkan jempol mendengarnya.




Soni yang sedang nonton santai di kamarnya terpaku kaget melihatku yang melangkah masuk dengan membawa nampan makanan. Aku cuek saja melihat reaksinya.  Malah memasang senyum lebar.

“Kok masih pake piyama?” tegurku santai dan meletakkan nampan diatas meja  perlahan.

 Soni yang mulanya berbaring santai bangkit dan duduk. Dia memang masih pakai piyama tidurnya. Rambut pendeknya yang biasa terlihat rapi, tampak sedikit berantakan. Tapi....kenapa dia masih tampak menarik ya? Penampilannya memberi kesan seksi yang biasa kulihat di film-film, saat aktornya memerankan seseorang yang kelelahan setelah bercinta semalaman.

Anjrit!!!!

Sialan!!!

Aku memaki dalam hati dan cepat-cepat memalingkan muka. Ku tarik nafas sebentar untuk menenangkan perutku yang bergejolak. Aku lalu meletakkan tasku ke lantai, kemudian duduk di sebelah Soni.

“Belum makan dari semalem kan?” tanyaku dan menoleh sekilas padanya sebelum meraih mangkok bubur dan sendok, 

“Aku suapi ya? Kata Bunda, orang sakit tuh kudu dimanja,” kataku dan tersenyum. Aku mengulurkan sendok yang telah terisi itu ke mulutnya.

“Bagaim...”

Aku sudah mendorong sendok itu masuk, mencegahnya berbicara. Soni sendiri refleks membuka mulutnya lebih lebar, 

“Aku sudah yakin kalo kamu bakal mogok makan lagi. Karena itu aku daten. Heran, kebiasaan buruk kok dipiara?” omelku menggerutu kesal sambil kembali menyuapinya.

“Naik apa tadi?” tanya Soni tanpa mampu menyembunyikan keheranannya. Ia memandangku meminta jawaban sembari mengunyah pelan.

“Taksi,” jawabku singkat dan mengalihkan pandanganku ke layar tv-nya yang gede. Ukurannyamungkin 5 kali lebih besar dari punyaku di rumah.

“Musik,” jawab Soni tanpa mengalihkan pandangannya. Tatapannya membuatku jengah. Aku Cuma mampu nyengir kecil dan menyuapinya, “Tadi...............langsung kesini dari sekolah?”

Aku mengangguk, “Kalo nunggu pulang kelamaan. Ntar kamu kena maag. Kenapa ga makan lagi?”

“Aku kan udah bilang dari kemaren kalo aku males,” gerutunya.

“Dan dari kemaren aku juga udah bilang kalo kamu kudu tetep makan meskipun males,” serobotku tak tahan buat nyolot, 

“Namanya juga sakit. Mulut juga akan terasa pahit, tubub lemes dan gak ada tenaga. Males buat ngapa-ngapain. Tapi kalo di turutin, perut terus di kosongin, malah runyam nantinya,” omelku sedikit mendelik kesal.

Soni tertawa kecil, geli bercampur jengkel, “ Kita lihat apa nanti kau akan tetap berkomentar sama, kalau kau yang ada dalam posisiku sekarang. Aku akan melakukan dan mengatakan hal yang sama supaya kau tau rasanya.”

“Siapa takut?” tantangku pede.

 Jatuh sakit terus di suapin ma Soni? MAU BANGEEEETT!!! bantinku centil. Mau deh kalo sakit sekarang juga. Asal jangan sakit yang mengancam nyawa.

“Eh tapi, ngomong-ngomong kamu gimana? Meski gak makan, masih jauh lebih baik kan daripada kemaren? Lemes ya?” tanyaku lagi, mencoba mengalihkan topik dan bersikap kalau semuanya normal saja. Aku harus mencoba terlihat santai meski debaran di dadaku menguat. Apalagi oleh tawaran Soni tadi yang membuat imajinasiku menyala.

“Yeah, sedikit.”

“Makanya jangan telat makan.”

Soni mendengus dan melengoskan kepala saat aku kembali hendak menyuapinya, “Aku sudah kenyang. Mana obatnya?”

Aku mendelik hebat mendengarnya, “Belum juga lima sendok. Kamu harus isi perutnu yang udah kosong dari semalem itu,” kataku dan menyorongkan sendok tadi.

Soni kembali melengos, “Kamu makan aja sendiri.”

“Son!!!”

“Makan sendiri kalo mau!”

“SONI!!”

“Kalo buat Den TJ, sudah Bibi bikinin Den. Den Soni abisin aja buburnya,” ujar Bi Atun yang masuk dengan membawa nampan full makanan yang kelihatannya lezat, “Den TJ udah laper juga kan?”

“Bi Atun kan bisa manggil saya, biar saya makan di bawah,” kataku iba melihatnya agak berkeringat.

“Gak apa-apa Den. Kali aja Den Soni jadi lahap kalo ada temen makan.”

“Kamu belom makan?” tanya Soni membuatku berpaling padanya.

“Mana sempet mikir makan kalo Bibi bilang kamu belom makan dari semalem?! Aku langsung kesini dai sekolah, tauk? Kamu gini juga gara-gara aku kan.”

“Bibi yang bilang?” tanya Soni bengong, “Jadi.............. Bi Atun jempt kamu ke sekolah?

Ya ampun!!! Gue kelepasan!!

“Iya Den. Tapi...............”

“Aku yang minta. Emang kenapa?” potongku cepat. Aku gak pengen Bi Atun kena damprat gara-gara niat baiknya. Aku tatap Soni dengan nekat, “Aku emang minta ma Bi Atun buat hubungi aku kalo kamu kumat mogok makannya. Untung aja Bi Atun bersedia, jadi aku bisa langsung kesini. Kenapa? Mau protes? Ayo makan?!!!”

Untuk sesaat Soni benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Tanpa sadar dia membuka mulutnya saat sendok yang terisi tadi ku sorogkan lagi.

“Bagus,” ujarku senang.

Soni tersadar dan mendengus keras, “NGGAK LAGI!!!” teriaknya dan menutup mulutnya dengan bantal.

“Den, yang banyak makannya. Besok kan masih harus ke Singapur,” bujuk Bi Atun.

Giliran aku yang bengong, “Ke Singapura? Ngapain?”

“Ada sedikit urusan,” jawab Soni, masih dengan wajah yang di tutupi bantal. Dia melambai pada Bi Atun yang pamit untuk kembali  ke dapur.

“Udah tau gitu kamu masih mau mogok makan?” omelku dan menyambar bantal yang dia dekap, “Pokoknya hari ini kamu harus makan banyak!”

Soni malah menutup mulutnya dengan tangan dan menggeleng, “Kamu aja lah yang makan. Kamu sendiri juga belom.”

“Setelah kamu!!!” bnatahku gondok, “Aku gak bakal bisa tenang kalo kamu belum sembuh. Kamu gini gara-gara aku juga kan?!”

“Siapa bilang?” tanya Soni lagi.

Aku menghela nafas panjang, “Aku tahu semua yang kamu lakukan. Membawaku ke rumah sakit di tengah malam buta dalam keadaan ujan pula. Padahal sebelumnya kamu udah begadang nungguin aku di pondok. Kamu juga bayar biaya rumah sakit dan nganter aku pulang. Padahal waktu itu ..............wajahmu bener-bener pucat, kurang istirahat. Semula ku kira kau membenciku.”

“Aku tidak membencimu,” ujar Soni dengan nada datar.

“Lalu apa kau menyebutnya? Jijik?”

“Apa?”

Aku hanya tersenyum tipis melihatnya terperangah, “Apa aku harus menyebutkan alasanya? Seperti yang semua orang katakan, aku ban..”

“Kamu makan aja dulu. Aku mau mandi,” potong Soni cepat dan bangkit meninggalkan aku yang termangu kaget karena dia memotongku mendadak.

Sungguh orang yang sulit di tebak!




Selesai akan, aku hanya diam disana, nonton acara tv yang menyala sedari tadi. Entah acara apa. Yang jelas bukan siaran tv lokal. Piring-piring dan nampan tadi sudah dibereskan oleh Bi Atun. Mau tak mau aku sedikit menggerutu karena Soni ternyata orang yang betah nongkrong di kamar mandi.

Anganku kembali memutr adegan terakhir kami tad. Sikap Soni membuatku penasaran. Sebenarnya apa pendapat Soni tentangku? Sikapnya sudah cukup kontras dibandingkan dengan dia yang kemarin- kemarin.  Yeaaahhh.....mungkin dia tak sejahat dugaanku. Tapi apa sebenarnya alasan dia begitu antipati padaku dulu? Dari keterangan-keterangan samar yang ku dapat, jelas Soni orang yang introvert. Dia sangat menghargai privasi, tertutup, namun juga sangat menghargai teman. Apa karena kami belum saling mengenal saja? Karena kami belum bisa disebut sebagai teman?

Nah.......pertanyaan yang mungkin harus ku tanyakan pada diriku sendiri adalah, bisakah aku berteman dengannya?
Keberadaan Soni di dekatku saja sudah memberi efek yang hebat. Jantungku kadang harus ku kendalikan mati-matian. Kadang suhu tubuh juga panas dingin gak karuan. Suka bingung dan belingsatan ga jelas. Harus sering-sering memalingkan muka karena gak sanggup kalo liat dia langsung terlalu lama. Suka malu gak jelas. Semua kemampuanku bersilat lidah, kebawelan dan kerameanku yang terasah dengan baik oleh Wina dan yang lain, mendadak jadi tumpul dan bisa dia punahkan dengan satu tatapan tajam.

Aku menghela nafas.

Tuhan!!! Ini bukan jenis perasaan ‘itu’ kan? Bertahun-tahun aku membantah saat orang-orang menudingku dengan sebutan banci ataupun homoseks. Aku tak bisa menerima panggilan itu. Dan yang aku rasakan sekarang......itu lain bukan? Aku hanya..............kagum saja. Karena bahkan detik ini, aku tahu dan sadar bahwa seorang pria tak mungkin bisa mencintai pria lain dalam artian yang romantis. Hal itu menentang hukum alam dan juga agama. Bertentangan dengan norma masyarakat dan adat. Aku mengerti hal itu. Jadi apa yang kurasakan ini tak ada hubungannya dengan segala sesuatu yang romantis kan? Karena aku masih sadar akan hal yang ku sebutkan tadi.

Aku kesulitan untuk mendeskripsikan perasaanku saat ini. Apakah kata ‘kagum’ sudah cukup mewakili apa yang kurasakan pada Soni?

Tanpa sadar aku menghela nafas masygul. Aku bangkit dari duduk ku, mendekat ke arah rak yang berada di sebelah kabinet yang berisi peralatan elektonik. Home theatre atau entah apa lah namanya. Aku tertarik pada benda yang sekilas terlihat seperti sebuah album foto.

Aku tidak salah! Saat ku buka, album itu penuh berisi foto-foto Soni. Kembali, ada sedikit perasaa aneh dan penasaran ketika aku tak melihat foto anggota keluarga Soni yang lain. Meski perasaan itu hanya mampir sebentar. Detik berikutnya, aku dibuat terpana dengan foto-foto Soni di tanganku.

SWEAR!!! Kunyuk satu itu sungguh tampak menakjubkan. Dalam album itu, ada foto Soni dalam berbagai kesempatan. Ada yang memakai t-shirt dan celana pendek di pantai, dengan pakaian berburu dan memegang senjata api, lalu......
Aku membalik album itu dengan kening berkerut. Ada banyak foto Soni disana yang menggunakan pakaian resmi. Setelan jas lengkap dan dasinya. Dia terlihat seperti sedang.............rapat?

Agak aneh melihat di sekitarnya ada banyak pria-pria lain yang usianya terlihat lebih tua. Beberapa malah ada gambar Soni yang di kelilingi oleh bapak-bapak berusia limapuluhan. Malah ada juga yang rambutnya putih. Mereka terlihat berjabat tangan. Ada juga saat Soni berdiri ngobrol dengan memegang gelas anggur seperti yang ku lihat di tv. 

Lalu..........ada ketika Soni sedang menanda tangani sesuatu.

Koleksi foto-foto itu seakan-akan menunjukkan kalau Soni sedang melakukan transaksi bisnis. Mustahil kan? Dia hanya seorang anak sekolahan sepertiku.

Lalu ada satu lagi foto yang membuatku lama melihatnya.

Ada sebuah foto Soni yang jelas diambil di kantor. Di foto itu, Soni sedang duduk di sebuah meja kerja dengan beberapa tumpukan file di depannya. Di belakangnya ada sebuah jendela besar yang menampakkan pemandangan gedung-gedung bertingkat. Di sebelah jendela itu, ada rak buku besar yang di penuhi buku-buku bersampul kulit. Di foto itu Soni melihat lurus ke arah kamera. Profil wajahnya yang sempurna terlihat dengan jelas. Tampak begitu dewasa, elegan, berkelas dan....................sedikit arogan. Sikap dan cara duduknya memancarkan kekuasaan meski tetap. Di mata yang tajam itu, aku melihat semacam rasa sedih yang melankolis dan tak bisa ku pahami. Dia benar-benar terlihat jauh lebih dewasa. 

Terlihat seperti seorang eksekutif muda tulen.

Wajahnya yang mulus mungkin satu-satunya hal yang menunjukkan usia dia yang sebenarnya. Mungkin akan lebih sempurna kalau dia menumbuhkan sedikit cambang, janggut dan kumis. Apalagi kalao dibentuk rapi seperti seleb luar negeri. Hal itu akan mempertegas kesan dewasa dan macho pada dirinya. Gimana jadiny ya? Pikirku centil.

“Sudah selesi makannya?”

Aku berbalik dan mendapati Soni yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Dia memakai celana pendek dan t-shirt putih dengan kerah v-neck. Dia mengusap rambutnya yang masih meneteskan air dengan handuk yang dia bawa.

Tuhaaaaaaann!!!!

Lagi-lagi aku mendesah.

Sebenernya mataku yang salah, atau emang Cuma perasaaanku saja yang membuat cowok ini selalu terlihat sempurna? Atau mungkin.........memang seperti itulah aura dia? Dia selalu tampak mengagumkan dalam balutan pakaian atau keadaan apapun. Dia selalu tampak berbeda, mencocol dan nyaris.................bersinar. Dia tipe orang yang dengan alaminya menjadi pusat perhatian. Tanpa harus melakukan apapun. Bahkan dalam pakaian sederhana seperti sekarang ini.  Hanya dengan sebuah celana pendek warna gading dan t-shirt putih, dia terlihat bergaya. Banyak anak yang susah payah ingin tampil style, bergaya dan gaul dengan menggunakan pakaian bermerk dan potongan hip, tapi jadinya malah amburadul dan aneh.

Tapi Soni........tidak butuh itu. Dia tidak perlu melakukannya. Dia mungkin bahkan akan tetap terlihat menarik meski hanya menggunakan kaus singlet dan celana jeans.  Atau sekedar t-shirt dan celana pendek seperti sekarang. Sebagian rambutnya yang basah itu jatuh di dahinya. Kulitnya yang bersih dan segar, terlihat lebih bersinar setelah selesai mandi, membuat bibir merahnya yang sudah kembali membasah itu mencolok. Mataku turun melihat ke kakinya yang di tumbuhi bulu-bulu yang lumayan lebat dan sandal kamarnya.

“Ada yang salah?” tanya Soni seraya memandangi dirinya sendiri.

Sial!!!!

Bagaimana bisa aku tak menemukan kekurangan dalam diri sosok ini? Percaya deh, aku pasti bisa langsung mengenalnya meski dia berada dalam sebuah kerumunan orang.

“TJ?!!” panggil Soni lagi dengan nada tanya.

“Aku menemukan ini!” kataku cepat begitu sadar dan mencoba tertawa meski mungkin terdengar gugup, “Seru banget. Dimana aja dih lokasinya? Di luar negeri semua ya?” sambungku lagi. Semoga aku tak terdengar seperti orang mabuk yang ngoceh tak jelas, batinku seraya kembali ke sova dengan album yang masih terbuka di tanganku.

“Yang mana?” tanya Soni dan menyusulku duduk. Semerbak harum sabun, shampoo dan mungkin cologne-nya memenuhi hidungku. Bau yang terkesan cowok banget dan segar langsung membuat jantungku berdetak lebih keras. Apalagi dia duduk begitu dekat.

S. O. S!!! Batinku lagi saat tubuh kami sedikit bersentuhan.

“Y-yang ini...?” tunjukku asal.

“Itu kan Orchad Road.”

Aku melihatnya dengan tatapan tak mengerti.

“Pusat perbelanjaan di Singapura,” jelas Soni lagi saat melihatku diem bego.

“Ooh,” sahutku singkat. Di foto itu Soni memang berpose dengan menenteng beberapa tas belanjaan. Ada sebuah kaca mata hitam yang bertengger di atas kepalanya, “Kalo yang ini?” tanyaku lagi, menunjuk pada foto Soni yang memegang senapan dan memakai pakaian berburu, “Ujung kulon?”

“Afrika,” ralat Soni kalem.

Busyet!!!

Dan masih banyak lagi foto Soni yang dari negeri lain. Ada pas dia di Thailand, Hongkong, Sidney, Seoul, Den Haag dan juga London. Sampai kemudian aku menemukan foto Soni yang berdiri di sebelah pohon anggur. Dia memegang setangkai anggur merah yang tampak segar.

“Ini dimana Son?”

“Mersailles.... sebuah desa kecil di Perancis.”

Tanpa sadar aku mendesah. Perancis. Paris. Salah satu negara di Eropah yang pengen banget aku kunjungi. Kota yang terkenal akan keromantisannya. Kota itu berada di urutan pertama, diatas Venezia. DAN SONI SUDAH PERNAH KESANA!!

BAHH!!!

“Pernah kesana?”

Aku mendengus keras mendengarnya, “Niat nanya apa nyindir? Bali aja baru sekali,” gerutuku tanpa berani memalingkan wajah. Posisi kami terlalu dekat hingga terkadang hembusan nafas Soni terasa samar di wajahku yang menghangat.  Duh, merah padam gak ya muka gue? Batinku cemas sementara hatiku kembali kebat-kebit.

Soni tertawa kecil, “Ok, aku ganti pertanyaannya. Negara mana yang paling pengen kamu kunjungi?”

“Paris, Perancis!” sahutku cepat dan bangkit, sedikit menjauhkan diri darinya. Saat berbalik, kutemukan Soni melihatku dengan sebelah alis terangkat. Aku Cuma nyengir dengan reaksinya. Well, setidaknya aku punya sedikit kesempatan untuk mengatur kembali nafasku yang tadi sempat amburadul.

“Why Paris?”

“Well, semua orang menyukainya kan? Dengan menara Eiffel, Champs elysess, sungai Seine dan lain-lainnya. Kota yang tersohor paling romantis di dunia. Siapa yang tidak akan suka?”

“Apa tepatnya yang ingin kau lakukan di Paris? Hanya jalan-jalan dan belanja?” tanyanya tertarik

Aku menggelengkan kepala, “Nope! Tapi aku gak akan bilang. Kamu pasti akan menganggapku konyol.”

“Aku serius benar-benar ingin tahu. Tell me.”

“Well..............kau pasti menganggapku bodoh. Tapi aku sering banget membayangkan hal ini,” kataku dengan menerawang, “Coba bayangkan saja. Jalan-jalan di sepanjang Champs Elysess di malam hari, lalu duduk berdua di bangku taman yang menghadap Eiffel dengan orang yang kita sayangi. Atau hanya duduk di kafe terbuka, menikmati pemandangan malam dan orang-orang yang lalu lalang. Menyaksikan bagaimana dunia bergerak di depan kita

“Aku juga membayangkan berlayar di sepanjang sungai Seine. Berdua dengan kekasih. Menikmati pemandangan di malam hari. Melewati jembatan Alexander yang konon bisa mengabulkan permohonan, dan kemudian berhenti di tengah-tengah perairan gelap yang sunyi. Berbaring berdua di atas yacht, meilhat bintang-bintang di langit dalam kegelapan. Hanya berdua. Paginya, kami bisa melihat kemegahan Arch de Thriomphe, menyisir kemegahan gereja Notredame yang kuno, serta menghabiskan hari di museum Louvre. Melihat senyum Monalisa yang mendunia.”

“Berdua?” tanya Soni, kembali dengan sebelah alis terangkat.

Aku menoleh padanya dan tersenyum tipis, “Berdua,” tegasku lembut, “Aku orang egois yang ingin membagi semua hal itu, hanya dengan orang yang ku sayangi. Hanya dengannya.”

“Kedengarannya seperti sebuah film drama romantis.”

“Yang konyol dan bodoh. Aku tahu,” sambungku singkat, “Namanya saja khayalan. Ayolah, Son. Aku sadar, kalau dengan kemampuanku sekarang, mungkin aku tak akan pernah bisa ke Paris. Entah dalam jangka waktu 20 tahun lagi,” selorohku. Aku lalu kembali melihat album yang aku pegang.

Foto itu. Foto dimana dia duduk di sebuah ruang kantor, ”Dimana foto ini diambil?” tanyaku dan menunjukkannya pada Soni.

“Di Jakarta saja.”

“Di kantormu?” sambungku.

Sejenak dia tak langsung menjawabnya, hanya melihatku dengan pandangan datar, seakan-akan berpikir harus menjawabku dengan benar ataukah harus berbohong. Aku mencoba menampilkan ekspresi biasa, menutupi rasa keingintahuanku yang besar. Hingga kemudian dia mengangguk.

Tanpa ku sadari, aku menrik nafas dan tersenyum. Jadi benar. Dia memang memiliki kantor. Dia, yang notabene setahuku hanyalah seorang murid SMU, memiliki kantor. Begitu banyak hal yang misterius tentangnya. Begitu banyak pertanyaan di benakku yang aku yakin, tidak mungkin dia mau menjawabnya. Jadi aku hanya menelan satu fakta baru itu darinya dengan sebuah senyuman saja.

“Kenapa?” tanya Soni lagi.

Aku mengangkat bahu, “Engga ada sih. Cuma........melihat foto ini, aku sempat berpikir. Wajahmu terlihat terlalu polos. Tadi aku sempet bayangin melihatmu dengan sedikit cambang dan kumis. Kau tahu, kumis rapi yang menyambung dengan janggut seperti yang pernah Primus pake di sebuah sinetron. Mungkin hal itu akan mempertegas kesan dewasa, berwibawa dan macho di wajahmu. Jadinya gak mulus-mulus amat kayak gini,” saranku jahil/

“Oh ya?”

“Hanya sekedar bayangan isengku kok,” selorohku cepat. Jangan sampai dia mikir macem-macem tentangku. Bisa-bisa dia jadi angot lagi kayak yang sudah-sudah, “Kamu cukup sering ke luar ya? Berapa kali dalam setahun?”

“Entahlah. Aku hanya melakukannya jika ada keperluan atau....kalau aku pengen aja.”

Aku mendengus pelan. Enak aja dia bilang kalo pengen aja. Yeaahh..........mungkin untuk orang-orang seperti Soni, ke luar negeri tuh gak ada bedanya dengan jalan-jalan ke Ancol. Kalau aku........mending juga buat bayar uang sekolah yang sering telat.

“Oh ya, ortu kamu mana Son? Dari kemaren aku juga belom liat. Fotonya ada?” celetukku ringan. Namun detik berikutnya, aku menyesal telah menanyakan hal itu. Lupa akan peringatan dari Bi Atun. Ekspresi wajah Soni berubah dingin dan nyaris menyeramkan, “Maaf. Anggap saja aku tak pernah bertanya,” ralatkusegera.

Soni tak menjawab, hanya menganggukan kepalanya padaku. Atmosfer ruangan yang tadinya cukup menyenangkan jadi berubah kaku dan sama kekali tidak nyaman. Soni terdiam dengan mata lurus ke Tv, meski aku yakin dia tidak sedang menontonnya. Aku sendiri sebenarnya tercabik antara perasaan menyesal dan ingin tahu.

Sebenarnya, ada rahasia apalagi yang dia punya? Juga tentang keluargnya? Melihat situasi sekarang, sepertinya akan lebih baik kalau aku pergi saja.

“Kalo gitu........aku pulang dulu,” pamitku.

Soni menatapku sejenak, “Kalau begitu biar ku antar,” katanya dan bangkit.

“Tapi tubuhmu...”

“Sudah nggak apa-apa,” jawabnya dan ngeloyor pergi. Aku hanya bisa menghela nafas gundah.

Perjalanan pulang kami tempuh dalam diam yang benar-benar menyesakkan. Soni kembali ke dirinya yang dingin dab seolah-olah tak tersentuh.

“Jadi beneran besok ke Singapura?” tanyaku memecah keheningan. Soni hanya mengangguk untuk menjawabnya.

“Berapa hari Son?” tanyaku lagi.

“Entahlah,” jawab Soni, masih dengan mata yang terarah lurus ke depan.

Kembali aku menghela nafas, “Maaf,” kataku pelan, “Aku mungkin telah menanyakan hal yang terlalu pribadi. Aku tak bermaksud untuk me..”

“Sudahlah,” potong Soni, “.............jangan dibahas.”

Aku sedikit ternganga. Meski nadanya datar, kalimat itu benar-benar terasa final bagiku. Ya Tuhan, dia marah beneran, 

“Baiklah....” kataku mencoba mengalah, “Tapi .........berjanjilah satu hal padaku. Jangan telat makn, ok? Selama di Singapura, kau harus makan teratur. Bisa kan?” bujukku.

Soni mengangguk lagi.

“Soni, aku pengen denger kamu janji,” tuntutku masih dengan nada membujuk.

“Ya,” jawabnya singkat.

“Son..?!”

“Iya, janji!” kata Soni menegaskan dan elirikku sekilas. Aku merasakan sedikit lega karena mata itu tak sedingin tadi.

“Ok. I’ll take that. Terus, jangan lama-lama lah kalo bisa. Kamu kan udah kelas tiga. Ujian juga udah gak lama lagi.”

“Bawel,” gerutu Soni pelan meski aku melihat sedikit sinar geli di matanya.

“Sebodo lah. Awas ya kalo nggak,” lanjutku lagi. Tak ada sahutan dari Soni. Saat ku lirik, cowok itu diam dengan pandangan lurus. Aku kembali mendesah dalam hati. Apa lagi sebenarnya yang kau sembunyikan Soni? Batinku. Satu hal yang pasti, aku tak akan lagi menyinggung perihal orang tuanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar