Translate

Selasa, 02 Mei 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle Bab 17


BAB 17





Perasaan menyenangkan yang aku rasakan itu terus bertahan hingga aku melangkah masuk ke gerbang sekolah pagi ini. Semua terasa begitu indah. Warna-warna alam entah bagaimana, terlihat tajam dan mengesankan. Aku tak bisa menahan senyumku.

“WINAAAAAAAAA!!!!!” teriakku keras saat kulihat sosok cewek slebor itu duduk tenang di mejanya, “Ada PR ga?”
Wina yang semula bengong dengna kehadiranku segera sadar dan mengedipkan matanya, “Eh? Apa? Oh ya.....ada. nih!” katanya dan menyerahkan bukunya dengan gerakan sedikit gugup yang membuat alisku terangkat sebelah.

“Lo kenapa sik? Kok aneh gitu?” tanyaku heran dengan kegugupannya. Belum sempat dia menjawab, derum sepeda motor Soni yang sudah sangat kukenal, terdengar. Aku mendekat ke jendela untuk melihatnya. Ku lihat dia memarkir motornya dengan tenang untuk kemudian melangkah menuju kelasnya. Dia yang kemudian mengangkat wajahnya, melihatku dan berhenti.

“Pagi!” sapaku dengan senyum lebar.

“Baikan?” tanyanya dan membalasku dengan senyumnya yang jarang sekali terlihat. Aku menjawabnya dengan anggukan, terlalu senang menikmati ekspresinya. Soni kembali tersenyum kemudian melangkah pergi.

“Kalian udah baikan?’ tanya Wina saat aku kembali ke bangkuku. Aku hanya mengangguk dengan senyum lebar padanya. Aku tak berniat memberitahu Wina tentang kejadian kemarin. Selain malas dengan kehebohan yang akan terjadi, aku juga tak ingin Wina tahu tentang perasaanku pada Soni. Biarlah itu menjadi rahasiaku sendiri. Aku tak ingin seorangpun tahu. Tidak Wina, sahabat-sahabatku yang lain, atau bahkan Soni.

Akan lebih baik kalau semua aku simpan sendiri, pikirku muram. Semua orang berhak memiliki rahasia kecil sendiri kan? Sambungku dalam hati dan mengambil  koran lokal yang tadi aku beli.

“Tumben lo beli koran? Mau jadi pengusaha?” seloroh Wina.

“Gue nyari lowongan kerja part time, Nek. Kali-kali aja ada yang oke. Biar cepet gue bayar utangnya ke lo,” sahutku tanpa mengangkat wajahku dari koran. PR Wina yang tadi hendak aku salin batal, karena jam pelajarannya ternyata sehabis istirahat nanti.

“Sebaiknya gak usah,” ujar Wina pelan setelah beberapa saat. Nada suaranya membuatku berpaling padanya. Saat pandangan kami bertemu, ada pemahaman yang kemudian muncul tanpa harus kami lafalkan.

“Dia mendengar semuanya?” tanyaku dengan suara lebih pelan dari Wina tadi.

“Sepertinya sih gitu,” ujar Wina dan mengangkat bahunya, “Dia ke rumah siang itu. Sepertinya abis dari rumah lo langsung.”

“Dia bayar semua kan?” tanyaku dengan bibir yang terasa kering. Wina mengangguk untuk menjawabku.

“Dia juga minta buat gue ngerahasiain ke lo. Minta gue buat ngomong ke lo buat gak usah bayar hutang lo ke gue. Tapi mana bisa sih gue ke lo diem?” sergah Wina lagi.

Aku tersenyum tipis mendengarnya, “Thanks, Win.”

Aku memutuskan untuk menemui Soni sepulang sekolah. Aku harus bicara dengannya. Menjelaskan semuanya. Tapi aku terlambat. Karena saat aku keluar dari kelas, kulihat sepeda Soni telah hilang. Sepertinya dia sudah buru-buru.

Yang kemudian membuatku heran, kejadian itu terus berlanjut hingga menjelang ujian. Nyaris aku tak melihatnya sepanjang minggu. Dia datang ke sekolah saat bel sekolah hampir berbunyi, dan hilang saat aku baru saja keluar dari kelas. Aku selalu telat. Satu-satunya kesempatan dimana aku bisa melihatnya adalah saat aku keluar kelas ketika pelajaran berlangsung. Misal saja saat aku harus ke toilet atau ke kantin. Itupun hanya sekilas. Sementara pada saat istirahat, entah bagaimana, dia selalu menghilang.

Menurut Wina, Soni pasti sibuk dengan persiapan ujiannya. Dia sudah kelas 3. Jadi ujian pada saat-saat ini sangat penting baginya. Itu satu-satunya penjelasan masuk akal bagiku.

Masalahnya adalah aku selalu merasa kalau hariku belum lengkap tanpa melihatnya. Jadi aku sering sekali mencari alasan untuk bisa keluar ketika pelajaran berlangsung, hanya untuk melihatnya sekilas. Memang konyol, tapi aku tak bisa menahan diri.

Apalagi kini Emmy, Enny dan Rika akhir-akhir ini deket dengan teman cowok satu klub mereka. Pulang sekolah dijemput, berangkatpun diantar. Udah gitu, Wina juga sibuk dengan klubnya. Sementara klup PA yang aku ikuti sedang kosong.

Aku jadi merasa agak kesepian.



Hari ini ujian terakhir. Satu minggu ke depan kami libur. Satu minggu penuh. Serunya lagi, liburan kali ini bertepatan dengan akhir tahun. Sekolah masuk pada tanggal 4 Januari. Jadi pada pergantian tahun nanti, kami bisa menikmati sepuasnya.

“NEEEEEEEEEKKKKK!!!! Kita liburaaaann!!!” teriak Enny dan Emmy yang muncul didepan ruang ujianku. Mereka ada di kelas sebelah. Sementara aku, Wina dan Rika ada dikelas yang sama.

Aku, Wina dan Rika segera saja menghambur ke arah mereka sembari larut dalam kehebohan.

“Eh taon baru ntar kita keluar bareng yuk?” usul Enny saat kami melangkah pulang.

“Emang lo gak taon baruan ama........siapa tuh? Dono?” tanyaku asal. Enny langsung menepuk bahuku kesal.

“Doni, kampret!! Sirik lo! Lagian dia kan gak jelek-jelek amat,” semburnya keki, “Dia emang ngajak keluar. Tapi gak mungkin dong gue seneng-seneng ama dia, sementara lo ama Wina manyun bego di rumah.”

“Gue ama TJ?” gumam Wina heran. Kami saling berpandangan sejenak,  “Emangnya.......”

“Rico juga ngajak gue keluar,” tukas Rika.

“Andre juga,” sambung Emmy.

“ANJIIIIIRRR!!! Jadi yang jomblo Cuma gue ama Wina doang?” sergahku keras.

“Makanya cepet nyari pacar mbaaaakk!!” seloroh Enny, membuatku dan Wina misuh-misuh. Enak aja dia ngomong.

“Andre bilang dia mo bawa mobil en ngajak taon baruan di Ancol,” kata Emmy.

“Doni juga. Jadi kita semua bisa pergi bareng,” sambung Enny, “Jadi buat sementara, kalian berdua pacaran aja dulu,” sarannya asal padaku dan Wina.

“Yeeeeeeeee...... Emang gue lesbong!” sergah Wina keras membuatku sontan ngamuk. Yang lain hanya ngakak seru dengan kelakuan kami.

“Sutralah Nek. Pokoknya taon baru ntar, kita ngerayain bareng. Kita beneran gak mungkin seneng-seneng tanpa lo berdua,” kata Enny. Rika dan Emmy sudha hendak menimpali, namun urung saat sebuah sepeda motor melesat dari arah belakang kami dan berhenti persis di depanku.

Semua terdiam karena tahu itu Soni. Dengan tenang dia membuak helmnya.

“Naik,” katanya singkat dengan mata yang tertuju padaku.

Untuk sejenak aku hanya saling berpandangan dengan yang lain. Lalu dengan pelan dan sedikit ragu, serta wajah pasrah, aku naik ke boncengannya.

“Eh Kak, bentar!” cegah Enny saat Soni sudah hendak melajukan motornya.. ia urung dan membuka visor helmnya dan memandangnya heran, “Sorry, Kak. Jadi gini, kita semua punya rencana buat ngerayain taon baru ntar bareng di Ancol. Kakak mau gabung?”

“Maaf. Tapi aku dan TJ sudah punya acara lain. Lain kali aja, ok?” jawabnya singkat.

“HUH?!!”

Enny dan yang lain, bahkan aku sendiri, melongo. Tanpa menunggu reaksi kami selanjutnya,  Soni melaju dengan kecepatan tinggi. Aku sendiri memilih diam meski luar biasa heran dengannya. Baru saat aku turun didepan rumah aku menatapnya dengan keheranan yang tak aku sembunyikan.

”Aku haus,” katanya singkat tanpa memperdulikanku dan melangkah untuk kemudian berhenti di sebelah pintu. 
Menungguku untuk membukanya.

“Emang kita punya acara apa?” tanyaku tak tahan lagi sembari membuka pintu rumah.

“Ntar juga tahu,” jawabnya tak acuh dan masuk. Dia langsung saja merebahkan diri diruang tengah.

Aku hanya mampu menghela napas dengan ketidak peduliannya. Aku mungkin akan selalu dibuat heran dengan tingkah ajaib cowok satu ini. Sikapnya yang tak terduga sering membuatku mengernyitkan dahi dalam. Aku tahu, ada saat-saat dimana aku harsu diam menghadapina. Dan sepertinya, sekarang adalah salah satu dari saat-saat itu.

“Ayo diminum,” kataku saat aku telah kembali dengan segelas orange juice dingin. Dia masih berbaring diam, tapi kemudian bangkit dab mengahbiskan isi gelas yang aku berikan dalam sekali minum.

“Lagi?” tanyaku melihatnya menandaskannya dengan cepat.

Soni menggelengkan kepalanya, “Kamu ganti baju cepat. Kita harus segera pergi,” katanya.

“Emang kita mau kemana?” tanyaku heran.

“Ntar juga tau. Cepetan!!: serunya dan mendorongku untuk masuk ke kamarku. Aku hanya mampu menurut dengan keheranan yang terus bertambah oleh tingkahnya, “Kamu telpon Bunda juga gih. Bilang kalo liburan ini kamu nemenin aku,” katanya saat aku sudah keluar dengan uniform favoritku, celana jeans dan t-shirt. Dia mengulurkan ponselnya padaku.

“Pake punyaku aja,” kataku pelan dan menelepon Bunda. Bunda langsung menjawabku pada deringan kedua, “Bunda, hari ini TJ diajak Soni buat nemenin dia liburan kali ini.

“Nemenin Soni? Ke perkebunan lagi? Berapa lama?” tanya Bunda dari seberang.

“Berapa lama, Son?” tanyaku pada Soni yang duduk santai disebelahku.

“Satu minggu,” jawab Soni enteng, membuatku langsung mendelik sewot.

“Agak lama, Bun. Mungkin sehari dua hari,” kataku. Namun aku yang kemudian melihat mata Soni yang merajuk pada akhornya tak tahan juga. Aku menghela napas. Harusnya aku tahu kalau aku tak akan bisa menang darinya, 
“...........mungkin lebih, Bun,” putusku pelan.

Soni nyengir senang dan langsung bangkit menyambar ponselku sebelum aku sempat mencegahnya.

“Bunda, ini Soni. Liburan Bunda. Mungkin bisa satu minggu. Jangan khawatir. Bunda minta oleh-oleh apa?”

Aku cuma bisa pasrah melihatnya ngobrol santai dengan Bunda di telepon. Beberapa saat kemudian dia menutupnya dengan senyum riang.

“Beres! Ambil helm! Kita berangkat!” katanya dan mendahuluiku ngeloyor pergi setelah mengembalikan ponselku. Tak lama kemudian kami sudah melaju di jalanan yang aku tahu menuju rumahnya. dan begitu tiba disana, dia langsung menyeretku untuk mengikutinya ke kamar setelah terlebih dahulu meminta Bi Atun untuk membuatkan minuman untukku. Aku yang sebenernya ingin ngobrol dengan Bi Atun sudah hendak protes,tapi dia menangkisku dengan mengatakan kalo aku bakalan lama ngobrolnya dengan Bi Atun. Tangkisan yang memang tak bisa lagi aku sangkal.

“Kamu nonton TV aja disini,” ujar Soni saat kami memasuki kamarnya. Dia segera meraih remote TV super gedenya, dan mempersilahkanku untuk duduk, “Aku mau mandi dulu sebentar. Atau............kamu mau mandi juga?” tawarnya.

Jelas saja aku jadi gelagapan. Apalagi dia menwarkan hal tadi dengan santai saja, “Gi-gila!!! Ngapain aku mandi ma kamu coba?!!” sergahku dengan wajah yang mulai terasa panas tanpa bisa aku tahan.

“Maksudku, kalau kamu mau mandi juga, kamu bisa mandi di kamar sebelah. Aku kan gak bilang kalau aku memintamu mandi bareng,” jawabnya dengan senyum simpul.

Mulutku terkatup rapat dan mengumpat dalam hati atas kebodohanku tadi. ANYEEEEEEEEEENNGGGGGGG!!!!

“Jadi...............kamu mau mandi?’ tawar Soni lagi pelan.

Kali ini aku memutuskan untuk menjawabnya dengan gelengan dan menancapkan mataku pada layar TV. Aku tak ingin mempermalukan diriku lebih dari tadi.

“Ya udah. Tunggu bentar ok?” pamitnya dan tersenyum.

Aku hanya melihatnya pergi dan kemudian menghela napas.

Aaaaahhhhhhhhhh .......... Soni! Begitu banyak hal darinya yang tak aku pahami. Dan begitu besar keinginanku untuk memahaminya. Betapapun buruknya efek hal itu padaku.

Bukan sekali atau dua kali aku berpikir bahwa keputusanku untuk tetap berteman dengannya adalah sebuah kesalahan besar yang pada akhirnya akan membuatku menyesalinya. Dan berulang kali pula aku merasa bahwa alasanku untuk berteman dengannya hanyalah sebuah dalih menyedihkan. Alasan yang aku buat hanya agar aku bisa bersamanya. Disisinya. Aku tak akan bisa berbohong dan menipu hatiku. Jauh disana, aku tahu kalau aku jatuh hati padanya. Hal yang pada awalnya tak pernah aku duga. Hal yang dari awal seharusnya sudah aku sadari. Karena sejak pertama permuan kami, dia sudah menyita perhatian dan waktuku. Hal yang terus menerus aku ingkari dengan berbagai macam alasan konyol dan di buat buat olehku sendiri.

Aku tak bisa mengendalikan hati dan perasaanku. Aku tahu bahwa selama ini aku selalu meyakinkan diri bahwa aku bukan orang ini. Bahwa aku bukan orang yang bisa tertarik pada sesama jenis. Aku hanya........berbeda. namun toh aku benar-benar tak bisa menahannya. Satu hari tanpa melihat Soni, adalah hari yang terasa begitu hambar dan kurang lengkap. Bayangannya mengikutiku dengan konstan. Apapun yang aku lakukan, dimanapun aku, bayangan Soni selalu mengikuti.

Konyol!!

Aku sadar iru. Tapi memeng seperti itulah adanya. Bahkan lagu-lagu cinta yang dulu bagiku terasa begitu menyedihkan dan juga menggelikan pada waktu yang sama, kini mulaiterasa pas bagiku. Apa yang sebaiknya aku lakukan untuk keluar dari semua ini? Apa yang bisa aku lakukan untuk bisa lepas dari Soni?

Untuk beberapa saat lamanya aku duduk terpaku disana. Membeku.  Tak mampu menjawab pertanyaan sederhana yang tadi tiba-tiba muncul. Hampir-hampir tak kusadari Bi Atun yang kemudian muncul dengan membawa segelas orange juice untukku.

“Ayo kita berangkat! Surya sudah siap dibawah untuk nganter kita. Kamu abisin dulu deh minumannya. Dan kamu bisa pakai jaket ini!” cerocos Soni yang muncul dari arah walk in closetnya. Dan kembali, aku terpaku dengan penampilannya.
Dia mengenakan kaus turtle neck dari bahan kashmir berwarna hitam polos dengan jaket kulit warna senada dengan jahitan rapi. Kaos dan jaket itu membuat kulitnya tampak lebih bersinar. Ditambah lagi dia baru selesai mandi. Aku bisa melihat kaos turtlenecknya membungkus tubuhnya dengan sempurna. Aku bahkan bisa melihat lekuk pada garis dada bidangnya yang dulu pernah kulihat sekilas dirumahku. Celana yang berbentuk pipa yang dia gunakan juga berwarna hitam. bahkan sepatunya hitam. secara keseluruhan, warna hitam yang melekat ditubuhnya justru mempertegas sosoknya. Membuatnya tampak semakin tinggi, tegap dan bersinar. Rambutnya yang hitam tampak berkilat, tersisir rapi dan terlihat basah. Aku bhakan bisa mencium aroma segar yang menguar dari tubuhnya.

Katakan! Bagaimana aku bisa melepaskan diri darinya?!!!

“TJ?!!”

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk menyadarkan diri dari pesonanya. Aku berdehem untuk mengumpulkan suara, “Kita.......akan pergi ke pekamakaman siapa?” tanyaku mencoba melucu.

Soni memutar bola matanya, “Funny! But no! Ayo cepat!” katanya lagi, membuatku langsung bangkit dan menerima jaket yang berwarna hitam itu darinya.

“Sebenarnya kita mau kemana sih Son?” tanyaku, entah untuk keberapa kalinya. Aku melirik pada travelling bag berukuran sedang yang dia bawa. Padahal aku Cuma menenteng ranselku.

“Ntar juga tau,” jawabnya singkat saat kami sudah berada dibawah dan menyerahkan tarvelling bag-nya pada Pak Surya yang menunggu kami, “Biar Pak Surya yang bawa ranselmu,” katanya lagi dan tan menunggu persetujuanku, ia menyambar dan menyerahkannya pada Pak Surya. Dia lalu menyeretku masuk ke mobil.

Sepanjang perjalanan aku tak bisa mengatakan apapun karena aku benar-benar bingung luar biasa.

Dan kebingunganku makin bertambah saat akhirnya kami memasuki area bandara.  Soni yang jelas-jelas tahu akan kebingunganku, tak mengatakan apapun. Dia malah bersiul santai. Membiarkanku yang terus melayangkan pandanganku ke sekeliling dengan sedikit panik. Aku belum pernah ke Bandara, jadi meski sedikit panik, aku terus melihat ke sekeliling kami. Kami terus melaju melewati lapangan parkir, kemudian masuk melewati gerbang yang dijaga oleh 
beberapa orang.

Lha tempat heck in sama boarding pass-nya mana? Pikirku saat kami memasuki lapangan udara yang luas. Aku bahkan bisa melihat beberapa pesawat yang parkir di kejauhan.

“Ayo turun,” ajak Soni kalem saat mobil berhenti didekat sebuah pesawat yang ukurannya lebih kecil dari pesawat-pesawat lain yang aku lihat.

Aku mengikutinya dengan ragu.suhu tubuhku tiba-tiba saja menjadi kacau balau. Panas dingin tak jelas. Untuk sesaat lamanya aku hanya terpaku diam sembari memandang pesawat di depanku. Jangan pingsan! Jangan pingsan! Jangan pingsan!!

Aku terus menggumamkan kalimat tadi dalam hati, nyaris tak menyadari tangan Soni yang menyeretku untuk langsung naik ke pesawat.

Baru dalam pesawat aku mulai mengumpulkan kesadaranku yang seakan-akan tercecer. Aku mengedarkan pandanganku. Tak ada orang lain dalam pesawat ini. Hanya ada beberapa kursi dalam ruangan ini. Ruang duduk yang leluasa, nyaman dan pelayanan pramugari-pramugari cantik dan ramah luar biasa. Dan kesemuanya kulit putih. Bule! Tak ada satupun dari mereka yang berasal dari Asia.

“S-Son............ki-kita mau kemana?’ tanyaku, yang sudah kembali gugup, dengan nada pelan ketika pramugari yang membantuku tadi menghilang.

“Paris!” jawab Soni kalem.

Hening!

Aku pasti salah dengar, pikirku. Aku menatap Soni, sementara dia memandangku dengan tersenyum lebar. Matanya bersinar, begitu antusias menantikan reaksiku.

“A-ap......”

Surprise!!!!

“KAMU SINTING?!!!!!” bentakku keras begitu sadar kalau dia tidak sedang bercanda. Dia serius! Dan aku baru menyadari alasan kenapa kemarin dia mengambil passportku. Dia akan benar-benar membawaku ke Paris. Dan dia sudah menyewa jet pribadi ini!!! Dasar manusia sarap!!

“TJ..”

“Maaf. Aku harus pulang!” kataku cepat dan bangkit!

“Hei!!!” Soni mendahuluiku bangkit dari kursinya dan mendekatiku. Dia menahanku sehingga aku terpaksa duduk kembali di kursiku, “Aku kira kau ingin sekali pergi ke Paris?” tanyanya dengan kening sedikit berkerut.

“Tentu saja masih. Tapi sekarang? Tanpa persiapan? Uang?! Aku bahkan tak membawa jaket. Dan ini bulan Desember!!! Kamu pikir pergi ke Paris sama dengan jalan-jalan ke Ancol?” omelku dongkol.

“Hei.....! Aku yang akan mengurus semuanya. Jangan khawatir, ok? Kamu tenang saja!”

“Son..”

“Aku janji kamu nggak akan menyesal. Duduklah!”

“Tapi........” argumenu terputus karena ada pengumuman dari pilot untuk mengenakan sabuk pengaman. Pesawat akan berangkat, “NO!!”

“Telat!!” ujar Soni dan segera memakaikan sabuk pengamanku, lalu buru-buru kembali ke kursinya. Dan aku masih berontak untuk melepaskan sabukku ketika pesawat mulai bergerak. Panikku mulai muncul kembali. Tapi sia-sia. Tanpa Soni mengatakannya pun aku sudah tahu kalau aku terlambat.

Aku menatap Soni. Ya Tuhan! Dia serius! Dia akan membawaku ke Paris dengan pesawat ini! Matanya menunjukkan itu. Matanya yang kini memintaku untuk mempercayainya. Mencoba menenangkanku.

Aaaaaaaaahhhhh..................!!!

Sekali lagi aku kalah. Aku tak akan pernah menang kalau harus beradu pandang dengannya. Aku menghembuskan nafas kesal.

“Baiklah! Kita akan menggelandang di Paris!!” gerutuku padanya kesal, diantara deru suara mesin pesawat yang nyaring.

Soni tertawa, “Tidak akan!” jawabnya dengan cengiran.


Selama beberapa waktu berikutnya, bahkan ketika pesawat sudah terbang dengan tenang, aku hanya mampu diam dengan berbagai macam hal berkecamuk dalam benakku.

Paris!! Hanya Tuhan yang tahu betapa ingin aku pergi kesana. Menginjakkan kakiku di tanah yang tersohor dengan kota cinta itu. Dan sekarang, hari ini, dalam pesawat mewah ini, aku sedang menuju kesana. Ke Paris! Dan bersama Soni! Cowok yang selama beberapa bulan belakangan ini membuat perasaanku jungkir balik tak karuan. Semua terasa tak nyata. Seperti khayalan! Aku tak tahu harus merasakan apa saat ini. Senang? Kaget? Khawatir?

Entahlah!

Aku benar-benar tak tahu bagaimana menjabarkan perasaanku sekarang.

Paris!!

Kota yang terkenal dengan keromantisannya. Gedung-gedung dari zaman berbeda yang berkumpul jadi satu. Kota yang merupakan perpaduan antara gedung-gedung kuno dan modern. Kota yang mahsyur akan keromantisannya. Juga keromantisan orang-orangnya. Serta bahasanya. Aku selalu menyukai bahasa Perancis. Menurutju bahasanya indah dan juga sulit. Aku tak pernah memiliki kesulitan dalam mempelajari bahasa Inggris, tapi bahasa Perancis masih menjadi tantangan bagiku. Pokokny aku harus angkat tangan. Pelafalan huruf R dalam bahasa itu membuat lidahku keriting. Belum lagi kosa kata yang terkadang dibaca berbeda dengan tulisannya. Aku masih belum bisa paham bagaimana kata ‘moi’ yang artinya aku dalam bahasa Perancis, harus dibaca ‘moa’. Darimana pelafalan huruf ‘a’ itu berasal coba?

“Hei..! kamu nggak apa-apa?”

Teguran Soni yang diikuti oleh tangannya yang mengacak rambutku itu menyentakkanku dari lamunan.  Aku hanya mampu memandangnya sekilas, “Yeah....” sahutku singkat untuk kemudian menancapkan pandanganku pada layar kecil didepanku.

“Dari kita take off tadi kamu tak mengatakan apapun. Gugup? Ini penerbangan pertamamu?”

Aku tak perlu memikirka dalih untuk tingkahku sedari tadi. Dia sudah memberikan alasan yang bagus. Jadi aku menganggukkan kepalaku, “Sedikit,” jawabku pelan.

Diam sejenak. Lalu ku dengar dia menghela napas panjang, “Ya sudahlah. Nanti kita bisa langsung balik arah begitu kita transit,” putusnya.

“Apa? Balik? Kemana?” tanyaku sedikit kaget dan kontan berpaling melihatnya.

“Ke Indonesia. Berhubung kamu nggak suka, nanti kita bisa langsung balik lagi ke Indonesia begitu pesawat sudha mendarat dan isi bahan bakar.”

“JANGAN!!!” sergahku langsung. Alis kiri Soni terangkat dan pandangannya beralih pada tanganku yang sedikit mencengkeram lengan kanannya. Aku cepat-cepat melepas peganganku dengan sedikit tersipu.

“Jadi terus lanjut ke Paris nih?” tanya Soni lagi yang aku jawab dengan anggukan, “Terus kenapa dari tadi cemberut?”

“Siapa yang cemberut? Cuma sedikit gugup kok. Ini kan pertama kalinya aku naik pesawat. Lagipula wajar kan kalo aku 
kaget tiba-tiba diculik buat maen ke Eropah. Udah kayak jalan-jalan ke Ancol aja ngajaknya,” gerundengku pelan tanpa berani melihatnya.

“Beneran seneng? Gak ngambek?”

“Iya!! Bawel amat!” sahutku sedikit dongkol.

“Kalo gitu senyum dong! Tuh mulut dari tadi manyun mulu” pinta Soni dan menowel bahuku.

“Dih! Apaan coba?!”

Oh come on! Give me a smile!” goda Soni dan memainkan alisnya.

“OGAH!!!” sahutku keras kepala.

Come on! Say Pariiiss!!!!” goda Soni. Kali ini malah diikuti dengan gelitikan di pinggangku, membuatku sedikit terpekik dan belingsatan. Dan tanpa dapat kutahan, tawaku terdengar dengan memalukan. Untunglah hanya ada kami berdua disini. Jadi rasa maluku tidak perlu bertambah karena jadi perhatian penumpang lain.

Okay! Stop!!” sahutku kalah. Heran! Sejak kapan sih dia jadi ngocol gini? Aku lalu menarik bibirku dan mencoba memberikan seulas senyum padanya, “Puas?”

“Eeeuuuhh...........itu senyum atau kamu lagi sakit gigi?”

Dengan kesal aku menabok tangannya. Soni tertawa kecil dan menghindarinya, “Gitu dong. Pokoknya kita akan bersenang-senang di Paris. Aku janji kamu gak akan menyesal. Aku akan urus semuanya, ok?” kata Soni dan meraih kepalaku. Dan sebelum aku menyadari apa yang hendak dia lakukan, dia menarikku dan mencium kepalaku sekilas.
WHOOAAAAHH!!!!!

Apa itu tadi?!!!

Dadaku sontan berdebar tak karuan!!

Tenang TJ! Dia tak bermaksud apa-apa. Dia hanya seorang teman!

Aku berkemik dalam hati. Mencoba mengendalikan diri dan menunduk. Pura-pura membetulkan tali sepatuku untuk menyembunyikan wajahku yang mungkin sudah merah padam. Sementara Soni bangkit setelah mengacak-acak sedikit rambutku, kembali ke tempat duduknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar