note: Kisah ini
sebetulnya sempalan dari novel yang sedang gw garap. Entah gw bisa upload novel
itu suatu saat disini atau enggak. Masalahnya novel itu terdiri dari 4
buku(rencananya) n cerita dibawah ini adalah bagian dari buku ke 2 yang masih
belum gw rampungin. Gw lebih terbiasa bikin cerita pake tulisan tangan sih.
Lebih ngalir, karena itu lama. Insyaallah, niatnya gw mau upload buku 1 nya
doang. Tapi. . . , liat ntar deh.
N sengaja gw ga kasih detil soal setting ceritanya karena gw ga mau
ada yang berpikiran buruk pada satu hal yang gw sebutin dalam cerita ini. Ini
cuman kisah hidup dari seseorang yang terlempar dalam alur drama kehidupan yang
nggak pernah ia rencanakan. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dari
cerita hidupnya.
Hope u guys can enjoy it to!
Eh kelupaan,benernya cerita ini belom siap gw posting. Tapi
berhubung banyak temen2 yg nagih baik dari email or sms, jadi akhirnya gw
posting. But honestly, masih belom gw edit plus selesein versi aslinya.
Jadi maaf2 aja kalo ada yang kurang berkenan. N pastinya, gw gak
bakalan bias posting tiap hari kaya dulu. Jadi mungkin cuma seminggu sekali.
Maaf banget yaaaa??!!
Thanks banget buat temen2 yg udah mau kasih dukungan ke gw buat
nulis lagi!
Prolog
Namaku Dimaz. Teuku Dimaz Putra Alamsyah. Tak perlu kukatakan
darimana asalku, karena kalian pasti sudah bisa menebaknya. Aku seorang mantan
model, pernah beberapa kali jadi bintang iklan dan pernah juga jadi bintang
tamu dalam beberapa sinetron. Aku bukan bintang besar tp. . . yeah orang-orang
mengenalku. Dan seperti kebanyakan para pesohor/orang terkenal lain, aku juga
mempunyai sebuah rahasia yg mati-matian kututupi dari mata khalayak ramai.
Aku gay!
Bukan hal mudah bagiku untuk mengakui hal itu. Bukan hanya karena
hal itu tabu bagi hukum adat dan agamaku, tapi juga karena butuh waktu yang
lama bagiku untuk tahu dan menerimanya sebagai bagian dalam diriku.
Penyangkalan merupakan reaksi pertamaku saat tahu bahwa aku bisa menyukai
sesama jenis. Bahkan aku meninggalkan cinta pertamaku tanpa ada satu katapun
krn kebodohanku itu.
Disini, aku ingin bercerita. Membagi kisahku dengan kalian. Mungkin
beberapa diantara kalian akan berpendapat kalau masalah yang kualami dalam
ceritaku ini adalah masalah klasik yang sudah sering kali terjadi. Namun aku
sedikit berharap dengan membacanya kalian
tak akan pernah melakukan kesalahan bodoh seperti yang aku lakukan.
I
Aku lahir dalam lingkungan yg normal,bahkan cenderung religius.
Ayahku memiliki gelar bangsawan dalam suku kami. Dan beliau juga seorang pemuka
agama. Beliau orang yang disegani dan mempunyai pengaruh di daerahku. Orang
tuaku jg terbilang cukup sukses. Jadi secara sosial ekonomi, aku termasuk baik.
Aku dibesarkan dengan cara yang terhormat dalam lingkungan dan adat yang
agamis. Dimana para pria dan wanita dipisahkan dan dijaga agar tidak terjadi
kekacauan. Dan aku tumbuh dengan normal, tanpa ada satu insiden yg bisa jadi
trauma.
Dari SD sampai SMP aku bersekolah di sekolah putra. Baru pada waktu
SMA aku bersekolah di tempat yang heterogen. Disinilah aku menapaki dunia baru
yang sebelumnya belum pernah ku pahami keberadaannya. Disini aku bertemu dengan
berbagai macam anak dengan berbagai macam karakter yang unik dan menarik.
To be honest, aku cukup populer disekolah. Jadi aku tak memiliki
kesulitan dalam berteman. Aku dikenal sebagai anak yang santun,sopan dan tak
pernah bermasalah. Guru-guru pun sedikit segan padaku. Hal itu juga didukung
dengan fakta bahwa ayahku, adalah ketua dari Dewan Komite Sekolah.
Disekolah yang heterogen ini, aku bertemu dengan teman -teman yang
baru. Mereka yang dulunya bersekolah ditempat yang juga heterogen Jadi mereka
punya sifat yg agak berbeda dg teman-teman SMP ku dulu. Teman-teman cowokku
disini lebih ekspresif, jujur, berani dan begitu bebas. Mereka tidak
canggung-canggung mengekspresikan apa yang mereka rasa dan pikirkan. Tak ada
tameng. Sementara teman-teman cewekku. . . . agak membosankan. Hampir semua
dari mereka bersikap sangat ramah, sopan dan mencoba menarik perhatianku.
Tindakan yang salah. Karena mereka justru membuatku bosan.
Aku justru lebih menyukai teman-teman cowokku yang unik. Meski ada
satu yang boleh dibilang. . . . lain dari yang lain. Rafly.
Rafly Risyad Bayu Kurniawan lengkapnya.
Sejak awal masuk sekolah, dia sudah menjadi topik pembicaraan. Baik
oleh guru,kakak kelas, sampai teman satu angkatan. Ceritanya, pada waktu masa
orientasi dia datang terlambat. Dasar kakak kelas yang sok, dia dimarahi
habis-habisan. Pertama sih dia cuek beibeh.Sampai kemudian dia mendengar kakak
kelas itu berkata, "Kamu gak pernah diajari sopan santun sama orangtua mu
ya? Mereka gak becus mendidikmu hah? Gak bisa ngajarin kamu baca jam dan. . .
Rafly langsung menghajar senior itu sebelum dia bisa menuntaskan
kalimatnya tadi.
Terjadi kehebohan yg hebat hingga akhirnya para guru ikut turun
tangan. Hebatnya,selama menjalani pemeriksaan, tak sepatah katapun keluar dari
mulut Rafly. Dia benar2 bungkam seribu bahasa. Karena tak bisa mendapat
informasi darinya, para Guru mencoba bertanya pada kami, teman satu ruangnya.
Mulanya tak ada yang berani bicara. Para guru sudah hampir mencoret nama Rafly
dari daftar siswa baru. Hingga akhirnya aku tak tahan dan maju. Aku ceritakan
apa yang terjadi dan perkiraan ku kenapa Rafly bisa ngamuk. Bahwa Rafly marah
karena kakak kelas itu menghina orangtua nya.
Keputusan akhir, para Guru memutuskan untuk tidak memperpanjang urusan
itu.
II
Sejak saat itu, Rafly jadi sosok yang ditakuti di sekolah. Jarang
ada teman yang mau berbicara dengannya. Baik cowok ataupun cewek. Kecuali saat
mereka benar-benar butuh dan perlu bicara dengannya. Itupun biasanya hanya
karena ada titipan atau pesan dari guru. Selain dari itu, mereka lebih suka
membiarkannya sendiri. Mereka sungguh takut padanya. Hal itu ditunjang oleh
Rafly yang cukup mengintimidasi. Rafly bertubuh tinggi besar untuk ukuran anak
SMA, dan wajahnya berkesan dingin dan tajam. Pokoknya nyeremin! Orang pasti
keder melihatnya. Belom lagi kabar bahwa dia berhasil ngalahin 5 orang kakak
kelas yang mencoba mengeroyoknya. Buntut dari peristiwa orientasi waktu itu.
Orang pasti mengkeret kalo Rafly sudah menatap mereka dengan tajam. Kebanyakan
dari mereka pasti lebih memilih ngacir tanpa menunggunya bersuara.
Maka dengan sendirinya dia terkucilkan.
Tp sepertinya dia tidak perduli. Dia cenderung acuh. Malah seolah
olah menikmati kesendiriannya. Yang membuatku salut, pada saat pembagian
raport, dia masuk dalam 10 besar kelas. Padahal seingatku, dia tidak pernah
aktif di kelas. Selalu datang mepet ke sekolah. Setelah jam istirahat terakhir,
aku jarang melihatnya duduk tegak menyimak pelajaran. Lebih sering dia tertidur
dibangkunya. Siapa sangka dia bisa masuk dalam 10 besar kelas.
Kami tetap sekelas dikelas dua ini. Rafly tetap konsisten dengan
pembawaannya. Jadi baik aku, ataupun teman2 sekelas yang lain memperlakukannya
seperti biasa.
Suatu saat, 3 hari berturut-turut dia absen tanpa alasan yang
jelas. Pada hari ke-4 wali kelas kami memintaku untuk menyampaikan surat
panggilan ke rumahnya, karena aku adalah ketua kelas. Beliau memberiku sebuah
alamat.
Maka sore harinya dengan diantar sopir, aku mencari rumahnya. Cukup
sulit. Dan butuh waktu 3 jam bagi kami untuk menemukannya. Selain karena
letaknya yang 4 km dari sekolah, rumah Rafly juga sedikit tersembunyi. Dia
tinggal di daerah pinggiran yang sebenarnya cukup ramai dan padat. Kebanyakan,
daerah yang sedikit kumuh itu dihuni oleh para pendatang dari luar pulau. Untuk
ke rumah Rafly, kami harus memarkir mobil ditepi jalan raya dan masuk ke gang
yang hanya cukup dilewati oleh 2 buah sepeda motor. Dan sedikit berbelok-belok.
Lucunya orang-orang disana tak mengenal nama Rafly. Tapi saat aku
menyebut nama lengkapnya, mereka baru paham. Di lingkungannya, Rafly dikenal
dengan nama Wawan. Dan disanalah kami. Didepan sebuah rumah kecil yang luasnya
cuma 6x8 meter. Aku sedikit ragu untuk mengetuk pintu melihat suasananya yang
sunyi. Rumah yang terbuat dari kayu itu tampak lengang tak berpenghuni. Suasana
sudah gelap, tapi tak ada satu lampu pun yang menyala disana.
Aku dan sopirku sudah hendak pergi ketika seorang pria berusia 30
tahunan mendekat.
"Maaf Dik. Nyari siapa ya?" sapanya dengan logat Jawa.
Untuk sejenak, aku cuma saling pandang dengan sopirku, ragu.
"Anu Pak. Saya nyari rumah teman saya. Rafly Risyad Bayu Kurniawan,"
kataku akhirnya.
"Ooh Dhek Wawan. Lha bener ini rumahnya," tunjuknya ke
rumah itu. "Ada kok didalam. Mungkin ketiduran. Dia kan lagi sakit. Sudah
3 hari ini gak bisa apa2. Kasihan, gak ada yang jaga."
"Sakit? Gak ada yang jaga?" gumamku tak mengerti.
"Lho? Ndak tahu tho? Orang tua Dhek Wawan kan sudah lebih dari
setahun meninggal. Kecelakaan. Jadi dia tinggal sendiri. Ayo masuk. Pas bener
adik kesini dan ketemu saya. Saya lagi nganter bubur ini buat dia. Ayo. . .
," ajak Bapak-bapak itu dan membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Dia
tampak terbiasa dengan rumah itu. Dia segera menghidupkan lampu dan
mempersilahkanku duduk. Sopirku segera pamit dan pergi untuk menunggu dimobil.
Aku diam disana dan menatap ke sekeliling ruangan. Ruang tamu itu
begitu sederhana. Hanya ada sebuah meja dan empat kursi kayu. Tak ada perabotan
atau hiasan didindingnya. Tak ada foto yang dipajang. Tak ada sedikitpun
petunjuk yang bisa kutangkap tentang kehidupan Rafly ataupun hubungannya dengan
laki2 tadi.
Tak lama kemudian mereka keluar. Rafly dipapah oleh lelaki tadi.
Dia tampak lemah,kusut dan kuyu. Begitu tak bertenaga. Matanya yang biasanya
tajam dan serem terlihat sayu dan sedikit mengantuk. Melihatnya seperti itu,
aku cepat bangkit dan membantunya untuk duduk. Meski terlihat sedikit kaget,
Rafly diam saja membiarkan aku membantunya.
"Bener gak apa-apa ku tinggal Wan?" tanya si bapak-bapak,
sedikit mengherankanku.
"Iya Mas. Mas Arif pulang saja.Katanya kan ada garapan yang
harus diambil besok pagi. Saya sudah mendingan kok Mas. Cuma sedikit lemas. Kan
baru bangun," jawab Rafly dengan nada ramah dan akrab. Baru kali ini aku
mendengarnya berbicara memakai nada seperti itu. Biasanya dia cuma ngomong
dengan singkat dan dingin.
"Ya sudah kalo gitu. Dhek, nanti tolong Dhek Wawan kalo dia
butuh bantuan kembali ke kamar ya?" pinta si Bapak yang dipanggil Mas Arif
tadi padaku.
"I-iya Pak.Eh. .
Mas," jawabku kikuk.
Dia hanya tersenyum, "Panggil Mas Arif aja kayak Wawan. Ya
sudah,permisi. Assalamualaikum," pamitnya dan berlalu setelah kami
menjawab salamnya.
Untuk beberapa saat lamanya, kami diam. Aku jadi merasa canggung
dan bingung harus mengatakan apa. Lucunya, hampir bersamaan kami membuka mulut
untuk mengatakan sesuatu.
"Ada apa kesini?" tanya Rafly akhirnya setelah kebisuan
yang meresahkan. Nadanya kembali dingin seperti biasa.
"Anu. . . ada titipan dari wali kelas," kataku dan
mencoba mencairkan suasana dengan sedikit senyum. Rafly tak membalasnya. Dengan
diam dia mengambil amplop yang kuulurkan. Dia hanya menghela nafas setelah
membacanya sekilas. "Wali kelas kita nggak tahu tentang keadaanmu Raf.
Karena itu beliau mengirim surat. Jangan khawatir, aku akan mencoba
menjelaskannya dan. . ."
"Gak perlu!" potong Rafly membuatku langsung terdiam.
"Besok aku akan masuk!"
"Jangan maksa Raf. Kamu masih lemes gini," saranku.
"Aku sudah sembuh!" potongnya, membuatku kembali terdiam.
Kecanggungan kembali menggelayut. Aku sendiri bingung, karena sepertinya tak
ada lagi yg bisa ku katakan.
Aku berdehem, mengumpulkan suara. "Kalo gitu. . ., aku permisi
dulu ya?" kataku akhirnya. Karena Rafly tak menjawab, aku pun bangkit,
"Kamu butuh bantuan kedalam atau. . .,"
"Aku cuma sakit, bukan invalid!!" tukasnya sedikit tajam
membuatku tersipu.
"Maaf. . . .! Kalau begitu, permisi," pamitku dan
cepat-cepat pergi.
Malam itu, untuk pertama kalinya, aku tak bisa tidur semalaman
memikirkan seseorang. Aku mengingat-ingat potongan-potongan cerita yg diberikan
oleh Mas Arif tentang Rafly. Bahwa orang tuanya telah meninggal, dan dia hidup
sendiri. Mungkin inilah alasannya kenapa waktu orientasi dulu, Rafly langsung
menghajar senior yang menghina orangtua nya. Lalu siapa yang menghidupinya?
Menyekolahkannya? Memenuhi dan menyediakan kebutuhannya? Apa lagi sekarang saat dia sakit. Siapa yang
akan memasak dan menjaganya?
Semua hal itu berkecamuk dalam pikiranku.
III
Keesokan harinya, ternyata Rafly tetap tidak masuk sekolah. Saat
istirahat, aku dipanggil oleh wali kelas. Segera saja kuberitahukan apa yang ku
ketahui. Bahwa Rafly sakit dan orang tuanya telah meninggal. Beliau sepertinya
mengerti dan mengatakan akan melakukan sesuatu untuk memperbaiki catatan Rafly
di sekolah.
Aku sendiri,begitu usai sekolah usai langsung menuju tempat praktek
dokter pribadi keluargaku dan membawanya ke rumah Rafly.
Seperti sebelumnya, rumah Rafly tampak lengang seperti tak
berpenghuni. Setelah mengetuk dan mengucapkan salam bbrp kali tp tak ada
sahutan, akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka pintu yang ternyata tak
dikunci. Ruang depan kosong, jadi aku ke dalam. Aku menemukan Rafly tergolek
pingsan dilantai kamarnya. Ada bekas muntahan didekatnya.
Sedikit kehebohan terjadi!
Dokter segera memeriksa dan mencoba menyadarkannya. Karena dia
terlalu lemah, kami memutuskan untuk langsung membawanya ke rumah sakit. 3 jam
aku menungguinya. Saat dia sadar dan tahu sedang berada dimana, Rafly marah dan ngotot pulang. Tentu saja
pihak rumah sakit menahannya. Karena dia terus berontak, Dokter memberinya obat
penenang. Tapi sebelum tertidur dia sempat menggumamkan tentang uang dan biaya
perawatan. Sepertinya, itu adalah alasan kenapa dia ingin segera pergi.
Keesokan harinya saat aku kembali, Rafly terbaring tenang meski aku
bisa melihat gurat kekesalan di wajahnya. Untuk beberapa saat kami cuma saling
diam.
"Dokter bilang, kamu gak boleh makan yang keras-keras untuk
sementara waktu," kataku, mencoba memulai percakapan. "Jadi. . . . ,
aku bawakan roti dan bbrp makanan ringan yang lunak. Juga susu. Aku sudah tanya
Dokter, asal bukan susu coklat, kamu boleh meminumnya."
Tak ada sahutan.
"Mengenai biaya rumah sakit, kamu gak usah khawatir,"
imbuhku. "Pihak sekolah yang akan menanggungnya. Kamu tentu tahu kalau ada
asuransi bagi para siswa. Jadi kamu gak perlu khawatir dan. . ."
"Kamu yg memberitahu pihak sekolah?" tanya Rafly
tiba-tiba dan memotong kalimatku.
Untuk sesaat aku tercenung mendengar nada suaranya yang tidak
ramah. Lebih cenderung menegur dari pada bertanya. "Yeah. . .! Tentu saja.
Aku satu-satunya orang disekolah yang tahu keadaanmu kan?" tanyaku balik
dan sedikit tersenyum untuk mencairkan suasana. Kembali tak ada sahutan dari
Rafly. Aku yang masih canggung akhirnya meraih sebungkus roti dan membukanya.
"Coba rasain roti ini deh. Aku suka banget. Tiap pagi aku makan ini
lho!" ujarku nyengir dan mengulurkan selapis roti itu padanya.
Semula Rafly ragu. Namun akhirnya, sesaat kemudian dia bergerak
hendak bangkit dari tidurnya. Terlihat agak susah karena ada selang infus dan
dia juga sepertinya masih lemah.
"Jangan!" kataku cepat menahannya. "Kamu tidur aja!
Masih lemes gitu. Biar aku bantu," kataku dan mencuil sedikit roti itu dan
menyorongkan ke depan bibirnya. Rafly sedikit tertegun. Aku paham apa yang
dirasakannya. Akan tampak aneh kalau aku menyuapinya. Tapi kepalang tanggung.
Dan keadaan Rafly juga tidak mendukung. Akhirnya Rafly mau membuka mulutnya
meski dengan sedikit enggan. Aku tersenyum agar dia merasa rileks.
Rafly berdehem tanda hendak mengatakan sesuatu. "Jadi. . . apa
benar ada ansuransi untuk kasus seperti aku?" tanyanya ingin tahu.Aku
diam,tak langsung menjawabnya karena aku tahu kalau aku tidak berhati-hati,
akan ada masalah baru.
"Maksudmu apa?" tanyaku balik.
"Aku tahu memang ada ansuransi bagi para siswa disekolah kita.
Tapi biasanya pihak ansuransi mau menanggung, hanya jika insiden itu terjadi pd
saat proses belajar disekolah. Jika terjadi sesuatu diluar lingkungan dan jam
sekolah,bukannya itu jadi tanggung jawab pribadi?"
S
eharusnya aku tahu
kalau dia tidak bodoh, pikir ku. Tapi tak mungkin kalau aku bilang ke dia bahwa semalam
aku minta bantuan ayahku untuk menanggung biaya rumah sakit ini. Bahkan aku
merekomendasikan Rafly pada beliau agar dia mendapat beasiswa. Untuk hal itu,
masih perlu waktu. Tapi bagaimanapun juga, dia layak mendapatkannya kan? Selain
karena prestasi akademisnya, ekonomi Rafly juga memenuhi syarat.
"Apa itu penting Raf?" tanyaku sembari menyorongkan
secuil roti padanya. Rafly tak menjawab. Dia menatapku dengan seksama,
membuatku jadi canggung dan salah tingkah. Aku tahu orang sejenis dia memiliki
harga diri yang tinggi. Kalau dia tahu aku membantunya, mungkin dia akan
meledak.
"Aku tak punya pilihan lain kan?" gumamnya kemudian
dengan nada pahit, membuatku kembali berpaling pdnya. Rafly sudah membuang
pandangannya ke samping dengan ekspresi kalah. Seperti yang kuduga, harga
dirinya terusik. Dia sakit hati.
"Tak ada manusia yang bisa hidup sendiri Raf," kataku
pelan. "Sekuat apapun seseorang, suatu saat dia akan mencapai batasnya.
Dia pasti akan berada di suatu kondisi, dimana dia harus bergantung pada orang
lain. Siapapun itu. Orang-orang besar seperti Alexander The Great, Bung Karno,
atau bahkan Nabi kita, tidak mengubah dunia sendirian. Ada orang-orang di
samping mereka. Para sahabat, keluarga dan yang lainnya. Singkatnya, kita akan selalu
membutuhkan orang lain. Jadi. . . tak perlu merasa kalah, lemah. Apa lagi. . .
terhina. Hal itu benar-benar wajar kok!"
Rafly kini diam menatapku. Aku kembali tersenyum pada nya. Mencoba
menyuntikkan semangat dan kembali menyuapkan roti untuknya. Untuk beberapa
lama, sampai akhirnya dia menghabiskan dua lapis roti, tak ada kata-kata yang
kami ucapkan. Setelah merasa cukup, aku pun pamit.
"Dimas!" panggil Rafly saat aku hampir mencapai
pintu,membuatku kembali berbalik pdnya, " . . . terima kasih," katanya
pelan.
Aku mengangguk dan tersenyum,"Besok aku kesini lagi. Mau
kubawakan sesuatu?"
Rafly menggeleng, "Datang saja," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar