IV
Sdtelah itu,kami memang menjadi sedikit lebih akrab
dibandingkan sebelumnya. Satu hal yang pasti, Rafly
benar-benar orang yang
introvert. Meski kami telah banyak bicara tentang berbagai hal, tetap saja aku
belum tahu sejarahnya. Rafly tak mau membuka diri. Dia hanya mau bicara tentang
hal-hal umum saja. Bila sudah bicara menyangkut dirinya, paling banter dia cuma
tersenyum. Mau tak mau aku jadi penasaran.
7 hari dia dirawat. Tak ada teman lain yang menjenguk karena dia memang
minta untuk dirahasiakan dari mereka. Yang datang
cuma Mas Arif. Kami bertemu beberapa kali dan mulai sedikit akrab. Dia juga yang datang menjemput pada saat Rafly telah diperbolehkan rawat jalan dirumah.
Dan 3 hari kemudian, saat pertama kali dia masuk
sekolah, aku diliputi oleh rasa senang yang
aneh. Mirip dengan perasaan yg kurasakan saat bertemu dengan saudara dekat yang terpisah jauh. Hanya saja perasaan yang kurasakan pada Rafly lebih manis.
Saat dia muncul dipintu kelas, aku berteriak keras memanggil namanya dan berlari menyongsongnya. Dua
tanganku memeluk satu lengan Rafly dan
membimbingnya ke bangku tempatnya duduk.
Semua temanku yang lain bengong
kaget. Bahkan Rafly sendiri tampak luar biasa jengah. Wajahnya sontan memerah.
"Kamu apa-apaan sih? Semua pada ngeliatin
tuh!" gerutunya. Aku jadi sadar dg reaksiku yg sedikit berlebihan (?!)
sempat bengong, tapi akhirnya acuh. Meski semua teman2 yang lain memperhatikan kami. Sepertinya mereka heran
melihatku yang punya reputasi
bagus dan disegani, bisa akrab dengan preman kaya Rafly.Tapi aku tak perduli. Pokoknya waktu itu aku benar2
merasa nyaman bersama Rafly, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang dia.
Kamipun banyak
menghabiskan waktu bersama
disekolah. Hanya disekolah. Rafly selalu menolak saat ku undang kerumah, atau
saat aku hendak maen kerumahnya. Dia selalu menghindar. Jelas aja aku justru
semakin ingin tahu. Apa lagi akhir2
ini dia jadi agak aneh. Dia sering banget terlihat kecapekan.
Bahkan tertidur ketika bel istirahat belum berbunyi. Tiap kali ku tanya, dia
cuma tersenyum.
Satu minggu kemudian ayahku memberitahu bahwa
beasiswa yang beliau ajukan
untuk Rafly ke komite sekolah, disetujui. Waktu itu hari minggu siang. Karena
tak sabar untuk memberitahukannya pada Rafly, aku segera meluncur ke rumahnya.
Rumah Rafly sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Beberapa kali ketukanku tak ada yang menjawab. Untungnya, salah seorang tetangga Rafly
lewat. Beliau memberitahuku kalau Rafly sedang bekerja di bengkel Mas Arif.
Tentu aku sedikit terheran-heran. Aku segera menanyakan letak bengkel itu padanya.
Bengkel Mas Arif terletak sekitar 1km dari sana. Aku
langsung meluncur, tapi tidak serta merta berhenti didepan bengkel. Ku
parkir mobilku sekitar 20 m darinya dan melihat keadaan.
Dia disana. Sedang mengotak-atik sebuah mobil.
Penampilannya sama dengan montir-montir di bengkel kecil yang
biasa
kulihat dipinggir jalanan. Dengan baju dan celana lusuh dan kotor oleh gemuk dan oli.
Wajahnya juga tampak coreng moreng. Kulihat Mas Arif berada
disampingnya. Sepertinya mereka sedang
membicarakan masalah mobil itu. Rafly kulihat mengangguk-angguk, lalu ia nyelonong kebawah kolong mobil.
Satu lagi hal baru tentangnya yang kuketahui. Diikuti dengan berbagai macam pertanyaan baru. Apa benar dia
bekerja? Atau cuma belajar?Apa sebenarnya hubungannya dengan Mas Arif?
Apakah ini alasan dia menolak semua undanganku? Aku tak tahu jawaban dari semua itu,tapi aku berniat
untuk mencari tahu. Dengan nekat, kulajukan mobilku kesana.
"Mas Arif!" panggilku sembari membuka
pintu mobil. "Saya mau ganti oli mobil nih! Bisa bantu?" pintaku
menghampirinya yang terlihat
sedikit kaget.
"Lhoo. . . Dhek Dimaz. Sendiri?" tanya Mas
Arif balik.
"Iya Mas. Ini, mau ke rumahnya Rafly. Jadi sekalian ganti
oli disini. Dapet rekomendasi dari orang. Katanya bengkel Mas Arif bagus. Terus pengen coba.
Kali aja dapet diskon," dustaku lancar, meski dalam hati aku heran dengan ide mendadak yang ku dapat.
"Halah! Bisa aja. Boleh deh. Nanti Mas diskon. Kalo nyari Wawan, tuh! Dia
dibawah!" sahut Mas Arif menunjuk kebawah.
Perlahan Rafly muncul dari kolong mobil. Dia bangkit
dan menepuk-nepuk baju dan celananya, seolah-olah mencoba membersihkannya.
Padahal gak ada efeknya sama sekali. Pakaiannya tetep aja super kumuh.
"Ngapain sih kesini?" tanyanya sedikit
menggerutu. Bibirnya cemberut tak senang,
dan dia tak mau memandangku. Malah
melihat mobilku.
"Lho? Kok judes gitu? Emang kenapa? Aku kesini
kan sebagai pelanggan. Mas Arif aja gak nyolot gitu. Ya kan Mas?" belaku
mencari dukungan.
"Pasti!" sahut Mas Arif spontan dengan senyum terkembang, membuat Rafly ngedumel gak
jelas."Kalo gitu, biar Wawan aja yang
ngurus mobil Dhek Dimaz ya?"
Aku mengangkat bahu dan menyerahkan kunci mobilku pada Rafly. Dia
langsung menyambarnya,masih cemberut dan tak mau melihatku. "Hei! Kalo
belum sebulan mobilku udah rewel lagi,
aku tuntut kamu ya? 5 kali servis gratis!" godaku geli melihat
kekesalannya. Apa lagi saat dia kembali ngedumel gak jelas sambil berlalu.
"Sama pelanggan harus senyum Wa!" goda Mas
Arif yang jd ikut-ikutan geli melihatnya.
"Iya! Bikin males dateng aja!" imbuhku.
"Sebodo!" umpat Rafly pelan.
Mas Arif tertawa kecil. "Kalo gitu,duduk dulu
Dhek Dimaz? Mau minum
apa?"
"Agak laper nih Mas. Tempat makan yang enak dimana ya?" tanyaku. Sekali lagi, ide
dadakan muncul di otakku. Aku tahu, aku tak mungkin mendapatkan apapun kalau
aku ngomong dengan Rafly. Tapi mungkin aku bisa mendapatkannya dari Mas Arif. Jadi aku perlu
bicara berdua dengan nya.
"Kalau restoran sih, agak jauh Dhek. Mas juga gak tau tuh,
mana yang enak.
Biasanya, Mas sama yang lain makan di
warung sebelah."
Kulihat memang ada sebuah warung kecil di sebelah
bengkel Mas Arif. Seumur-umur, aku belum pernah aku makan di tempat seperti
itu. "Enak Mas?" tanyaku sedikit ragu.
"Kalo buat Mas sih enak aja. Gak tau kalo dhek
Dimaz."
Sepertinya aku tak punya pilihan lain. "Boleh
deh Mas," putusku pasrah.
"Ayo Mas temenin. Yang jual namanya Bu Sumilah. Asli orang Surabaya,kaya
Mas," jelas Mas Arif dan melangkah mendahuluiku. Yang namanya bu Sumilah ternyata wanita berusia 40
tahunan yang memiliki logat
bicara lucu. Meski asli Surabaya, lingkungan beliau adalah orang2 yang datang dari Madura. Dan orangnya super ramah.
Beliau menyambut kami dengan suara cemprengnya. Mas Arif memesankanku kari ayam.
"Masakan kari ayam bu Sumilah enak banget lho
Dhek," ujar Mas Arif berpromosi. Aku cuma mengangguk pasrah. Apa aja
deh. Yang penting kami bisa bicara.
"Mas Arif ikut temani saya makan yah? Sekalian
ada yang mau saya omongin," pintaku.
Mas Arif tersenyum paham. "Tentang Wawan?"
tanyanya langsung. Karena tahu tak ada gunanya
berbohong, aku mengangguk membenarkannya. "Apa yang ingin Dhek Dimaz ketahui?"
"Banyak. Tapi kita bisa mulai dengan apa hubungan Mas Arif dan Rafly. Kalau Mas Arif gak keberatan," pintaku.
"Sebenernya Wawan pernah berpesan agar Mas tidak mengatakan
apapun pada Dhek Dimaz.Tapi. . ., Mas yakin Dhek Dimaz punya itikad baik,"
kata Mas Arif memulai. "Tidak ada hubungan darah antara kami. Tapi Mas Arif kenal
baik dengan almarhum bapak dan ibu Wawan. Mereka banyak
membantu Mas Arif waktu pertama kali datang kesini. Mereka juga yang dulu melamarkan istri Mas. Mereka benar-benar
orang yg baik. Tak adil rasanya kalau mereka harus meninggal
dalam kecelakaan.
Saat meninggal, mereka hanya
mewariskan rumah itu dan sedikit uang di bank. Tepat 7 hari setelah orangtuanya
meninggal, dia datang kerumah dan bilang ingin kerja di bengkel ini. Sebenarnya
Mas sudah mengatakan kalau Mas tak ingin dia kerja, dan Mas bersedia membiayai
sekolahnya. Dia menolak dan ngotot mau bekerja untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri. Dia berterima kasih atas niat baik Mas,tapi dia sadar kalau kami tidak memiliki ikatan darah.
Mas tidak punya
kewajiban atas dirinya. Dia tak ingin membebani Mas.
Dia ingin bekerja dan berusaha sendiri. Kalau Mas
tak mau menerimanya, dia akan melamar di tempat lain. Kamu mungkin sudah paham
dengan sifat keras
kepalanya. Jadi. . . Mas menerimanya. Biasanya dia hanya bekerja
disini. Tapi krn Dhek Dimaz,sekarang di malam hari dia jg
bekerja di sebuah rsetoran di kota yg buka 24 jam."
Penjelasan terakhir itu tentu saja membuatku kaget.
"Karena saya Mas?" tanyaku super heran.
Mas Arif tersenyum. "Dia tahu bahwa Dhek Dimaz
yang membantu membayar biaya rumah sakit kemarin. Dan
dia ingin segera mengembalikannya."
Aku tergagap mendengarnya,"T-ta-tapi. . .
"
"Mas tahu Dhek Dimaz tidak menginginkannya,"
potong Mas Arif menenangkan ku yang jadi gugup.
"Tapi anak itu bersikeras ingin
mengembalikannya. Sebenernya Mas khawatir. Dia bisa sakit kalau terus begini.
Dia hampir - hampir tak punya waktu
untuk beristirahat."
Aku menghela nafas mendengarnya. Khas Rafly.
"Saya akan coba berbicara dengan nya," kataku pelan.
Mas Arif mengangguk paham."Semoga Dhek Dimaz
bisa melunakkannya. Kalo gitu silahkan makan dulu. Mas tinggal ya? Mas masih
kenyang," pamitnya dan pergi meninggalkanku untuk makan dan berpikir.
Dan aku punya 1 komentar tentang masakan Bu Sumilah.
SUPER PEDAS!!
Bu Sumilah mengatakan kalau Mas Arif yang akan membayar makananku,tapi aku bersikeras
membayar sendiri dan meminta beliau mengembalikan uang Mas Arif. Aku segera keluar
dengan membawa sebotol
minuman soda dingin, menghampiri Rafly yang
sedang memeriksa mobilku.
"Jadi?" tanyaku dan mengangsurkan botol
itu padanya. Untuk sejenak Rafly cuma melihatnya,tapi ia lalu
menerimanya.
"Tak ada masalah dg mobilmu. Oli nya juga masih bagus.
Minim baru seminggu kemarin ganti. Kesimpulannya, bukan mobil ini alasanmu kemari.," tukasnya singkat.
Aduh! batinku.
Rafly minum sebentar. "Jadi. . . ada apa
sebenarnya?" tanyanya langsung tanpa melihatku.
Lama-lama aku jadi agak kesal dg sikapnya. Tiap kali
ngomong, dia gak pernah mau melihatku. Selalu menatap sesuatu yang lain. "Untuk kasih kamu berita bagus. Tapi berhubung kamu
jutek abis dan gak mau ngeliat mukaku, sebaiknya
aku batalin aja. Aku pulang. Mas Arif!!!" aku ngeloyor cepat mencari Mas
Arif yang ternyata
mendengar panggilanku dan segera keluar.
"Berapa Mas?"
"Udah bawa saja. Kunjungan pertama gratis.
Lagian, gak ada yg perlu diganti/diperbaiki," jawab Mas Arif.
Aku nyengir mendengarnya,"Makasih Mas. Pulang
dulu ya?" pamitku dan langsung masuk ke mobil. Tapi lalu sadar
kalau kunciku masih dipegang oleh Rafly. Dia yang
masih diam cemberut dan tak mau melihatku, berdiri disamping jendela
mobil.Tanpa bicara aku menadahkan tangan, meminta kunci.
"Ada apa kesini?" tanya Rafly tanpa memberikan
kunciku.
"Aku sudah bilang batal kan? Mana
kuncinya!" desakku dengan nada datar. Kulihat dia menghela nafas sebentar.
"Baiklah. Maaf. Ada apa?" tanyanya lagi.
"Bisa melihat aku kalau ngomong?" pintaku
yang sedikit terganggu karena dia jelas
menghindar.
Kali ini dia langsung melihat kemataku dan menatapku
tajam. Waktu itulah aku baru benar-bener
tahu kenapa teman-teman yang lain
menganggapnya menakutkan. Sorot matanya beneran
bisa membuat keder. Apa lagi kalo dia kelihatannya marah seperti sekarang. Aku sendiri hampir membuang muka, tapi setengah mati
menahan diri.
"Sebenernya maumu apa sih?" tegurnya
kesal. "Kamu pikir aku harus gimana? Kalo kamu jadi aku, apa kamu bisa
tenang-tenang saja saat aku
melihatmu pake baju gembel dan muka coreng moreng
gini?"
Aku melongo mendengarnya. "Terus kenapa? Apa yang
salah dengan itu?" bantahku. "Toh kamu melakukan
pekerjaan yang halal.
Daripada aku melihatmu pake baju keren tapi nyopet?"
"Kamu bener-bener
tau cara bikin orang ngerasa rendah ya?"
Jelas aku kaget. "Rendah? Siapa yang ngerendahin? Aku gak pernah berniat gitu kok! Kamu aja yang
ambil kesimpulan sendiri. Aku gak pernah mempermasalahkan kamu siapa,kerja apa
atau pake apa. Apa pentingnya? Kamu sendiri yang
ribut kan? Kalo kamu menilai orang dengan cara seperti itu, salahin dirimu sendiri dong yang picik. Apa hubungannya dengan ku?"
berondongku yang akhirnya jadi bener-benar jengkel dengan reaksinya.
"Coba tempatkan dirimu dalam
posisiku."
"Kamu juga tempatkan dirimu dalam posisiku!" balasku.
"Kalau aku ada dalam posisimu, aku gak akan
merasa rendah dan terhina!" sahutnya dingin dan meletakkan kunci mobilku
di dashboard.
Kusandarkan tubuhku dikursi mobil dan mengusap
wajahku gundah. Kok malah
begini sih? Aku kesini kan mau kasih berita bagus. Malah berantem gak jelas
gini, batinku. Kuhembuskan
nafas kuat-kuat untuk menahan diri.
"Aku gak pernah ada maksud buat bikin kamu merasa rendah, apa lagi
terhina. Tidak sedikitpun. Maaf kalo kamu ngerasa begitu," pintaku padanya
dan memasukkan kunci untuk menghidupkan mobil. Rafly masih berdiri disamping
jendela dan tak mau melihatku. "Satu lagi. Komite
sekolah telah menyetujui pengajuan proposal beasiswa bagimu," ujarku. Dan
tanpa bicara lagi aku melajukan mobil meninggalkannya tanpa menoleh lagi.
V
Esok harinya, aku sengaja mengacuhkan Rafly. Tak
sekalipun aku bicara atau melihatnya. Beberapa orang teman memang menanyakan perubahan sikapku. Tapi aku hanya
tersenyum tanpa memberi pejelasan.
Pada saat istirahat, Rafly mendapat panggilan oleh wali
kelasku. Sepertinya beliau ingin memberitahu tentang beasiswa itu secara
pribadi pada nya. Aku tetep pura-pura
acuh tak peduli, hingga akhirnya bel pulang berdering.
"Aku mau bicara," kata Rafly singkat. Tiba-tiba saja dia sudah berada di sebelahku. Padahal aku
sendiri masih mebereskan barang-barangku yang bertebaran di meja. Dua temanku yg tadinya mau
kuajak pulang bareng tampak waspada. Mereka pasti berpikir
kalau aku dalam bahaya.
"Kalian pulang aja dulu," kataku pada mereka dan tersenyum menenangkan. Meski masih terlihat
cemas, akhirnya mereka pergi.
"Ada apa?" tanyaku pada Rafly sembari
kembali membereskan barang-barangku tanpa
melihatnya.
"Kamu yang
mengajukan beasiswa itu?" tanya Rafly langsung.
"Bukan!" jawabku langsung. "Aku cuma
mengusulkan. Salah seorang anggota komite dan wali kelas kita yang mengajukan. Dan agar kau tak lagi merasa
direndahkan," aku menekan kalimat terakhir tadi, ". .kau harus tahu. Bahwa sebelum bisa
mendapatkan beasisiwa itu, pihak sekolah telah memeriksamu. Bukan hanya dari
segi ekonomi, tapi juga prestasi akademis. Jadi jika komite sekolah sudah menyetujuinya, itu
berarti kau layak mendapatkannya. Hal ini tak ada hubungannya dengan keputusan
perorangan. Itu mutlak keputusan seluruh anggota komite." jelasku.
Tak ada reaksi dari Rafly.
"Ada lagi?" tanyaku tanpa melihatnya.
Mejaku sudah bersih.
"Kamu nggak melihatku!" katanya,lebih ke
arah menegur daripada bertanya.
"Kamu yang
mengajariku," sahutku singkat dan menyampirkan tas ku. Aku bangkit untuk pergi, tapi Rafly menahan tanganku.
"Bisa melihatku sebentar?" pintanya.
Sebenarnya aku ingin menolak. Tapi nada suaranya
benar-benar serius. Pelan aku berbalik dan melihatnya. Aku
menatap langsung ke matanya yang juga melihatku
datar.
"Terimakasih!" katanya.
Selain kesungguhan, aku tak melihat yang lainnya lagi di sana. "Sama-sama!"
sahutku singkat lalu mengibaskan pegangannya untuk segera pergi dari situ.
"Aku belum selesai!" tukas Rafly cepat dan
kembali menahanku.
"Apa lagi?" tanyaku tak sabar tanpa
berbalik.
"Maaf," pintanya lirih. Nadanya yang terdengar begitu aneh mengusikku. Aku berbalik
perlahan dan kembali menatap langsung matanya. Dan akupun terperangah. Belum
pernah seumur hidupku, seseorang memandangku seperti cara Rafly memandangku
sekarang. Tatapannya begitu dalam dan penuh makna. Aku tak bisa menjabarkannya
dalam kalimat, tapi yg jelas, aku tak bisa lari dari matanya. Semua yang ada disekelilingku jadi lenyap dan terasa tak berarti. Seakan-akan semuanya
hanya suara latar dari sebuah film murahan tanpa makna.
"Dimaz ..?"
Tegurannya membuat kesadaranku kembali. Cepat aku
megerjapkan mata dan berpaling. Untuk beberapa saat lamanya, aku harus berusaha untuk mengumpulkan
lagi kepercayaan diri dan gengsiku yang
tadi sedikit turun. Aku harus menarik nafas dalam-dalam
agar tenang. "Sudahlah!" kataku akhirnya.
"Sepertinya kau sulit untuk memaafkanku,"
katanya pelan, "Apa yang bisa kulakukan
agar kau mau?"
Kalimat terakhirnya itu memberiku ide. "Ada
satu hal yang bisa kau
lakukan agar aku bisa memaafkanmu," ujarku membuat kening Rafly berkerut
heran.
"Katakan!"
Aku menatapnya serius agar dia tahu aku tak main-main. "Berhentilah bekerja di restoran itu!
Berhenti kerja gila-gilaan hanya untuk
mengumpulkan sebagai ganti biaya rumah sakit. Sudah cukup kau bekerja di Mas
Arif. Konsentrasi saja pada studimu. Bisa?"
Rafly terdiam untuk beberapa saat lamanya.
"Menerima bantuan dari orang lain bukan berarti
kamu turun derajat Raf. Hal itu cuma menunjukkan bahwa kau manusia biasa.Sama
seperti yg lain. Yang juga membutuhkan
orang lain dalam satu dan lain hal!" kataku lagi.
"Mas Arif yg cerita," gumamnya pelan.
"Ga penting siapa yang cerita. Itu syaratku untuk mau memaafkanmu! Terima
atau nggak, terserah!"
putusku dan kembali hendak pergi. Dan sekali lagi, langkahku terhenti karena dia menahanku.
Rafly tampak berpikir. Sesekali ia menggigit
bibirnya dan menghela nafas. Sampai akhirnya dia mengusap wajahnya, kalah.
"Baiklah! Aku akan berhenti," putusnya pelan.
Aku tersenyum mendengarnya. Sebuah rekor bisa
mengalahkan Rafly. Aku yakin bukanlah hal mudah bagi dia untuk mau menurutiku. "Kalau begitu beres! Aku pulang dulu. Ada
bimbingan belajar. Dan sore nanti aku mau main ke rumahmu. Itu syarat tambahan
untukmu. Bisa kan?"
"Aku baru pulang dari Mas Arif jam 4."
"Baiklah! Aku kesana setelahnya. Aku pulang dulu," pamitku dan pergi dengan senyum senang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar