Translate

Senin, 07 November 2016

THE MEMOIRS, a gay chronicle Bab 8



BAB 8



Hari sabtu kembali tiba. Dan sudah satu minggu ini semangat belajarku hilang. Seperti pagi ini, ketika tiba  ditempat dudukku, dengan sendirinya, mataku bergerak melihat ke arah lapangan parkir. Tak ada. Tak ada motor gede Soni disana. Sosoknya kembali terlihat seperti satu minggu kemarin.

Duh...! kok jadi belingsatan sendiri gini sih? Baru juga satu minggu gak ketemu, tapi kok aku jadi ngerasa kehilangan banget gini? Dari hari pertama kepergiannya, sejak aku diantar pulang olehnya waktu itu, tidak sekalipun kulewatkan hari tanpa melirik ke lapangan parkir atau kelasnya. Dan itu kulakukan tanpa sadar. Seakan-akan otakku sudah menyetel tubuhku dengan program otomatisnya. Minim 10 kali sehari. Dan tak seharipun pagi berlalu tanpa ada doa kecil kulantunkan, agar dia segera kembali dari Singapura. Bahkan kini mulai ada kekhawatiran kalau dia tak akan kembali lagi kesini. Kalau dia akan menetap dan melanjutkan sekolahnya disana! Dia memiliki kemampuan untuk hal itu.

Sial!!

Teman-temanku yang lain juga mulai heran melihat kondisiku yang jadi lebih mellow dan agak-agak kalem akhir-akhir ini. Tidak sedikitpun aku menceritakan perihal kedekatanku dengan Soni pada mereka. Ataupun fakta bahwa Soni ternyata kalangan jet set yang sudah pernah berkeliling ke beberapa negara di luar sana. Dari apa yang aku tangkap, Soni sangat merahasiakan identitas dirinya dari orang lain, temasuk anak-anak sekolah. Jadi secara instingtif, aku mengikutinya. Dan karena anggota gengku yang lain tak tahu apa yang terjadi padaku, sedikit banyak mereka jadi heboh sendiri dengan kelakuanku.

Apalagi si Wina!

Segala daya dan upaya sudah dia coba lakukan untuk mengembalikan moodku. Dari tanya baik-baik, mencela, sampai cara-cara primitif ala manusia gua sudah dia lakukan. Contohnya melempar buku diktat tebal ke mukaku, tiba-tiba berteriak keras-keras di telingaku, mendorongku dari bangku, sampa menjitakku dengan segenap tenaga. Semua kutanggapi dengan angin-anginan dan males. Jelas saja dia gak terima. Dia tahu kalo dalam situasi normal, aku gak bakalan ikhlas jika satu atau dua hal itu dia lakukan padaku. Hari ini, entah cara apa yang akan dia coba.

“TJ!!!!”

Nah tuh! Terdengar suara gedubrakan Wina yang ngebut lari menuju bangkuku. Dasar cewek sableng. Baru juga masuk kelas, udah bikin heboh. Heran!

“Gua tahu kalo ini bakal bikin lo sadar dari kesambet lo,” bisiknya sambil ngos-ngosan pas di mukaku hingga hawa naga dari mulutnya menerpaku tanpa ampun.

“Congor lo bau jigong, dan gua males naggepin apapun ide gila yang ada di otak lo saat ini. Hush!!!,” usirku cuek dan menutup wajahku dengan diktat Inggris yang barusan ku ambil dari tas.

“Liat dulu DODOL!!!” bentak Wina dongkol dan merebut bukuku. Dia menarikku berdiri dan menghadapkanku ke arah lapangan parkir.

DIA DATANG!!!!

Dari gerbang sekolah, ku lihat sepeda motor Soni melaju dengan pelan. Mataku langsung terbuka lebar, mengikuti gerakan motor yang serasa bergerak dalam mode slow motion. Dan dengan semakin dekat motor itu ke kelasku, mulutkupun ikut terbuka semakin lebar.

Pagi ini Soni datang dengan helm yang sudah ia lepas dan diletakkan di depan tubuhnya. Yang membuatku bengong melompong adalah wajahnya. Wajah yang biasanya bersih dan mulus itu sudah hilang. Cambangnya dia biarkan sedikit tumbuh sampai pada bagian bawah telinganya. Sebagian kumisnya juga tampak membayang dan dibiarkan membentuk garis yang tumbuh memanjang dan menyatu dengan janggutnya. Wajahnya yang kemarin terlihat imut selayaknya anak sekolahan, kini terlihat jantan dan dewasa dengan titik-titik kebiruan yang membayang di sisi wajahnya itu. Dan dengan semua atribut manly itu, dia yang biasanya sudah terlihat jauh, sulit di dekati, kini jadi semakin tajam, dingin dan nyaris aristokrat. Dia tidak terlihat seperti anak sekolahan. Apalagi ditambah dengan rambutnya yang tersisir rapi, basah mengkilat dengan sedikit rambut yang jatuh ke dahi.

TUHAN!!!!

Digabung dengan motor gede dan jaketnya, dia benar-benar terlihat menakjubkan. Dan jelas bukan aku saja yang berpendapat begitu karena nyaris semua orang yang dia lewati, berhenti bergerak dan mengikuti gerakannya dengan mata mereka.

Dia seperti bintang utama dalam film drama romantis Hollywood, yang pertama kali muncu dalam scene. Semua yang
ada disekitarnya menjadi figuran samar dan tak terlihat. Aku hampir bisa membayangkan ada kamera yang saat ini sedang menyorotnya, dan seorang sutradara di luar sana yang menunggu untuk berteriak, CUT!!!

Aku mengeluarkan suara desahan pelan tanpa aku sadari.

“Tadi gue liat dia berhenti di pintu gerbang dan ngobrol ma temennya. Sumpah!! Gue sempet brenti jalan ketika tahu itu dia. Gue bener-bener cuma bisa bengong kayak elo sekarang. Di gerbang tadi juga banyak anak-anak cewek yang merhatiin,” ujar Wina yang ada disampingku.

Aku tak begitu konsen dengan celotehan Wina tadi. Aku malah ingat akan perkataanku yang kuucapkan pada Soni di rumahnya. Perkataan ngawurku bahwa dia akan terlihat lebih keren dan macho kalo dia membiarkan sedikit kumis, janggut dan cambangnya tumbuh. Dia menanggapinya dengan sungguh-sungguh! Dan lihat itu!!! Penampilannya kini terlihat makin tajam dan menonjol.

Soni memarkir sepedanya dan melangkah dengan tak acuh seperti biasanya. Tidak memperdulikan beberapa anak cewek yang melihatnya atau terang-terangan saling berbisik dan menunjuk ke arahnya. Beberapa panggilan yang terdengarpun tidak di sahutinya. Sesaat sebelum dia menghilang dibalik tembok, dia mengangkat wajahnya dan mata kami bertemu.

Dia tahu aku melihatnya!

“WINAAA!!! TJ!!!! LO LIAT GAAAKK??!!!!” teriak Rika, Emmy dan Enny dari pintu kelas. Sesaat kemudian, mereka sudah lompat-lompat sambil jejeritan heboh.

“Ampun maaakk!! Jantung gue kayak mo copot deh ngeliatnya!” cerocos Rika seru.

“Sumpah demi apa deh, dia keliatan macho bangeeeettt!!!!!” timpal Enny.

“Gue gemes pengen nyipok ngeliat pipi dia yang bercambang  ituuuuu!!!” seru Emmy ngaco.

“Gimana kalo pipi dia nempel ke pipi kita yaa??!!!” imbuh Wina.

Diam sejenak!

“KYAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHH!!!!!!” mereka kembali lompat-lompat sambil jejeritan histeris.

“WOOYY!!! BERISIKK!!” bentak Lutfi. Cowok item gendut teman sekelas kami yang duduk di depanku. Dia terlihat gondok dengan Wina dan yang lainnya jadi kecentilan gak jelas gitu.

“Yeeeee.............. sirik amat Lut?” gerutu Rika.

“Iya. Makanya lo make over tuh muka biar kita juga histeris ngeliatnya,” timpal Wina nyolot.

“Eh jangan salah. Gue juga histeris kok pas ngeliat dia pertama kali,” ujar Emmy. Membuat aku dan yang lain berpaling padanya. Bengong!

“Yang bener Em?” tanya Wina gak percaya.

“Iya. Gua kira dia genderuwo. Abis serem,” sahut Emmy kalem.

Sontan aku, Wina dan yang lain ngakak keras, sementara Lutfi langsung misuh-misuh gak jelas oleh sarkasme Emmy yang telak.

“Jadi nilai kak Soni sekarang berapa TJ?!” tanya Wina dan tersenyum ke arahku.

Aku mengangkat tangan, “Gua ga bisa kasih nilai. I’m speechless!” kataku nyerah.

“Eh, kita nginip ke kelasnya yuk?!” ajak Rika. Gak perlu di ulang lagi, karena Wina dan yang lain sudah menghambur keluar, mendahului.




Hari itu Soni menjadi topik heboh di sekolah. Menurut laporan Wina, ada banyak anak-anak cewek kelas lain, dari kelas 1 sampai kelas 3 yang nongkrong di luar ruang kelas Soni, atau lewat sambil ngelirik ke arahnya. Tapi seperti biasa, Soni hanya masa bodoh dan ngerem doang didalam kelas sepanjang waktu. Dan Wina sudah ngingetin buat ntar sepulang sekolah, kita ngumpul di tempat biasa buat ngecengin dia.

Aku sendiri sudah semangat banget buat ikutan, tapi terpaksa batal saat Wina nganter pesan dari Pak Tikno, guru Matematika. Beliau bilang, nanti setelah jam belajar selesai, aku harus ke ruang guru untuk test ulang. Jumat kemarin beliau memang mengadakan ulangan mendadak. Aku yang asyik galau karena mikirin Soni, sukses dapat nilai jeblok. Karena itu aku harus ikut ulangan perbaikan sialan itu!

ANJRITT!!!

“Ntar kita tungguin deh,” hibur Wina meski dia tersenyum geli melihatku ngamuk-ngamuk.

“Ga usah Win. Kalian pulang aja dulu. Kelamaan kalo kudu nunggu gue,” kataku pasrah. Dan segera bersiap. Wina dan yang lain dengan baik hatinya sudah mau memberikan sedikit kursus singkat padaku soal materi yang di ulangkan. Meski kesal, kurasa aku sudah siap.

Kurang lebih satu jam setengah aku mengerjakan soal matematika itu di ruang guru, sendirian. Sembari mikir puyeng, aku menggumamkan makian-makian pelan atas kesialanku hari ini. Ga bisa ngecengin Soni, harus pulang sendiri juga dan kudu nyelesein soal matematika yang meski Cuma1 0 soal, tapi njelimetnya na’udzubillah. Sendirian pula!! SIAL!!!
Akhirnya setelah satu setengah jam berlalu, aku menyerahkan jawabanku pada pak Tikno dengan muka pasrah.
Hancur, hancur deh, batinku melas. Dengan langkah gontai, aku melangkah menuju gerbang sekolah. Saat hendak melintas di kelas 2, aku melihat segerombolan anak cowok yang lagi kasak kusuk gak jelas di kejauhan. Aku kenal salah satunya. Brino. Anak cowok dengan tampang sangar yang punya julukan preman sekolah. Dia anak kelas 3 yang udah bolak-balik kena kasus. Dari ngerokok, mabuk sampe berantem. Bolos? Udah biasa bagi dia mah. Daftar kejahatannya lumayan panjang.

Apalagi yang dia rencanakan kali ini? Bakar sekolah? Atau........... Ish!! Otak gue mulai ngaco gegara ulangan matematika tadi, gerutuku dalam hati. Sebenarnya aku males kalau harus lewat sana apalagi kudu berurusan dengan preman-preman sekolah itu. Tapi aku tak bisa menghindar. Untuk mencapai gerbang sekolah, aku harus melewati mereka.

Aku mempercepat langkahku saat hendak lewat di depan mereka.

“Permisi,” pamitku pelan.

“Eh bencong! Tunggu!”

Langkahku terhenti saat Brino menyambar lenganku. Hatiku yang sudah merasa tak enak sedari tadi, langsung mencelos, sementarajantungku mulai berdetak keras. Pelan aku berbalik.

“Kita lagi butuh dana sekarang. Bagi duit!” todongnya cuek dengan nada mengancam.

SIALAN!! Aku mengetatkan geraham jengkel. Udah manggil orang sembarangan, pake minta duit lagi. Emang gue emak lo apa?! Batinku dongkol. Aku mengibaskan tanganku lepas dari pegangannya, “Sorry. Gua gak punya,” sahutku singkat dan cepat berbalik.

“HEY!!!!” kembali Brino menyambar lenganku dan menyentakkannya keras. Begitu kerasnya hingga membuatku
menabrak tembok. Detik berikutnya, dia sudah menyambar kerah bajuku dan memojokkanku, “Jadi BENCONG aja belagu lo. Mau gua hajar?!”

“Masih untung kan? Daripada dia harus jadi orang-orang tak berguna yang kerjanya cuma minta-minta seperti kalian.”

Suara itu datang dari belokan yang menuju pintu gerbang. Soni muncul dan melangkah dengan tenang mendekati kami, sementara matanya menatap Brino dan gerombolannya dengan tajam dan dingin.

Brino mendengus melihatnya, “Lebih baik lo gak usah ikut campur. Atau wajah lo yang jadi modal lo itu kita bikin babak belur.”

“Lepaskan dia,” kata Soni yang sudah mendekat dan berhenti dalam jarak 2 meter dari kami.

“Kenapa? Lo suka dia?” tanya Brino dengan nada sinis, “Jadi idola sekolah kita hanyalah seorang homoseks nista? Tak sabar ingin sodomi dia?!”

“BANGSAT!!”

Aku memaki keras dan meludahi wajah Brino sebelum bisa menahan diri. Bukan hanya Brino, Soni dan teman-teman Brino terkesiap kaget. Aku sendiri tak menyangka kalau aku mampu melakukannya. Tapi perasaan terhina dan marah membuatku lupa sedang berhadapan dengan siapa.

“ANJING!!!” umpat Brino keras.

Aku memejamkan mata pasrah saat kulihat bogem Brino terangkat. Detik berikutnya terdengar suara gedubrakan dan teriakan ribut. Saat ku buka mata, Soni sudah berdiri di depanku, sementara Brino terbaring di lantai sambil memegangi sisi wajahnyanya lebam.

Apa yang terjadi?

“Kau.....”

“HEY!!! ADA APA SONI?!!!”

Andri dan beberapa anggota klub PA yang lain berlari ke arah kami dari sayap barat sekolah. Pak Seno, guru pembimbing mengekor dibelakang mereka dengan tergesa-gesa.

“Ada apa Son?” tanya Andri dengan nafas yang agak memburu, lalu berganti melihat ke Brino dan teman-temannya yang perlahan melangkah pergi. Mata Brino menatap Soni dan aku dengan penuh bara.

”Ada apa ini?!” tanya Pak Seno lagi.

“Nggak ada apa-apa Pak,” jawab Soni singkat. Dia melirikku yang masih berdiri diam, mungkin dengan wajah yang pucat karena shock, “Hanya salah paham,” lanjutnya lagi.

“Kalau mereka buat msalah, kau harus berhati-hati dan melaporkannya.”

“Tidak, Pak. Hanya salah paham saja. An, aku antar TJ dulu ya?” pamit Soni cepat dan langsung menarik tanganku. Aku yang sedari tadi mematung jadi agak terentak kaget dan melihat tanganku yang ditariknya, seolah-olah aku belum pernah melihatnya. Aku melangkah dengan agak terseret mengikutinya. Tapi aku terus terdiam, tak mampu mengatakan apapun. Hanya mengikutinya seperti orang tolol. Aku kembali mematung saat kami tiba di tempat parkir.

Soni naik ke motornya dan mengulurkan sebuah helm padaku.

“Pakai,” katanya pendek dan menghidupkan motornya.

 Aku mengikutinya patuh. Tapi kemudian diam ditempatku.

“Naik!” perintahnya lagi. Dan lagi-lagi aku cuma menurut.






Soni menghentikan motornya di sebuah kafe. Setelah memarkir motornya, ia kembali menyeretku untuk masuk. Dia membawaku duduk di meja kosong yang ada didekat jendela. Dan tanpa meminta pendapatku, dia memesan cafe au lait dan orange juice.

Untuk beberapa saat lamanya, tak ada satupun dari kami yang berbicara.

Baik aku dan Soni lebih memilih bungkam. Soni duduk bersandar dan menatap ke arah jalanan, seakan-akan pemandangan orang yang lalu lalang menarik baginya. Aku menatapnya. Menatap wajahnya yang terlihat dari arah samping. Wina benar! Soni tampak menakjubkan dengan penampilannya yang sekarang.

Aku benar!

Wajahnya bersihnya membuat titik-titik kebiruan di wajahnya terlihat kontras dengan kulit cerahnya. Seakan-akan membingkai wajah itu dan mempertegas aura kelakiannya. Dan mataku tertumbuk pada bibirnya yang kemerahan itu.

Dia benar-benar terlihat jantan dan dewasa, melebihi anak SMU biasanya.

Aku menarik nafas panjang, menghirup aroma floral segar yang biasa tercium dari tubuhnya. Memenuhi rongga dadaku yang tadi sedikit sesak dengan wanginya.

Dia menyelamatkanku! Dia telah menyelamatkanku.

“Son......”

“Pesanan datang,” kata Soni singkat dan menegakkan duduknya. Dengan santai dia menerima cafe au lait yang diangsurkan oleh waitress, seakan-akan dia tidak pernah memotong kalimatku. Dia lalu mendorong orange juice padaku,
“Minumlah. Mungkin itu bisa menenangkan,” katanya lagi kemudian menyeruput gelasnya. Matanya kembali terarah keluar.

Aku tertohok, tak sanggup berkata apa-apa. Aku meraih gelasku dan meminumnya perlahan. Soni benar. Syarafku yang sedari tadi tegang, mulai mengendur perlahan. Tubuhku jadi agak rileks, aku kembali bisa menarik nafas panjang. Ku ikuti sikap Soni, diam dan menikmati suasana.

Dan aku pemahaman yang kemudian menerpa membuat akterpana!!

Aku baru sadar kalo sedari tadi, kami jadi pusat perhatian ditempat ini. Well.....mungkin Soni yang tepatnya jadi pusat perhatian. Hampir semua makhluk berjenis kelamin cewek yang melintas di depan kafe menoleh ke arah kami. Mereka tak sanggup melepaskan matanya begitu saja dari sosok Soni. Ada yang terang-terangan melihat dan kemudian saling berbisik dengan temannya. Bahkan ada yang berhenti dan melihat Soni dengan tatapan kagum dan menggoda.

Saat aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kafe ini, aku juga mendapati hal yang sama. Beberapa wanita muda pengunjung kafe ini kulihat bolak balik melirik kagum ke arah Soni. Beberapa waitress di belakang kasak kusuk seru dan terang-terangan menunjuk ke arah kami. Mereka hanya ngikik saat bertemu pandang denganku. Yang lebih serem, ada seorang tante-tante duduk di ujung bar sedang menatap Soni tanpa berkedip dengan pandangan panas membara.

Aku merasa terusik dan kesal. Aku jadi jengkel dengan semua perhatian ini. Sementara Soni.....

Cowok itu bener-bener tak acuh dan tak mau tahu. Malah dengan cuek dia meraih tasnya yang tadi dia jatuhkan di bawah meja. Ia mengambil sebuah tas kertas.

“Untukmu,” katanya singkat dan mengangsurkannya padaku.

Aku menerimanya dengan pandangan ragu dan segera melihat isinya. Ada buku bersampul kulit yang berjudul Frog’s Pray karya Anthony de Mello dan sebuah t-shirt berwarna coklat muda. Aku menoleh bengong pada Soni yang duduk melihatku dengan tatapan datar.

“Oleh-oleh dari Singapura,” jawabnya santai.

Aku diam sejenak dan hanya bisa menawarkan senyum tipis, “Son................makasih.”

Soni mengibaskan tangannya, “Bukan apa-apa.”

“Bukan cuma untuk ini, tapi juga buat yang tadi,” segahku cepat.

“Tindakanmu cukup berani,” komentarnya singkat setelah diam beberapa saat.

“Dan nekat,” sambungku kecut.

“Kau takut?”

Sepertinya itu hanya pertanyaan retorik yang sudah pasti dia tahu jawabannya. Jadi kurasa, percuma saja aku berbohong dan berlagak. Meski begitu, sebagai laki-laki, berat bagiku untuk mengakuinya. Jadi aku hanya mengangguk.

Kembali cowok itu diam. Kali ini dia menatapku lama. Aku yang belum pernah diperlakukan seperti itu, jelas saja jadi
jengah. Aku mencoba untuk bertahan dan balas menatapnya. Tapi hal itu tak berlangsung lama. Aku segera berpaling dengan wajah panas dan jadi salah tingkah tak karuan.

“Bisakah kau berhenti memandangku?!” sentakku cepat. Aku sudah bergerak-gerak gelisah di kursiku. Tapi cowok itu tidak bereaksi. Malah dengan santai dia duduk bersandar di kursinya dan melipat tangannya dengan mata yang masih terpaku padaku. Aku jadi makin merinding dibuatnya.

“Aku pulang,” cetusku dan cepat-cepat bangkit dan keluar.

Soni tak berkomentar, tapi dia mengikutiku bangkit setelah meletakkan beberapa lembar uang di meja. Aku sendiri lebih memilih diam dan menghindari tatapannya, bahkan saat dia menarik tanganku untuk kembali ke tempat parkir, dimana tadi dia menaruh motornya. Sampai kami tiba di depan gang yang menuju rumahku, aku segera turun dan menyerahkan helm yang tadi dia pinjamkan padaku.

“Mau mampir?” tawarku.

Soni hanya menggelengkan kepalanya.

“Kalo begitu aku pulang. Dan sekali lagi................makasih ya?” kataku saat dia tak juga membuka mulutnya.

Soni hanya mengangguk dan kemudian melajukan motornya. Meninggalkanku yang hanya bisa mendesah dan menatap tubuhnya hingga menghilang di tikungan sana. Semua yang terjadi hari ini benar-benar mengacaukanku. Semua membayang berulang-ulang di benakku, hingga terasa penuh. Hingga kemudian aku menunduk, melihat ke arah tangan kananku yang tadi digandeng Soni. Nyaris aku masih bisa merasakan kehangatn sentuhannya disana.

Malam ini sepertinya aku akan sulit tidur.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar