Translate

Rabu, 12 April 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle BAB 16




BAB 16



Flu yang disebabkan oleh hujan waktu itu ternyata membandel. Hari ini, aku menyerah. Aku benar-benar merasa tak sanggup untuk sekolah. Bunda yang sudah tahu dari suaraku, langsung menyuruhku untuk tinggal dirumah. Walhasil, seharian ini kerjaanku hanya diam dikamar. Dan itu benar-benar membosankan. Aku sudah merasa jenuh luar biasa setelah jam 11 ke atas. Dengan tubuh yang terasa mendingan karena telah minum obat, aku puuskan untuk ke ruang tengah menontotn tv. Sial!! Padahal seminggu lagi ujian, pikirku. Nggak masuk sekolah gini ternyata boring luar biasa. Gak bisa ngumpul ama yang laen. Gak bisa jajan di kantin................

Ataupun ngecengin Soni.

Kalimat itu terlintas begitu saja dibenakku. Segera ku hembuskan nafas dan menepisnya. Seharusnya aku lebih merasa bersalah pada Bunda yang telah aku buat repot. Beliau jadi terlambat masuk kerja. Beliau juga heboh membuatkan aku bubur karena tadi aku langsung muntah begitu makan makanan keras. Aku yang kehilangan selera sebenarnya ingin menolak bubur Bunda. Mulutku terasa pahit dan kering. Tapi usaha beliau membuatku tak tega.
Aku melirik pada jam dinding diatas TV. Jam segini sekolah pasti udah bubar, pikirku. Di waktu-waktu seperti ini, aku and the gank biasanya nongkrong di pinggir kelas untuk ngecengin Soni. Hari ini aku mesti puasa melihatnya. Kok rasanya gak enak banget ya? Gerutuku jengkel. Dari tadi tiduran atau nonton TV mulu. Bosen!!

Aku bangkit dan mask ke kamar dengan langkah kesal. Kujatuhkan tubuhku di pembaringan sembari menyambar ponsel yang ada di atas meja kecil yang ada disebelah ranjang. Ponsel hadiah dari Soni. Hanya ada satu nomer dalam ponsel itu. Nomor Soni. Nomor-nomor kontakku yang lain masih ada di ponsel lamaku.
Tengah asyik memandangi nomor kontak Soni, pintu kamarku terbuka.

“Gimana Nek? Parah?” sapa Wina dengan nada riang dan masuk ke kamarku.

“Lumayan,” jawabku nyengir tanpa bangkit dari tempat tidur, “Kok gue gak denger lo masuk tadi Win? Bareng ma siapa?”

“Tadi ketemu Bunda di depan. Katanya beliau keluar sebentar mau beli apaa gitu buat elu abis bukain pintu. Gue sendirian,” jawab Wina yang kemudian duduk di sisiku.

“Yang laen?”

“Mereka ada kegiatan klub? Gue bolos,” jawab Wina menjelaskan, “Ngapain aja lo seharian tadi?’

“Paling Cuma tiduran, nonton tv, tiduran lagi. Mo ngapain coba Win? Senin besok gue udah masuk kok. Cuma flu ringan ini.”

“Syukurlah. Eh ya, tadi gue ketemu Kak Soni,” kata Wina pelan, namun langsung membuatku diam membeku, “Dia gak ngomong apa-apa. Waktu gue bilang lo gak masuk karena sakit, dia juga gak komen apa-apa.”

Aku hanya mampu tersenyum tipis, “Emang dia harus komentar apa coba? Dia gak bilang apa-apa soal baju itu kan?”

Wina menggelengkan kepalanya, “Dan gue juga gak ngomong apa-apa kok. Jadi tenang aja. Kali ini gue gak bakal ember,” serobot Wina mendahuluiku yang sudah hendak membuka mulut untuk mengingatkannya.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum tipis, “Thanks ya, Win. And please, jangan ngomong apa-apa juga soal baju itu ama Bunda. Bisa jantungan Bunda ntar kalo tau jumlah uang yang gue pinjem ke lo. Gue pasti bakal segera nyari jalan buat ngelunasin utang gue. Secepatnya. Lo sabar dulu ya, Win?”

Wina mendecak, “Udahlah. Santai aja. Itu uang tabungan gue sendiri kok. Niatnya sih buat persiapan kuliah ntar. Jadi lo masih punya banyak waktu buat ngelunasinnya. Cukup lama ini kan?” canda Wina sembari nyengir.

“Lo yakin gak mau pegang ponsel gue ini dulu buat jaminan?” tanyaku lagi dan menunjukkan ponsel hadiah dari Soni.

“Ngapain sih? Emang lo pikir gue pegadaian apa, pake jaminan segala. Lagipula..........”

Kalimat Wina terputus dengan mata yang terarah pada satu titik, membuatku secara naluriah mengikuti arah pandangnya yang menatap ke pintu kamarku yang sedikit terbuka. Rasanya tubuhku diguyur dengan seember air es dengan tiba-tiba. Soni disana! Dia berdiri diam didepan pintu tanpa suara, entah sejak kapan. Begitu kami melihatnya, dia kemudian membuka pintu dan melangkah masuk dengan perlahan.

“G-gue pu-pulang dulu TJ,” pamit Wina sedikit gugup dan cepat-cepat bangkit, “Ma-mari Kak,” pamitnya pada Soni dan buru-buru pergi.

Hening!

Entah untuk berapa lama. Aku sendiri tak tahu apa yang harus aku lakukan atau katakan. Hatiku yang mencelos sedari tadi masih belum bisa aku tenangkan. Ya Tuhan. Sudah berapa lama dia berada dibalik pintu tadi? Seberapa banyak dia mendengar pembicaraanku dengan Wina tadi? Gawat kalau dia paham apa yang kami bicarakan! Belom lagi keadaanku yang berantakan karena tidak mandi seharian dan cuma tiduran. Aduuuhhhhh..............!

“Du-duduk, Son.......” aku berhenti sejenak untuk berdehem karena suara yang keluar dari tenggorokanku terdengar aneh dan serak, “Duduk...” ulangku lagi, mempersilahkannya dan mendorong kursi meja belajarku untuk dia duduki.

Tak ada sahutan dari Soni, tapi dia duduk dikursi yang aku angsurkan padanya. Matanya masih menatapku dalam diam. ekspresinya datar dan tak terbaca seperti biasa. Kenapa sih sulit sekali sih mengerti anak ini? Keluhku dalam hati. Aku tak pernah bisa menangkap maksud ataupun suasana hatinya. Baik dari ekspresi ataupun gerak tubuhnya. Ekspresi wajahnya benar-benar sulit ditebak. Kadang yang tampak di permukaan, berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Saat aku hendak membuka mulut untuk berbicara, pintu kamarku kembali terbuka.

“Waktunya makan dan minum obaat,” kata Bunda dengan nada riang, seakan-akan aku anak kecil yang masih menggunakan popok. Beliau masuk dengan membawa semangkok bubur dan segelas air gula hangat, “Soni mau makan bareng?”

“Makasih Bun. Sebentar lagi udah pulang kok,” jawab Soni dengan sopan.

“Taruh di meja belajar aja, Bun,” kataku dengan malas, “Nanti aja makannya,” kataku lagi dan mengerling padanya.

“Ya sudah, Bunda mau pergi sebentar ya? Ada sesuatu yang harus Bunda beli di toko. Soni kalau mau makan, ambil sendiri di dapur ya Nak. Anggap rumah sendiri,” kata Bunda dan berlalu.

Saat Bunda menghilang dibalik pintu, Soni kembali berpaling padaku. Untuk beberapa saat lamanya, dia kembali diam dan menatapku. Lalu tanpa disangka, dia mengambil mangkok buburku yang dibawakan Bunda tadi.

“Eh Son, itu buatku,” sergahku cepat, “Kalau kamu mau, dibelakang masih...........” suaraku hilang saat Soni mengulurkan sesendok bubur padaku.

“Ada seseorang yang bilang padaku, kalau orang sakit tidak boleh telat makan. Untuk cepat sebuh, dia harus tetap makan dengan teratur. Meski mulutnya terasa tidak enak atau pahit. Jadi.............ayo! buka mulutnya,” katanya lancar tanpa menghiraukan kekagetanku.

“S-son, kamu gak per-perlu...”

“Dan sudah kubilang kalau suatu saat aku akan membalasmu,” katanya lagi, memotongku. Aku hanya mampu nyengir kecut, teringat aku saat ngomel dan menyuapinya dulu. Aku memang ingin dia suapi, tapi tidak dalam keadaan yang amburadul seperti ini!!!!

“Ayo....”

 Paksa Soni lagi, membuatku tak punya pilihan lain selain membuka mulut.

“Gimana sekolah?’ tanyaku kemudian, mencoba mencari topik pembicaraan yang aman untuk menutupi kecanggunganku.

“Seperti biasa. Satu minggu lagi kita akan menghadapi ujian tengah semester. Jadi, kau harus cepat sembuh dan mengejar pelajaranmu yang tertinggal.”

“Aku kan cuma absen sehari,” gerutuku. Soni hanya mengangkat bahu dan kembali menyuapiku. Aku hanya bisa menatapnya. Dalam hati, aku tak pernah berhenti bertanya. Apa yang terjadi sebenarnya? Ada apa dengan kemarin dengannya? Kenapa dan apa yang berbeda sekarang?

Kalaupun Soni menangkap tanya yang ada dalam mataku, dia tidak mengacuhkannya. Dia terlihat tak peduli. Seolah-olah, tak ada apa-apa yang terjadi diantara kami kemarin. Seolah-olah dia tak pernah kembali dingin padaku. Entah kemana kemarahan ataupun sikap dinginnya itu pergi.

“Maaf.......” kataku pelan, membuat Soni yang sedang mengaduk buburku mengangkat wajahnya. Dia menatapku tak mengerti.

“Untuk apa?” tanya dia singkat.

“Entahlah. Harusnya kau yang bisa memberitahuku. Apa kesalahan yang sudah aku lakukan,” kataku tanpa bermaksud menuntut. Aku hanya ingin mengerti. Namun Soni hanya tersenyum tipis dan diam. dia kembali menyuapiku lalu mencurahkan perhatiannya pada buburku yang kembali diaduknya pelan.begitu tenang. Tak ada riak diwajahnya, yang bisa memberitahuku, apakah dia marah, salah tingkah, gugup ataupun mengerti.

Akhirnya aku juga memilih untuk diam dan menancapkan pandanganku pada poster sponge Bob yang aku pajang diujung pembaringan. Sesekali aku membuka mulut saat Soni mengulurkan sendok untuk menyuapiku.

“Obatnya dimana?” tanay Soni beberapa saat kemudian. Aku berpaling. Saat kulihat, isi mangkuk yang ada ditangannya telah tandas.

“Laci atas meja belajar,” jawabku singkat. Dia mengambilnya dan memberikannya padaku. Akupun menerima dan meminum obat yang dia berikan tanpa berbicara, dengan gelas air gula hangat yang tadi dia sodorkan.

“Bukan salahmu. It’s  just me.”

Kalimat singkat yang dia ucapkan itu membuatku mengangkat wajah dan melihatnya.

Soni tersenyum tipis, “Tak usah dipikirkan. Aku hanya sedang..........memahami sesuatu. Masalah yang benar-benar harus aku pahami. Maaf kalau sikapku membuatmu merasa tak enak.”

Jujur aku tak mengerti maksudnya, jadi aku hanya bisa memandangnya. Tapi kemudian aku tertunduk, kalah dengan tatapannya yang intens. Lagipila, aku juga tak tahu harus berkata apa. Jadi aku kembali diam.

“Aku pulang,” katanya lagi, membuatku kembali mengangkat wajah, “Bisa kupinjam passportmu yang kemarin?” tanya dia dengan senyum yang tanpa sadar membuatku sedikit tersipu.

“Ada dilaci bawah meja. Ambil saja,” kataku yang kebali tertunduk tanpa mampu mengangkat muakaku yang memanas. Dari sudut mataku, aku lihat dia bangkit dan mengambil passportku. Lalu kembali mendekat.

“Cepat sembuh ya?” dan mengusap lembut ujung kepalaku. Dan kemudian, sebelum aku menyadari, dia menunduk dan mencium keningku, “Pamitin ama Bunda,” katanya pelan sebelum pergi.

Membutuhkan waktu satu menit penuh bagiku untuk sadar sepenuhnya atas apa yang dia lakukan tadi. Tanpa sadar aku kembali mengusap ujung kepala dan juga keningku. Nyaris masih bisa aku rasakan gerakan lembut bibirnya tadi didahiku. Bulu-bulu disekujur tubuhku meremang seketika!

Dan malam itu, aku kembali bermimpi. Mimpi tentang Soni yang memelukku dan menciumku. Tubuhnya yang polos menyatu dengan tubuhku. Hanya saja, kali ini semua terasa begitu pas. Terasa begitu menyenangkan dan sudah semestinya. Melambungkan anganku. Pagi harinya aku terbangun dengan perasaan ringan dan tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar