BAB 5
Baru tiga hari kemudian setelah absen dari sekolah, aku bisa berjalan
dengan normal. Meski harus sedikit berkernyit. Wina dan yang lain datang ke
rumah pada hari pertaa aku tidak masuk sekolah. Waktu aku ceritakan kenapa aku
tidak masuk sekolah, dan kenapa kakiku luka, reaksi pertama mereka adalah....
“BWAHAHAHAHAHAHA............ LO JADI COWOK HUTAN?!!!
KYAAHAHAHAAHA......!!!!”
Bantal yang aku gunakan untuk bersandar di sofa, langsung melayang ke muka
Wina. Tapi itu tak menghentikan tawanya. Dia masih terus cekakakan sambil
memegangi perutnya. Pake acara guling-guling di lantai segala. Sialan!!
Enny dan yang lain juga tak mampu menahan tawanya, meski reaksi merekatidak
seekstrim Wina. Setelah mereka bisa menguasai diri, baru aku menjelaska
alasannya, meski fakta bahwa Soni adalah anggota klub, masih aku sembunyikan.
Dan mereka bisa memahami alasanku masuk ke klub itu.
Dengan masih tertawa kecil, Wina menghampiriku dan berkata, “Kami suka ma
lo apa adanya TJ. Jangan berubah karena orang lain yang berpikiran sempit.
Tetep jadi TJ yang kita kenal ya?”
Aku hanya bisa tersenyum dan memeluknya, “Thanks, Win.”
“Dan....ngomong-ngomong, ada cowok cakepnya gak disana?” tanya Wina centil,
dan langsung ngirit sembari ngikik saat aku kembali melempar bantal ke arahnya.
Dan pagi ini, aku kembali masuk sekolah. Meski harus berbekal surat
keterangan dokter dan Bunda yang menjelaskan bahwa untuk sementara, aku tak
bisa mengikuti program olah raga.
“Pagi, TJ! Baikan?” sapa Wina dengan suara cemprengnya, menyambutku di
depan pntu kelas.
“Yaah gitu deh, Win. Beberapa hari ini gue mimpi buruk terus.”
“Eh?! Mimpi buruk gimana?”
“Iya. Beberapa hari terakhir ini gue ngimpi ngeliat muka lo dalam skala
besar, dengan congor yang tambah dower, ngejar-ngejar gue en nyuruh gue masuk
sekolah. Sumpah, gue gak tahan. Karena itu gue masuk sekarang,” kataku kalem.
“Hwanjeeezzz!!!” umpat Wina dongkol dan mengikutiku, “Eh, ngomong-ngomong
jaket lo keren tuh. Agak kegedean sih.”
“Oke kan?” tanyaku sambil berputar meminta pendapatnya. Jaket hitam dari
kulit yang aku gunakan ini memang memiliki potongan yang simple, namun toh
lembut dan memang terlihat bergaya, “Modlnya cowok banget meski simpel. Keren abis deh!”
“Lagak lo! Merk apaan?” tanya Wina.
“Ga tau..” sergahku dan melepas jaket yang ku pakai untuk melihatnya,
“D&G?!”
“Apa?!! Tanya Wina kaget, “Ga mungkin asli, kan?” selorohnya dan segera
menyambar jaketku. Untuk beberapa saat dia terdia, “Ini................asli.
Bahannya bener-bener dari kulit dan labelnya........made in Italy,” gumam Wina
dan meneliti label yang tertempel disana.
“Jadi?” tanyaku padanya.
“Ini barang asli. Lo................dikasih ma siapa?” tanya Wina takjub.
“Apaa?”
“Ga mungkin kan lo pergi ke butik D&G yang ada di Itali sono,” gerutu
Wina lagi membuatku nyengir.
“Ya ga mungkin lah Win. Lagian jaketnya juga bukan punya gue ini. Bentar
ya, gue balikin dulu,” pamitku dan menyambar jaket itu darinya. Aku lalu
melenggang pergi meninggalkan Wina yang menggeram jengkel karena tertipu.
“RESEEE!! Lain kali ga usah deh bergaya di depan gue pake barang
pinjeman!!” teriaknya dongkol. Aku Cuma nyengir kuda dan melambaikan tanganku
padanya.
Aku menuju kelas IPS 1, kelas Andri. Dan untungnya, aku tak perlu
repot-repot untuk masuk ke kelas senior itu atau bertanya pada seseorang,
karena Andri tengah berdiri di luar kelas. Dia sedang berbicara dengan Rasti.
Dia melihatku yang melangkah mendekat dan melambaikan tangannya dengan senyum
lebar.
“Apa kabar, TJ?! Sudah bisa melangkah dengan normal sepertinya?” sapanya
senang dan menepuk punggungku.
“Sudah sehat?” sapa Rasti juga.
“Lumayan lah,” jawabku tertawa kecil, “Dengar, ak bener-bener
berterimakasih atas kesabaran dan kebaikan kalian selama ini. Dan.....aku juga
bener-bener minta maaf atas semua kekacauan yang aku buat. Aku telah membuat
semua berantakan kemaren,” kataku tulus.
“Hei... sudahlah. Wajar saja kan? Pendakian kemarin adalah yang pertama
bagimu,” hibur Andri.
“Normal kok TJ. Jangan terlalu dipikirkan,” sambung Rasti.
“Thanks.... Tapi aku gak pengen klub PA bermasalah, apalagi sampai ditutup
gara-gara aku. Jadi kalian tak perlu khawatir. Aku akan mengundurkan diri.”
Andri bengong, “Hah? Apa?!”
“Lagipula aku jelas tidak lolos seleksi kemarin kan?” lanjutku lagi.
“Well................emang jelas sekali sih kalo kamu belom tebiasa dengan
pendakian. Tapi.......” Rasti menggantungkan kalimatnya dan menoleh ke arah
Andri.
“Kami semua melihat kemauanmu yang kuat. Juga fakta bahwa kamu sadar dan
berpikir kalau kamu gak mau merepotkan anggota yang lain. Aku menghargai itu.
Kami, para senior sangat menghargai itu. Kami sudah berunding,
dan............benar. Mungkin kami tak akan bisa mengikutkanmu dalam ekspedisi
lain dalam jangka waktu dekat. Apalagi dengan medan yang sulit. Tapi aku dan
Soni sudah berpikir. Dan menurut Soni, hanya karena kau tak bisa melakukan
kegiatan outdoor, bukan berarti kamu tak bisa apapun. Kau bisa mengerjakan
tugas di belakang meja kan?”
Untuk sesaat aku tak bisa langsung bereaksi. Hanya diam bengong, “Apa?” Apa
yang dikatan Soni?”
“Dia bilang, kau kan bisa mengerjakan administrasi klub. Membantu
dokumentasi ataupun persiapan ekspedisi. Pekerjaan di belakang meja begitu. Itupun
kalau kau mau..”
Aku ternganga tak percaya, “Jadi..............aku masih boleh gabung ke
dalam klub?”
Andri tertawa, “Kalau kamu masih berminat. Menjadi anggota klb bukan
berarti kamu harus jadi makhluk alam seperti kami, TJ. Kau bisa membantu kami
dalam hal lainnya kan?”
“Tentu saja!!” seruku senang.
“Nah kalo gitu, cabut kembali pengunduran dirimu tadi!” ujar Rasti tertawa
kecil.
Aku memberikan isyarat menutup mulutku, “Anggap saja aku tadi bicara
ngawur. Terimakasih An, Ras. Oh ya, satu lagi. Aku mau balikin jaket ini,”
kataku dan mengangsurkan jaket yang sedari tadi aku pegang.
“Lho? Jaket Soni masih ada di kamu?” seloroh Rasti heran.
Kembali aku bengong mendengar selorohannya, “Soni?”
“Itu kan jaket yang dia pakaikan ke kamu pas kamu demam di pondok,” jelas Andri
lagi, membuatku termangu.
Ya Tuhan, cowok itu memang penuh dengan kejutan.
“Kau ingin aku yang mengembalikan itu ke dia?” tanya Andri lagi
menyadarkanku.
Aku menatapnya sejenak, “Tidak,” putusku kemudian, “Biar aku saja yang
melakukannya. Aku harus berterimakasih padanya kan? Aku akan mencarinya.”
“Dia gak ada di kelasnya TJ,” kata Andri membuatku urung melangkah.
“Maksudmu?”
“Dia belom masuk sekolh sejak pendakian kemarin. Waktu aku telepon beberapa
hari yang lalu, dia Cuma bilan kalo lagi gak enak badan,” jelas Andri
menatapku. Dan dari pandangannya itu, sepertinya Andri memiliki pemikiran yang
sama denganku. Soni sakit karenaku....
“Bisa kasih aku alamatnya, An?” pintaku kemudian.
Andri menggeleng, “Untuk beberapa hal, Soni agak tertutup TJ. Aku gak tahu
dimana alamatnya.”
“Hah? Bahkan kamu juga gak tau?” tanyaku tak percaya dan hanya mampu
menggelengkan kepala saat Andri mengangguk, “Kalau begitu................bisa
minta nomor teleponnya?”
“Ada nomor handphone-nya. Tapi berjanjilah kau tidak akan memberitahukan
nomornya pada orang lain. Soni melarangku untuk memberikannya pada orang lain.
Hanya anggota satu klub satu angkatan yang memiliki nomornya.”
Aku kembali tercengang mendengarnya, “Gila! Exclusive banget!” sergahku
keras dan agak jengkel. Bener-bener sok seleb cecunguk satu itu!
Rasti tertawa kecil, “Entah kamu nadar atau engak, Soni cukup populer
disini. Gak cuman anak kelas satu yang ngefans ma dia. Rata-rata anak kelas Dua
dan sebagian besar kelas Tiga juga banyak yang masih mengejarnya.”
“WOOAAAAAHHHH,” komentarku takjub. Tapi bisa dimaklumi juga sih, “Termasuk
kamu gak, Ras?” lanjutku dengan nada bercanda.
“Pengennya sih,” cengir Rasti sembari berkedip, “Tapi Soni udah kasih
batasan jelas kalo kami Cuma teman. Dan misal aku kasih sedikit saja sinyal
naksir ke dia, dia gak bakalan lagi mau ngomong ma aku. Mending kayak gini,
kan? Aku bisa lebih deket en ngomong bebas ma dia. Bahkan kalo aku minta
tolong, dijamin pasti dia bakal mau bantu. Daripada sama groupies yang selalu
nguber-nguber dia, dia senyum aja udah untung.”
“Bercanda kan? Gak mngkin ada manusia kayak gitu. Kalian Cuma ngerjain gue
kan?” selorohku terkekeh kecil. Tapi kedua orang didepanku itu tetap berdiri
dengan ekspresi wajah datar, “Serius?! Beneran?!!” sergahku terpana. Sumpah!!
Ada gitu anak sekolah biasa yang bukan seleb tingkahnya kayak gitu?
“Bukannya kamu sudah tahu bagaimana dingin dan masa bodohnya dia?
Jadi..............terserah percaya atau tidak. Nih nomornya,” kata Andri dengan
senyum gelinya sembari memberikan buku telepon kecilnya padaku.
Masih dengan keheranan aku menerima dan melihatnya, “Iceberg? Kamu namain
dia gunung es?”
“Biar ga ada yang tau,” seloroh Rasti yang kembali tertawa kecil, “Itu
sebutan kami untuknya. Lagipula, cocok kan ma orangnya?”
“Definately,” kataku dan menyetujui sembari menyalin nomornya ke telapak
tanganku. Aku tak membawa kertas. Hanya sebuah pulpen di sakuku, “Thanks kalo
gitu ya? Aku mau masuk dulu. Biar ntar pulang sekolah aja aku telepon,” pamitku
dan beranjak pergi dengan benak penuh.
Dan seharian itu aku tak berhenti memikirkan Soni. Masa sih dia segitu populernya?
Masa sikapnya seajaib itu? Sebenernya dia orang yang gimana sih? Kenapa
seakan-akan dia begitu melindungi dirinya? Menutupi eksistensinya dari kontak
sosial. Bahkan dari lingkungan sekolahnya. Yang namanya anak sekoahan kan
biasanya suka sok idealis, sok solider ma temen, hang out dan bercandaan
rame-rame ma geng-nya. Seperti aku dan Wina serta lainnya. Tapi Soni malah
menutup akses ke semua hal itu. Apa yang dia rahasiakan sebenarnya?
Sikapnya sendiri tak acuh dan dingin padaku. Bahkan nyaris membenci kalau
aku bisa berpendapat. Tapi anehnya, dia mau merawat dan bersusah payah
membantuku ke rumah sakit. Di tengah malam buta plus dalam cuaca yang hujan
deras. Dia membayar biaya perawatanku. Lalu.............usapan lembutnya di
dahi dan rambutku waktu itu......
Terasa begitu kontradiktif dengan semua sikap antagonisnya ketika kami
berhadapan.
Jam terakhir hari ini ternyata kosong. Entah kenapa, guru Bahasa
Indonesiaku tidak masuk. Dan karena sudah tak mampu menahan diri lagi, akupun
segera enuju telepon koin yang ada di dekat kantor guru. Satu-satunya telepon
umum yang bisa digunakan oleh murid ada disana. Dan entah sial atau untungnya,
Soni mengangkat teleponnya pada deringa ke tiga.
“Halo..?” sapa Soni pelan.
“Soni?! Ini TJ,” kataku cepat.
Diam sejenak!
“Darimana kamu tahu nomorku?” tanya Soni, dengan nada datarnya.
“Ga penting,” jawabku cepat, “Dengar, aku Cuma mau ngembaliin jaketmu. Bisa
kasih tahu alamatmu?”
“Andri yang kasih tau?”
UGH!!! Kumat deh! Tapi aku tak akan kalah kali ini. Toh kami sedang tidak
berhadapan. Aku tak akan bisa dia bungkam dengan tatapan tajamnya, “Apa perlu
membahas itu? Aku hanya ingin berterimakasih dan mengembalikan jaketmu.”
“Kamu simpan saja dulu. Ntar aku ambil.”
“Tapi aku ingin segera mengembalikannya ke kamu. Sekarang. Langsung!”
kataku dengan keras kepala. Aku memberi tekanan pada dua kata terakhir untuk
memberitahukan bahwa keputusanku final..
“Dengar, aku sedang dalam keadaan yang tidak baik, dan..”
“Dan karena itu aku katakan kalau aku yang akan pergi ke rumahmu. Jadi
tolong katakan alamatmu sekarang, atau nomor ini akan di ketahui oleh anak-anak
satu sekolah.”
“Apa?!”
“Kau sudah dengar dengan jelas tadi. Aku mengancammu Soni,” kataku nekat,
“Aku tahu kalau kamu merahasiakan no ini dari anak-anak lain di luar klub. Kalo
kamu gak kasih tahu alamatmu sekarang juga, aku akan tulis nomor ini di papan
pengumuman sekolah. Dan aku akan cari sendiri alamatmu di arsip sekolah. Entah
bagaimana caranya. Dan lakukan dengan cepat, karena koinku tinggal sedikit dan
telepon ini akan segera mati!”
Untuk beberapa saat lamanya tak ada jawaban dari Soni. Aku menunggu dengan
hati kebat kebit. Perasaanku campur aduk antara ngeri, kaget dan heran karena
tindakanku yang luar biasa nekat. Heran, tadi aku dapat ide dari mana sih?
“Son...”
“Tunggu aku di depan gerbang sekolah jam pulang nanti,” kata Soni dan
memutuskan hubungan.
HAH?!!! DIA BILANG APA TADI?!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar