Translate

Minggu, 27 November 2016

THE MEMOIRS, a gay chronicle Bab 9

BAB 9 



Pagi itu aku melangkah dengan lesu ke sekolah. Kejadian sabtu kemaren benar-benar membuatku sulit tidur selama dua hari ini. Apalagi kalo mengingat tatapan mata Brino. Aku jadi gelisah, tak tenang. Benakku langsung dipenuhi pikiran-pikiran yang menyeramkan. Tapi semua itu tersingkirkan saat aku hampir sampai di kelas.

Entah kenapa, rasanya depan kelas kok jadi agak lebih rame dari biasanya ya? Banyak anak cewek lalu lalang. Udara jadi semerbak dengan bau berbagai macam parfum yang bikin puyeng. Alisku terangkat karena penuh heran dengan pemandangan yang tak biasa ini.

Di dalam kelas, ku lihat Wina dan yang lain asyik ngerumpi sembari duduk di atas meja.

“Nek, ada apaan sih?” tanyaku keras. Wina cuma melambai dan menyuruhku cepat-cepat mendekat.

“Lihat!” kata Wina singkat dan menunjuk ke arah lapangan parkir di luar. Disana, di dekat lapangan parkir ada segerombolan cewek yang ngumpul dan ngobrol seru.

“Apaan sih? Kok rame banget?” tanyaku penasaran.

“Mereka lagi nunggu seleb yang mo dateng?” jelas Rika dengan senyum simpulnya.

“Seleb?” ulangku bengong, “Emang ada seleb yang mo dateng? Ada event apaan sih? Ada shooting ya?”

“Bawel ih. Diem en liat aja dulu,” serobot Enny.

“Eh, tuh dateng!!” seru Wina, membuatku langsung berpaling.

Lho?! Itu kan....

Gerombolan cewek-cewek di luar mulai heboh. Ada yang bersorak, tepuk tangan, sampai mangacung-acungkan poster gede, yang entah tadi mereka letakkan dimana, dengan tulisan KAK SONI, WE LOVE YOU!!!!!!

Aku mendengus keras.

Soni sendiri kelihatan bingung dan kaget ketika dia mencopot helm dan memarkir motornya. Ekspresinya kosong dan kemudian heran. Keningnya langsung berkerut dalam. Dan teriakan-teriakan itu berlanjut dan semakin kenceng. Cewek-cewek itupun mulai beringas dan berebutan mengerumuni Soni. Untuk sejenak, cowok itu cuma diam terperangah. Detik berikutnya, dia cepat-cepat menerobos kerumunan massa yang mengelilinginya sembari melindungi wajahnyadari jepretan kamera. Butuh beberapa waktu bagi Soni untuk bisa lepas dari kerumunan dan berlari ke kelasnya.

Beberapa teman Soni yang sekelas menyambutnya dengan gelak tawa geli. Sebagian temen cowoknya yang tanggapun berusaha membantu, sementara yang lain segera menutup pintu kelas, mencegah kerumunan itu untuk masuk. Mereka hanya mampu membuat keributan di luar. Beberapa cewek keukeuh mencoba mengambil gambar Soni dari luar.

Aku memandang semua keributan itu dengan bengong, tak percaya. GILA!!!! Selebriti aja kalah. Lama-lama aku jadi gondok melihat gerombolan cewek yang masih berteriak heboh itu. Emang gak ada cara lain untuk menarik perhatian orang, selain bergerombol dan berteriak kenceng macam orang kesurupan gitu?

“Mungkin lain kali Kak Soni kudu bawa bodyguard ya?” celetuk Emmy.

Aku mendengus keras mendengar perkataannya, “Emang kurang kerjaan apa? Lo kira Soni itu siapa? Pangeran Inggris? Heran! Ngapain sih pada histeris norak gitu?” gerutuku sewot.

Untuk sejenak, Wina dan yang lain diam dan menatapku takjub.

“Elo ngigo apa sawan sih? Lo lupa, siapa yang dulu pertama kali histeris ngeliat Kak Soni? Elo kan?” tanya Wina.

“Histeris apaan? Biasa aja ih. Lagian, meski mungkin gue histeris, tapi gue kan gak sampe bikin poster dan arak-arakan gitu. Norak!” belaku kesal, “Lihat tuh! Kalap kek orang kesurupan. Ramenya ngalahin presiden yang mo lewat aja. Soni juga rese. Ngapain ngubah penampilan segala gitu. Emang dia pikir sekolah ini apa? Papan catwalk?”

“Eh, lo kok jadi sensi gini sih?” tanya Wina makin heran. Aku sudah membuka mulut hendak protes, namun urung saat bel berdering nyaring.

“Udah bel,” gumam Rika, “Eh ya, ada berita bagus. Jam pertama sampe jam empat ntar kosong. Gue denger, guru bahasa 
Indonesia sakit. Pak Tikno, lagi ke Jakarta pusat buat seminar,” lanjutnya girang.

“Yang bener?” tanya Wina semangat.

Emmy mengangguk seru, “Tapi ada tugas dari Bu Ina. Beliau minta kita buat bikin karangan prosedur tentang pembuatan pasport ma visa. Kita perlu narasumber nih. Dapat darimana dong?”

“Nah lho? Mo nyari kemana kita?”

“Lo punya kenalan yang pernah ke luar negeri TJ?” tanya Enny padaku. Sejenak aku terdiam dan ingat akan Soni yang udah bolak-balik ke luar negeri. Dia pasti mengerti dan bisa menjelaskan.

“Ada! Tapi gue lagi males ngomong ma dia,” cetusku judes dan bangkit, “Dan gue mo ke perpus aja. Kali aja ada buku yang bisa dijadiin referensi. Gue empet ngeliat gerombolan groupies norak di luar sana!” lanjutku dan ngeloyor pergi meninggalkan  gengku yang bengong melompong.

“Kesurupan setan apa sih dia?!” kudengar celetukanWina sebel. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku terus melangkah menuju perpustakaan sembari ngedumel gak jelas.

SWEAR!!! Aku jadi empet ngeliat tingkah cewek-cewek sarap itu. Sekolah jadi kayak Mall tempat jumpa fans. Soni juga gitu! Pake nurutin gue lagi! Ganti penampilan segala. Mestinya gue gak kasih dia ide buat melakukannya.

Perpustakaan sepi! Petugas yang jaga juga lagi duduk santai di mejanya. Seorang wanita separuh baya yang bertubuh subur. Bu Tina. Kelihatannya lagi ngemil. Gimana mo kurus? Batinku.

“Bu Tina, ada buku yang nerangin tentang cara bikin pasport ma visa gak?” tanyaku sembari mendekat.

Beliau mikir sejenak, “ Kalau buku khusus seperti itu..................sepertinya tidak ada. Coba kamu cari di buku tentang pariwisata. Rak paling ujung.”

Bakalan susah nih, pikrku lagi. Akupun segera ngeloyor menuju rak yang paling ujung setelah mengucapkan terimakasih padanya. Ada sekitar 10 rak buku besar di perpustakaan ini. Untuk ukuran SMU, sekolahku memiliki koleksi buku yang cukup lumayan. Tapi..........seperti umumnya perpustakaan, hanya sedikit siswa yang berkunjung. Apalagi betah.

Seperti yang Bu Tina bilang, ada beberapa buku tentang berwisata ataupun pariwisata itu sendiri disana. Aku mengambil 4 buku tebal dan segera membawanya ke bangku terdekat. Dan untuk beberapa lamanya aku mencoba tekun mencari informasi yang ku perlukan sembari berusaha keras mengenyahkan kehebohan di kelas tadi.

Dan setelah lebih dari setengah jam aku mencari di buku-buku itu, aku mendapati usahaku percuma.  Tak ada informasi tentang cara pembuatan pasport ataupun visa disana. Dengan lesu aku bangkit dan mengembalikannya.

“Ada dimana ya?” gumamku dan membaca sekilas judul-judul buku lainnya yang ada di rak, “Kalau gak ada di buku pariwisata, mungkin ada di buku...”

“Nyari buku apa?”

Aku terpekik kaget ada suara yang tiba-tiba terdengar begitu dekat dari arah belakangku. Aku berbalik dengan cepat dan hampir saja menabrak orang yang ada disana. Aku terkesiap kaget melihatnya.

Kudapati Soni berdiri dengan tenang seraya menatapku datar. Aku menghembuskan nafas keras dan memegang dadaku yang berdebar keras karena kaget tadi, “Jangan-pernah-lakukan-itu-lagi!” kataku memberi sedikit tekanan pada setiap katanya.

“Maaf,” kata Soni santai dengan sebelah alis terangkat menlihat reaksiku.

Aku mengibaskan tangan dan sedikit menjauh darinya. Tubuhku mulai agak meremang karena berada terlalu dekat dengannya. Dan kembali, aku mencium aroma floral segar parfumnya. Sepertinya aku tadi terlalu serius dalam mencari buku yang kuperlukan sehingga tak menyadari kehadirannya. Seharusnya, harum parfum yang dia gunakan bisa kusadari sebelum dia berdiri terlalu dekat dariku tadi.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku setengah berbisik sembari kembali mengalihkan perhatianku pada buku-buku yang ada di rak.

“Mencari ketenangan,” jawabnya singkat.

Tanpa sadar aku kembali mendengus sinis, sementara mataku menelusuri buku-buku disana tanpa menyadari apa yang sedang kucari, “Kenapa? Sudah bosan dengan sambutan anak-anak? Mereka tergila-gila dengan penampilan barumu.”

“Kau tak suka?” tanya Soni dengan nada heran.

Honestly? Tidak!” jawabku singkat.

“Kenapa? Ini idemu bukan?” tanya Soni makin heran.

“Ya. Dan aku mneyesalinya,” sahutku lagi setengah menggerutu.

“Jangan katakan kalau kau berpendapat aku tidak cocok dengan ini. You know what, kalau saja kau cewek, aku bisa mengatakan kalau kau sedang cemburu.”

Aku terbungkam dengan kalimat Soni yang pelan itu. Sebenarnya dia mengatakan kalimat itu dengan nada biasa. Tapi kalimat itu telak menghantamku. Tuhan!! Aku cemburu? Apa yang dia pikirkan?!!

“TJ?!”

Aku mengambil dua buku yang ada didepanku tanpa menlihat judulnya. Aku lalu kembali melangkah ke bangku yang tadi aku gunakan, “Jangan ngawur!” sergahku kemudian, menutupi kegugupanku. Aku duduk dan membuka buku itu tanpa tahu apa isinya, “Aku hanya tak menyukai kehebohan tadi. Jangan katakan kalau kau menikmati semua itu.”

Soni duduk didepanku dan menggeleng “Aku sama sekali tak menyukainya. Aku lebih menyukai kondisi yang kemarin. Lebih tenang,” sambungnya lagi datar.

Aku melihatnya dan tersenyum sinis, “Setahuku tak ada kata tenang dalam kasusmu. Ku dengar kau menjadi pusat perhatian anak-anak cewek satu sekolah sejak pertama kali masuk kesini. Menyenangkan punya banyak penggemar bukan?”

“Aku tak tahu dan tak peduli,” sahutnya cuek.

Aku yang sedari tadi berusaha tak melihatnya, mau tak mau mengangkat muka dan melihatnya sejenak. Tapi dengan cepat  kembali mengalihkan mataku pada buku didepanku. SUMPAH!! Dilihat dari dekat, Soni tampak jauh lebih menawan. Kulit wajahnya yang putih terlihat halus dan nyaris tak berpori. Mulus, bersih tanpa noda. Hanya titik-titik kebiruan bulu-bulu wajahnya saja yang membingkai. Bekas cukuran yang entah kenapa membuatku gatal ingin mengusapnya.

Aku menarik nafas sejenak,yang ternyata menjadi tindakan yang tidak tepat, karena harum parfumnya segera saja melingkupi.

Tanpa sadar mataku tertancap pada tangan Soni. Tangan yang tampak kuat, besar dan liat dengan rambut kehitaman yang lurus dan rebah. Terlihat nyaman untuk dibelai. Pikiranku langsung membayangkan bagaimana rasanya jika tangan itu berada diatas tubuhku. Membelaiku dengan perlahan.

SIALAN!!!

Aku cepat-cepat menurukan tanganku yang mulai gemetaran, sementara bagian bawah perutku bergolak hebat. Ada geliatan asing yang membuatku serta merta mendekap perutku, seakan-akan ada yang memukulnya. Wajahku terasa panas dalam hitungan detik.

AMPUN!!!

Pada saat seperti ini, kenapa tubuhku bereaksi gila-gilaan begini?!!! Padahal Cuma melihat tangannya. Sialan! Ada apa denganku?!!

“TJ?!!” panggil Soni lagi.

“Kau bilang kau tak tahu dan tak peduli?” ulangku, “Well, bukankah itu terdengar agak sombong? Rasanya terlalu naif kalau kau tak tahu semua perhatian yang mereka tujukan padamu bukan? Karena bahkan aku yang baru mengenalmu, bisa merasakan itu. Tapi kalaupun kau tahu, kau tak peduli? Benarkah? Bukankah kau juga tak mengeluh mendapatkannya? Seperti kehebohan tadi pagi. Kau menyukainya kan?”

“Apa?” tanya Soni heran dengan wajah sedikit kaget.

“Mungkin harus ada SONI fans club di sekolah ini. Usul yang menarik kan? Yep!!” kataku dan menyibukkan diri dengan bukuku, “Dan juga, aku bisa menjadi pengurusnya kalau kau mau,” ocehku lagi tanpa dapat menahan diri. Ya Tuhan, tolong bungkam mulutku sekarang juga!!!!

“Soni!!” panggil seseorang dari samping kami. Sepertinya salah seorang teman sekelas Soni, “Kau harus segera masuk kelas sekarang. Ayo!”

Soni melihatku sejenak dan kemudian bangkit. Dia berlalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi dengan wajah datar.
ANJRIT!!!

Aku mengumpati diriku sendiri. Sebenarnya aku tadi marah pada diriku sendiri. Ucapan sinis dan sarkas tadi meluncur begitu saja dari mulutku. Dan sepertinya tadi Soni marah. Oh dia PASTI marah. Ampuuunn!! Kenapa aku jadi tak bisa berpikir jernih?! Bukan salah Soni juga kalau anak-anak cewek sekolah ini histeris. Dia tidak meminta diperlakukan seperti itu. Dia tidak berencana. Jadi bodoh rasanya kalau aku menyalahkannya.

Sepertinya kedatanganku ke perpustakaan ini percuma. Yang ada di otakku hanyalah sosok Soni, senyum tipisnya, tangannya yang besar dan kuat, dan juga.....harumnya. dan setelah nyaris satu jam aku berkutat, aku menyerah. Aku harus segera kembali ke kelas, pikirku lesu.

Aku harus mencari cara untuk memperbaiki kesalahanku pada Soni. Dia tak menginginkan segala keributan ini. Bukan salahnya pula kalau tangannya, bisa membuat hati dan pikiranku kalang kabut begini. Dia toh tak berniat menggodaku. Dia hanya diam ditempatnya, sementara tubuhku bereaksi dengan sendirinya.

SHIT!!!

Kembali aku memaki diriku sendiri!

Ada apa dengan dirimu TJ?!!! Kembalikan pikiran sehatmu! Dia cuma seorang cowok. Sama sepertimu! Cuma seorang anak remaja yang memiliki paras menawan, tubuh menggoda dan aroma yang membuat benakmu terangsang dan...
Aku berhenti melangkah dan memejamkan mata. Aku tak sanggup meneruskan kalimat tadi! Ya Tuhan!! Jangan katakan kalau aku tepat seperti yang orang tuduhkan selama ini! Jangan katakan kalau aku.............jatuh cinta pada Soni! Pikirku ngeri. Kugelengkan kepala kuat-kuat.

 Tuhan tolong aku!!! Yakinkan otak dan pikiranku bahwa semua hanya bentuk kekaguman semata. Hanya mengaguminya, bukan jatuh cinta. Sama seperti remaja cowok lain yang begitu mengidolakan pemain bola ataupun bintang rock. Reaksi mereka pasti sama kan? Pasti akan malu-malu, salah tingkah bahkan terbayang seperti ini! Aku tak ubahnya seorang fans saja kan? Aku tak mau kalau harus menyandang predikat ban....

Bahkan memikirkannya saja sudah membuatku muak!
TJ!!”

Aku agak tersentak kaget saat Wina menepuk bahuku agak keras.
Muka lo agak pucat. Kenapa? Sakit?”

Aku menggelengkan kepala, “Engga Win. Gak papa,” sahutku cepat.
Darimana tadi?”
Perpustakaan. Nyari bahan buat tugas bahasa tadi,” jawabku pelan dan melangkah masuk ke dalam kelas.
Menemukan sesuatu?” tanya Wina yang ku jawab dengan gelengan, “Tenang aja lagi. Tugas itu ternyata buat tugas akhir semester. Jadi kita masih punya banyak waktu buat nyari nara sumber yang udah biasa ke luar negeri.”

Aku tak menanggapi berita itu dengan antusias. Aku hanya memberi Wina senyuman tipis untuk kemudian duduk di bagkuku. Diam!

Bagaimana cara minta maaf ke Soni?!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar