Translate

Jumat, 28 Oktober 2016

THE MEMOIRS, a gay chronicle bab 7

BAB 7







Siang ini aku kembali pulang bersama Wina dan yang lain. Seperti biasa, kami ngobrol ngalor ngidul tanpa juntrungan. Dari bahas pelajaran sekolah, sampai gosip seleb terbaru yang di muat di majalah remaja. Namun baru saja kami keluar dari gerbang sekolah, sebuah sedan peugeot yang sudah ku kenal berhenti disamping kami. Pintu terbuka dan ku dapati Bi Atun keluar.

“Den...”

Untuk sejenak, aku hanya mampu bengong dengan mulut terbuka tanpa suara. Wina dan yang lain juga tak kalah herannya. Mereka melihat bergantian antara aku dan Bi Atun. Entah apa yang mereka pikirkan.

“Bi Atun? Kenapa Bi?” tanyaku setelah sadar dengan nada khawatir. Aku segera menghampirinya.

“Bisa ikut saya Den?” pintanya pelan.

“Tentu saja,” jawabku langsung. Aku berpaling pada Wina dan yang lain. Mereka masih setia pada pose bengong melompong melihat kami berdua, “Girls, sorry ya, gue ada keperluan mendadak. Gua tinggal dulu ok?” pamitku. Dan tanpa menunggu jawaban dari mereka, aku mengikuti Bi Atun masuk ke dalam mobil.

“Maaf Den kalo Bibi ngagetin,” ujar Bi Atun saat kami melaju menembus arus lalu lintas.

“Emang kenapa Bi? Soni kenapa? Ga ada yang gawat kan?” berondongku khawatir.

“Gawat sih enggak Den. Cuma....... Den Soni kumat lagi mogok makannya. Dari semalem juga Den Soni gak mau makan. Den Soni Cuma makan pas ada Aden kemarin itu. Sampai sekarang perutnya masih kosong.”   

Aku menghela nafas lega seklaigus jengkel mendengarnya. Setidaknya Bi Atun tidak menyampaikan kabar buruk, “Soni tau Bibi ke sekolah?”

“Engga Den. Bibi tadi pamit pergi untuk beli sesuatu. Untung aja si Surya tahu dimana sekolah Den Soni. Tadi Bibi udah berencana, kalo gak ketemu Aden di sekolah, Bibi mau langsung ke rumah Aden. Untung saja ketemu,” jelas Bi Atun membuatku tersenyum simpul. Cerdik juga dia.

“Eh ya Bi, emang orang tua Soni ada dimana?” tanyaku baru sadar akan hal itu. Kemarin saat berada di rumah Soni, aku memang di buat kagum akan kemewahannya. Meski begitu, aku merasa ada yang kurang. Photo keluarga. Dari semua hiasan yang tersebar di rumh itu, guci, vas, lukisan dan barang-barang lainnya, aku tak melihat satupun foto keluarga. Atau Cuma aku aja yang gak liat? , “Seperti apa mereka?” gumamku lirih, lebih ku tujukan pada diriku sendiri.

Aku lalu berpaling ke Bi Atun, dan segera saja di buat bengong oleh reaksi Bi Atun. Beliau malah diam dengan wajah yang terlihat suram. Jelas ada satu alasan yang membuatnya terbebani dan mencegahnya menjawabku.

“Bi.........................?” panggilku heran.

“Kalo soal itu, mungkin biar Den Soni yang jelasin Den. Bibi gak punya hak. Tapi kalo bisa, tolong jangan pernah bertanya ataupun menyinggung hal yang berhubungan dengan orang tua pada Den Soni. Bila tiba waktunya, Biar Den Soni  bercerita dengan sendirinya. Bibi pinta dengan sangat ya Den....?” mohon Bi Atun dengan wajah penuh hara.

Nah lho? Satu lagi teka teki tentang Soni muncul di permukaan.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum menenangkan meski benakku terasa penuh akan tanya, “Bibi udah buatin bubur buat Soni?” tanyaku mencoba mengalihkan topik yang mulai terasa berat.

“Sudah Den. Tinggal kasih ke Den Soni aja.”

Aku mengacungkan jempol mendengarnya.




Soni yang sedang nonton santai di kamarnya terpaku kaget melihatku yang melangkah masuk dengan membawa nampan makanan. Aku cuek saja melihat reaksinya.  Malah memasang senyum lebar.

“Kok masih pake piyama?” tegurku santai dan meletakkan nampan diatas meja  perlahan.

 Soni yang mulanya berbaring santai bangkit dan duduk. Dia memang masih pakai piyama tidurnya. Rambut pendeknya yang biasa terlihat rapi, tampak sedikit berantakan. Tapi....kenapa dia masih tampak menarik ya? Penampilannya memberi kesan seksi yang biasa kulihat di film-film, saat aktornya memerankan seseorang yang kelelahan setelah bercinta semalaman.

Anjrit!!!!

Sialan!!!

Aku memaki dalam hati dan cepat-cepat memalingkan muka. Ku tarik nafas sebentar untuk menenangkan perutku yang bergejolak. Aku lalu meletakkan tasku ke lantai, kemudian duduk di sebelah Soni.

“Belum makan dari semalem kan?” tanyaku dan menoleh sekilas padanya sebelum meraih mangkok bubur dan sendok, 

“Aku suapi ya? Kata Bunda, orang sakit tuh kudu dimanja,” kataku dan tersenyum. Aku mengulurkan sendok yang telah terisi itu ke mulutnya.

“Bagaim...”

Aku sudah mendorong sendok itu masuk, mencegahnya berbicara. Soni sendiri refleks membuka mulutnya lebih lebar, 

“Aku sudah yakin kalo kamu bakal mogok makan lagi. Karena itu aku daten. Heran, kebiasaan buruk kok dipiara?” omelku menggerutu kesal sambil kembali menyuapinya.

“Naik apa tadi?” tanya Soni tanpa mampu menyembunyikan keheranannya. Ia memandangku meminta jawaban sembari mengunyah pelan.

“Taksi,” jawabku singkat dan mengalihkan pandanganku ke layar tv-nya yang gede. Ukurannyamungkin 5 kali lebih besar dari punyaku di rumah.

“Musik,” jawab Soni tanpa mengalihkan pandangannya. Tatapannya membuatku jengah. Aku Cuma mampu nyengir kecil dan menyuapinya, “Tadi...............langsung kesini dari sekolah?”

Aku mengangguk, “Kalo nunggu pulang kelamaan. Ntar kamu kena maag. Kenapa ga makan lagi?”

“Aku kan udah bilang dari kemaren kalo aku males,” gerutunya.

“Dan dari kemaren aku juga udah bilang kalo kamu kudu tetep makan meskipun males,” serobotku tak tahan buat nyolot, 

“Namanya juga sakit. Mulut juga akan terasa pahit, tubub lemes dan gak ada tenaga. Males buat ngapa-ngapain. Tapi kalo di turutin, perut terus di kosongin, malah runyam nantinya,” omelku sedikit mendelik kesal.

Soni tertawa kecil, geli bercampur jengkel, “ Kita lihat apa nanti kau akan tetap berkomentar sama, kalau kau yang ada dalam posisiku sekarang. Aku akan melakukan dan mengatakan hal yang sama supaya kau tau rasanya.”

“Siapa takut?” tantangku pede.

 Jatuh sakit terus di suapin ma Soni? MAU BANGEEEETT!!! bantinku centil. Mau deh kalo sakit sekarang juga. Asal jangan sakit yang mengancam nyawa.

“Eh tapi, ngomong-ngomong kamu gimana? Meski gak makan, masih jauh lebih baik kan daripada kemaren? Lemes ya?” tanyaku lagi, mencoba mengalihkan topik dan bersikap kalau semuanya normal saja. Aku harus mencoba terlihat santai meski debaran di dadaku menguat. Apalagi oleh tawaran Soni tadi yang membuat imajinasiku menyala.

“Yeah, sedikit.”

“Makanya jangan telat makan.”

Soni mendengus dan melengoskan kepala saat aku kembali hendak menyuapinya, “Aku sudah kenyang. Mana obatnya?”

Aku mendelik hebat mendengarnya, “Belum juga lima sendok. Kamu harus isi perutnu yang udah kosong dari semalem itu,” kataku dan menyorongkan sendok tadi.

Soni kembali melengos, “Kamu makan aja sendiri.”

“Son!!!”

“Makan sendiri kalo mau!”

“SONI!!”

“Kalo buat Den TJ, sudah Bibi bikinin Den. Den Soni abisin aja buburnya,” ujar Bi Atun yang masuk dengan membawa nampan full makanan yang kelihatannya lezat, “Den TJ udah laper juga kan?”

“Bi Atun kan bisa manggil saya, biar saya makan di bawah,” kataku iba melihatnya agak berkeringat.

“Gak apa-apa Den. Kali aja Den Soni jadi lahap kalo ada temen makan.”

“Kamu belom makan?” tanya Soni membuatku berpaling padanya.

“Mana sempet mikir makan kalo Bibi bilang kamu belom makan dari semalem?! Aku langsung kesini dai sekolah, tauk? Kamu gini juga gara-gara aku kan.”

“Bibi yang bilang?” tanya Soni bengong, “Jadi.............. Bi Atun jempt kamu ke sekolah?

Ya ampun!!! Gue kelepasan!!

“Iya Den. Tapi...............”

“Aku yang minta. Emang kenapa?” potongku cepat. Aku gak pengen Bi Atun kena damprat gara-gara niat baiknya. Aku tatap Soni dengan nekat, “Aku emang minta ma Bi Atun buat hubungi aku kalo kamu kumat mogok makannya. Untung aja Bi Atun bersedia, jadi aku bisa langsung kesini. Kenapa? Mau protes? Ayo makan?!!!”

Untuk sesaat Soni benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Tanpa sadar dia membuka mulutnya saat sendok yang terisi tadi ku sorogkan lagi.

“Bagus,” ujarku senang.

Soni tersadar dan mendengus keras, “NGGAK LAGI!!!” teriaknya dan menutup mulutnya dengan bantal.

“Den, yang banyak makannya. Besok kan masih harus ke Singapur,” bujuk Bi Atun.

Giliran aku yang bengong, “Ke Singapura? Ngapain?”

“Ada sedikit urusan,” jawab Soni, masih dengan wajah yang di tutupi bantal. Dia melambai pada Bi Atun yang pamit untuk kembali  ke dapur.

“Udah tau gitu kamu masih mau mogok makan?” omelku dan menyambar bantal yang dia dekap, “Pokoknya hari ini kamu harus makan banyak!”

Soni malah menutup mulutnya dengan tangan dan menggeleng, “Kamu aja lah yang makan. Kamu sendiri juga belom.”

“Setelah kamu!!!” bnatahku gondok, “Aku gak bakal bisa tenang kalo kamu belum sembuh. Kamu gini gara-gara aku juga kan?!”

“Siapa bilang?” tanya Soni lagi.

Aku menghela nafas panjang, “Aku tahu semua yang kamu lakukan. Membawaku ke rumah sakit di tengah malam buta dalam keadaan ujan pula. Padahal sebelumnya kamu udah begadang nungguin aku di pondok. Kamu juga bayar biaya rumah sakit dan nganter aku pulang. Padahal waktu itu ..............wajahmu bener-bener pucat, kurang istirahat. Semula ku kira kau membenciku.”

“Aku tidak membencimu,” ujar Soni dengan nada datar.

“Lalu apa kau menyebutnya? Jijik?”

“Apa?”

Aku hanya tersenyum tipis melihatnya terperangah, “Apa aku harus menyebutkan alasanya? Seperti yang semua orang katakan, aku ban..”

“Kamu makan aja dulu. Aku mau mandi,” potong Soni cepat dan bangkit meninggalkan aku yang termangu kaget karena dia memotongku mendadak.

Sungguh orang yang sulit di tebak!




Selesai akan, aku hanya diam disana, nonton acara tv yang menyala sedari tadi. Entah acara apa. Yang jelas bukan siaran tv lokal. Piring-piring dan nampan tadi sudah dibereskan oleh Bi Atun. Mau tak mau aku sedikit menggerutu karena Soni ternyata orang yang betah nongkrong di kamar mandi.

Anganku kembali memutr adegan terakhir kami tad. Sikap Soni membuatku penasaran. Sebenarnya apa pendapat Soni tentangku? Sikapnya sudah cukup kontras dibandingkan dengan dia yang kemarin- kemarin.  Yeaaahhh.....mungkin dia tak sejahat dugaanku. Tapi apa sebenarnya alasan dia begitu antipati padaku dulu? Dari keterangan-keterangan samar yang ku dapat, jelas Soni orang yang introvert. Dia sangat menghargai privasi, tertutup, namun juga sangat menghargai teman. Apa karena kami belum saling mengenal saja? Karena kami belum bisa disebut sebagai teman?

Nah.......pertanyaan yang mungkin harus ku tanyakan pada diriku sendiri adalah, bisakah aku berteman dengannya?
Keberadaan Soni di dekatku saja sudah memberi efek yang hebat. Jantungku kadang harus ku kendalikan mati-matian. Kadang suhu tubuh juga panas dingin gak karuan. Suka bingung dan belingsatan ga jelas. Harus sering-sering memalingkan muka karena gak sanggup kalo liat dia langsung terlalu lama. Suka malu gak jelas. Semua kemampuanku bersilat lidah, kebawelan dan kerameanku yang terasah dengan baik oleh Wina dan yang lain, mendadak jadi tumpul dan bisa dia punahkan dengan satu tatapan tajam.

Aku menghela nafas.

Tuhan!!! Ini bukan jenis perasaan ‘itu’ kan? Bertahun-tahun aku membantah saat orang-orang menudingku dengan sebutan banci ataupun homoseks. Aku tak bisa menerima panggilan itu. Dan yang aku rasakan sekarang......itu lain bukan? Aku hanya..............kagum saja. Karena bahkan detik ini, aku tahu dan sadar bahwa seorang pria tak mungkin bisa mencintai pria lain dalam artian yang romantis. Hal itu menentang hukum alam dan juga agama. Bertentangan dengan norma masyarakat dan adat. Aku mengerti hal itu. Jadi apa yang kurasakan ini tak ada hubungannya dengan segala sesuatu yang romantis kan? Karena aku masih sadar akan hal yang ku sebutkan tadi.

Aku kesulitan untuk mendeskripsikan perasaanku saat ini. Apakah kata ‘kagum’ sudah cukup mewakili apa yang kurasakan pada Soni?

Tanpa sadar aku menghela nafas masygul. Aku bangkit dari duduk ku, mendekat ke arah rak yang berada di sebelah kabinet yang berisi peralatan elektonik. Home theatre atau entah apa lah namanya. Aku tertarik pada benda yang sekilas terlihat seperti sebuah album foto.

Aku tidak salah! Saat ku buka, album itu penuh berisi foto-foto Soni. Kembali, ada sedikit perasaa aneh dan penasaran ketika aku tak melihat foto anggota keluarga Soni yang lain. Meski perasaan itu hanya mampir sebentar. Detik berikutnya, aku dibuat terpana dengan foto-foto Soni di tanganku.

SWEAR!!! Kunyuk satu itu sungguh tampak menakjubkan. Dalam album itu, ada foto Soni dalam berbagai kesempatan. Ada yang memakai t-shirt dan celana pendek di pantai, dengan pakaian berburu dan memegang senjata api, lalu......
Aku membalik album itu dengan kening berkerut. Ada banyak foto Soni disana yang menggunakan pakaian resmi. Setelan jas lengkap dan dasinya. Dia terlihat seperti sedang.............rapat?

Agak aneh melihat di sekitarnya ada banyak pria-pria lain yang usianya terlihat lebih tua. Beberapa malah ada gambar Soni yang di kelilingi oleh bapak-bapak berusia limapuluhan. Malah ada juga yang rambutnya putih. Mereka terlihat berjabat tangan. Ada juga saat Soni berdiri ngobrol dengan memegang gelas anggur seperti yang ku lihat di tv. 

Lalu..........ada ketika Soni sedang menanda tangani sesuatu.

Koleksi foto-foto itu seakan-akan menunjukkan kalau Soni sedang melakukan transaksi bisnis. Mustahil kan? Dia hanya seorang anak sekolahan sepertiku.

Lalu ada satu lagi foto yang membuatku lama melihatnya.

Ada sebuah foto Soni yang jelas diambil di kantor. Di foto itu, Soni sedang duduk di sebuah meja kerja dengan beberapa tumpukan file di depannya. Di belakangnya ada sebuah jendela besar yang menampakkan pemandangan gedung-gedung bertingkat. Di sebelah jendela itu, ada rak buku besar yang di penuhi buku-buku bersampul kulit. Di foto itu Soni melihat lurus ke arah kamera. Profil wajahnya yang sempurna terlihat dengan jelas. Tampak begitu dewasa, elegan, berkelas dan....................sedikit arogan. Sikap dan cara duduknya memancarkan kekuasaan meski tetap. Di mata yang tajam itu, aku melihat semacam rasa sedih yang melankolis dan tak bisa ku pahami. Dia benar-benar terlihat jauh lebih dewasa. 

Terlihat seperti seorang eksekutif muda tulen.

Wajahnya yang mulus mungkin satu-satunya hal yang menunjukkan usia dia yang sebenarnya. Mungkin akan lebih sempurna kalau dia menumbuhkan sedikit cambang, janggut dan kumis. Apalagi kalao dibentuk rapi seperti seleb luar negeri. Hal itu akan mempertegas kesan dewasa dan macho pada dirinya. Gimana jadiny ya? Pikirku centil.

“Sudah selesi makannya?”

Aku berbalik dan mendapati Soni yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Dia memakai celana pendek dan t-shirt putih dengan kerah v-neck. Dia mengusap rambutnya yang masih meneteskan air dengan handuk yang dia bawa.

Tuhaaaaaaann!!!!

Lagi-lagi aku mendesah.

Sebenernya mataku yang salah, atau emang Cuma perasaaanku saja yang membuat cowok ini selalu terlihat sempurna? Atau mungkin.........memang seperti itulah aura dia? Dia selalu tampak mengagumkan dalam balutan pakaian atau keadaan apapun. Dia selalu tampak berbeda, mencocol dan nyaris.................bersinar. Dia tipe orang yang dengan alaminya menjadi pusat perhatian. Tanpa harus melakukan apapun. Bahkan dalam pakaian sederhana seperti sekarang ini.  Hanya dengan sebuah celana pendek warna gading dan t-shirt putih, dia terlihat bergaya. Banyak anak yang susah payah ingin tampil style, bergaya dan gaul dengan menggunakan pakaian bermerk dan potongan hip, tapi jadinya malah amburadul dan aneh.

Tapi Soni........tidak butuh itu. Dia tidak perlu melakukannya. Dia mungkin bahkan akan tetap terlihat menarik meski hanya menggunakan kaus singlet dan celana jeans.  Atau sekedar t-shirt dan celana pendek seperti sekarang. Sebagian rambutnya yang basah itu jatuh di dahinya. Kulitnya yang bersih dan segar, terlihat lebih bersinar setelah selesai mandi, membuat bibir merahnya yang sudah kembali membasah itu mencolok. Mataku turun melihat ke kakinya yang di tumbuhi bulu-bulu yang lumayan lebat dan sandal kamarnya.

“Ada yang salah?” tanya Soni seraya memandangi dirinya sendiri.

Sial!!!!

Bagaimana bisa aku tak menemukan kekurangan dalam diri sosok ini? Percaya deh, aku pasti bisa langsung mengenalnya meski dia berada dalam sebuah kerumunan orang.

“TJ?!!” panggil Soni lagi dengan nada tanya.

“Aku menemukan ini!” kataku cepat begitu sadar dan mencoba tertawa meski mungkin terdengar gugup, “Seru banget. Dimana aja dih lokasinya? Di luar negeri semua ya?” sambungku lagi. Semoga aku tak terdengar seperti orang mabuk yang ngoceh tak jelas, batinku seraya kembali ke sova dengan album yang masih terbuka di tanganku.

“Yang mana?” tanya Soni dan menyusulku duduk. Semerbak harum sabun, shampoo dan mungkin cologne-nya memenuhi hidungku. Bau yang terkesan cowok banget dan segar langsung membuat jantungku berdetak lebih keras. Apalagi dia duduk begitu dekat.

S. O. S!!! Batinku lagi saat tubuh kami sedikit bersentuhan.

“Y-yang ini...?” tunjukku asal.

“Itu kan Orchad Road.”

Aku melihatnya dengan tatapan tak mengerti.

“Pusat perbelanjaan di Singapura,” jelas Soni lagi saat melihatku diem bego.

“Ooh,” sahutku singkat. Di foto itu Soni memang berpose dengan menenteng beberapa tas belanjaan. Ada sebuah kaca mata hitam yang bertengger di atas kepalanya, “Kalo yang ini?” tanyaku lagi, menunjuk pada foto Soni yang memegang senapan dan memakai pakaian berburu, “Ujung kulon?”

“Afrika,” ralat Soni kalem.

Busyet!!!

Dan masih banyak lagi foto Soni yang dari negeri lain. Ada pas dia di Thailand, Hongkong, Sidney, Seoul, Den Haag dan juga London. Sampai kemudian aku menemukan foto Soni yang berdiri di sebelah pohon anggur. Dia memegang setangkai anggur merah yang tampak segar.

“Ini dimana Son?”

“Mersailles.... sebuah desa kecil di Perancis.”

Tanpa sadar aku mendesah. Perancis. Paris. Salah satu negara di Eropah yang pengen banget aku kunjungi. Kota yang terkenal akan keromantisannya. Kota itu berada di urutan pertama, diatas Venezia. DAN SONI SUDAH PERNAH KESANA!!

BAHH!!!

“Pernah kesana?”

Aku mendengus keras mendengarnya, “Niat nanya apa nyindir? Bali aja baru sekali,” gerutuku tanpa berani memalingkan wajah. Posisi kami terlalu dekat hingga terkadang hembusan nafas Soni terasa samar di wajahku yang menghangat.  Duh, merah padam gak ya muka gue? Batinku cemas sementara hatiku kembali kebat-kebit.

Soni tertawa kecil, “Ok, aku ganti pertanyaannya. Negara mana yang paling pengen kamu kunjungi?”

“Paris, Perancis!” sahutku cepat dan bangkit, sedikit menjauhkan diri darinya. Saat berbalik, kutemukan Soni melihatku dengan sebelah alis terangkat. Aku Cuma nyengir dengan reaksinya. Well, setidaknya aku punya sedikit kesempatan untuk mengatur kembali nafasku yang tadi sempat amburadul.

“Why Paris?”

“Well, semua orang menyukainya kan? Dengan menara Eiffel, Champs elysess, sungai Seine dan lain-lainnya. Kota yang tersohor paling romantis di dunia. Siapa yang tidak akan suka?”

“Apa tepatnya yang ingin kau lakukan di Paris? Hanya jalan-jalan dan belanja?” tanyanya tertarik

Aku menggelengkan kepala, “Nope! Tapi aku gak akan bilang. Kamu pasti akan menganggapku konyol.”

“Aku serius benar-benar ingin tahu. Tell me.”

“Well..............kau pasti menganggapku bodoh. Tapi aku sering banget membayangkan hal ini,” kataku dengan menerawang, “Coba bayangkan saja. Jalan-jalan di sepanjang Champs Elysess di malam hari, lalu duduk berdua di bangku taman yang menghadap Eiffel dengan orang yang kita sayangi. Atau hanya duduk di kafe terbuka, menikmati pemandangan malam dan orang-orang yang lalu lalang. Menyaksikan bagaimana dunia bergerak di depan kita

“Aku juga membayangkan berlayar di sepanjang sungai Seine. Berdua dengan kekasih. Menikmati pemandangan di malam hari. Melewati jembatan Alexander yang konon bisa mengabulkan permohonan, dan kemudian berhenti di tengah-tengah perairan gelap yang sunyi. Berbaring berdua di atas yacht, meilhat bintang-bintang di langit dalam kegelapan. Hanya berdua. Paginya, kami bisa melihat kemegahan Arch de Thriomphe, menyisir kemegahan gereja Notredame yang kuno, serta menghabiskan hari di museum Louvre. Melihat senyum Monalisa yang mendunia.”

“Berdua?” tanya Soni, kembali dengan sebelah alis terangkat.

Aku menoleh padanya dan tersenyum tipis, “Berdua,” tegasku lembut, “Aku orang egois yang ingin membagi semua hal itu, hanya dengan orang yang ku sayangi. Hanya dengannya.”

“Kedengarannya seperti sebuah film drama romantis.”

“Yang konyol dan bodoh. Aku tahu,” sambungku singkat, “Namanya saja khayalan. Ayolah, Son. Aku sadar, kalau dengan kemampuanku sekarang, mungkin aku tak akan pernah bisa ke Paris. Entah dalam jangka waktu 20 tahun lagi,” selorohku. Aku lalu kembali melihat album yang aku pegang.

Foto itu. Foto dimana dia duduk di sebuah ruang kantor, ”Dimana foto ini diambil?” tanyaku dan menunjukkannya pada Soni.

“Di Jakarta saja.”

“Di kantormu?” sambungku.

Sejenak dia tak langsung menjawabnya, hanya melihatku dengan pandangan datar, seakan-akan berpikir harus menjawabku dengan benar ataukah harus berbohong. Aku mencoba menampilkan ekspresi biasa, menutupi rasa keingintahuanku yang besar. Hingga kemudian dia mengangguk.

Tanpa ku sadari, aku menrik nafas dan tersenyum. Jadi benar. Dia memang memiliki kantor. Dia, yang notabene setahuku hanyalah seorang murid SMU, memiliki kantor. Begitu banyak hal yang misterius tentangnya. Begitu banyak pertanyaan di benakku yang aku yakin, tidak mungkin dia mau menjawabnya. Jadi aku hanya menelan satu fakta baru itu darinya dengan sebuah senyuman saja.

“Kenapa?” tanya Soni lagi.

Aku mengangkat bahu, “Engga ada sih. Cuma........melihat foto ini, aku sempat berpikir. Wajahmu terlihat terlalu polos. Tadi aku sempet bayangin melihatmu dengan sedikit cambang dan kumis. Kau tahu, kumis rapi yang menyambung dengan janggut seperti yang pernah Primus pake di sebuah sinetron. Mungkin hal itu akan mempertegas kesan dewasa, berwibawa dan macho di wajahmu. Jadinya gak mulus-mulus amat kayak gini,” saranku jahil/

“Oh ya?”

“Hanya sekedar bayangan isengku kok,” selorohku cepat. Jangan sampai dia mikir macem-macem tentangku. Bisa-bisa dia jadi angot lagi kayak yang sudah-sudah, “Kamu cukup sering ke luar ya? Berapa kali dalam setahun?”

“Entahlah. Aku hanya melakukannya jika ada keperluan atau....kalau aku pengen aja.”

Aku mendengus pelan. Enak aja dia bilang kalo pengen aja. Yeaahh..........mungkin untuk orang-orang seperti Soni, ke luar negeri tuh gak ada bedanya dengan jalan-jalan ke Ancol. Kalau aku........mending juga buat bayar uang sekolah yang sering telat.

“Oh ya, ortu kamu mana Son? Dari kemaren aku juga belom liat. Fotonya ada?” celetukku ringan. Namun detik berikutnya, aku menyesal telah menanyakan hal itu. Lupa akan peringatan dari Bi Atun. Ekspresi wajah Soni berubah dingin dan nyaris menyeramkan, “Maaf. Anggap saja aku tak pernah bertanya,” ralatkusegera.

Soni tak menjawab, hanya menganggukan kepalanya padaku. Atmosfer ruangan yang tadinya cukup menyenangkan jadi berubah kaku dan sama kekali tidak nyaman. Soni terdiam dengan mata lurus ke Tv, meski aku yakin dia tidak sedang menontonnya. Aku sendiri sebenarnya tercabik antara perasaan menyesal dan ingin tahu.

Sebenarnya, ada rahasia apalagi yang dia punya? Juga tentang keluargnya? Melihat situasi sekarang, sepertinya akan lebih baik kalau aku pergi saja.

“Kalo gitu........aku pulang dulu,” pamitku.

Soni menatapku sejenak, “Kalau begitu biar ku antar,” katanya dan bangkit.

“Tapi tubuhmu...”

“Sudah nggak apa-apa,” jawabnya dan ngeloyor pergi. Aku hanya bisa menghela nafas gundah.

Perjalanan pulang kami tempuh dalam diam yang benar-benar menyesakkan. Soni kembali ke dirinya yang dingin dab seolah-olah tak tersentuh.

“Jadi beneran besok ke Singapura?” tanyaku memecah keheningan. Soni hanya mengangguk untuk menjawabnya.

“Berapa hari Son?” tanyaku lagi.

“Entahlah,” jawab Soni, masih dengan mata yang terarah lurus ke depan.

Kembali aku menghela nafas, “Maaf,” kataku pelan, “Aku mungkin telah menanyakan hal yang terlalu pribadi. Aku tak bermaksud untuk me..”

“Sudahlah,” potong Soni, “.............jangan dibahas.”

Aku sedikit ternganga. Meski nadanya datar, kalimat itu benar-benar terasa final bagiku. Ya Tuhan, dia marah beneran, 

“Baiklah....” kataku mencoba mengalah, “Tapi .........berjanjilah satu hal padaku. Jangan telat makn, ok? Selama di Singapura, kau harus makan teratur. Bisa kan?” bujukku.

Soni mengangguk lagi.

“Soni, aku pengen denger kamu janji,” tuntutku masih dengan nada membujuk.

“Ya,” jawabnya singkat.

“Son..?!”

“Iya, janji!” kata Soni menegaskan dan elirikku sekilas. Aku merasakan sedikit lega karena mata itu tak sedingin tadi.

“Ok. I’ll take that. Terus, jangan lama-lama lah kalo bisa. Kamu kan udah kelas tiga. Ujian juga udah gak lama lagi.”

“Bawel,” gerutu Soni pelan meski aku melihat sedikit sinar geli di matanya.

“Sebodo lah. Awas ya kalo nggak,” lanjutku lagi. Tak ada sahutan dari Soni. Saat ku lirik, cowok itu diam dengan pandangan lurus. Aku kembali mendesah dalam hati. Apa lagi sebenarnya yang kau sembunyikan Soni? Batinku. Satu hal yang pasti, aku tak akan lagi menyinggung perihal orang tuanya.



Kamis, 20 Oktober 2016

THE MEMOIRS, a gay chronicle Bab 6

BAB 6




Dan disinilah aku. Siang ini untuk pertama kalinya, aku pulang terpisah dengan geng-ku. Sebenerna Wina tadi menawarkan diri untuk menemani saat ku katakan kalau au harus mengerjakan sesuatu sepulang sekolah. Aku tak bisa mengatakan kalau aku memiliki temu janji dengan Soni. Aku hanya mengatakan kalau Cuma ada keperluan kecil dan tak usah khawatir kalau aku bakal di culik. Wina dan yang lain hanya mendengus keras dan mengatakan bahwa hanya orang kurang kerjaansaja yang mau menculikku.

Dan aku sudah menunggu selama setengah jam, tapi Soni belum muncul juga. Ughh!! Mana udara panas gini, gerundengku dalam hati. Entah sudah berapa kali aku celingukan, kali-kali aja motor Soni nongol dari tikungan ujung sana.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah tak bisa menahan diri lagi. Sekolah sudah sepi banget. Cuma ada segelintir anak yang ada di dalam untuk kegiatan ekstra. Aku sudah garing dan nyaris pingsan di jemur di depan gerbang begini.

“Sial!!” umpatku pelan. Dengan lesu, aku berjalan untuk pulang. Batinku mengeluarkan berbagai macam gerutuan, bercampur dengan dugaan-dugaan saling tumpang tindih.

Apa dia lupa? Atau malah sengaja ngerjain doang? Kalo emang begitu, aku harus membalasnya. Bagaimana kalau ancaman tadi aku realisasikan? Aku tulis nomor teleponnya di kertas manila putih gede, lalu aku tempel di papan pengumuman sekolah. Atau di majalah dinding sekolah. Biar semua orang tahu. Biar Soni diterror oleh para groupiesnya yang sinting. Tau rasa lo ntar!! Atau gue...

“HEIII!!!!” aku berteriak kaget saat sebuah sedan mewah puegeot nyelonong dari  belakang dan memotong jalanku, “NYETIR PAKE MATA DONG?!!!” makiku kesel. Aku sudah bersiap-siap buat misuh saat jendela mobil itu terbuka. Dan kulihat didalamnya! NJIIIIIRRR!!!!

“Masuk,” katanya singkat. Irit seperti biasanya.

Aku hanya menurut dan masuk ke dalam mobil itu dengan gerakan pelan. Gila!! Jok-nya dari kulit dan empuk, nyaman luar biasa. Baunya juga wangi, batinku dan mengedarkan pandangan. Tapi pandanganku kemudian tertumbuk pada Soni yang ada di belakang kemudi. Aku memperhatikannya hingga kemudian menyadari ada sesuatu yang salah dengannya, “Kamu.........gak apa-apa?” tanyaku kemudian. Dia tampak kepayahan seperti orang yang baru saja berlari marathon. Keringat membasahi dahi dan lehernya. Sebagian wajahnya juga basah. Dari luar tadi aku tak melihatnya. Bahkan saat aku pertama kali masuk, tertutup oleh kaca mata hitamnya. Lagipula, aku terlalu bengong dengan batin bersorak, CAKEPNYAAAA!!!

“Sorry..................aku telat. Aku diare beberapa hari ini, jadi agak lemas,” katanya pelan. Dia tak langsung menjalankan mobilnya. Dia malah menghela nafas panjang lalu menelungkupkan wajahnya ke setir.

“Son....” panggilku cemas.

“Bisa nyetir?” tanya Soni tanpa mengangkat wajahnya.

“Enggak,” jawabku kemudian. Boro-boro mobil, motor aja masih kagok, lanjutku dalam hati, “Kenapa Son?”

“Aku lemes banget,” keluhnya dengan nafas yang terdengar agak memburu. Aku yang jadi tak tega melihatnya, meraih beberapa tissue dari dashboard dan mengusap lehernya. Tubuh Soni menegang untuk sesaat, membuatku sadar akan kelancanganku. Aku meminta maaf pelan, membiarkannya mengusap sendiri keringatnya.

“Kamu berkeringat banyak banget, Son. Aku harus gimana? Aku gak bisa bawa mobil,” kataku cemas. Aku hanya mengambil lebih banyak lagi tissue untuk kuberikan padanya. Tangan Soni yang bersentuhan denganku begitu dingin. Aku memberanikan diri untuk kembali membantunya mengusap keringatnya yang kini bermanik lagi dalam hitungan detik.

“.................udah gak apa-apa. Tunggu bentar, ok? Habis ini aku antar kamu pulang,” ujarnya sembari menyingkirkan tanganku tanpa sekalipun mengangkat wajah.

“Kalo gitu, kamu istirahat ke tempatku aja dulu.”

“Nggak. Aku harus pulang,” tolak Soni dan mengangkat muka.

YA AMPUUNN!!! DIA PUCAT BANGEEETT!!!

“Kalo gitu, kita langsung ke rumahmu. Ntar biar aku pulang pake taksi aja. DAN JANGAN MEMBANTAH!!!” serobotku jengkel saat ku lihat dia hendak membuka mulut untuk protes, “Kamu payah banget. Aku gak bisa ngebiarin kamu jalan sendiri dalam keadaan gini. Lagian, ngapain sih maksa dateng kalo emang masih sakit. Akan lebih mudah kalo kamu kasih tau alamatmu kan? Toh aku juga gak bakal bilang ke orang lain kalo emang kamu gak bolehin. Mana gak pake jaket lagi.”

Tanpa sadar aku nyerocos tak terkendali. Aku mengangsurkan jaket yang kubawa, tapi jadi tak sabar ketika dia berusaha memakainya dengan gerakan seperti slow motion film. Aku segera memakaikannya sendiri, “Kau boleh jadi seorang misanthrope gila!” gerutuku lagi.

“Seorang apa?”

“Misanthrope!” kataku keras, “Orang yang gak suka ma orang lain. Kalo emang iya, kamu harus segera cari psikiater buat sembuh.”

“Kau tahu istilah psikologi yang cukup aneh seperti itu. Ingin jadi dokter?”

Aku sedikit heran karena dia membelokkan pembicaraan ke arah itu. Kukira dia bakal mengkonfrontasi dengan sengit, “Ada sih keinginan itu. Kenapa?”

“Apa menurutmu seperti ini seharusnya orang sakit diperlakukan?” kata Soni yang selesai mengenakan jaket dan langsung bersandar dengan mata terpejam. Aku jadi terbungkam mendengar protes lemahnya. Duh.....iya juga sih. Orang yang jelas sakit malah gue omelin, batinku.

“Maaf...” kataku bersalah. Soni membuka matanya dan melihatku. Perlahan, sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. WHOAAAHH!!! Itu senyum pertamanya untukku. Dan by the way, dia terlihat mengagumkan dengan setelan jaket yang dipakainya itu. Dan dengan senyum yang meski kecil itu, dia lebih mirip seorang model yang bersiap untuk sebuah pemotretan bagiku.

“Ayo ku antar,” katanya dan menghidupkan mobil.

Tuh kan?!  Baru juga gua puji dalam hati. Aku menggeram marah, “KITA KE TEMPATMU!!” kataku keras, “Kamu pikir aku bisa tenang membiarkanmu jalan dalam keadaan begitu?!”

“Rumahku cukup jauh dari sini. Kau akan kerepotan!”

“Gak usah mikir aku. Pikir aja kondisimu sekarang. Kalo ada macam-macam di jalan gimana?”

“Kamu mendoakan aku begitu?!”

“Justru karena aku gak mau kamu gitu makanya kita langsung ke rumahmu aja!!!!” geramku mulai terpancing dengan kepala batunya, “Aku nanti bisa pulang naik taksi.”

“Tapi...”

“Jalankan mobil. Aku sehat dan bisa melakukan apa saja tanpa harus kehabisan tenaga sepertimu. Jalan!” tegasku lagi.

“Ya terserah aja.....” kata Soni akhirnya pasrah dan menghela nafas.


Jujur aku mulai ragu kalau ikut Soni adalah ide yang bagus!


Mobil Soni melaju di sebuah jalan perumahan yang tak ku kenal. Sebuah perumahan asing yang ada diluar kota menuju daerah puncak. Tapi jalan besar yang kami lalui ini lengang dan tak begitu banyak kendaraan yang lalu lalang.  Jalan yang mungkin lebih tepat disebut boulevard ini sebenarnya cukup menakjubkan karena penataannya yang cukup artistik. Jalan inidibagi dua oleh pot-pot besar dari semen dan taman kecil yang terlalu bagus kalau dibilang di hias secara acak. 
Berbagai macam bunga dan tanaman yang menghiasi pot dan taman kecil memanjang itu terasa memiliki alur dan tema yang membuat nyaman dan enak dinikmati mata. Sementara di kedua sisi jalan, di hiasi dengan pohon palem yang besar dan tinggi.

Hampir semua rumah yang ada di daerah itu takterlihat karena terhalang tembok tinggi atau pepohonan besar. Hanya ada satu dua rumah yang terlihat jelas. Sebagian besar bangunannya terlhat megah dengan pilar-pilar besar ala bangunan yunani kuno.

Ini daerah mana sih? Pikirku kecut. Sama sekali aku belum pernah ke daerah sini. Kalo kelayapan, paling-paling juga ke mall, bukan mengunjungi daerah asing begini. Daerah perumahan ini terasa permai dengan udaranya yang segar dan sejuk. Efek dari rimbunnya pepohonan. Masa ini beneran jalan ke rumahnya? Ga cape apa dia bolak-balik dari sini ke sekolah? Kan lumayan jauh, pikirku lagi.

Dan kemudian Soni membelokkan mobilnya. Jalanannya kini sedikit menanjak.

“Masih jauh, Son?” tanyaku dan kembali meliriknya dengan khawatir. Selain daerah yang tak ku kenal ini, keadaan Soni juga terus bikin aku tak tenang. Dia benar-benar terlihat payah. Sedari tadi dia tak mengatakan apapun. Tampak memusatkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk menyetir. Dahinya berkerut serius sementara bibirnya menjadi semakin pucat lagi.

“Tuh.......di depan,” katanya singkat.  Dan beberapa saat kemudian, mobil Soni kembali berbelok. Kami melaju di sebuah jalanan pribadi yang dibuat dari batu alam. Lebarnya Cuma sedikit lebih besar dari mobil Soni. Paling banter mungkin hanya cukup di masuki oleh sebuah truk kecil. Kanan kirinya di apit oleh pagar tembok yang di tumbuhi oleh tanaman merambat. Tampak hijau dan memberi kesan hijau yang antik. Suasana di sini jadi lebih sunyi lagi, apa lagi dengan adanya pohon-pohon besar yang menjulang.

Dan kami berhenti di sebuah pintu gerbang besi besar. Soni membunyikan klaksonnya 3 kali, dan perlahan, pintu gerbang itu terbuka secara otomatis. Ada suara dengung pelan yang terdengar mengiringi gerakan gerbang itu. Aku melihat dua orang berpakaian satpam, lengkap dengan senjata pengamannya berdiri di samping gerbang dan sedikit membungkuk saat kami lewat. Untuk ke sekian kalinya aku bengong.

AJE GILEEEEE!!!!!

Kami lalu melaju melewati sebuah daerah rimbun yang lebih mirip hutan kecil saking hijaunya. Sampai kemudian aku melihat bangunan yang menjulang gagah pada jarak beberapa ratus meter di depan kami. Sebuah bangunan bergaya Eropah klasik dengan pilar-pilar besar, bertingkat tiga dengan warna-warna alam yang di padu apik. Bangunan yang tampak menyatu dengan alam sekitarnya. Nyaris seperti sebuah tempat perlindungan mewah diantara rimbunnya hutan.
Itu hotel kan? Pikirku cengo. Ga mungkin sebuah rumah segede itu. Rumah itu bisa menampung orang-orang se-RT! 

Makin dekat aku ke bangunan itu, aku jadi makin ternganga.

Di depan paviliun bangunan itu ada sebuah taman kecil dengan sebuah kolam besar. Memiliki satu air mancur bertingkat tiga, dan beberapa air mancur kecil yang tersebar di sekliling kolam. Aku tak tahu apakah air mancur tiga tingkat itu mewakili bangunan yang ada didepannya atau hanya sebuah ketidak sengajaam belaka. Berbagai macam jenis tanaman teratai menghiasi permukaannya. Bunga-bunganya yang berbagai warna membuat taman kecil itu terlihat mencolok. Suara gemericik air yang terdengar seakan-akan menjadi sebuah serenade yang mengiringin rimbunnya pepohonan di sekitarnya, dengan lantai rerumputan hijau yang terawat rapi.

Mobil berhenti di depan pintu besar bangunan itu. Aku merasa sebutan rumah terlalu merendahkan untuk bangunan sebesar ini. Dan begitu mesin mobil mati, Soni kembali menelungkupkan wajahnya di kemudi dan bernafas panjang. Aku yang sedari tadi bengong sebengong-bengongnya, langsung sadar akan keberadaannya yang lemah. Aku cepat-cepat keluar dari mobil untuk membantunya.

“Ayo, Son,” kataku seraya membuka pintu mobil untuknya, “Aku bantu. Kamu harus segera beristirahat.”

Kali ini tak ada bantahan dari Soni. Dia menurut saat aku mengalungkan lengan kanannya ke bahuku. Dari dekat seperti ini, aku semakin bisa mencium wangi harum floral yang biasa menguar dari tubuhnya. Heran?! Sakit dan berkeringat gini kok ya tetep wangi aja nih orang? Sempet-sempetnya dia dandan tadi.

Pintu besar itu telah terbuka, bahkan sebelum aku mengetuknya.  Seorang wanita berusia awal limapuluhan yang ada di baiknya menatap Soni dengan masygul. Kedua tangannya terkepal di dada sementara wajahnya sarat akan ke khawatiran.

“Deeen...........Bibi kan udah bilang jangan pergi sendiri. Suruh saja Surya yang nyetir. Buat apa punya sopir kalo ga di suruh bawa mobil? Kalo tadi ada apa-apa gimana?” omelnya setengah menggerutu. Dia mengulurkan tangannya untuk membantu kami.

“Maaf, Bi,” kataku agak sungkan, “Kalo bisa, tolong bikinin minuman hangat yang agak manis buat Soni ya? Biar saya saja yang membantu Soni.”

“Ini Tj, Bi Atun,” kata Soni pelan.

“Iya Den. Akan Bibi antar ke kamar langsung nanti,” kata Bi Atun padaku dengan senyum leganya. Diapun segera berlalu pergi.

“Kamarmu dimana?” tanyaku.

“Lantai atas,” jawab Soni dan melepas peganganku. Sejenak dia Cuma berdiri sambil menekan pelipisny dengan tangan kanan, “Aku bisa naik sendiri. Kau...”

Tubuhnya agak oleng mendadak. Aku segera menahannya dan kembali melingkarkan lengan kanannya padaku.

“Kapan sih kamu mau dengerin orang lain?” gerutuku jengkel, “Ayo ku antar,” lanjutku dan memapahnya menaiki beberapa anak tangga.

Tak ada bantahan lagi dari Soni. Dan kamipun melangkah masuk ke dalam rumahnya. Kembali aku terpana dengan ukuran rumah Soni. Meski aku tak bisa memperhatikan dengan detil keindahan interiornya, karena yang ada di pikiranku adalah untuk segera membawa Soni ke kamarnya supaya dia bisa beristirahat. Dan ternyata yang Soni maksud dengan lantai atas ada;ah benar-benar tingkat teratas. Dengan kata lain, kami harus menaiki susunan anak tangga melingkar itu sebanyak 2 kali. Anak tangga melingkar yang memiliki pinggiran metal itu jelas memiliki anak tangga yang lebih banyak dibandingkan yang vertikal langsung. Dan ditambah dengan setengah mengangkat tubuh Soni yang lebih besar dan lebih jangkung dariku (tinggiku hanya sekitar dagunya), aku lumayan kelelahan.

Saat mencapai lantai 3, nafasku agak ngos-ngosan.  Tubuhku juga jadi sedikit berkeringat. Aku tahu kalau aku harus segera membawanya ke kamar. Jangan sampai dia mencium aroma tubuhku yang belum tersentuh air lagi semenjak pagi. Aku memang memakai deodorant, tapi tetap saja tidak pede berada terlalu dekat dengannya, sementara tubuhku berkeringat begini.

“Kamar ujung, paling kanan,” kata Soni dan menunjuk ke pintu yang dia maksud.

Aku membuka pintu kamar Soni yang terbuat dari kayu jati kokoh dengan ukiran sedehana itu dengan tangan kananku. Bau harum segera menyergap indra penciuamanku. Busyet!! Bahkan kamar diapun harum begini. Berapa banyak dia taruh pewangi ruangan disini ya? Pikirku.

Kamar itu terbagi menjadi dua ruangan. Satu ruang yang berada paling dekat dengan pintu, lebih mirip sebuah ruang santai dengan kursi sofa besar berwarna pastel yang terlihat empuk. Di hias dengan bantal-bantal besar berlapis beludru. Dan ada sebuah meja persegi yang berhadapan dengan seperangkat peralatan elektronik. Entah apa saja aku tak tahu, karena aku hanya melihatnya sekilas. Ruang berikutnya barulah tempat tidur.

Dan kamar tidur Soni benar-benar luas. Sekilas yang bisa ku tangkap adalah sebuah tempat tidur berukuran king size dengan bantal-bantal besar, berlapis bed cover berwarna gading yang mungkin akan kotor dalah hitungan detik bila aku yag memakainya. Ada juga sebuah lemari dinding dengan banyak pintu dan cermin seukuran tubuh manusia.

Aku segera membaringkan Soni di ranjang yang lembut dan empuk itu. Tanpa sadar aku menghela nafas saat ia rebah. Gila! Cape banget, batinku. Aku lalu turun untuk membuka tali sepatu Soni, namun dengan pelan, cowok itu menarik kakinya.

“Jangan...... biar aku saja,” katanya nyaris berbisik dan bangkit untuk duduk, “Bisa tolong kau ambilkan piyama di lemariku? Pintu pertama dari kanan.”

“Yeah...tentu,” kataku dan bangkit. Saat ku buka pintu lemari yang dia maksud, aku menemukan isinya hanyalah tumpukan piyama di bagian atas, dan handuk di bawahnya, sementara pada bagian dasar, ada tumpukan bed cover dan selimut. Aku  langsung mengambil setelan piyama dari tumpukan teratas. Bau harum segar jeruk menggelitik hidungku saat aku membawanya ke Soni. Aku lalu meletakkan setelan itu di samping Soni dan diam menunggunya.

Soni tak mengatakan apa-apa. Dia lalu hanya mendongak melihatku dengan pandangan ragu. Aku mengangkat sebelah alis dan membalas pandangannya dengan heran.

“Apa?” tanyaku kemudian.

“Maaf..........tapi bisakah kau....” dia tak melanjutkan kalimatnya, hanya menoleh sekilas pada pintu kamar. Aku dengan bego Cuma mengikuti arah pandangannya, tak mengerti.

“Apa?” tanyaku lagi.

“Well, aku harus ganti baju dan kau....”

Aku menepuk jidatku, sadar kalau dia harus membuka pakaiannya, “Maaf,” kataku cepat dengan wajah yang terasa panas, “Eeuuhhh......a-aku akan ke bawah dulu. Nyari Bi Atun,” lanjutku dengan cengiran salah tingkah. Tanpa menunggu jawaban Soni, aku langsung ngacir keluar. Dalam perjalanan ke bawah, tak henti-hentinya aku mengumpat pelan akan kebloonanku tadi, meski sesekali aku harus  mendecak kagum dengan berbagai furniture mewah di rumah Soni. 

Benda-benda keramik sepeti vas besar, guci-guci yang tampak antik dan mewah, lukisan-lukisan yang bertebaran di dinding sebagai hiasan, ataupun permadani yang tersebar di beberapa ruangan. Benar-benar mewah. Dan anehnya, aku merasa ada satu hal yang mengganjal. Seakan-akan ada satu hal yang kurang, meski aku tak bisa mengatakan apa.
Langkahku terhenti di anak tangga terakhir di lantai satu. Tunggu dulu! Dapur ada dimana ya? Batinku dan celingukan sejenak.

“BIII!!!! Bi Atuuunn!!” panggilku. Tap Bi Atun tak muncul setelah beberapa menit, “BI ATUUUNNN!!!” panggilku lagi agak mengeraskan suara.

“Iya Den?” jawab Bi Atun yang muncul dari arah belakangku.

“Maaf Bi, saya agak berteriak. Saya gak tahu dimana dapurnya,” kataku dengan segan.

“Nggak apa-apa, Den. Tadi Bibi memang ada di dapur. Tuh yang ada di ujung,” kata Bi Atun dan menunjuk pada lorong yang berada di ujung ruangan di belakang tangga. Pantes gak keliatan, batinku.

“Bi, saya minta air putihnya ya? Haus,” kataku dan mendahuluinya melangkah menuju dapur.

“Aduuhh, Aden kan bisa nunggu di atas. Bentar lagi juga Bibi selesai. Ga usah ke dapur segala, Den,” kata Bi Atun yang tergopoh-gopoh mengikuti di belakangku.

“Nggap apa-apa Bi. Lagian Soni juga sedang ganti baju,” ujarku dan membuka pintu di ujung lorong. Dapur itu berukuran tiga kali lebih besar dari punyaku. Padahal dapurku sudah menjadi satu dengan meja makan. Peralatan disana juga lebih lengkap dan jelas lebih mahal daripada yang aku miliki. Kulkas seukuran tubuhku, oven listrik dan berbagaimacam peralatan lain yang modern dan tampak mengkilap. Berpadu dengan beberapa kabinet yang bernuansa kayu. Bunda bisa nangis kalo tahu aku ngebandingin dapur kami dengan ini, pikirku kecut.

Aku mencomot sebuah gelas di rak kecil dan membuka kulkas untuk mencari botol air. Bi Atun sendiri langsung menuju kompor yang menyala dengan sebuah panci bergolak di atasnya.

“Makasih lho Den, udah nganter Den Soni pulang dengan selamat. Bibi seneng akhirnya  ada temen Den Soni yang dateng kesini.”

Ucapan Bi Atun yang bernada lega itu membuatku tercenung dan menurunkan gelasku, “Akhirnya? Emang sebelumnya gak ada temen Soni yang pernah kesini Bi?” tanyaku heran.

“Seingat Bibi sih nggak ada Den,” jawab Bi Atun tanpa menoleh, sibuk dengan pekerjaannya, “Karena itu Bibi seneng ada Aden............siapa tadi Den namanya?”

“TJ Bi,” sahutku dengan senyum.

“Iya, TiJe. Namanya kayak turis yang ada di tv sih,” seloroh Bi Atun, membuatku kembali tersenyum. Ada beberapa orang yang memang heran dengan namaku, tapi aku tak pernah mau menjelaskan, “Den Soni itu orangnya kan tertutup. Penyendiri. Ga demen bergaul. Keliatan kayak orang murung saban hari. Jadi Bibi seneng banget pas tau ada temennya yang dateng. Den TJ sering-sering deh main kesini ya?”

“Ish...Bibi becanda ah.”

“Ya ampun, Den, ngapain Bibi ngomong yang gak bener? Bibi tuh kasian sama Den Soni, karena itu Bibi minta Aden buat sering dateng maen, nemenin Den Soni. Nanti Bibi masakin yang enak-enak deh.”

Aku tertawa mendengar ucapan Bi Atun, “Akan saya usahakan Bi. Itupun kalo Soni bolehin. Kan Bibi tau sendiri gimana wataknya. Yang ada ntar dia marah lagi.”

“Nggak bakal Den.”

“Yakin Bi? Soni kadang bisa jadi pemarah dan keras kepala lho Bi,” godaku.

“Kalo itu mah Bibi udah tau Den. Den Soni emang kadang suka bandel.  Tadi aja contohnya. Udah tau badannya masih lemah gara-gara diare, eh masih nekat bawa mobil sendiri. Padahal kan ada sopir. Dari kemaren juga susah banget di suruh makan. Padahal orang diare kan suka lemes bawaannya. Kalo gak banyak makan dan minum, darimana dapet tenaga coba?”

“Jadi dia belom makan dari pagi Bi?”

“Belom Den. Bubur yang Bibi bikinin tadi pagi juga masih utuh.”

Aku mendengus keras. Pantes aja dia lemes gitu. Dia mikir apaan sih? Udah tau sakit, bukannya merawat diri, malah sembrono gitu, gerundengku dalam hati, “Emang sejak kapan dia sakit Bi?”

“Sejak pulang dari luar kota Den. Dari............gunung apaa gitu. Bibi lupa. Katanya sih keujanan. Terus masuk angin. 
Udah gitu suka telat makan. Melantur gitu deh jadinya. Dokter juga udah bilang buat istirahat beberapa hari.

Dengan kata lain, aku adalah salah satu penyebab dia ambruk begitu, batinku dengan rasa bersalah menumpuk. Dia sudah melakukan banyak hal untukku.

“Bi................?!”

Suara panggilan yang berasal dari intercome memutus lamunanku. Bi Atun tergopoh-gopoh mendekat ke intercome yang dipasang dekat pintu dapur.

“Iya Den..”

“Tolong bikinin juga minuman buat temenk tadi ya? Bibi tau dia dimana?”

“Aku disini, Son. Bentar lagi kesana,”  sahutku yang sudah ada di dekat Bi Atun.

“Bentar lagi Bibi juga udah selesai, Den. Buburnya udah hampir mateng.”

“Ga usah Bi. Aku gak laper,” ujar Soni dan memutuskan hubungan.

Bi Atun menarik nafas masygul dan melangkah kembali ke masakannya yang bergolak di atas kompor, “Tuh kan, Den. Padahal dari pagi perutnya masih belum terisi. Gimana bisa minum obat kalo belom makan?”

Aku jadi ikut-ikutan menghela nafas mendengar gumaman pelan Bi Atun, “Bibi jangan khawatir. Bibi kelarin aja masaknya. Ntar biar saya yang bawa ke atas. Kali ini dia pasti makan dan minum cukup. Bibi tau ada dimana obatnya?”

“Ada di laci sana, Den,” tunjuk Bi Atun pada laci yang berada tak jauh di samping kananku, “Dari kemaren udah disuruh buang sama Den Soni. Beneran Den TJ bisa bujuk Den Soni makan?”

“Bibi tenang saja deh,” bujukku dan tersenyum menennagkan.



Reaksi Soni sedikit banyak sudah ku duga. Dia menatapku heran dengan dahi berkerut. Aku yang masuk sembari membawa nampan berisi bubur, minuman, obat dan serbet berlagak tak acuh. Aku meletakkan nampan itu di atas bufet kecil dimana lampu kamar nangkring.

“Nah, kamu mau makan apa di suapin?” tanyaku dengan senyum ramah terpasang lebar. Ku pandang dia yang setegah berbaring dengan antusias.

“Hah?” gumam Soni bengong, “...............Aku-aku tadi sudah bilang kalau aku gak laper dan..........”

“Baiklah. Di suapi aja kalo gitu. Tapi aku kudu ingetin kalo aku udah lama gak nyuapin orang lho,” kataku, masih dengan senyuman yang terpasang.

“Tapi....................”

“Bubur dan supnya enak lho,” kataku cuek dan meraih mangkuk bubur, lalu mencampurnya dengan sup, “Kalo di makan bareng gini, rasanya asli sedap. Tadi aku udah coba cicipin dikit. Bi Atun pinter banget deh bikinnya. Ntar aku mo minta resepnya ah. Ayo buka mulut,” kataku dengan sendok penuh yang teracung di depan Soni.  

Soni menatapku tak pecaya, “Kamu apa-apaan sih?” sergahnya agak jengkel.

“Orang sakit tuh kudu banyak makan supaya cepet sembuh. Juga minum obat. Kalo nggak, ntar kena maag. Malah nambah penyakit kan? Ayo, buka mulutnya,” kataku seolah-olah tak mendengar protesnya.

“Aku bilang aku gak lapar,” kata Soni lagi kesal.

“Ayooo.. Aaaaa....” kataku, meniru seoang Ibu yang sedang menyuapi anaknya.

Soni tertawa kecil. Campuran antara marah, geli dan tak percaya di matanya kutanggapi dengan pandangan polos tanpa dosa.

“Aku tak percaya ini. Kau gila,” gerutunya.

“Aaaaaaa.....” seruku lagi dan mendekatkan sendok itu ke bibirnya. Dengan setengah terpaksa, Soni akhirnya membuka mulut. Aku tersenyum senang, “Naah, enak kan? Agak lebaran dikit dong kalo buka mulut,” kataku ceria.

Soni mendengus keras dan mengunyah makanannya dengan ogah-ogahan.

“Orang sakit emang suka ga napsu buat makan. Tapi kalo diturutin malah bikin tambah sakit. Jadi kalo mulut berasa pahit, hambar atau ga enak, itu udah wajar. Dan mau gak mau, kamu tetep kudu makan en minum obat. Harus dipaksa biar ga enak juga. Ayo, aaaaaa....” celotehku tanpa memperdulikan pandangan sengitnya dan kembali mengangsurkan sendok yang terisi penuh ke depan mulutnya.

Kembali dia membuka mulutnya dengan terpaksa.

“Enak kan?” tanyaku lagi.

“Enggak,” jawab Soni ketus.

“Namanya aja lagi sakit,” selorohku tak peduli, “Bunda juga selalu memaksaku untuk tetep makan kalo lagi sakit. Untuk sembuh, kita kan butuh asupan gizi dan nutrisi. Kalo gak makan, gimana mau sembuh coba?”

“Kamu pikir aku umur berapa?” sergah Soni tanpa menahan kedongkolannya.

“Pokoknya jangan sampai telat makan. Ayo lagi....” kataku cuek dan kembali menyuapinya, “Bibi bilang, kamu tuh jarang makan dan ga minum obat. Itu kan yang bikin kamu lama sembuh. Padahal kau kelas tiga. Bentar lagi juga bakal ngadepin ujian. Lagipula kami..”

“TJ please. Perutku sudah gak nampung,” protes Soni memotong ocehanku.

“Lima suapan lagi ya?” bujukku yang di jawab Soni dengan gelengan kuat, “Empat kalo gitu,” tawarku.

“TJ!!!”

“Tiga kalo gitu. Dan itu final! Ayo buka mulut,” pintaku. Meski menggeram Soni akhirnya menurut dan membiarkanku kembali menyuapkan bubur itu. Aku tersenyum senang, “Sekarang minum obatnya,” kataku dan mengangsurkan tiga butir dan segelas air padanya.

Soni meminumnya dengan patuh.

“Nah, aku bawa ini dulu ke bawah, ok? Kataku dan mengambil nampan serta gelas yang dipegang Soni.

“TJ...”

“Eh, bentar...” kataku dan saat melihat sedikit sisa bubur dan air di sudut bibirnya. Aku meraih serbet dan mengusapkannya. Membersihkan bibirnya dengan pelan, “Nah............kamu tidur dulu ya?” kataku dan bangkit, keluar dari kamar.

Saat aku kembali ke kamar beberapa menit kemudian, aku mendapati Soni tengah berbaring tenang dengan mata terpejam. Aku berhenti di ujung pembaringan, memandangnya. Dia lebih tampak seperti seorang model yang sedang mempromosikan tempat tidur dan piyamanya. Adonis yang benar-benar mempesona. Dan benar-benar sebuah pengalaman yang nyaris terasa seperti mimpi.

Dia yang beberapa waktu terakhir seperti sebuah bayangan yang tak tergapai, telah bisa ku raih beberapa menit tadi. Aku bisa berada di dekatnya cukup lama. Bahkan menyentuhnya. Aku tahu kalau akan terasa jahat bahwa aku merasa senang dia sakit begini. Tapi hanya karena keadaannya seperti ini, semua hal tadi bisa ku alami. Dalam keadaan biasa, aku bahkan mungkin tak akan bisa melihatnya dari jarak sedekat ini.

Aku lihat mata Soni mengerjap. Dan perlahan, mata itu terbuka. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku. Aku lalu meraih tasku yang ada di bawah ranjang.

“Aku harus pulang,” kataku tanpa menoleh padanya lagi, “Kamu istirahat saja.”

Soni hanya tersenyum tipis. Dia mengangguk dan memencet sebuah tombol pada intercome yang ada didekat lampu kamar, “Bi, suruh Surya bersiap-siap nganter TJ pulang,” katanya, dia berpaling dan menatapku sejenak, “Terimakasih...”

Aku tersenyum jengah mendengarnya, “Harusnya aku yang mengatakan itu. Sedikit banyak, kamu ambruk juga gara-gara aku. Kau sudah melakukan banyak hal untukku. Terimakasih, Son. Juga atas pinjaman jaketnya.”

“Kalo gitu anggap saja kita impas.”

Kembali aku tersenyum dan mengangguk, “Tapi tolong berjanjilah kau untuk makan teratur dan minum obat. Itu akan membuatku lebih baik karena jadi penyebab kamu begini.”

“Eeeuuhh....” Soni mengerutkan kening, berpikir.

“Aku akan datang lagi kesini dan kita akan melakukannya dengan caraku kalau kau tak mau,” ancamku, dan tanpa menunggunya, aku berbalik, “Beristirahatlah,” kataku tanpa berbalik badan sebelum keluar. Aku mendengarnya tertawa kecil .

Di bawah aku menemukan Bi Atun sudah menungguku di dekat pintu.

“Surya sudah siap Den. Makasih ya? Karena Aden Den Soni mau makan dan minum obat.”

Aku tersenyum, “Sama-sama Bi,” jawabku seraya terus melangkah keluar, menuju mobil yang telah siap menungguku, 
“Bibi juga tolong jaga Soni ya?” pintaku sebelum masuk ke mobil.

“Tentu Den.”

“Saya permisi Bi,” pamitku dan masuk ke mobil. Pak Surya yang ada di depan kemudi menyambutku dengan senyuman ramahnya dan menanyakan alamatku. Aku segera memberitahukannya, sementara benakku melayang-layang.

Ya Tuhan!!! Hari ini benar-benar luar biasa.

Bayangkan saja. Kurang dari 24 jam, aku sudah berada di rumah Soni. Dan mungkin orang pertama diantara semua penghuni sekolah yang pernah menginjakkan kaki di kediamannya. Memapahnya.  Ok, akan aku ulangi. MEMAPAHNYA!!!!

Kedua tubuh kami bersentuhan secara langsung. Baru setelah berada di mobil yang melaju ini aku menyadari fakta itu. Tadi aku terlalu khawatir pada kondisinya sehingga hal itu sedikit terabaikan. Di hari-hari biasa, dia mengucapkan sepatah kata udah untung. Secara tak langsung, boleh dibilang aku telah memeluknya. Gilanya lagi, aku juga menyuapinya!!

Tanpa sadar aku nyengir dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Wina dan yang lainnya bisa jejeritan kalo mengetahuinya. Dan tanpa dapat ku tahan, senyuman lebarkupun  terkembang. Malam ini aku pasti akan terus menerus terbayang akan kedekatan kami tadi. Juga suaranya.

Dan ternyata...........semua tidak berhenti sampai disana.