BAB 17
Perasaan menyenangkan yang aku rasakan itu terus bertahan hingga aku
melangkah masuk ke gerbang sekolah pagi ini. Semua terasa begitu indah.
Warna-warna alam entah bagaimana, terlihat tajam dan mengesankan. Aku tak bisa
menahan senyumku.
“WINAAAAAAAAA!!!!!” teriakku keras saat kulihat sosok cewek slebor itu
duduk tenang di mejanya, “Ada PR ga?”
Wina yang semula bengong dengna kehadiranku segera sadar dan mengedipkan
matanya, “Eh? Apa? Oh ya.....ada. nih!” katanya dan menyerahkan bukunya dengan
gerakan sedikit gugup yang membuat alisku terangkat sebelah.
“Lo kenapa sik? Kok aneh gitu?” tanyaku heran dengan kegugupannya. Belum
sempat dia menjawab, derum sepeda motor Soni yang sudah sangat kukenal,
terdengar. Aku mendekat ke jendela untuk melihatnya. Ku lihat dia memarkir
motornya dengan tenang untuk kemudian melangkah menuju kelasnya. Dia yang
kemudian mengangkat wajahnya, melihatku dan berhenti.
“Pagi!” sapaku dengan senyum lebar.
“Baikan?” tanyanya dan membalasku dengan senyumnya yang jarang sekali
terlihat. Aku menjawabnya dengan anggukan, terlalu senang menikmati
ekspresinya. Soni kembali tersenyum kemudian melangkah pergi.
“Kalian udah baikan?’ tanya Wina saat aku kembali ke bangkuku. Aku hanya
mengangguk dengan senyum lebar padanya. Aku tak berniat memberitahu Wina
tentang kejadian kemarin. Selain malas dengan kehebohan yang akan terjadi, aku
juga tak ingin Wina tahu tentang perasaanku pada Soni. Biarlah itu menjadi
rahasiaku sendiri. Aku tak ingin seorangpun tahu. Tidak Wina, sahabat-sahabatku
yang lain, atau bahkan Soni.
Akan lebih baik kalau
semua aku simpan sendiri, pikirku muram. Semua orang berhak memiliki rahasia
kecil sendiri kan? Sambungku dalam hati dan mengambil koran lokal yang tadi aku beli.
“Tumben lo beli koran? Mau jadi pengusaha?” seloroh Wina.
“Gue nyari lowongan kerja part time, Nek. Kali-kali aja ada yang oke. Biar
cepet gue bayar utangnya ke lo,” sahutku tanpa mengangkat wajahku dari koran.
PR Wina yang tadi hendak aku salin batal, karena jam pelajarannya ternyata
sehabis istirahat nanti.
“Sebaiknya gak usah,” ujar Wina pelan setelah beberapa saat. Nada suaranya
membuatku berpaling padanya. Saat pandangan kami bertemu, ada pemahaman yang
kemudian muncul tanpa harus kami lafalkan.
“Dia mendengar semuanya?” tanyaku dengan suara lebih pelan dari Wina tadi.
“Sepertinya sih gitu,” ujar Wina dan mengangkat bahunya, “Dia ke rumah
siang itu. Sepertinya abis dari rumah lo langsung.”
“Dia bayar semua kan?” tanyaku dengan bibir yang terasa kering. Wina
mengangguk untuk menjawabku.
“Dia juga minta buat gue ngerahasiain ke lo. Minta gue buat ngomong ke lo
buat gak usah bayar hutang lo ke gue. Tapi mana bisa sih gue ke lo diem?”
sergah Wina lagi.
Aku tersenyum tipis mendengarnya, “Thanks, Win.”
Aku memutuskan untuk menemui Soni sepulang sekolah. Aku harus bicara
dengannya. Menjelaskan semuanya. Tapi aku terlambat. Karena saat aku keluar
dari kelas, kulihat sepeda Soni telah hilang. Sepertinya dia sudah buru-buru.
Yang kemudian membuatku heran, kejadian itu terus berlanjut hingga
menjelang ujian. Nyaris aku tak melihatnya sepanjang minggu. Dia datang ke
sekolah saat bel sekolah hampir berbunyi, dan hilang saat aku baru saja keluar
dari kelas. Aku selalu telat. Satu-satunya kesempatan dimana aku bisa
melihatnya adalah saat aku keluar kelas ketika pelajaran berlangsung. Misal
saja saat aku harus ke toilet atau ke kantin. Itupun hanya sekilas. Sementara
pada saat istirahat, entah bagaimana, dia selalu menghilang.
Menurut Wina, Soni pasti sibuk dengan persiapan ujiannya. Dia sudah kelas
3. Jadi ujian pada saat-saat ini sangat penting baginya. Itu satu-satunya
penjelasan masuk akal bagiku.
Masalahnya adalah aku selalu merasa kalau hariku belum lengkap tanpa melihatnya.
Jadi aku sering sekali mencari alasan untuk bisa keluar ketika pelajaran
berlangsung, hanya untuk melihatnya sekilas. Memang konyol, tapi aku tak bisa
menahan diri.
Apalagi kini Emmy, Enny dan Rika akhir-akhir ini deket dengan teman cowok
satu klub mereka. Pulang sekolah dijemput, berangkatpun diantar. Udah gitu,
Wina juga sibuk dengan klubnya. Sementara klup PA yang aku ikuti sedang kosong.
Aku jadi merasa agak kesepian.
Hari ini ujian terakhir. Satu minggu ke depan kami libur. Satu minggu
penuh. Serunya lagi, liburan kali ini bertepatan dengan akhir tahun. Sekolah
masuk pada tanggal 4 Januari. Jadi pada pergantian tahun nanti, kami bisa
menikmati sepuasnya.
“NEEEEEEEEEKKKKK!!!! Kita liburaaaann!!!” teriak Enny dan Emmy yang muncul
didepan ruang ujianku. Mereka ada di kelas sebelah. Sementara aku, Wina dan
Rika ada dikelas yang sama.
Aku, Wina dan Rika segera saja menghambur ke arah mereka sembari larut
dalam kehebohan.
“Eh taon baru ntar kita keluar bareng yuk?” usul Enny saat kami melangkah
pulang.
“Emang lo gak taon baruan ama........siapa tuh? Dono?” tanyaku asal. Enny
langsung menepuk bahuku kesal.
“Doni, kampret!! Sirik lo! Lagian dia kan gak jelek-jelek amat,” semburnya
keki, “Dia emang ngajak keluar. Tapi gak mungkin dong gue seneng-seneng ama
dia, sementara lo ama Wina manyun bego di rumah.”
“Gue ama TJ?” gumam Wina heran. Kami saling berpandangan sejenak, “Emangnya.......”
“Rico juga ngajak gue keluar,” tukas Rika.
“Andre juga,” sambung Emmy.
“ANJIIIIIRRR!!! Jadi yang jomblo Cuma gue ama Wina doang?” sergahku keras.
“Makanya cepet nyari pacar mbaaaakk!!” seloroh Enny, membuatku dan Wina
misuh-misuh. Enak aja dia ngomong.
“Andre bilang dia mo bawa mobil en ngajak taon baruan di Ancol,” kata Emmy.
“Doni juga. Jadi kita semua bisa pergi bareng,” sambung Enny, “Jadi buat
sementara, kalian berdua pacaran aja dulu,” sarannya asal padaku dan Wina.
“Yeeeeeeeee...... Emang gue lesbong!” sergah Wina keras membuatku sontan
ngamuk. Yang lain hanya ngakak seru dengan kelakuan kami.
“Sutralah Nek. Pokoknya taon baru ntar, kita ngerayain bareng. Kita beneran
gak mungkin seneng-seneng tanpa lo berdua,” kata Enny. Rika dan Emmy sudha
hendak menimpali, namun urung saat sebuah sepeda motor melesat dari arah
belakang kami dan berhenti persis di depanku.
Semua terdiam karena tahu itu Soni. Dengan tenang dia membuak helmnya.
“Naik,” katanya singkat dengan mata yang tertuju padaku.
Untuk sejenak aku hanya saling berpandangan dengan yang lain. Lalu dengan
pelan dan sedikit ragu, serta wajah pasrah, aku naik ke boncengannya.
“Eh Kak, bentar!” cegah Enny saat Soni sudah hendak melajukan motornya.. ia
urung dan membuka visor helmnya dan memandangnya heran, “Sorry, Kak. Jadi gini, kita semua punya rencana buat ngerayain taon
baru ntar bareng di Ancol. Kakak mau gabung?”
“Maaf. Tapi aku dan TJ sudah punya acara lain. Lain kali aja, ok?” jawabnya
singkat.
“HUH?!!”
Enny dan yang lain, bahkan aku sendiri, melongo. Tanpa menunggu reaksi kami
selanjutnya, Soni melaju dengan
kecepatan tinggi. Aku sendiri memilih diam meski luar biasa heran dengannya.
Baru saat aku turun didepan rumah aku menatapnya dengan keheranan yang tak aku
sembunyikan.
”Aku haus,” katanya singkat tanpa memperdulikanku dan melangkah untuk
kemudian berhenti di sebelah pintu.
Menungguku untuk membukanya.
“Emang kita punya acara apa?” tanyaku tak tahan lagi sembari membuka pintu
rumah.
“Ntar juga tahu,” jawabnya tak acuh dan masuk. Dia langsung saja merebahkan
diri diruang tengah.
Aku hanya mampu menghela napas dengan ketidak peduliannya. Aku mungkin akan
selalu dibuat heran dengan tingkah ajaib cowok satu ini. Sikapnya yang tak
terduga sering membuatku mengernyitkan dahi dalam. Aku tahu, ada saat-saat
dimana aku harsu diam menghadapina. Dan sepertinya, sekarang adalah salah satu
dari saat-saat itu.
“Ayo diminum,” kataku saat aku telah kembali dengan segelas orange juice
dingin. Dia masih berbaring diam, tapi kemudian bangkit dab mengahbiskan isi
gelas yang aku berikan dalam sekali minum.
“Lagi?” tanyaku melihatnya menandaskannya dengan cepat.
Soni menggelengkan kepalanya, “Kamu ganti baju cepat. Kita harus segera
pergi,” katanya.
“Emang kita mau kemana?” tanyaku heran.
“Ntar juga tau. Cepetan!!: serunya dan mendorongku untuk masuk ke kamarku.
Aku hanya mampu menurut dengan keheranan yang terus bertambah oleh tingkahnya,
“Kamu telpon Bunda juga gih. Bilang kalo liburan ini kamu nemenin aku,” katanya
saat aku sudah keluar dengan uniform favoritku, celana jeans dan t-shirt. Dia
mengulurkan ponselnya padaku.
“Pake punyaku aja,” kataku pelan dan menelepon Bunda. Bunda langsung
menjawabku pada deringan kedua, “Bunda, hari ini TJ diajak Soni buat nemenin
dia liburan kali ini.
“Nemenin Soni? Ke perkebunan lagi? Berapa lama?” tanya Bunda dari seberang.
“Berapa lama, Son?” tanyaku pada Soni yang duduk santai disebelahku.
“Satu minggu,” jawab Soni enteng, membuatku langsung mendelik sewot.
“Agak lama, Bun. Mungkin sehari dua hari,” kataku. Namun aku yang kemudian
melihat mata Soni yang merajuk pada akhornya tak tahan juga. Aku menghela
napas. Harusnya aku tahu kalau aku tak akan bisa menang darinya,
“...........mungkin lebih, Bun,” putusku pelan.
Soni nyengir senang dan langsung bangkit menyambar ponselku sebelum aku
sempat mencegahnya.
“Bunda, ini Soni. Liburan Bunda. Mungkin bisa satu minggu. Jangan khawatir.
Bunda minta oleh-oleh apa?”
Aku cuma bisa pasrah melihatnya ngobrol santai dengan Bunda di telepon.
Beberapa saat kemudian dia menutupnya dengan senyum riang.
“Beres! Ambil helm! Kita berangkat!” katanya dan mendahuluiku ngeloyor
pergi setelah mengembalikan ponselku. Tak lama kemudian kami sudah melaju di
jalanan yang aku tahu menuju rumahnya. dan begitu tiba disana, dia langsung
menyeretku untuk mengikutinya ke kamar setelah terlebih dahulu meminta Bi Atun
untuk membuatkan minuman untukku. Aku yang sebenernya ingin ngobrol dengan Bi
Atun sudah hendak protes,tapi dia menangkisku dengan mengatakan kalo aku
bakalan lama ngobrolnya dengan Bi Atun. Tangkisan yang memang tak bisa lagi aku
sangkal.
“Kamu nonton TV aja disini,” ujar Soni saat kami memasuki kamarnya. Dia
segera meraih remote TV super gedenya, dan mempersilahkanku untuk duduk, “Aku
mau mandi dulu sebentar. Atau............kamu mau mandi juga?” tawarnya.
Jelas saja aku jadi gelagapan. Apalagi dia menwarkan hal tadi dengan santai
saja, “Gi-gila!!! Ngapain aku mandi ma kamu coba?!!” sergahku dengan wajah yang
mulai terasa panas tanpa bisa aku tahan.
“Maksudku, kalau kamu mau mandi juga, kamu bisa mandi di kamar sebelah. Aku
kan gak bilang kalau aku memintamu mandi bareng,” jawabnya dengan senyum
simpul.
Mulutku terkatup rapat dan mengumpat dalam hati atas kebodohanku tadi.
ANYEEEEEEEEEENNGGGGGGG!!!!
“Jadi...............kamu mau mandi?’ tawar Soni lagi pelan.
Kali ini aku memutuskan untuk menjawabnya dengan gelengan dan menancapkan
mataku pada layar TV. Aku tak ingin mempermalukan diriku lebih dari tadi.
“Ya udah. Tunggu bentar ok?” pamitnya dan tersenyum.
Aku hanya melihatnya pergi dan kemudian menghela napas.
Aaaaahhhhhhhhhh .......... Soni! Begitu banyak hal darinya yang tak aku
pahami. Dan begitu besar keinginanku untuk memahaminya. Betapapun buruknya efek
hal itu padaku.
Bukan sekali atau dua kali aku berpikir bahwa keputusanku untuk tetap
berteman dengannya adalah sebuah kesalahan besar yang pada akhirnya akan
membuatku menyesalinya. Dan berulang kali pula aku merasa bahwa alasanku untuk
berteman dengannya hanyalah sebuah dalih menyedihkan. Alasan yang aku buat
hanya agar aku bisa bersamanya. Disisinya. Aku tak akan bisa berbohong dan menipu
hatiku. Jauh disana, aku tahu kalau aku jatuh hati padanya. Hal yang pada
awalnya tak pernah aku duga. Hal yang dari awal seharusnya sudah aku sadari.
Karena sejak pertama permuan kami, dia sudah menyita perhatian dan waktuku. Hal
yang terus menerus aku ingkari dengan berbagai macam alasan konyol dan di buat
buat olehku sendiri.
Aku tak bisa mengendalikan hati dan perasaanku. Aku tahu bahwa selama ini
aku selalu meyakinkan diri bahwa aku bukan orang ini. Bahwa aku bukan orang
yang bisa tertarik pada sesama jenis. Aku hanya........berbeda. namun toh aku
benar-benar tak bisa menahannya. Satu hari tanpa melihat Soni, adalah hari yang
terasa begitu hambar dan kurang lengkap. Bayangannya mengikutiku dengan
konstan. Apapun yang aku lakukan, dimanapun aku, bayangan Soni selalu
mengikuti.
Konyol!!
Aku sadar iru. Tapi memeng seperti itulah adanya. Bahkan lagu-lagu cinta
yang dulu bagiku terasa begitu menyedihkan dan juga menggelikan pada waktu yang
sama, kini mulaiterasa pas bagiku. Apa yang sebaiknya aku lakukan untuk keluar
dari semua ini? Apa yang bisa aku lakukan untuk bisa lepas dari Soni?
Untuk beberapa saat lamanya aku duduk terpaku disana. Membeku. Tak mampu menjawab pertanyaan sederhana yang
tadi tiba-tiba muncul. Hampir-hampir tak kusadari Bi Atun yang kemudian muncul
dengan membawa segelas orange juice untukku.
“Ayo kita berangkat! Surya sudah siap dibawah untuk nganter kita. Kamu abisin dulu deh minumannya. Dan kamu bisa pakai jaket ini!” cerocos Soni yang muncul dari arah walk in closetnya. Dan kembali, aku terpaku dengan penampilannya.
Dia mengenakan kaus turtle neck dari bahan kashmir berwarna hitam polos
dengan jaket kulit warna senada dengan jahitan rapi. Kaos dan jaket itu membuat
kulitnya tampak lebih bersinar. Ditambah lagi dia baru selesai mandi. Aku bisa
melihat kaos turtlenecknya membungkus tubuhnya dengan sempurna. Aku bahkan bisa
melihat lekuk pada garis dada bidangnya yang dulu pernah kulihat sekilas
dirumahku. Celana yang berbentuk pipa yang dia gunakan juga berwarna hitam.
bahkan sepatunya hitam. secara keseluruhan, warna hitam yang melekat ditubuhnya
justru mempertegas sosoknya. Membuatnya tampak semakin tinggi, tegap dan
bersinar. Rambutnya yang hitam tampak berkilat, tersisir rapi dan terlihat
basah. Aku bhakan bisa mencium aroma segar yang menguar dari tubuhnya.
Katakan! Bagaimana aku bisa melepaskan diri darinya?!!!
“TJ?!!”
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk menyadarkan diri dari
pesonanya. Aku berdehem untuk mengumpulkan suara, “Kita.......akan pergi ke
pekamakaman siapa?” tanyaku mencoba melucu.
Soni memutar bola matanya, “Funny! But no! Ayo cepat!” katanya lagi,
membuatku langsung bangkit dan menerima jaket yang berwarna hitam itu darinya.
“Sebenarnya kita mau kemana sih Son?” tanyaku, entah untuk keberapa
kalinya. Aku melirik pada travelling bag berukuran sedang yang dia bawa.
Padahal aku Cuma menenteng ranselku.
“Ntar juga tau,” jawabnya singkat saat kami sudah berada dibawah dan
menyerahkan tarvelling bag-nya pada Pak Surya yang menunggu kami, “Biar Pak
Surya yang bawa ranselmu,” katanya lagi dan tan menunggu persetujuanku, ia
menyambar dan menyerahkannya pada Pak Surya. Dia lalu menyeretku masuk ke
mobil.
Sepanjang perjalanan aku tak bisa mengatakan apapun karena aku benar-benar
bingung luar biasa.
Dan kebingunganku makin bertambah saat akhirnya kami memasuki area
bandara. Soni yang jelas-jelas tahu akan
kebingunganku, tak mengatakan apapun. Dia malah bersiul santai. Membiarkanku
yang terus melayangkan pandanganku ke sekeliling dengan sedikit panik. Aku
belum pernah ke Bandara, jadi meski sedikit panik, aku terus melihat ke
sekeliling kami. Kami terus melaju melewati lapangan parkir, kemudian masuk
melewati gerbang yang dijaga oleh
beberapa orang.
Lha tempat heck in sama boarding pass-nya mana? Pikirku saat kami memasuki
lapangan udara yang luas. Aku bahkan bisa melihat beberapa pesawat yang parkir
di kejauhan.
“Ayo turun,” ajak Soni kalem saat mobil berhenti didekat sebuah pesawat
yang ukurannya lebih kecil dari pesawat-pesawat lain yang aku lihat.
Aku mengikutinya dengan ragu.suhu tubuhku tiba-tiba saja menjadi kacau
balau. Panas dingin tak jelas. Untuk sesaat lamanya aku hanya terpaku diam
sembari memandang pesawat di depanku. Jangan pingsan! Jangan pingsan! Jangan
pingsan!!
Aku terus menggumamkan kalimat tadi dalam hati, nyaris tak menyadari tangan
Soni yang menyeretku untuk langsung naik ke pesawat.
Baru dalam pesawat aku mulai mengumpulkan kesadaranku yang seakan-akan
tercecer. Aku mengedarkan pandanganku. Tak ada orang lain dalam pesawat ini.
Hanya ada beberapa kursi dalam ruangan ini. Ruang duduk yang leluasa, nyaman
dan pelayanan pramugari-pramugari cantik dan ramah luar biasa. Dan kesemuanya
kulit putih. Bule! Tak ada satupun dari mereka yang berasal dari Asia.
“S-Son............ki-kita mau kemana?’ tanyaku, yang sudah kembali gugup,
dengan nada pelan ketika pramugari yang membantuku tadi menghilang.
“Paris!” jawab Soni kalem.
Hening!
Aku pasti salah dengar, pikirku. Aku menatap Soni, sementara dia
memandangku dengan tersenyum lebar. Matanya bersinar, begitu antusias
menantikan reaksiku.
“A-ap......”
“Surprise!!!!”
“KAMU SINTING?!!!!!” bentakku keras begitu sadar kalau dia tidak sedang
bercanda. Dia serius! Dan aku baru menyadari alasan kenapa kemarin dia
mengambil passportku. Dia akan benar-benar membawaku ke Paris. Dan dia sudah
menyewa jet pribadi ini!!! Dasar manusia sarap!!
“TJ..”
“Maaf. Aku harus pulang!” kataku cepat dan bangkit!
“Hei!!!” Soni mendahuluiku bangkit dari kursinya dan mendekatiku. Dia
menahanku sehingga aku terpaksa duduk kembali di kursiku, “Aku kira kau ingin
sekali pergi ke Paris?” tanyanya dengan kening sedikit berkerut.
“Tentu saja masih. Tapi sekarang? Tanpa persiapan? Uang?! Aku bahkan tak
membawa jaket. Dan ini bulan Desember!!! Kamu pikir pergi ke Paris sama dengan
jalan-jalan ke Ancol?” omelku dongkol.
“Hei.....! Aku yang akan mengurus semuanya. Jangan khawatir, ok? Kamu
tenang saja!”
“Son..”
“Aku janji kamu nggak akan menyesal. Duduklah!”
“Tapi........” argumenu terputus karena ada pengumuman dari pilot untuk
mengenakan sabuk pengaman. Pesawat akan berangkat, “NO!!”
“Telat!!” ujar Soni dan segera memakaikan sabuk pengamanku, lalu buru-buru
kembali ke kursinya. Dan aku masih berontak untuk melepaskan sabukku ketika
pesawat mulai bergerak. Panikku mulai muncul kembali. Tapi sia-sia. Tanpa Soni
mengatakannya pun aku sudah tahu kalau aku terlambat.
Aku menatap Soni. Ya Tuhan! Dia serius! Dia akan membawaku ke Paris dengan
pesawat ini! Matanya menunjukkan itu. Matanya yang kini memintaku untuk
mempercayainya. Mencoba menenangkanku.
Aaaaaaaaahhhhh..................!!!
Sekali lagi aku kalah. Aku tak akan pernah menang kalau harus beradu
pandang dengannya. Aku menghembuskan nafas kesal.
“Baiklah! Kita akan menggelandang di Paris!!” gerutuku padanya kesal,
diantara deru suara mesin pesawat yang nyaring.
Soni tertawa, “Tidak akan!” jawabnya dengan cengiran.
Selama beberapa waktu berikutnya, bahkan ketika pesawat sudah terbang
dengan tenang, aku hanya mampu diam dengan berbagai macam hal berkecamuk dalam
benakku.
Paris!! Hanya Tuhan yang tahu betapa ingin aku pergi kesana. Menginjakkan
kakiku di tanah yang tersohor dengan kota cinta itu. Dan sekarang, hari ini,
dalam pesawat mewah ini, aku sedang menuju kesana. Ke Paris! Dan bersama Soni!
Cowok yang selama beberapa bulan belakangan ini membuat perasaanku jungkir
balik tak karuan. Semua terasa tak nyata. Seperti khayalan! Aku tak tahu harus
merasakan apa saat ini. Senang? Kaget? Khawatir?
Entahlah!
Aku benar-benar tak tahu bagaimana menjabarkan perasaanku sekarang.
Paris!!
Kota yang terkenal dengan keromantisannya. Gedung-gedung dari zaman berbeda
yang berkumpul jadi satu. Kota yang merupakan perpaduan antara gedung-gedung
kuno dan modern. Kota yang mahsyur akan keromantisannya. Juga keromantisan
orang-orangnya. Serta bahasanya. Aku selalu menyukai bahasa Perancis. Menurutju
bahasanya indah dan juga sulit. Aku tak pernah memiliki kesulitan dalam
mempelajari bahasa Inggris, tapi bahasa Perancis masih menjadi tantangan
bagiku. Pokokny aku harus angkat tangan. Pelafalan huruf R dalam bahasa itu
membuat lidahku keriting. Belum lagi kosa kata yang terkadang dibaca berbeda
dengan tulisannya. Aku masih belum bisa paham bagaimana kata ‘moi’ yang artinya
aku dalam bahasa Perancis, harus dibaca ‘moa’. Darimana pelafalan huruf ‘a’ itu
berasal coba?
“Hei..! kamu nggak apa-apa?”
Teguran Soni yang diikuti oleh tangannya yang mengacak rambutku itu
menyentakkanku dari lamunan. Aku hanya
mampu memandangnya sekilas, “Yeah....” sahutku singkat untuk kemudian
menancapkan pandanganku pada layar kecil didepanku.
“Dari kita take off tadi kamu tak
mengatakan apapun. Gugup? Ini penerbangan pertamamu?”
Aku tak perlu memikirka dalih untuk tingkahku sedari tadi. Dia sudah
memberikan alasan yang bagus. Jadi aku menganggukkan kepalaku, “Sedikit,”
jawabku pelan.
Diam sejenak. Lalu ku dengar dia menghela napas panjang, “Ya sudahlah.
Nanti kita bisa langsung balik arah begitu kita transit,” putusnya.
“Apa? Balik? Kemana?” tanyaku sedikit kaget dan kontan berpaling
melihatnya.
“Ke Indonesia. Berhubung kamu nggak suka, nanti kita bisa langsung balik
lagi ke Indonesia begitu pesawat sudha mendarat dan isi bahan bakar.”
“JANGAN!!!” sergahku langsung. Alis kiri Soni terangkat dan pandangannya
beralih pada tanganku yang sedikit mencengkeram lengan kanannya. Aku
cepat-cepat melepas peganganku dengan sedikit tersipu.
“Jadi terus lanjut ke Paris nih?” tanya Soni lagi yang aku jawab dengan
anggukan, “Terus kenapa dari tadi cemberut?”
“Siapa yang cemberut? Cuma sedikit gugup kok. Ini kan pertama kalinya aku
naik pesawat. Lagipula wajar kan kalo aku
kaget tiba-tiba diculik buat maen ke
Eropah. Udah kayak jalan-jalan ke Ancol aja ngajaknya,” gerundengku pelan tanpa
berani melihatnya.
“Beneran seneng? Gak ngambek?”
“Iya!! Bawel amat!” sahutku sedikit dongkol.
“Kalo gitu senyum dong! Tuh mulut dari tadi manyun mulu” pinta Soni dan
menowel bahuku.
“Dih! Apaan coba?!”
“Oh come on! Give me a smile!”
goda Soni dan memainkan alisnya.
“OGAH!!!” sahutku keras kepala.
“Come on! Say Pariiiss!!!!” goda
Soni. Kali ini malah diikuti dengan gelitikan di pinggangku, membuatku sedikit
terpekik dan belingsatan. Dan tanpa dapat kutahan, tawaku terdengar dengan
memalukan. Untunglah hanya ada kami berdua disini. Jadi rasa maluku tidak perlu
bertambah karena jadi perhatian penumpang lain.
“Okay! Stop!!” sahutku kalah.
Heran! Sejak kapan sih dia jadi ngocol gini? Aku lalu menarik bibirku dan
mencoba memberikan seulas senyum padanya, “Puas?”
“Eeeuuuhh...........itu senyum atau kamu lagi sakit gigi?”
Dengan kesal aku menabok tangannya. Soni tertawa kecil dan menghindarinya,
“Gitu dong. Pokoknya kita akan bersenang-senang di Paris. Aku janji kamu gak
akan menyesal. Aku akan urus semuanya, ok?” kata Soni dan meraih kepalaku. Dan
sebelum aku menyadari apa yang hendak dia lakukan, dia menarikku dan mencium
kepalaku sekilas.
WHOOAAAAHH!!!!!
Apa itu tadi?!!!
Dadaku sontan berdebar tak karuan!!
Tenang TJ! Dia tak bermaksud apa-apa. Dia hanya seorang teman!
Aku berkemik dalam hati. Mencoba mengendalikan diri dan menunduk. Pura-pura
membetulkan tali sepatuku untuk menyembunyikan wajahku yang mungkin sudah merah
padam. Sementara Soni bangkit setelah mengacak-acak sedikit rambutku, kembali
ke tempat duduknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar