BAB 15
Hari ini aku melangkah masuk kelas dengan lesu. Ingatan tentang mimpi itu
benar-benar merusak moodku. Aku tak bisa menyangkal kalau impi itu mewakili apa
yang aku inginkan. Namun... aku juga tak mampu mengingkari akan rasa mual yang
melilit perutku tiap kali aku mengingatnya.
Perasaaan kotor, jijik dan malu memenuhiku. Membuat aku merasa
seakan-akan aku menjadi maniac seks.
Ugh!!! Aku akan muntah!!
“Jadi apa komentar dia semalam?” tanya Wina yang tiba-tiba sudah berdiri
didepanku. Emmy dan yang lain berdiri disampingku dengan mata yang berbinar dan
kuping tegak, siap menerima laporanku.
“Dia bilang sesuatu tentang gue?” tanya Enny penuh harap.
Aku cuma menggelangkan kepala untuk menjawabnya dan melangkah pergi ke
tempat duduk ku
“Lo kenapa sech TJ ?” tanya Wina seraya memburuku
“Nggak kenapa-kenapa, Win “ sahutku singkat sembari langsung meletakkan tas kebangku ku.
“Nggak kenapa gimana maksud lo? Muka sepet gitu!” sergah Wina kesel melihat
aku yang angin-anginan, ”Kesambet lagi lo?”
“Maksud gue dia gak komentar apa-apa tentang kalian. Nothing!!!” kataku sedikit kesel.
“Dia kenapa sik ?” tanya Emmy ke Wina heran.
“Kesambet lagi kali tuh anak,” sahut Wina jengkel. Dia sudah bersiap buat
nyap-nyap saat derum sebuah motor yang akrab ditelinga kami terdengar, dan Wina
membatalkan niatnya. Seperti dikomando, kami langsung memalingkan muka untuk
melihatnya.
Soni membuka helm setelah memarkir motornya. Wina dan yang lain melambaikan
tangan untuk menyapanya dengan sedikit antusias berlebih. Aku sendiri lebih
memperhatikan tangan Soni. Sarung tangan yang aku belikan tidak dipakainya.
Pikiran itu yang pertama melintas dibenakku.
“Pagi, Kak!” sapa Emmy kenes saat Soni hendak lewat. Soni hanya tersenyum
menanggapinya. Dan kemudian, kedua matanya beralih padakau. Lalu...................
Aku tak tahu apakah aku yang salah ataukah memang benar, tatapan dia tadi
begitu datar dan hampir-hampir dingin. Pandangan yang sama ketika dia baru
pertama kali mengenalku. Untuk beberapa saat lamanya, setelah dia berlalu, aku
hanya mampu diam terpaku. Bahkan saat Wina dan yang lain berpaling heran ke
arahku.
“Kalian berantem?” tanya Wina tak mengerti.
“Lo bikin ulah apa semalem Nek?” tuduh Enny langsung.
Aku hanya mampu menggeleng bingung. Aku sama tak mengertinya dengan mereka.
Apa salahku? Emang apa yang sudah aku lakukan semalam?
Sikap Soni yang dingin makin terasa saat sitirahat siang itu. Tak sengaja,
aku dan Wina berpapasan dengannya di kantin. Waktu itu kami baru saja keluar
setelah minum es serut Pak Andri, dan Soni muncul begitu saja didepan kami. Dan
dari ekspresi kagetnya, aku bisa menebak kalau dia tak menduga akan berpapasan
dengan kami.
“Halo Kak,” sapa Wina riang, mencoba menetralisir suasana yang tiba-tiba
saja terasa aneh dan kaku, “Nyari minum?” lanjutnya lagi.
Soni mengangguk, “Aku ke dalam dulu,” katanya singkat. Dan tanpa menghiraukanku
lagi, dia buru-buru melangkah ke dalam kantin.
Dan kembali, untuk beberapa saat lamanya, aku hanya bisa diam. seakan-akan
ada seember air es yang ditumpahkan ke atas kepalaku. Aku hanya mampu menatap
Wina yang ketika itu cuma melihatku dengan tatapan bingung.
“Sebenernya ada apa sih antara kalian berdua?” tanya dia penasaran.
Dan kembali aku tak tahu harus menjawab apa. Aku sendiri tak tahu apa yang
sebenernya terjadi. Apa yang menjadi penyebab perubahan sikap Soni? Apa
kesalahanku? Padahal semua baik-baik saja ketika terakhir kali kami bertemu.
Bahkan suasana diantara kami berdua cenderung hangat. Semuanya begitu
menyenangkan, bahkan nyaris romantis. Tapi sekarang..........
Apa Soni tahu soal mimpiku semalam? Tidak mungkin kan? Aku tidak
menceritakannya pada seorangpun. Tidak juga pada Wina dan yang lainnya. Aku
bahkan tak memiliki niat untuk melakukannya. Kalau aku sendiri merasa malu dan
kotor karenanya, apalagi orang lain.
Lalu dengan cepat, tanpa menunggu Wina lagi, aku segera pergi dari sana. Kalau
memang Soni tak ingin melihatku, akan lebih baik kalau aku segera menjauh
darinya. Hari itupun berlal dengan begitu lama. Mengherankan bagaimana satu
hari bisa terasa cepat, namun tiba-tiba bisa terasa lama. Seakan-akan hitungan
detik dan jam berjalan dalam kecepatan yang berbeda. Benar-benar satu hari yang
kurasa aneh dan juga berat.
Bel pulang yang kemudian berdentang aku sambut dengan kelegaan. Aku ingin
cepat-cepat pulang. Pergi dari sekolah ini. Menjauh. Dari gedung yang
seakan-akan bertambah sempit dan menyesakkan. Wina dan yang lain hanya bisa
memandangku bengong saat aku dengan cepat menyelinap keluar tanpa menunggu
mereka. Aku terus melangkah dengan cepat, nyaris berlari sepanjang jalan.
Aku ingin segera tiba di rumah. Secepatnya.
Nafasku agak terengah ketika aku sampai. Setelah melepas sepatu, aku
langsung menuju kamarku. Melempar tas ke lantai dan menjatuhkan tubuhku ke
kasur. Ku tutup mataku rapat-rapat sembari mencoba mengatur nafas yang sedikit
sesak. Aku berbaring diam, terlentang lalu menghela nafas panjang beberapa
kali.
Pelan, aku buka mataku. Ku tatap langit-langit kamar dengan pandangan
kosong, sementara pikiranku melayang tak tentu arah. Pola-pola yang muncul
diotakku tak berbentuk dan begitu kacau. Soni, pesta ulang tahunnya, mimpiku,
kejadian di sekolah tadi, tatapan Soni, kebingungan Wina dan yang lain. Semua
bercampur menjadi satu pola acak yang tak bisa aku pahami. Aku hampir merasa
kebas, tak bisa merasakan apapun.
Aku bahkan tak sadar, sudah berapa lama aku berbaring seperti ini.
Tahu-tahu pintu kamarku terbuka tanpa suara. Bunda yang kemudian muncul,
memandangku dengan heran.
“Lho? Kok masih pakai seragam? Cepat ganti baju. Kamu sudah makan?” tanya
beliau dengan nada datar. Kalaupun beliau heran dengan kondisiku, beliau
menyimpan komentarnya itu dalam hati.
“Belum Bun. Jam berapa sekarang?”
“Sudah jam tiga ini lho. Kamu pasti ketiduran tadi. Kalau begitu cepat
mandi. Kita makan bareng.”
Aku hanya nyengir dan mengangguk untuk menjawabnya. Jam tiga sore?
Sebenarnya apa yang dari tdai aku lakukan ya? Pikirku kecut dan segera bangun.
“Kamu sakit? Lagi gak enak badan?” tanya Bunda ketika aku keluar dari kamar
mandi. Mungkin aku masih terlihat lesu sehingga beliau menanyakan hal itu.
“Engga Bun,” jawabku dan cepat-cepat ngeloyor ke kamar untuk ganti baju.
Bisa gawat kalau aku diinterogasi beliau. Sebagai seorang ibu, Bunda punya
intuisi yang tajam tentangk. Beliau bisa dengan mudah mengerti apakah aku
berbohong atau tidak. Nggak lucu kalau aku curcol soal apa yang mengganggu
benakku sekarang.
“Baju Soni yang kemarin sudah Bunda cuci bersih dan kering. Nanti kamu
setrika yang rapi ya? Terus cepat kasih ke orangnya,” kata Bunda lagi saat aku
sudah kembali ke belakang.
“Ditaruh dimana Bun?” tanyaku sembari menyendok nasi.
“Di keranjang cucian. Dekat TV,” jawab Bunda.
Aku mengangguk dan segera mencarinya setelah selesai makan. Aku
menemukannya di keranjang cucian bersih seperti yang Bunda bilang. Kemeja
lengan pendek berwarna biru dan celana hitam. Meski Bunda belum menyetrikanya,
beliau sudah melipatnya dengan rapi. Akupun segera memanaskan setrika listrik
dan menyiapkan pewangi pakaian semprot yang biasa kami gunakan.
Selagi menunggu setrika panas, aku mengambil kemeja Soni dan memandanginya.
Ini kemejanya. Ini kemeja yang pernah melekat ditubuhnya. Bersentuhan langsung
dengan kulitnya. Pelan aku mengusapnya dan menghela nafas tanpa aku sadari.
Menyedihkan. Aku bisa merasakan sedikit rasa berbunga-bunga hanya dengan
memegang baju ini. Juga..........membuatku merasa seperti orang cabul kurang
kerjaan karenanya.
“TJ, setrikanya udah panas itu lho,” tegur Bunda saat lewat disampingku.
“Iya Bun,” jawabu lesu saat kulihat Bunda berjalan masuk kekamarnya. Aku
menyemprotkan pewangi ke baju Soni. Mengusapnya sebentar dengan perasaan biru
yang kacau, “Sebenenarnya apa yang terjadi sih Son?” gumamku lirih setengah
melamun. Kunyuk satu itu benar-benar penuh dengan kejutan. Aneh, misterius dan
susah ditebak. Saat kupikir dia acuh tak acuh, dia malah begitu perhatian. Saat
kukira sombong, dia malah begitu ramah dan pemurah. Dan ketika aku merasa kami
sudah dekat, dia malah menarik diri, menjauh. Membuatku benar-benar tak habis
pikir.
Aku tak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat. Aku sungguh-sungguh tak
ingat apa ataupun kapan aku melakukannya. Kenapa tiba-tiba saja dia kembali
dingin padaku, seperti sikapnya dulu, yang seakan-akan membenciku. Padahal
beberapa waktu sebelumnya kami bisa dibilang sudah dekat. Sikapnya ketika
diperkebunan juga ramah dan hangat. Demi Tuhan, kami bahkan berkuda bersama.
Lagipula dia..
“TJ!!!!!””
Aku terlonjak kaget oleh pekik keras Bunda yang tiba-tiba terdengar.
Tahu-tahu beliau sudah memburuku dan meraih setrika listrik yang kupegang. Dan
kemudian Bunda mengangkat kemeja Soni yang leleh berlubang dan membentuk cetakan
setrika dibagian punggungnya.
“YA TUHAANN!!!”
Giliran aku yang terpekik dan segera menyambar kemeja yang Bunda pegang.
Untuk beberapa saat lamanya mulutku hanya terbuka tanpa mampu mengeluarkan
sepatah katapun. Aku berpaling ke arah Bunda dan kemeja itu bergantian. Dan
pada akhirnya, aku hanya bisa memandangi kemeja itu dengan masygul dan penuh
sesal.
“Kamu ini gimana sih? Nyetrika kok sambil
gelamun gak jelas. Sudah sini, biar Bunda yang nerusin!” omel beliau dan
mendorongku minggir.
“Bundaaaaa......... gimana doooonng?” rengekku lirih tanpa mengalihkan
pandanganku dari kemeja bolong Soni yang kupegang.
“Mau bagaimana lagi? Kamu bilang yang sebenarnya ke Soni dan beli yang sama
untuk menggantinya.”
“Buuuuuuunn.........”
“Kamu yang harus tanggung jawab. Berapa sisa uang celenganmu kemarin?”
tanya Bunda tanpa memperdulikan rengekanku.
“Sekitar dua ratusan ribu,” jawabku dengan nada kalah. Bunda sudah pasti
ogah kalau diminta buat ikut iuran. Didikan yang selalu beliau terapkan adalah
berani berbuat, berani bertanggung jawab. Aku berulah, aku harus mau menanggung
akibatnya. Dengan kata lain, aku harus membereskan masalah ini dengan
kemampuanku sendiri.
Pada akhirnya aku hanya bisa menghela nafas pasrah. Mana Soni lagi angot gitu, pikirku lagi.
Semalaman aku tak sanggup tidur memikirkan keteledoranku. Pagi harinya,
mataku merah dan sedikit bengkak. Bahkan sepertinya wajahku menjadi sedikit
lebih pucat. Meski telah mandi dan berganti baju, aku tetap terlihat kacau dan
berantakan. Orang dengan sekali lihat bisa mengatakan kalau aku kurang tidur
semalam.
Saat aku tiba digerbang sekolah, tiba-tiba saja gedung-gedung kelas yang
berjejeran tampak seperti gedung penjara bagiku. Aku benar-benar malas untuk
melangkah masuk. Andai saja hari ini aku bisa bolos tanpa seorangpun
menyadarinya. Tanpa harus menghadapi Soni dan..............
“Hei!! Udah bikin PR Inggris gak mak?’ sapa Wina yang tiba-tiba nongol dibelakangku. Sapaan yang
dia barengi dengan tabokan keras dipunggungku itu tak kutanggapi seperti
biasanya. Aku hanya mendesah.
“Wiiiiiiiiinnn......gue kudu gimanaaa?” keluhku melas dengan kepala yang
kusandarkan di bahunya.
“Lo kenapa sik? Mana tampang dibikin ruwet gitu. Gak ada cakep-cakepnya
tauk?!” berondong Wina ngocol.
“Bukan itu aja Win,” desahku lagi dan mengangkat muka. Dengan wajah
nelangsa, aku ceritakan insiden semalam dengan singkat. Wina yang biasanya
cerewet dan suka nyela kalo orang ngomong, kali ini diam dan mendengarkan.
Begitu aku selesai cerita, dia tidak langsung berkomentar. Mulutnya nganga gak
jelas.
“Lo bener-bener sial!” rangkumnya singkat.
“Udah gua duga. Percuma curhat ama cewek sableng kayak elo!” gerundengku
jengkel dan ngeloyor pergi meninggalkannya.
“Eh, sorry. Tungguuuu!!” kejar Wina dan menjejeri langkahku, “Bunda emang
bener TJ. Lo gak punya pilihan lain selain ngomong apa adanya ke Kak Soni,”
kata Wina lagi.
“Lo temenin gue ntar ya?” pintaku.
“Ogha. Lo ngomong aja ‘ndiri. Gue gak mau ntar dicuekin juga ma dia kayak
elo. Kan sayang kalo musuhan ama cowok secakep Kak Soni.”
“WINAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!”
“Bwakakakak.......iyaaaaa. nar gue temenin,” cengir Wina akhirnya. Dan
tiba-tiba saja matanya membesar, “Eh tuh dia!” tunjuknya ketika deru sepeda
motor Soni yang akarab ditelingaku terdengar. Cowok itu lewat didepan kami dan
langsung menuju tempat parkir tanpa menghiraukanku. Ataupun menoleh. Aduh!
“Win...........”
“Ayo! Sekarang aja. Mumpung masih ada niat!” kata Wina semnagat dan
menyeretku, “KAK SONII!!” panggilnya tanpa memberi kesempatan padaku untuk
mempersiapkan diri.
Soni yang sepertinya sudah hendak bergegas untuk ke kelasnya, urung
melangkah. Dia berdiri diam dan menunggu kami tanpa memperdulikan sapaan
menggoda dari beberapa cewek yang lewat. Gerombolan groupies yang dulu setia
nongkrongin dia di kantin, mendapat teguran keras dari pihak sekolah. Jadi
mereka Cuma bisa berseliweran bolak-balik dilapangan parkir sekarang. Jadi
suasana menjadi lumayan lebih tenang dari sebelumnya.
Kening Soni tampak berkerut saat kami emndekat. Satu alisnya teragkat
dengan wajah ekspresi herannya saat melihatku.
Duh! Perasaan gue jadi
gak enak nih, pikirkku gundah.
“Sorry Kak, ganggu bentar. TJ mo kasih tahu sesuatu,” kata Wina singkat dan
dengan selebornya mendorong punggungku untuk maju. Aku cuma bisa ngedumel pelan
dengan tingkat sablengnya. Tanpa mampu mengangkat muka untuk melihat wajahnya,
aku meraih ke dalam tasku dan mengeluarkan bungkusan plastik untuk kemudian aku
angsurkan padanya.
“Celanamu kamu kemarin yang basah,” kataku sedikit pelan, “Dan...............soal
kemejamu...”
Sampai disitu aku terhenti dan sedikit ragu untuk melanjutkannya.
“Kenapa?” tanya Soni dengan nada datar.
Aku mengangkat mukaku untuk melihanya sekilas. Ekspresinya sukar ditebak,
jadi aku kembali mengalihkan pandanganku, “Kemarin aku berniat untuk
menyetrikanya. Tapi........karena teledor, bajumu rusak. Meleleh karena
kepanasan,” sambungku. Saat aku kembali meliriknya, ekspresi datar Soni masih
belum berubah.
Sikutan dipinggangku membuat aku yang diam tersadar. Wina bergumam pelan yang
intinya memintaku untuk minta maaf.
“Ma-maaf. Aku yang salah. Aku akan menggantinya dan.”
“Tidak usah. Lupakan saja,” potong Soni singkat dan langsung pergi setelah
menyambar bungkusan plastik yang aku ulurkan tadi. Untuk beberapa saat lamanya
aku hanya mampu diam, terlalu kaget untuk langsung bereaksi. Berikutnya, aku
hanya menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
“Win, ntar lo temenin gue ke Mall ya?’ pintuku pelan tanpa berpaling untuk
melihatnya. Hanya memandang kearah Soni yang menghilang ke dalam kelasnya.
Wina menepuk bahuku pelan, “Beres!” jawabnya dan mengajakku untuk masuk ke
kelas.
Dan siang itu, aku dan Wina naik Bis kota menuju Mall XXX yang dekat dari
tempat tinggal kami. Sebelumnya kami menyempatkan diri untuk ganti baju terlebih
dahulu. Kami sudah memutuskan untuk makan siang nanti, sesudah kami menemukan
baju ganti untuk Soni. Tapi hampir dua jam kami berkeliling dan berganti Mall,
kami tak menemukan baju yang ber-merk samaseperti baju Soni. Hartnell*
(*Gue ngarang aja nama brand-nya karena gak mau
ngambil nama yang udah jelas ada dlm dunia fashion. By the way, gak ada
designer atau brand merk Hartnell kan di dunia nyata? Info yak Guys!)
“Gilingan! Susah amat sik nyari baju merk Hartnell!” keluh Wina saat kami
beristirahat didepan sebuah Mall. Dengan cueknya dia ngejeplak duduk di lantai sembari
mengipaskan tangannya, ”Kita nyari kemana lagi nih?”
Aku diam berpikir. Seharusnya aku sudah bisa menduganya. Soni anak yang
lain dari cowok-cowok sekolah kebanyakan. Dia mempunyai gaya hidup yang berbeda
jauh dari kami. Kalau menilik dari kebiasaan, karakter, dan tingkat ekonominya
Soni, rasa-rasanya memang kecil kemungkinan cowok itu mendapatkan bajunya di
temapt-tempat biasa begini.
“Win, lo tau gak Mall yang banyak butik-butik import-nya?” tanyaku cepat.
“Yang eksklusif gitu? Grand XXX kali yak?”
“Kita kesana!” kataku cepat.
“Eh bentar, kita kudu naik taksi.”
“Kalo gitu ayok cepetan!!” kataku tak sabar dan menariknya.
Memang pantas kalau Mall ini eksklusif seperti kata Wina. Bnagunannya yang
besar sudah mengintimidasi. Belum lagi dekorasi bangunannya yang menunjukkan
kalau Mall ini memang ditujukan untuk kalangan minim, menengah ke atas.
Orang-orang yang berseliweran terlihat begitu bergaya dan modis. Aku muai
merasa gembel dan lusuh. Ini pertama kalinya aku masuk kesini. Mobil-mobil
mewah yang berlalu lalang juga tak bisa membuatku merasa sebaliknya. Aku juga
melihat beberapa orang bule yang berkunjung kesini.
“Jadi masuk gak nih?” tanya Wina melihat kebengonganku. Aku yang kemudian berpaling
padanya hanya mampu menganggukkan kepala, “Kalo gitu kita langsung nanya ke
bagian informasi aja, ada gak butik Hartnell disini. Yuk ah,” ajaknya dan
menarikku.
Mbak yang ada dibagian informasi memberitahu dengan ramahnya pada kami
kalau Hartnell ada dilantai 2. Beliau juga menunjukkan arah lift pada kami yang
segera saja ngacir. Dan disana aku bisa melihat kalau lantai ini dipenuhi oleh
berbagai macam butik mer-merk terkenal dari luar negeri. Armani dan sejenisnya.
Aku dan Wina tak henti-hentinya berdecak kagum dengan baju-baju yang mereka
display.
Baju-baju yang ada sini hanya kulihat di majalah-majalah dewasa. Wina
sendiri sempat berhenti disebuah butik dari Amrik. Ada sebuah baju casual
berwarna putih dan celana pendek hitam serta topi yang dipakaikan di sebuah
manequin. Wina nganga lebar dan jelas-jelas ngiler oleh baju casual namun toh
terkesan mahal itu. Aku harus menyeretnya pergi dari sana. Tidak perlu usaha
keras, karena Wina sendiri sempat menahan napas saat melihat harga dari setelan
itu.
Butik Hartell ternyata bersebelahan dengan butik Tommy Hilfinger yang
kebanyakan rancangannya bertema sporty. Dan begitu kami meghadap butik
Hartnell, kami langsung berhadapan dengan sebuah manequin yang mengenakan
kemeja mirip dengan kemeja Soni yang aku rusak. Hanya berbeda corak saja. tapi
pola jahitan dan rancangannya sama. Ada tulisan new arrival yang membuat kami
sedikit mengangkat alis.
Kami masuk kesana dengan langkah gamang. Aku benar-benar merasa seperti
datang ke sebuah pesta dan mengenakan kostum yang salah. Semua hal yang
dipajang disini meneriakkan kata mahal dan berkelas. Tak heran kalau Soni
mungkin mendapatkan kemejanya disni.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya mbak pelayan toko cantik yang menyambut
kami. Dari name tag yang dia kenakan, aku tahu dia bernama Susan. Bajunya yang
rapi serta make up-nya yang halus menampakkan kelembutan wajahnya, dna entah
kenapa, melihatnya membuatku sedikit tenang.
“Maaf, mbak. Mbak punya baju yang seperti ini?” tanyaku langsung dan
mengangsurkan kemeja Soni yang aku ambil dari tas yang aku bawa.
“Sebentar ya? Akan saya periksa. Silahkan duduk,” kata Mbak itu
mempersilahkan dan menunjuk pada sofa empuk di samping ruangan. Aku dan Wina
yang masih bengong hanya mampu mengangguk pasrah. Kami duduk pasrah sembari memperhatikan
front office butik ini dengan ekspresi cengo.
Ruang depannya ditata dengan gaya studio yang mewah. Hanya ada satu dua
manequin yang dipajang. Selebihnya hanyalah seperangkat kursi sofa besar empuk
dan meja pegawai yang diletakkan di dekat pintu. Ruangan ini di dominasi oleh
warma putih cerah. Hanya kursi pegawai toko yang berwarna silver.
“Pantes saja kita gak nemu pas nyari di mall biasa,” gumam Wina lirih,
“Gimana lo bisa punya pikiran buat nyari ke tempat gini nek?”
Aku hanya tersenyum untuk menjawabnya. Kalau
saja Wina tahu kehidupan seperti apa yang Soni jalani, pikirku tersenyum
dalam hati.
“Cuma insting aja kok Win,” jawabku singkat.
Tak lama kemudian, Mbak Susan kembali muncul dengan senyum ramahnya,
“Adek-adek beruntung. Kami masih memiliki satu baju dengan model dan ukuran
yang sama,” katanya dan mengulurkan dua kemeja. Salah satunya milik Soni yang
aku rusakkan.
Aku menerimanya dengan perasaan lega. Dua baju itu benar-benar terlihat
sama. Bahannya yang lembut terasa nyaman sekali di tanganku. Benar-benar bahan
yang sama, “Berapa harganya mbak?” tanyaku saat tak menemukan tag price-nya.
“Mau bayar pake dollar apa rupiah? Atau kartu kredit mungkin?”
Hatiku sedikit mencelos oleh pertanyaan yang Mbak Susan ajukan, “Cash saja.
mbak. Rupiah,” jawabku pelan dengan perasaan yang ulai tidak enak.
“Dengan potongan 20%, harganya menjadi tiga juta dua ratus tujuh puluh lima
ribu”
“AP......................!”
Aku sudah menyumpal mulut Wina dengan tanganku untuk meredam pekik kagetnya
mendengar 7 digit angka yang disebutkan oleh Mbak Susan tadi, “Bentar ya Mbak?”
pamitku dan menyeret Wina ke pojok ruangan. Susan mempersilahkan dan berajak
meninggalkan kami dengan senyum simpulnya.
“TJ apa-apaan sih?”
“Gue pinjem uang lo ok?” desisku kemudian pelan, “Duit gue nggak cukup.”
“Harga segitu untuk selembar baju? Lo gila?!!” sembur Wina.
Kutatap Wina dengan pandangan serius, “Gua harus dapetin baju itu. Gua
pasti ganti uang lo, Win. Liburan panjang ntar gua akan nyari kerja part time.”
“Mo kerja apaan lo? Ngeluna?”
“Gua gak tau!” desisku dan menepuk bahunya keras dengan komentar asalnya,
“Tapi gimanapun juga, gua gua pasti akan nyari jalan buat ngembaliin duit lo
secepatnya. Bantu gue, ok?”
“TJ..............”
“Please, Win. Lo bisa pegang ini sebagai jaminan,” perlahan aku
mengeluarkan ponsel yang Soni hadiahkan padaku, “Ponsel itu harganya cukup
tinggi. Lo tau sendiri kan? Lo bisa pegang dulu. Ntar kalo gua udah dapet duit
lo, gue ambil lagi,” kataku cepat. Mungkin Soni tak akan senang dengan
keputusanku, tapi aku tak memiliki jalan lain yang bisa aku pikirkan saat ini.
Wina mendesah, “Gak usahlah. Gua percaya lo kok. Meski gue masih kesel lo
ketahuan bo’ong. Lo bilang hape lo gak ganti. Dasar pengkhianat. Kita nyari ATM
deh yuk,” putus Wina pelan.
“Tapi Win......”
“Lo simpen aja ponsel lo itu,” kata
Wina menegaskan, “Kayak urusan ama siapa aja lo ah,” lanjutnya lagi dan
tersenyum.
Aku hanya mampu membalasnya dengan senyuman lega.
“Eh tapi ngomong-ngomong, lo dapet duit darimana bisa beli hape keren gitu?
Gak mungkin celengan panda jelek lo bisa isi jutaan rupiah kan?”
“Ada aja. Mo tau aja lo ah,” sergahku cepat dan nyengir. Aku lalu
cepat-cepat mendekat ke arah Mbak Susan untuk menghindari pertanyaan lain Wina.
Secara singkat aku mengatakan pada Mbak Susan untuk menunggu sebentar, karena
kami akan mengambil uang di mesin ATM, dan memintanya untuk menahan kemeja itu.
, Mbak Susan tersenyum maklum dan memberitahu kami bahwa ada mesin ATM yang ada
digedung perkantoran di seberang Mall ini.
Dengan setengah berlari, aku dan Wina ngacir menuju bawah. Nmaun sialnya, saat sampai dibawah, kami
mendapati hujanderas tengah menguyur jakarta Pusat. Wina dengan keukeuh menolak
saat aku ajak menerjang hujan. Dia ogah kehujanan karena dia memang sensitif.
Akhirnya, Wina memberikan kartu ATM dan nomor pin-nya padaku. Kami takut kalau
Mbak Susan sengaja menjual kemeja tadi.
Saat kembali dari ATM, aku terlihat lebih parah dari tikus kecemplung got.
Wina yang melihatku hanya bisa memberikan senyuman penuh sesalnya. Dengan agak
menggigil, aku dan Wina segera kembali ke butik Hartnell. Dan begitu
mendapatkan kemeja tadi di tanganku, aku merasakan kelegaan ysng luar biasa.
Saat kami kembali melaju dijalanan dalam sebuah taksi, aku bisa duduk dengan
rileks, meski harus bersin beberapa kali.
Efek dari hujan-hujanan kemarin, baru terasa pagi ini. Kepalaku sedikit
berdenyut sakit, sementara hidungku buntu. Sebenarnya, kalau boleh memilih, aku
mungkin akan ijin dari sekolah pagi ini. Rasanya benar-benar ingin diam dirumah
dan menggelung dalam kehangatan selimut di kamar. Tapi aku ingin segera
memberikan baju yang sudah kubungkus rapi ini pada Soni. Lebih cepat, lebih
baik. Mungkin dengan begitu, semuanya akan kembali seperti semula. Seperti saat
pertama kali aku mengenalnya.
Saat kami masih belum pernah berbicara, satu sama lain.
Mungkin lebih baik begini. Bukannya aku tak merasa sedih.
Tapi..............rasa-rasanya hal itu saja yang mungkin bisa aku dapatkan.
Seperti dulu pernah terlintas dibenakku. Mungkin akan lebih mudah bagiku untuk
mentralisir apa yang aku rasakan pada Soni, jika kami saling berjauhan. Aku
sudah harus merasa cukup dengan memandangnya dari kejauhan.
“NEEEEEEEEEKKKK!!!!!!!!!!!”
Teriakan cempreng Wina dibelakangku membuat denyutan menyakitkan dikepalaku
jadi bertambah dua kali lipat. Belum lagi derap sepatunya saat dia lari
menyusulku dari pintu gerbang sekolah.
“Emang logak bisa jadi cewek manis barang sehari Win?” gerutuku sembari
memijat pelipisku dan meringis, sakit.
“Kenapa lo? Flu?”
“Emang lo ga bisa paham dari suara gue? Sengau kan?”
“Kena ujan dikit aja sekong lo. Manja amat!”
“Terus kenapa lo ga mau ikutan ujan-ujanan juga kmaren ke ATM, hah?! Kalo lo
ikut, lo pasti bisa kayak gue sekarang.”
“Pilek kayak elo? Ogah.”
Aku hanya bisa misuh-misuh mendengarnya. Wina nyengir menang, dia sudah
hendak mengatakan sesuatu, namun urung dan kemudian menggamit lenganku. Tanpa
diberitahupun aku sudah tahu. Aku sudah mendengar derum sepeda motor Soni yang
kemudian melesat melewati kami berdua.
“Lo tunggu disini bentar ya?” kataku pada Wina dan melangkah cepat menuju
tempat parkir. Soni yang melihatku mendekat hanya menoleh sekilas dn sepertinya
berniat untuk cepat-cepat pergi, “SON!!” panggilku untuk mencegahnya.
Cowok itu urung melangkah dan berdiri diam menungguku dengan sebelah alis
terangkat. UGH!!!!! Kenapa sih manusia
satu ini imut banget, gerutuku dalam hati. Mangkel sekaligus kagum. Setelah
dekat, tanpa mengatakan apapun, aku mengulurkan bungkusan berisi kemeja yang
kupegang. Soni menerimanya dengan sorot mata keheranan.
Aku hany mengulas senyum tipis, “Maaf. Sekarang kamu bisa pergi,” kataku
pelan. Tanpa menunggu sahutannya, aku berbalik dan berlari kecil menuju Wina
yang menungguku, “Yuk! Kita masuk!” ajakku padanya dengan senyum lebar.
Ini yang terbaik bagi
kami, batinku. Meski akutahu dalam hati bahwa aku hanya mencoba sedang
meyakinkan diri sendiri.
Mas Soni,
BalasHapusSaya mau baca dari awal ya. Karena sebelumnya sudah baca, tapi masih penasaran.
Kapan sih kak update lagi??? Aku suka bngt baca ini ,sampe ini yg ke 4 kali baca.sampe begadang bacanyah karena cerita ini terasa bngt real yah,pliss kak soni lanjut dong 😭😭😭😭
BalasHapusKok samaan dah aku juga baca inj berulang² ahahahah
Hapus