Translate

Kamis, 20 Oktober 2016

THE MEMOIRS, a gay chronicle Bab 5



 BAB 5



Baru tiga hari kemudian setelah absen dari sekolah, aku bisa berjalan dengan normal. Meski harus sedikit berkernyit. Wina dan yang lain datang ke rumah pada hari pertaa aku tidak masuk sekolah. Waktu aku ceritakan kenapa aku tidak masuk sekolah, dan kenapa kakiku luka, reaksi pertama mereka adalah....

“BWAHAHAHAHAHAHA............ LO JADI COWOK HUTAN?!!! KYAAHAHAHAAHA......!!!!”

Bantal yang aku gunakan untuk bersandar di sofa, langsung melayang ke muka Wina. Tapi itu tak menghentikan tawanya. Dia masih terus cekakakan sambil memegangi perutnya. Pake acara guling-guling di lantai segala. Sialan!!  
Enny dan yang lain juga tak mampu menahan tawanya, meski reaksi merekatidak seekstrim Wina. Setelah mereka bisa menguasai diri, baru aku menjelaska alasannya, meski fakta bahwa Soni adalah anggota klub, masih aku sembunyikan. Dan mereka bisa memahami alasanku masuk ke klub itu.

Dengan masih tertawa kecil, Wina menghampiriku dan berkata, “Kami suka ma lo apa adanya TJ. Jangan berubah karena orang lain yang berpikiran sempit. Tetep jadi TJ yang kita kenal ya?”

Aku hanya bisa tersenyum dan memeluknya, “Thanks, Win.”

“Dan....ngomong-ngomong, ada cowok cakepnya gak disana?” tanya Wina centil, dan langsung ngirit sembari ngikik saat aku kembali melempar bantal ke arahnya.






Dan pagi ini, aku kembali masuk sekolah. Meski harus berbekal surat keterangan dokter dan Bunda yang menjelaskan bahwa untuk sementara, aku tak bisa mengikuti program olah raga.

“Pagi, TJ! Baikan?” sapa Wina dengan suara cemprengnya, menyambutku di depan pntu kelas.

“Yaah gitu deh, Win. Beberapa hari ini gue mimpi buruk terus.”

“Eh?! Mimpi buruk gimana?”

“Iya. Beberapa hari terakhir ini gue ngimpi ngeliat muka lo dalam skala besar, dengan congor yang tambah dower, ngejar-ngejar gue en nyuruh gue masuk sekolah. Sumpah, gue gak tahan. Karena itu gue masuk sekarang,” kataku kalem.

“Hwanjeeezzz!!!” umpat Wina dongkol dan mengikutiku, “Eh, ngomong-ngomong jaket lo keren tuh. Agak kegedean sih.”

“Oke kan?” tanyaku sambil berputar meminta pendapatnya. Jaket hitam dari kulit yang aku gunakan ini memang memiliki potongan yang simple, namun toh lembut dan memang terlihat bergaya, “Modlnya cowok banget meski simpel.  Keren abis deh!”

“Lagak lo! Merk apaan?” tanya Wina.

“Ga tau..” sergahku dan melepas jaket yang ku pakai untuk melihatnya, “D&G?!”

“Apa?!! Tanya Wina kaget, “Ga mungkin asli, kan?” selorohnya dan segera menyambar jaketku. Untuk beberapa saat dia terdia, “Ini................asli. Bahannya bener-bener dari kulit dan labelnya........made in Italy,” gumam Wina dan meneliti label yang tertempel disana.

“Jadi?” tanyaku padanya.

“Ini barang asli. Lo................dikasih ma siapa?” tanya Wina takjub.

“Apaa?”

“Ga mungkin kan lo pergi ke butik D&G yang ada di Itali sono,” gerutu Wina lagi membuatku nyengir.

“Ya ga mungkin lah Win. Lagian jaketnya juga bukan punya gue ini. Bentar ya, gue balikin dulu,” pamitku dan menyambar jaket itu darinya. Aku lalu melenggang pergi meninggalkan Wina yang menggeram jengkel karena tertipu.

“RESEEE!! Lain kali ga usah deh bergaya di depan gue pake barang pinjeman!!” teriaknya dongkol. Aku Cuma nyengir kuda dan melambaikan tanganku padanya.

Aku menuju kelas IPS 1, kelas Andri. Dan untungnya, aku tak perlu repot-repot untuk masuk ke kelas senior itu atau bertanya pada seseorang, karena Andri tengah berdiri di luar kelas. Dia sedang berbicara dengan Rasti. Dia melihatku yang melangkah mendekat dan melambaikan tangannya dengan senyum lebar.

“Apa kabar, TJ?! Sudah bisa melangkah dengan normal sepertinya?” sapanya senang dan menepuk punggungku.

“Sudah sehat?” sapa Rasti juga.

“Lumayan lah,” jawabku tertawa kecil, “Dengar, ak bener-bener berterimakasih atas kesabaran dan kebaikan kalian selama ini. Dan.....aku juga bener-bener minta maaf atas semua kekacauan yang aku buat. Aku telah membuat semua berantakan kemaren,” kataku tulus.

“Hei... sudahlah. Wajar saja kan? Pendakian kemarin adalah yang pertama bagimu,” hibur Andri.

“Normal kok TJ. Jangan terlalu dipikirkan,” sambung Rasti.

“Thanks.... Tapi aku gak pengen klub PA bermasalah, apalagi sampai ditutup gara-gara aku. Jadi kalian tak perlu khawatir. Aku akan mengundurkan diri.”

Andri bengong, “Hah? Apa?!”

“Lagipula aku jelas tidak lolos seleksi kemarin kan?” lanjutku lagi.

“Well................emang jelas sekali sih kalo kamu belom tebiasa dengan pendakian. Tapi.......” Rasti menggantungkan kalimatnya dan menoleh ke arah Andri.

“Kami semua melihat kemauanmu yang kuat. Juga fakta bahwa kamu sadar dan berpikir kalau kamu gak mau merepotkan anggota yang lain. Aku menghargai itu. Kami, para senior sangat menghargai itu. Kami sudah berunding, dan............benar. Mungkin kami tak akan bisa mengikutkanmu dalam ekspedisi lain dalam jangka waktu dekat. Apalagi dengan medan yang sulit. Tapi aku dan Soni sudah berpikir. Dan menurut Soni, hanya karena kau tak bisa melakukan kegiatan outdoor, bukan berarti kamu tak bisa apapun. Kau bisa mengerjakan tugas di belakang meja kan?”

Untuk sesaat aku tak bisa langsung bereaksi. Hanya diam bengong, “Apa?” Apa yang dikatan Soni?”

“Dia bilang, kau kan bisa mengerjakan administrasi klub. Membantu dokumentasi ataupun persiapan ekspedisi. Pekerjaan di belakang meja begitu. Itupun kalau kau mau..”

Aku ternganga tak percaya, “Jadi..............aku masih boleh gabung ke dalam klub?”

Andri tertawa, “Kalau kamu masih berminat. Menjadi anggota klb bukan berarti kamu harus jadi makhluk alam seperti kami, TJ. Kau bisa membantu kami dalam hal lainnya kan?”

“Tentu saja!!” seruku senang.

“Nah kalo gitu, cabut kembali pengunduran dirimu tadi!” ujar Rasti tertawa kecil.

Aku memberikan isyarat menutup mulutku, “Anggap saja aku tadi bicara ngawur. Terimakasih An, Ras. Oh ya, satu lagi. Aku mau balikin jaket ini,” kataku dan mengangsurkan jaket yang sedari tadi aku pegang.

“Lho? Jaket Soni masih ada di kamu?” seloroh Rasti heran.

Kembali aku bengong mendengar selorohannya, “Soni?”

“Itu kan jaket yang dia pakaikan ke kamu pas kamu demam di pondok,” jelas Andri lagi, membuatku termangu.
Ya Tuhan, cowok itu memang penuh dengan kejutan.

“Kau ingin aku yang mengembalikan itu ke dia?” tanya Andri lagi menyadarkanku.

Aku menatapnya sejenak, “Tidak,” putusku kemudian, “Biar aku saja yang melakukannya. Aku harus berterimakasih padanya kan? Aku akan mencarinya.”

“Dia gak ada di kelasnya TJ,” kata Andri membuatku urung melangkah.

“Maksudmu?”

“Dia belom masuk sekolh sejak pendakian kemarin. Waktu aku telepon beberapa hari yang lalu, dia Cuma bilan kalo lagi gak enak badan,” jelas Andri menatapku. Dan dari pandangannya itu, sepertinya Andri memiliki pemikiran yang sama denganku. Soni sakit karenaku....

“Bisa kasih aku alamatnya, An?” pintaku kemudian.

Andri menggeleng, “Untuk beberapa hal, Soni agak tertutup TJ. Aku gak tahu dimana alamatnya.”

“Hah? Bahkan kamu juga gak tau?” tanyaku tak percaya dan hanya mampu menggelengkan kepala saat Andri mengangguk, “Kalau begitu................bisa minta nomor teleponnya?”

“Ada nomor handphone-nya. Tapi berjanjilah kau tidak akan memberitahukan nomornya pada orang lain. Soni melarangku untuk memberikannya pada orang lain. Hanya anggota satu klub satu angkatan yang memiliki nomornya.”

Aku kembali tercengang mendengarnya, “Gila! Exclusive banget!” sergahku keras dan agak jengkel. Bener-bener sok seleb cecunguk satu itu!

Rasti tertawa kecil, “Entah kamu nadar atau engak, Soni cukup populer disini. Gak cuman anak kelas satu yang ngefans ma dia. Rata-rata anak kelas Dua dan sebagian besar kelas Tiga juga banyak yang masih mengejarnya.”

“WOOAAAAAHHHH,” komentarku takjub. Tapi bisa dimaklumi juga sih, “Termasuk kamu gak, Ras?” lanjutku dengan nada bercanda.

“Pengennya sih,” cengir Rasti sembari berkedip, “Tapi Soni udah kasih batasan jelas kalo kami Cuma teman. Dan misal aku kasih sedikit saja sinyal naksir ke dia, dia gak bakalan lagi mau ngomong ma aku. Mending kayak gini, kan? Aku bisa lebih deket en ngomong bebas ma dia. Bahkan kalo aku minta tolong, dijamin pasti dia bakal mau bantu. Daripada sama groupies yang selalu nguber-nguber dia, dia senyum aja udah untung.”

“Bercanda kan? Gak mngkin ada manusia kayak gitu. Kalian Cuma ngerjain gue kan?” selorohku terkekeh kecil. Tapi kedua orang didepanku itu tetap berdiri dengan ekspresi wajah datar, “Serius?! Beneran?!!” sergahku terpana. Sumpah!! Ada gitu anak sekolah biasa yang bukan seleb tingkahnya kayak gitu?

“Bukannya kamu sudah tahu bagaimana dingin dan masa bodohnya dia? Jadi..............terserah percaya atau tidak. Nih nomornya,” kata Andri dengan senyum gelinya sembari memberikan buku telepon kecilnya padaku.

Masih dengan keheranan aku menerima dan melihatnya, “Iceberg? Kamu namain dia gunung es?”

“Biar ga ada yang tau,” seloroh Rasti yang kembali tertawa kecil, “Itu sebutan kami untuknya. Lagipula, cocok kan ma orangnya?”

“Definately,” kataku dan menyetujui sembari menyalin nomornya ke telapak tanganku. Aku tak membawa kertas. Hanya sebuah pulpen di sakuku, “Thanks kalo gitu ya? Aku mau masuk dulu. Biar ntar pulang sekolah aja aku telepon,” pamitku dan beranjak pergi dengan benak penuh.  




Dan seharian itu aku tak berhenti memikirkan Soni. Masa sih dia segitu populernya? Masa sikapnya seajaib itu? Sebenernya dia orang yang gimana sih? Kenapa seakan-akan dia begitu melindungi dirinya? Menutupi eksistensinya dari kontak sosial. Bahkan dari lingkungan sekolahnya. Yang namanya anak sekoahan kan biasanya suka sok idealis, sok solider ma temen, hang out dan bercandaan rame-rame ma geng-nya. Seperti aku dan Wina serta lainnya. Tapi Soni malah menutup akses ke semua hal itu. Apa yang dia rahasiakan sebenarnya?

Sikapnya sendiri tak acuh dan dingin padaku. Bahkan nyaris membenci kalau aku bisa berpendapat. Tapi anehnya, dia mau merawat dan bersusah payah membantuku ke rumah sakit. Di tengah malam buta plus dalam cuaca yang hujan deras. Dia membayar biaya perawatanku. Lalu.............usapan lembutnya di dahi dan rambutku waktu itu......
Terasa begitu kontradiktif dengan semua sikap antagonisnya ketika kami berhadapan.


Jam terakhir hari ini ternyata kosong. Entah kenapa, guru Bahasa Indonesiaku tidak masuk. Dan karena sudah tak mampu menahan diri lagi, akupun segera enuju telepon koin yang ada di dekat kantor guru. Satu-satunya telepon umum yang bisa digunakan oleh murid ada disana. Dan entah sial atau untungnya, Soni mengangkat teleponnya pada deringa ke tiga.

“Halo..?” sapa Soni pelan.

“Soni?! Ini TJ,” kataku cepat.

Diam sejenak!

“Darimana kamu tahu nomorku?” tanya Soni, dengan nada datarnya.

“Ga penting,” jawabku cepat, “Dengar, aku Cuma mau ngembaliin jaketmu. Bisa kasih tahu alamatmu?”

“Andri yang kasih tau?”

UGH!!! Kumat deh! Tapi aku tak akan kalah kali ini. Toh kami sedang tidak berhadapan. Aku tak akan bisa dia bungkam dengan tatapan tajamnya, “Apa perlu membahas itu? Aku hanya ingin berterimakasih dan mengembalikan jaketmu.”

“Kamu simpan saja dulu. Ntar aku ambil.”

“Tapi aku ingin segera mengembalikannya ke kamu. Sekarang. Langsung!” kataku dengan keras kepala. Aku memberi tekanan pada dua kata terakhir untuk memberitahukan bahwa keputusanku final..

“Dengar, aku sedang dalam keadaan yang tidak baik, dan..”

“Dan karena itu aku katakan kalau aku yang akan pergi ke rumahmu. Jadi tolong katakan alamatmu sekarang, atau nomor ini akan di ketahui oleh anak-anak satu sekolah.”

“Apa?!”

“Kau sudah dengar dengan jelas tadi. Aku mengancammu Soni,” kataku nekat, “Aku tahu kalau kamu merahasiakan no ini dari anak-anak lain di luar klub. Kalo kamu gak kasih tahu alamatmu sekarang juga, aku akan tulis nomor ini di papan pengumuman sekolah. Dan aku akan cari sendiri alamatmu di arsip sekolah. Entah bagaimana caranya. Dan lakukan dengan cepat, karena koinku tinggal sedikit dan telepon ini akan segera mati!”

Untuk beberapa saat lamanya tak ada jawaban dari Soni. Aku menunggu dengan hati kebat kebit. Perasaanku campur aduk antara ngeri, kaget dan heran karena tindakanku yang luar biasa nekat. Heran, tadi aku dapat ide dari mana sih?

“Son...”

“Tunggu aku di depan gerbang sekolah jam pulang nanti,” kata Soni dan memutuskan hubungan.


HAH?!!! DIA BILANG APA TADI?!!!
   
                                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar