Translate

Kamis, 20 Oktober 2016

THE MEMOIRS, a gay chronicle Bab 6

BAB 6




Dan disinilah aku. Siang ini untuk pertama kalinya, aku pulang terpisah dengan geng-ku. Sebenerna Wina tadi menawarkan diri untuk menemani saat ku katakan kalau au harus mengerjakan sesuatu sepulang sekolah. Aku tak bisa mengatakan kalau aku memiliki temu janji dengan Soni. Aku hanya mengatakan kalau Cuma ada keperluan kecil dan tak usah khawatir kalau aku bakal di culik. Wina dan yang lain hanya mendengus keras dan mengatakan bahwa hanya orang kurang kerjaansaja yang mau menculikku.

Dan aku sudah menunggu selama setengah jam, tapi Soni belum muncul juga. Ughh!! Mana udara panas gini, gerundengku dalam hati. Entah sudah berapa kali aku celingukan, kali-kali aja motor Soni nongol dari tikungan ujung sana.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah tak bisa menahan diri lagi. Sekolah sudah sepi banget. Cuma ada segelintir anak yang ada di dalam untuk kegiatan ekstra. Aku sudah garing dan nyaris pingsan di jemur di depan gerbang begini.

“Sial!!” umpatku pelan. Dengan lesu, aku berjalan untuk pulang. Batinku mengeluarkan berbagai macam gerutuan, bercampur dengan dugaan-dugaan saling tumpang tindih.

Apa dia lupa? Atau malah sengaja ngerjain doang? Kalo emang begitu, aku harus membalasnya. Bagaimana kalau ancaman tadi aku realisasikan? Aku tulis nomor teleponnya di kertas manila putih gede, lalu aku tempel di papan pengumuman sekolah. Atau di majalah dinding sekolah. Biar semua orang tahu. Biar Soni diterror oleh para groupiesnya yang sinting. Tau rasa lo ntar!! Atau gue...

“HEIII!!!!” aku berteriak kaget saat sebuah sedan mewah puegeot nyelonong dari  belakang dan memotong jalanku, “NYETIR PAKE MATA DONG?!!!” makiku kesel. Aku sudah bersiap-siap buat misuh saat jendela mobil itu terbuka. Dan kulihat didalamnya! NJIIIIIRRR!!!!

“Masuk,” katanya singkat. Irit seperti biasanya.

Aku hanya menurut dan masuk ke dalam mobil itu dengan gerakan pelan. Gila!! Jok-nya dari kulit dan empuk, nyaman luar biasa. Baunya juga wangi, batinku dan mengedarkan pandangan. Tapi pandanganku kemudian tertumbuk pada Soni yang ada di belakang kemudi. Aku memperhatikannya hingga kemudian menyadari ada sesuatu yang salah dengannya, “Kamu.........gak apa-apa?” tanyaku kemudian. Dia tampak kepayahan seperti orang yang baru saja berlari marathon. Keringat membasahi dahi dan lehernya. Sebagian wajahnya juga basah. Dari luar tadi aku tak melihatnya. Bahkan saat aku pertama kali masuk, tertutup oleh kaca mata hitamnya. Lagipula, aku terlalu bengong dengan batin bersorak, CAKEPNYAAAA!!!

“Sorry..................aku telat. Aku diare beberapa hari ini, jadi agak lemas,” katanya pelan. Dia tak langsung menjalankan mobilnya. Dia malah menghela nafas panjang lalu menelungkupkan wajahnya ke setir.

“Son....” panggilku cemas.

“Bisa nyetir?” tanya Soni tanpa mengangkat wajahnya.

“Enggak,” jawabku kemudian. Boro-boro mobil, motor aja masih kagok, lanjutku dalam hati, “Kenapa Son?”

“Aku lemes banget,” keluhnya dengan nafas yang terdengar agak memburu. Aku yang jadi tak tega melihatnya, meraih beberapa tissue dari dashboard dan mengusap lehernya. Tubuh Soni menegang untuk sesaat, membuatku sadar akan kelancanganku. Aku meminta maaf pelan, membiarkannya mengusap sendiri keringatnya.

“Kamu berkeringat banyak banget, Son. Aku harus gimana? Aku gak bisa bawa mobil,” kataku cemas. Aku hanya mengambil lebih banyak lagi tissue untuk kuberikan padanya. Tangan Soni yang bersentuhan denganku begitu dingin. Aku memberanikan diri untuk kembali membantunya mengusap keringatnya yang kini bermanik lagi dalam hitungan detik.

“.................udah gak apa-apa. Tunggu bentar, ok? Habis ini aku antar kamu pulang,” ujarnya sembari menyingkirkan tanganku tanpa sekalipun mengangkat wajah.

“Kalo gitu, kamu istirahat ke tempatku aja dulu.”

“Nggak. Aku harus pulang,” tolak Soni dan mengangkat muka.

YA AMPUUNN!!! DIA PUCAT BANGEEETT!!!

“Kalo gitu, kita langsung ke rumahmu. Ntar biar aku pulang pake taksi aja. DAN JANGAN MEMBANTAH!!!” serobotku jengkel saat ku lihat dia hendak membuka mulut untuk protes, “Kamu payah banget. Aku gak bisa ngebiarin kamu jalan sendiri dalam keadaan gini. Lagian, ngapain sih maksa dateng kalo emang masih sakit. Akan lebih mudah kalo kamu kasih tau alamatmu kan? Toh aku juga gak bakal bilang ke orang lain kalo emang kamu gak bolehin. Mana gak pake jaket lagi.”

Tanpa sadar aku nyerocos tak terkendali. Aku mengangsurkan jaket yang kubawa, tapi jadi tak sabar ketika dia berusaha memakainya dengan gerakan seperti slow motion film. Aku segera memakaikannya sendiri, “Kau boleh jadi seorang misanthrope gila!” gerutuku lagi.

“Seorang apa?”

“Misanthrope!” kataku keras, “Orang yang gak suka ma orang lain. Kalo emang iya, kamu harus segera cari psikiater buat sembuh.”

“Kau tahu istilah psikologi yang cukup aneh seperti itu. Ingin jadi dokter?”

Aku sedikit heran karena dia membelokkan pembicaraan ke arah itu. Kukira dia bakal mengkonfrontasi dengan sengit, “Ada sih keinginan itu. Kenapa?”

“Apa menurutmu seperti ini seharusnya orang sakit diperlakukan?” kata Soni yang selesai mengenakan jaket dan langsung bersandar dengan mata terpejam. Aku jadi terbungkam mendengar protes lemahnya. Duh.....iya juga sih. Orang yang jelas sakit malah gue omelin, batinku.

“Maaf...” kataku bersalah. Soni membuka matanya dan melihatku. Perlahan, sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. WHOAAAHH!!! Itu senyum pertamanya untukku. Dan by the way, dia terlihat mengagumkan dengan setelan jaket yang dipakainya itu. Dan dengan senyum yang meski kecil itu, dia lebih mirip seorang model yang bersiap untuk sebuah pemotretan bagiku.

“Ayo ku antar,” katanya dan menghidupkan mobil.

Tuh kan?!  Baru juga gua puji dalam hati. Aku menggeram marah, “KITA KE TEMPATMU!!” kataku keras, “Kamu pikir aku bisa tenang membiarkanmu jalan dalam keadaan begitu?!”

“Rumahku cukup jauh dari sini. Kau akan kerepotan!”

“Gak usah mikir aku. Pikir aja kondisimu sekarang. Kalo ada macam-macam di jalan gimana?”

“Kamu mendoakan aku begitu?!”

“Justru karena aku gak mau kamu gitu makanya kita langsung ke rumahmu aja!!!!” geramku mulai terpancing dengan kepala batunya, “Aku nanti bisa pulang naik taksi.”

“Tapi...”

“Jalankan mobil. Aku sehat dan bisa melakukan apa saja tanpa harus kehabisan tenaga sepertimu. Jalan!” tegasku lagi.

“Ya terserah aja.....” kata Soni akhirnya pasrah dan menghela nafas.


Jujur aku mulai ragu kalau ikut Soni adalah ide yang bagus!


Mobil Soni melaju di sebuah jalan perumahan yang tak ku kenal. Sebuah perumahan asing yang ada diluar kota menuju daerah puncak. Tapi jalan besar yang kami lalui ini lengang dan tak begitu banyak kendaraan yang lalu lalang.  Jalan yang mungkin lebih tepat disebut boulevard ini sebenarnya cukup menakjubkan karena penataannya yang cukup artistik. Jalan inidibagi dua oleh pot-pot besar dari semen dan taman kecil yang terlalu bagus kalau dibilang di hias secara acak. 
Berbagai macam bunga dan tanaman yang menghiasi pot dan taman kecil memanjang itu terasa memiliki alur dan tema yang membuat nyaman dan enak dinikmati mata. Sementara di kedua sisi jalan, di hiasi dengan pohon palem yang besar dan tinggi.

Hampir semua rumah yang ada di daerah itu takterlihat karena terhalang tembok tinggi atau pepohonan besar. Hanya ada satu dua rumah yang terlihat jelas. Sebagian besar bangunannya terlhat megah dengan pilar-pilar besar ala bangunan yunani kuno.

Ini daerah mana sih? Pikirku kecut. Sama sekali aku belum pernah ke daerah sini. Kalo kelayapan, paling-paling juga ke mall, bukan mengunjungi daerah asing begini. Daerah perumahan ini terasa permai dengan udaranya yang segar dan sejuk. Efek dari rimbunnya pepohonan. Masa ini beneran jalan ke rumahnya? Ga cape apa dia bolak-balik dari sini ke sekolah? Kan lumayan jauh, pikirku lagi.

Dan kemudian Soni membelokkan mobilnya. Jalanannya kini sedikit menanjak.

“Masih jauh, Son?” tanyaku dan kembali meliriknya dengan khawatir. Selain daerah yang tak ku kenal ini, keadaan Soni juga terus bikin aku tak tenang. Dia benar-benar terlihat payah. Sedari tadi dia tak mengatakan apapun. Tampak memusatkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk menyetir. Dahinya berkerut serius sementara bibirnya menjadi semakin pucat lagi.

“Tuh.......di depan,” katanya singkat.  Dan beberapa saat kemudian, mobil Soni kembali berbelok. Kami melaju di sebuah jalanan pribadi yang dibuat dari batu alam. Lebarnya Cuma sedikit lebih besar dari mobil Soni. Paling banter mungkin hanya cukup di masuki oleh sebuah truk kecil. Kanan kirinya di apit oleh pagar tembok yang di tumbuhi oleh tanaman merambat. Tampak hijau dan memberi kesan hijau yang antik. Suasana di sini jadi lebih sunyi lagi, apa lagi dengan adanya pohon-pohon besar yang menjulang.

Dan kami berhenti di sebuah pintu gerbang besi besar. Soni membunyikan klaksonnya 3 kali, dan perlahan, pintu gerbang itu terbuka secara otomatis. Ada suara dengung pelan yang terdengar mengiringi gerakan gerbang itu. Aku melihat dua orang berpakaian satpam, lengkap dengan senjata pengamannya berdiri di samping gerbang dan sedikit membungkuk saat kami lewat. Untuk ke sekian kalinya aku bengong.

AJE GILEEEEE!!!!!

Kami lalu melaju melewati sebuah daerah rimbun yang lebih mirip hutan kecil saking hijaunya. Sampai kemudian aku melihat bangunan yang menjulang gagah pada jarak beberapa ratus meter di depan kami. Sebuah bangunan bergaya Eropah klasik dengan pilar-pilar besar, bertingkat tiga dengan warna-warna alam yang di padu apik. Bangunan yang tampak menyatu dengan alam sekitarnya. Nyaris seperti sebuah tempat perlindungan mewah diantara rimbunnya hutan.
Itu hotel kan? Pikirku cengo. Ga mungkin sebuah rumah segede itu. Rumah itu bisa menampung orang-orang se-RT! 

Makin dekat aku ke bangunan itu, aku jadi makin ternganga.

Di depan paviliun bangunan itu ada sebuah taman kecil dengan sebuah kolam besar. Memiliki satu air mancur bertingkat tiga, dan beberapa air mancur kecil yang tersebar di sekliling kolam. Aku tak tahu apakah air mancur tiga tingkat itu mewakili bangunan yang ada didepannya atau hanya sebuah ketidak sengajaam belaka. Berbagai macam jenis tanaman teratai menghiasi permukaannya. Bunga-bunganya yang berbagai warna membuat taman kecil itu terlihat mencolok. Suara gemericik air yang terdengar seakan-akan menjadi sebuah serenade yang mengiringin rimbunnya pepohonan di sekitarnya, dengan lantai rerumputan hijau yang terawat rapi.

Mobil berhenti di depan pintu besar bangunan itu. Aku merasa sebutan rumah terlalu merendahkan untuk bangunan sebesar ini. Dan begitu mesin mobil mati, Soni kembali menelungkupkan wajahnya di kemudi dan bernafas panjang. Aku yang sedari tadi bengong sebengong-bengongnya, langsung sadar akan keberadaannya yang lemah. Aku cepat-cepat keluar dari mobil untuk membantunya.

“Ayo, Son,” kataku seraya membuka pintu mobil untuknya, “Aku bantu. Kamu harus segera beristirahat.”

Kali ini tak ada bantahan dari Soni. Dia menurut saat aku mengalungkan lengan kanannya ke bahuku. Dari dekat seperti ini, aku semakin bisa mencium wangi harum floral yang biasa menguar dari tubuhnya. Heran?! Sakit dan berkeringat gini kok ya tetep wangi aja nih orang? Sempet-sempetnya dia dandan tadi.

Pintu besar itu telah terbuka, bahkan sebelum aku mengetuknya.  Seorang wanita berusia awal limapuluhan yang ada di baiknya menatap Soni dengan masygul. Kedua tangannya terkepal di dada sementara wajahnya sarat akan ke khawatiran.

“Deeen...........Bibi kan udah bilang jangan pergi sendiri. Suruh saja Surya yang nyetir. Buat apa punya sopir kalo ga di suruh bawa mobil? Kalo tadi ada apa-apa gimana?” omelnya setengah menggerutu. Dia mengulurkan tangannya untuk membantu kami.

“Maaf, Bi,” kataku agak sungkan, “Kalo bisa, tolong bikinin minuman hangat yang agak manis buat Soni ya? Biar saya saja yang membantu Soni.”

“Ini Tj, Bi Atun,” kata Soni pelan.

“Iya Den. Akan Bibi antar ke kamar langsung nanti,” kata Bi Atun padaku dengan senyum leganya. Diapun segera berlalu pergi.

“Kamarmu dimana?” tanyaku.

“Lantai atas,” jawab Soni dan melepas peganganku. Sejenak dia Cuma berdiri sambil menekan pelipisny dengan tangan kanan, “Aku bisa naik sendiri. Kau...”

Tubuhnya agak oleng mendadak. Aku segera menahannya dan kembali melingkarkan lengan kanannya padaku.

“Kapan sih kamu mau dengerin orang lain?” gerutuku jengkel, “Ayo ku antar,” lanjutku dan memapahnya menaiki beberapa anak tangga.

Tak ada bantahan lagi dari Soni. Dan kamipun melangkah masuk ke dalam rumahnya. Kembali aku terpana dengan ukuran rumah Soni. Meski aku tak bisa memperhatikan dengan detil keindahan interiornya, karena yang ada di pikiranku adalah untuk segera membawa Soni ke kamarnya supaya dia bisa beristirahat. Dan ternyata yang Soni maksud dengan lantai atas ada;ah benar-benar tingkat teratas. Dengan kata lain, kami harus menaiki susunan anak tangga melingkar itu sebanyak 2 kali. Anak tangga melingkar yang memiliki pinggiran metal itu jelas memiliki anak tangga yang lebih banyak dibandingkan yang vertikal langsung. Dan ditambah dengan setengah mengangkat tubuh Soni yang lebih besar dan lebih jangkung dariku (tinggiku hanya sekitar dagunya), aku lumayan kelelahan.

Saat mencapai lantai 3, nafasku agak ngos-ngosan.  Tubuhku juga jadi sedikit berkeringat. Aku tahu kalau aku harus segera membawanya ke kamar. Jangan sampai dia mencium aroma tubuhku yang belum tersentuh air lagi semenjak pagi. Aku memang memakai deodorant, tapi tetap saja tidak pede berada terlalu dekat dengannya, sementara tubuhku berkeringat begini.

“Kamar ujung, paling kanan,” kata Soni dan menunjuk ke pintu yang dia maksud.

Aku membuka pintu kamar Soni yang terbuat dari kayu jati kokoh dengan ukiran sedehana itu dengan tangan kananku. Bau harum segera menyergap indra penciuamanku. Busyet!! Bahkan kamar diapun harum begini. Berapa banyak dia taruh pewangi ruangan disini ya? Pikirku.

Kamar itu terbagi menjadi dua ruangan. Satu ruang yang berada paling dekat dengan pintu, lebih mirip sebuah ruang santai dengan kursi sofa besar berwarna pastel yang terlihat empuk. Di hias dengan bantal-bantal besar berlapis beludru. Dan ada sebuah meja persegi yang berhadapan dengan seperangkat peralatan elektronik. Entah apa saja aku tak tahu, karena aku hanya melihatnya sekilas. Ruang berikutnya barulah tempat tidur.

Dan kamar tidur Soni benar-benar luas. Sekilas yang bisa ku tangkap adalah sebuah tempat tidur berukuran king size dengan bantal-bantal besar, berlapis bed cover berwarna gading yang mungkin akan kotor dalah hitungan detik bila aku yag memakainya. Ada juga sebuah lemari dinding dengan banyak pintu dan cermin seukuran tubuh manusia.

Aku segera membaringkan Soni di ranjang yang lembut dan empuk itu. Tanpa sadar aku menghela nafas saat ia rebah. Gila! Cape banget, batinku. Aku lalu turun untuk membuka tali sepatu Soni, namun dengan pelan, cowok itu menarik kakinya.

“Jangan...... biar aku saja,” katanya nyaris berbisik dan bangkit untuk duduk, “Bisa tolong kau ambilkan piyama di lemariku? Pintu pertama dari kanan.”

“Yeah...tentu,” kataku dan bangkit. Saat ku buka pintu lemari yang dia maksud, aku menemukan isinya hanyalah tumpukan piyama di bagian atas, dan handuk di bawahnya, sementara pada bagian dasar, ada tumpukan bed cover dan selimut. Aku  langsung mengambil setelan piyama dari tumpukan teratas. Bau harum segar jeruk menggelitik hidungku saat aku membawanya ke Soni. Aku lalu meletakkan setelan itu di samping Soni dan diam menunggunya.

Soni tak mengatakan apa-apa. Dia lalu hanya mendongak melihatku dengan pandangan ragu. Aku mengangkat sebelah alis dan membalas pandangannya dengan heran.

“Apa?” tanyaku kemudian.

“Maaf..........tapi bisakah kau....” dia tak melanjutkan kalimatnya, hanya menoleh sekilas pada pintu kamar. Aku dengan bego Cuma mengikuti arah pandangannya, tak mengerti.

“Apa?” tanyaku lagi.

“Well, aku harus ganti baju dan kau....”

Aku menepuk jidatku, sadar kalau dia harus membuka pakaiannya, “Maaf,” kataku cepat dengan wajah yang terasa panas, “Eeuuhhh......a-aku akan ke bawah dulu. Nyari Bi Atun,” lanjutku dengan cengiran salah tingkah. Tanpa menunggu jawaban Soni, aku langsung ngacir keluar. Dalam perjalanan ke bawah, tak henti-hentinya aku mengumpat pelan akan kebloonanku tadi, meski sesekali aku harus  mendecak kagum dengan berbagai furniture mewah di rumah Soni. 

Benda-benda keramik sepeti vas besar, guci-guci yang tampak antik dan mewah, lukisan-lukisan yang bertebaran di dinding sebagai hiasan, ataupun permadani yang tersebar di beberapa ruangan. Benar-benar mewah. Dan anehnya, aku merasa ada satu hal yang mengganjal. Seakan-akan ada satu hal yang kurang, meski aku tak bisa mengatakan apa.
Langkahku terhenti di anak tangga terakhir di lantai satu. Tunggu dulu! Dapur ada dimana ya? Batinku dan celingukan sejenak.

“BIII!!!! Bi Atuuunn!!” panggilku. Tap Bi Atun tak muncul setelah beberapa menit, “BI ATUUUNNN!!!” panggilku lagi agak mengeraskan suara.

“Iya Den?” jawab Bi Atun yang muncul dari arah belakangku.

“Maaf Bi, saya agak berteriak. Saya gak tahu dimana dapurnya,” kataku dengan segan.

“Nggak apa-apa, Den. Tadi Bibi memang ada di dapur. Tuh yang ada di ujung,” kata Bi Atun dan menunjuk pada lorong yang berada di ujung ruangan di belakang tangga. Pantes gak keliatan, batinku.

“Bi, saya minta air putihnya ya? Haus,” kataku dan mendahuluinya melangkah menuju dapur.

“Aduuhh, Aden kan bisa nunggu di atas. Bentar lagi juga Bibi selesai. Ga usah ke dapur segala, Den,” kata Bi Atun yang tergopoh-gopoh mengikuti di belakangku.

“Nggap apa-apa Bi. Lagian Soni juga sedang ganti baju,” ujarku dan membuka pintu di ujung lorong. Dapur itu berukuran tiga kali lebih besar dari punyaku. Padahal dapurku sudah menjadi satu dengan meja makan. Peralatan disana juga lebih lengkap dan jelas lebih mahal daripada yang aku miliki. Kulkas seukuran tubuhku, oven listrik dan berbagaimacam peralatan lain yang modern dan tampak mengkilap. Berpadu dengan beberapa kabinet yang bernuansa kayu. Bunda bisa nangis kalo tahu aku ngebandingin dapur kami dengan ini, pikirku kecut.

Aku mencomot sebuah gelas di rak kecil dan membuka kulkas untuk mencari botol air. Bi Atun sendiri langsung menuju kompor yang menyala dengan sebuah panci bergolak di atasnya.

“Makasih lho Den, udah nganter Den Soni pulang dengan selamat. Bibi seneng akhirnya  ada temen Den Soni yang dateng kesini.”

Ucapan Bi Atun yang bernada lega itu membuatku tercenung dan menurunkan gelasku, “Akhirnya? Emang sebelumnya gak ada temen Soni yang pernah kesini Bi?” tanyaku heran.

“Seingat Bibi sih nggak ada Den,” jawab Bi Atun tanpa menoleh, sibuk dengan pekerjaannya, “Karena itu Bibi seneng ada Aden............siapa tadi Den namanya?”

“TJ Bi,” sahutku dengan senyum.

“Iya, TiJe. Namanya kayak turis yang ada di tv sih,” seloroh Bi Atun, membuatku kembali tersenyum. Ada beberapa orang yang memang heran dengan namaku, tapi aku tak pernah mau menjelaskan, “Den Soni itu orangnya kan tertutup. Penyendiri. Ga demen bergaul. Keliatan kayak orang murung saban hari. Jadi Bibi seneng banget pas tau ada temennya yang dateng. Den TJ sering-sering deh main kesini ya?”

“Ish...Bibi becanda ah.”

“Ya ampun, Den, ngapain Bibi ngomong yang gak bener? Bibi tuh kasian sama Den Soni, karena itu Bibi minta Aden buat sering dateng maen, nemenin Den Soni. Nanti Bibi masakin yang enak-enak deh.”

Aku tertawa mendengar ucapan Bi Atun, “Akan saya usahakan Bi. Itupun kalo Soni bolehin. Kan Bibi tau sendiri gimana wataknya. Yang ada ntar dia marah lagi.”

“Nggak bakal Den.”

“Yakin Bi? Soni kadang bisa jadi pemarah dan keras kepala lho Bi,” godaku.

“Kalo itu mah Bibi udah tau Den. Den Soni emang kadang suka bandel.  Tadi aja contohnya. Udah tau badannya masih lemah gara-gara diare, eh masih nekat bawa mobil sendiri. Padahal kan ada sopir. Dari kemaren juga susah banget di suruh makan. Padahal orang diare kan suka lemes bawaannya. Kalo gak banyak makan dan minum, darimana dapet tenaga coba?”

“Jadi dia belom makan dari pagi Bi?”

“Belom Den. Bubur yang Bibi bikinin tadi pagi juga masih utuh.”

Aku mendengus keras. Pantes aja dia lemes gitu. Dia mikir apaan sih? Udah tau sakit, bukannya merawat diri, malah sembrono gitu, gerundengku dalam hati, “Emang sejak kapan dia sakit Bi?”

“Sejak pulang dari luar kota Den. Dari............gunung apaa gitu. Bibi lupa. Katanya sih keujanan. Terus masuk angin. 
Udah gitu suka telat makan. Melantur gitu deh jadinya. Dokter juga udah bilang buat istirahat beberapa hari.

Dengan kata lain, aku adalah salah satu penyebab dia ambruk begitu, batinku dengan rasa bersalah menumpuk. Dia sudah melakukan banyak hal untukku.

“Bi................?!”

Suara panggilan yang berasal dari intercome memutus lamunanku. Bi Atun tergopoh-gopoh mendekat ke intercome yang dipasang dekat pintu dapur.

“Iya Den..”

“Tolong bikinin juga minuman buat temenk tadi ya? Bibi tau dia dimana?”

“Aku disini, Son. Bentar lagi kesana,”  sahutku yang sudah ada di dekat Bi Atun.

“Bentar lagi Bibi juga udah selesai, Den. Buburnya udah hampir mateng.”

“Ga usah Bi. Aku gak laper,” ujar Soni dan memutuskan hubungan.

Bi Atun menarik nafas masygul dan melangkah kembali ke masakannya yang bergolak di atas kompor, “Tuh kan, Den. Padahal dari pagi perutnya masih belum terisi. Gimana bisa minum obat kalo belom makan?”

Aku jadi ikut-ikutan menghela nafas mendengar gumaman pelan Bi Atun, “Bibi jangan khawatir. Bibi kelarin aja masaknya. Ntar biar saya yang bawa ke atas. Kali ini dia pasti makan dan minum cukup. Bibi tau ada dimana obatnya?”

“Ada di laci sana, Den,” tunjuk Bi Atun pada laci yang berada tak jauh di samping kananku, “Dari kemaren udah disuruh buang sama Den Soni. Beneran Den TJ bisa bujuk Den Soni makan?”

“Bibi tenang saja deh,” bujukku dan tersenyum menennagkan.



Reaksi Soni sedikit banyak sudah ku duga. Dia menatapku heran dengan dahi berkerut. Aku yang masuk sembari membawa nampan berisi bubur, minuman, obat dan serbet berlagak tak acuh. Aku meletakkan nampan itu di atas bufet kecil dimana lampu kamar nangkring.

“Nah, kamu mau makan apa di suapin?” tanyaku dengan senyum ramah terpasang lebar. Ku pandang dia yang setegah berbaring dengan antusias.

“Hah?” gumam Soni bengong, “...............Aku-aku tadi sudah bilang kalau aku gak laper dan..........”

“Baiklah. Di suapi aja kalo gitu. Tapi aku kudu ingetin kalo aku udah lama gak nyuapin orang lho,” kataku, masih dengan senyuman yang terpasang.

“Tapi....................”

“Bubur dan supnya enak lho,” kataku cuek dan meraih mangkuk bubur, lalu mencampurnya dengan sup, “Kalo di makan bareng gini, rasanya asli sedap. Tadi aku udah coba cicipin dikit. Bi Atun pinter banget deh bikinnya. Ntar aku mo minta resepnya ah. Ayo buka mulut,” kataku dengan sendok penuh yang teracung di depan Soni.  

Soni menatapku tak pecaya, “Kamu apa-apaan sih?” sergahnya agak jengkel.

“Orang sakit tuh kudu banyak makan supaya cepet sembuh. Juga minum obat. Kalo nggak, ntar kena maag. Malah nambah penyakit kan? Ayo, buka mulutnya,” kataku seolah-olah tak mendengar protesnya.

“Aku bilang aku gak lapar,” kata Soni lagi kesal.

“Ayooo.. Aaaaa....” kataku, meniru seoang Ibu yang sedang menyuapi anaknya.

Soni tertawa kecil. Campuran antara marah, geli dan tak percaya di matanya kutanggapi dengan pandangan polos tanpa dosa.

“Aku tak percaya ini. Kau gila,” gerutunya.

“Aaaaaaa.....” seruku lagi dan mendekatkan sendok itu ke bibirnya. Dengan setengah terpaksa, Soni akhirnya membuka mulut. Aku tersenyum senang, “Naah, enak kan? Agak lebaran dikit dong kalo buka mulut,” kataku ceria.

Soni mendengus keras dan mengunyah makanannya dengan ogah-ogahan.

“Orang sakit emang suka ga napsu buat makan. Tapi kalo diturutin malah bikin tambah sakit. Jadi kalo mulut berasa pahit, hambar atau ga enak, itu udah wajar. Dan mau gak mau, kamu tetep kudu makan en minum obat. Harus dipaksa biar ga enak juga. Ayo, aaaaaa....” celotehku tanpa memperdulikan pandangan sengitnya dan kembali mengangsurkan sendok yang terisi penuh ke depan mulutnya.

Kembali dia membuka mulutnya dengan terpaksa.

“Enak kan?” tanyaku lagi.

“Enggak,” jawab Soni ketus.

“Namanya aja lagi sakit,” selorohku tak peduli, “Bunda juga selalu memaksaku untuk tetep makan kalo lagi sakit. Untuk sembuh, kita kan butuh asupan gizi dan nutrisi. Kalo gak makan, gimana mau sembuh coba?”

“Kamu pikir aku umur berapa?” sergah Soni tanpa menahan kedongkolannya.

“Pokoknya jangan sampai telat makan. Ayo lagi....” kataku cuek dan kembali menyuapinya, “Bibi bilang, kamu tuh jarang makan dan ga minum obat. Itu kan yang bikin kamu lama sembuh. Padahal kau kelas tiga. Bentar lagi juga bakal ngadepin ujian. Lagipula kami..”

“TJ please. Perutku sudah gak nampung,” protes Soni memotong ocehanku.

“Lima suapan lagi ya?” bujukku yang di jawab Soni dengan gelengan kuat, “Empat kalo gitu,” tawarku.

“TJ!!!”

“Tiga kalo gitu. Dan itu final! Ayo buka mulut,” pintaku. Meski menggeram Soni akhirnya menurut dan membiarkanku kembali menyuapkan bubur itu. Aku tersenyum senang, “Sekarang minum obatnya,” kataku dan mengangsurkan tiga butir dan segelas air padanya.

Soni meminumnya dengan patuh.

“Nah, aku bawa ini dulu ke bawah, ok? Kataku dan mengambil nampan serta gelas yang dipegang Soni.

“TJ...”

“Eh, bentar...” kataku dan saat melihat sedikit sisa bubur dan air di sudut bibirnya. Aku meraih serbet dan mengusapkannya. Membersihkan bibirnya dengan pelan, “Nah............kamu tidur dulu ya?” kataku dan bangkit, keluar dari kamar.

Saat aku kembali ke kamar beberapa menit kemudian, aku mendapati Soni tengah berbaring tenang dengan mata terpejam. Aku berhenti di ujung pembaringan, memandangnya. Dia lebih tampak seperti seorang model yang sedang mempromosikan tempat tidur dan piyamanya. Adonis yang benar-benar mempesona. Dan benar-benar sebuah pengalaman yang nyaris terasa seperti mimpi.

Dia yang beberapa waktu terakhir seperti sebuah bayangan yang tak tergapai, telah bisa ku raih beberapa menit tadi. Aku bisa berada di dekatnya cukup lama. Bahkan menyentuhnya. Aku tahu kalau akan terasa jahat bahwa aku merasa senang dia sakit begini. Tapi hanya karena keadaannya seperti ini, semua hal tadi bisa ku alami. Dalam keadaan biasa, aku bahkan mungkin tak akan bisa melihatnya dari jarak sedekat ini.

Aku lihat mata Soni mengerjap. Dan perlahan, mata itu terbuka. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku. Aku lalu meraih tasku yang ada di bawah ranjang.

“Aku harus pulang,” kataku tanpa menoleh padanya lagi, “Kamu istirahat saja.”

Soni hanya tersenyum tipis. Dia mengangguk dan memencet sebuah tombol pada intercome yang ada didekat lampu kamar, “Bi, suruh Surya bersiap-siap nganter TJ pulang,” katanya, dia berpaling dan menatapku sejenak, “Terimakasih...”

Aku tersenyum jengah mendengarnya, “Harusnya aku yang mengatakan itu. Sedikit banyak, kamu ambruk juga gara-gara aku. Kau sudah melakukan banyak hal untukku. Terimakasih, Son. Juga atas pinjaman jaketnya.”

“Kalo gitu anggap saja kita impas.”

Kembali aku tersenyum dan mengangguk, “Tapi tolong berjanjilah kau untuk makan teratur dan minum obat. Itu akan membuatku lebih baik karena jadi penyebab kamu begini.”

“Eeeuuhh....” Soni mengerutkan kening, berpikir.

“Aku akan datang lagi kesini dan kita akan melakukannya dengan caraku kalau kau tak mau,” ancamku, dan tanpa menunggunya, aku berbalik, “Beristirahatlah,” kataku tanpa berbalik badan sebelum keluar. Aku mendengarnya tertawa kecil .

Di bawah aku menemukan Bi Atun sudah menungguku di dekat pintu.

“Surya sudah siap Den. Makasih ya? Karena Aden Den Soni mau makan dan minum obat.”

Aku tersenyum, “Sama-sama Bi,” jawabku seraya terus melangkah keluar, menuju mobil yang telah siap menungguku, 
“Bibi juga tolong jaga Soni ya?” pintaku sebelum masuk ke mobil.

“Tentu Den.”

“Saya permisi Bi,” pamitku dan masuk ke mobil. Pak Surya yang ada di depan kemudi menyambutku dengan senyuman ramahnya dan menanyakan alamatku. Aku segera memberitahukannya, sementara benakku melayang-layang.

Ya Tuhan!!! Hari ini benar-benar luar biasa.

Bayangkan saja. Kurang dari 24 jam, aku sudah berada di rumah Soni. Dan mungkin orang pertama diantara semua penghuni sekolah yang pernah menginjakkan kaki di kediamannya. Memapahnya.  Ok, akan aku ulangi. MEMAPAHNYA!!!!

Kedua tubuh kami bersentuhan secara langsung. Baru setelah berada di mobil yang melaju ini aku menyadari fakta itu. Tadi aku terlalu khawatir pada kondisinya sehingga hal itu sedikit terabaikan. Di hari-hari biasa, dia mengucapkan sepatah kata udah untung. Secara tak langsung, boleh dibilang aku telah memeluknya. Gilanya lagi, aku juga menyuapinya!!

Tanpa sadar aku nyengir dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Wina dan yang lainnya bisa jejeritan kalo mengetahuinya. Dan tanpa dapat ku tahan, senyuman lebarkupun  terkembang. Malam ini aku pasti akan terus menerus terbayang akan kedekatan kami tadi. Juga suaranya.

Dan ternyata...........semua tidak berhenti sampai disana.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus