Translate

Rabu, 20 Desember 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle BAB 28





BAB 28


Aku baru masuk sekolah tanggal 5, karena butuh 1 hari penuh bagiku untuk beristirahat. Bukan hanya karena capek. Tapi juga karena perubahan suhu yang drastis. Dan juga untuk menenangkan Bunda yang jadi agak-agak histeris. Pertama kali pulang ke rumah, di antar oleh Soni, Bunda sudah menunggu dengan wajah sedikit kesal dan tak percaya di depan pintu. Begitu aku mencium tangannya, tangan beliau yang satu malah dengan cepat menepuk bahuku dengan keras.

“Keterlaluan!! Kenapa gak pernah telepon? Ga tau Bunda khawatir apa, heh?!!” omel beliau memulai dengan wajah kaku antara marah dan khawatir.

“Sibuk, Bun.”

“Maaf Bunda. Soni yang salah.,” potong Soni cepat dan meraih tangan Bunda untuk menciumnya juga, membuat keningku berkerut karena Bunda tidak memukulnya sepertiku tadi, “Kami harus pergi ke beberapa tempat untuk menyelsaikan urusan Soni. Biasanya sudah capek banget pulangnya. Jadi gak kepikiran buat telepon.”

Bunda hanya mampu mendengus dan menggelengkan kepalanya, “Kalian ini gak tau bingungnya orang tua. Lalu itu semua apa?” tanya Bunda sembari menunjuk pada 4 buah koper besar yang kami bawa.

“Oleh-oleh buat Bunda, Wina dan yang lain,” sahutku cepat, “Kita udah beliin oleh-oleh bagus lho buat Bunda. Bunda pasti suka. Iya kan, Son?” kataku meminta dukungannya dan memberinya tanda dengan kerlingan mata .

“Iya, Bun!” jawab Soni yang tanggap.

Bunda merengut, “Memang kalian pikir, kalian bisa menyuap Bunda dengan oleh-oleh?” gerutu beliau sembari membnatu kami memasukkan koper ke dalam, “Kalian sudah makan?”

“Tadi...........”

“Belom Bun!” potongku cepat dan melirik Soni, memberinya isyarat lagi dengan kerlingan mata, “Kan kangen masakan Bunda. Jadi kita mau makan disini.”

“Ya sudah. Ini barang-barangnya ditaruh ke akmarmu saja dulu. Terus kalian amkan.”

Malam itu kami menceritakan pada Bunda karangan yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Bahwa kami ke perkebunan Soni untuk mengurus beberapa masalah. Semua hal dan oleh-oleh yang bertuliskan kalau kami berada di Paris, sudah kami singkirkan sebelumnya.

Jujur aku merasa kalau beberapa hari yang kami lewatkan di Paris adalah mimpi. Bahkan saat aku mengantar Soni kembali ke mobilnya, pikiranku masih melayang.

“Aku benci kembali ke rumah,” gerutu Soni pelan saat kami tiba di dekat mobilnya, membuatku sedikit kaget.

“Heh? Apa? Kenapa?”

“Nggak ada kamu disana,” kata Soni dengan wajah kesalnya, hingga aku tak sanggup menahan senyumku.

“Aku juga merasa begitu kok,” kataku dan membukakan pintu mobil untuknya.

Soni menghela napas dan masuk, “Oh ya. Ada yang kelupaan,” kata Soni ketika dia hendak memasukkan kunci  kontak mobilnya. Dia memberiku isyarat untuk mendekat. Terheran, aku menunduk. Sedikit kaget karena tiba-tiba Soni menarik kerah leher bajuku dan memberiku sebuah ciuman cepat.

Aku segera melepaskan diri dan melihat ke sekeliling kami yang untungnya, sepi.

“Ada yang liat ntar,” bisikku.

Soni tersenyum jahil, “Who cares? Aku pulang,” katanya.

Aku mengangguk dan diam disana hingga mobilnya hilang.

********

 
Pagi harinya, Soni menjemputku dengan mobilnya untuk berangkat ke sekolah, karena kami harus membawa oleh-oleh untuk Wina dan yang lainnya. Jadi tak mungkin kalau kami bawa motor. Dan sesampainya di sekolah, kembali aku merasakannya. Atmosfir lama yang hampir kulupakan. Banyak mata yang memperhatikan kami. Memperhatikan Soni lebih tepatnya. Beberapa malah tak canggung-canggung untuk berbisik, kasak kusuk, dan menunjuk ke arah kami. Tapi seperti biasanya, Soni tak acuh. Aku hanya bisa meniru sikapnya.

“Aku ke kelas dulu ya? Ntar sepulang sekolah aja kita kasih oleh-olehnya ke Wina dan yang lainnya,” kataku pada Soni yang telah keluar dan menutup  pintu mobil. Soni memberiku senyumannya dan mengangguk. Aku yang jadi sedikit tak tahan dengan pandangan anak-anak yang lain, segera pergi menuju kelasku.

“REESSEEEEEEEEEEE!!!!!!!!!!!”

Teriakan keras Wina dan lainnya menyambutku saat aku kakiku baru saja masuk ke dalam kelas. Disusul timpukan berbagai macam benda asing, seperti kertas, pulpen, buku atau penghapus.

“WOOIII!!!! Terus gini dan GA ADA OLEH-OLEH BUAT KALIAAAAN!!!”teriakku kesal sembari menunduk untuk 
melindungi diri.

“MANAAA?!!!!” teriak Enny dan Emmy yang kemudian menyeretku ke bangku mereka.

“Denger oleh-oleh aja, langsung baik. Dasar penjilat!” gerutuku dongkol.

PLOKK!!!

Sebuah kotak kado melayang pas ke mukaku. Aku kembali misuh-misuh keras karena tak sempat menghindar. Mukaku langsung terasa panas. Tapi Wina yang sukses menimpukku berkacak pinggang dengan wajah marah.

“Ngelayap kemana aja lu, kunyuk?!! Hape gak aktif. Ga ada sms. Apalagi telpon. Kita bahkan gak bisa ngucapin met taun baru. Makan tuh kado ultah lo!!” semburnya kayak emak-emak kena ayan.

Aku nyengir mendengarnya, “Sorry, Win. Tapi kemaren gue bener-bener gak ada waktu. Kita berdua sibuk banget.”

“Lagak lo! Sekarang mana oleh-oleh buat gue?” todongnya sadis dengan tangan menadah.

“Ada di mobil Soni. Ntar aja kita pulang bareng. Biar sekalian dianter ma Soni, ok?”

“Beneran?!!” serobot Rika, Emmy dan Enny hampir berbarengan.

“Di mobil kak Soni?” tanya Wina yang aku jawab dengan anggukan.

“Iya. Thanks ya kadonya, Win. Eh, kalian mana kadonya?!” tagihku pada Rika dan yang lainnya. Tanpa bersuara, masing-masing dari mereka melemparkan kadonya ke mukaku, membuatku kembali misuh-misuh karen kesakitan.

Wina dan yang lainnya cuma cekikikan seneng.

“Dari kemaren kita emang berencana buat nimpukin ke lo,” cengir Wina, membuatku menggerutu. Namun ucapan Wina disambut hangat oleh yang lain. Malah dengan semangatnya mereka nodong untuk ditraktir makan. Karuan saja aku mencak-mencak. Sayangnya, sebelum aku sempat memberikan argumen, bel masuk berdering.

Sebenarnya aku berharap kalau Wina dan yang lain melupakan tuntutan mereka setelah 2 jam pelajaran Matematika dan Kimia yang membosankan. Tapi harapanku tak terkabul. Karena begitu bel istirahat berbunyi, dengan semangat Rika menabok punggungku dari belakang.

“Gue mau KFC, pizza ma salad buah,” cuapnya asal.

“Gue sushi dong! Pasta atau spaghetti juga boleh,” sambung Enny.

“Gue ayam kalasan aja ya?” timpal Emmy.

“Kalian pikir gue restoran apa?” sungutku sembari mengelus punggungku yang kena tabok Rika tadi, “Lagian kalian kan udah gue beliin oleh-oleh. Masa kurang?”

“Itu kan beda urusan, Nek!” serobot Wina, “Oleh-oleh itu kan lo beliin sebagai souvenir jalan-jalan lo. Sementara traktiran kan buat ultah lo. Gak bisa dijadiin satu dong!”

Aku mendecak sinis dengan argumen Wina, “Lo bakat jadi lintah darat Win,” cibirku dongkol.

“TJ!”

Panggilan itu terdengar dari pintu kelas. Soni melambai ke arahku tanpa memperdulikan godaan beberapa teman cewek sekelasku yang tiba-tiba saja jadi kecentilan. Aku segera bangkit meski batinku menggerutu. Sepertinya aku harus belajar nguatin batin nih, pikirku kecut.

“DAN JUGA KARENA ITUU!!!” teriak Wina kenceng saat aku mencapai pintu. Aku kembali menggerutu karenanya.  
Coba aja dia tahu gue udah jadian ma Soni. Bisa digantung gue, ringisku dalam hati.

“Kenapa?” tanya Soni yang heran dengan kelakuan Wina dan yang lainnya.

“Mereka  nodong minta traktiran ultah karena kemaren aku gak ada di rumah,” jelasku nyengir.

“Ya udah. Ntar kita bawa aja mereka makan.”

“Hah?!” aku jadi sedikit bengong dengan sahutan entengnya, “Nggak usah deh. Ngapain coba. Kita udah bawain oleh-oleh dari Paris sebanyak itu. Biarin aja.”

“Lho? Kenapa? Kan hitung-hitung ngerayain ulang tahunmu.”

“Gak usah di bahas. Biarin aja mereka nyap-nyap,” sahutku cepat dan mengibaskan tangan, “Ada apa?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatiannya.

“Kangen...”

Aku sontan gelagapan dan hanya bisa menelan ludah, jengah dengan jawaban jujurnya. Meski senang, aku hanya mampu menunduk dan menggerutu tak jelas.

“Gak boleh?” goda Soni dengan senyum gelinya melihatku.

“Baru juga beberapa jam,” gerundengku, masih belum mampu beradu pandang dengannya.

“Emang kamu nggak kangen ya?”

“Udah deeeehh. Kan malu...” gerundengku tak tahan.

Soni tertawa kecil melihatku yang makin belingsatan, “Cuma mau kasih tahu, kalau rekaman video kita kemaren sudah aku transfer ke dalam dvd. Tapi aku lupa bawa. Ntar aja ambil di rumah. Sekalian ama foto-fotonya kalau mau cetak.”

“Sip!” sahutku semangat.

“Kita ke kantin,” ajak Soni dan menarikku untuk mengikutinya.



Seperti yang aku duga, Wina dan yang lain langsung histeris dengan oleh-oleh yang kubawa. Mobil Soni langsung berisik dengan pekikan girang mereka.

“Keren bangeeett!!! T-shirt-nya kece!! Beli dimana siikk?!!” seru Rika.

“Oke banget neeekk!! Makasih!” timpal Enny.

“Eh tapi lo masih tetep kudu traktir kita lho TJ!” serobot Wina meski matanya berbinar dengan oleh-oleh bagiannya yang dia pegang.

“Maruk amat sik?! Masih aja kurang?” umpatku dongkol.

“Tenang aja. Kalian mau ditraktir apa?” timpal Soni sembari melirik dari kaca spion. Aku yang duduk disebelahnya langsung nyureng dan menggeram marah.

“Aku bilang gak perlu!!” protesku padanya.

Karuan saja Wina dan yang lain protes berat dan ngomel hampir berbarengan. Soni mengangkat tangannya untuk menenangkan trio bebek itu.

“Sekarang putusin mau makan dimana?” tanya Soni.

“Eh, gimana kalo kita nonton dulu, terus makan-makan di KFC?!” usul Wina.

“Boleh juga tuh,” sahut Enny cepat.

“Hei!! Kalian tadi cuma minta makan doang kan?” potongku.

“Iya, gue setuju! Kita nonton terus makan-makan di KFC aja. Tapi jangan sekarang. Ntar malem aja!” sahut Rika seolah-olah tak mendengar protesku.

“Kok malem Ka?” tanya Emmy heran. Rika cuma nyengir dan membisikkan sesuatu pada Emmy yang kemudian diteruskan ke yang lainnya. Minus aku tentu saja.

“Sip deh!! Jadi Kak Soni! Kita nonton terus makan di KFC aja ya?” ujar Enny dengan mata berbinar. Sepertinya mereka berempat telah sepakat akan satu hal.

“Tunggu!” potongku, “Kalian ngerencanain apa tadi?” tanyaku dengan pandangan penuh selidik.

“Mo tau aja deh. Lo diem aja dulu ih!” serobot Rika.

“Ya udah. Ntar malem kita pergi. Jam 7 ya?” putus Soni.


Grup bebek yang ada dibelakang langsung bersorak kegirangan. Aku hanya mampu mneggeram kesal. Dan aku tetap konsisten dengan manyunku sampai kami menurunkan penumpang terakhir kami, Wina. Soni Cuma nyengir.

“Kenapa sih?” godanya.

“Aku kan udah bilang gak perlu,” gerutuku, “Aku nggak............” kalimatku terpotong oleh suara sms yang masuk ke ponsel lamaku. Mataku kembali nyureng membaca sms Rika yang intinya adalah, mereka sengaja minta acaranya ntar malem supaya mereka bisa dandan abis. Mereka udah janjian buat ke salon bareng ntar sore. Siapa tahu Soni naksir salah satu dari mereka.

“Sarap!” gerundengku dongkol.

“Sekarang kenapa lagi?”

“Kamu tahu kenapa mereka minta acaranya ntar malem aja? Mereka mau dandan heboh untuk memikatmu.”

Soni tergelak kecil, “Kalo gitu bagus kan? Mungkin kita juga harus dandan heboh juga.”

“Justru itu yang gak aku suka,” gerutuku, membuat sbelah alis Soni terangkat, “Mereka pasti akan makin heboh kalo kamu gitu. Emang suka ngeliat mereka histeris?”

“Kenapa? Cemburu?” goda Soni lagi. Aku diam tak menjawab. Hanya saja mulutku makin maju, manyun, “Baiklah. Terus kamu mau aku gimana?”

“Justru itulah masalahnya. Kamu tetap akan keliatan bagus pake apa aja. Dan aku ragu koleksi busanamu ada dalam kategori yang biasa. Kenapa kamu gak punya jeans robek-robek aja sik? Yang belel gitu. Ama t-shirt butut gitu sebiji,” gerutuku.

Soni tertawa dan mengacak-acak rambutku dengan sayang, “Gak usah jealous lah. You know I love you,” katanya lembut.
Aku hanya tersenyum dan kembali tertunduk malu karenanya.


*************

Malamnya aku sedikit kaget karena yang muncul di rumahku justru Pak Surya.

“Maaf, Mas. Den Soni minta saya mengantar Mas TJ. Dan meminta saya menyerahkan ini.”

Pak Surya mengangsurkan sebuah amplop padaku. Aku menerimanya dengan tatapan tanya.

“Den Soni minta mas pegang.”

Aku yang masih setengah bengong menerima amplop itu dalam diam, jadi makin tak mengerti. Ponselku berbunyi sebelum aku membukanya.

“Soni,” gumamku dan mengangkatnya, “Ya Son?”

“Sorry, aku mungkin gak bisa ikut nonton bareng kalian. Tapi nanti aku bakal nyusul ke KFC langsung. I have something to do.”

“Ya udah, gak papa. Beneran nanti bisa nyusul ke KFC?”

“Iya. Kalian ntar nonton di XXX Mall kan? KFC ada di lantai 1 kan? Terus yang ada di amplop itu kamu pake ya?”

“Emang isinya ap..” kalimatku terpotong saat kulihat isi amplop itu adalah lembaran-lembaran uang yang jumlahnya jelas lebih dari 1 juta, “SON!”
 
saluran telah diputuskan. Aku menggerutu pelan tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Kita berangkat, pak!” kataku pada Pak Surya, lalu berpamitan pada Bunda.

Waktu aku kasih tahu situasinya, Wina dan yang lain jadi sedikit kecewa. Apalagi Emmy, Enny dan Rika yang sudha dandan heboh kayak orang mau ngelnong. Mereka udah bela-belain ke salon tadi. Wajah di dempul abis. Rambut mereka ditata dengan dramatis. Baju gaul, dan sepatu sudah high heels. Hanya aku dan Wina yang menggunakan celana jeans dan t-shirt. Aku hanya mampu menggelengkan kepalaku. Tapi mereka langsung semangat  lagi saat aku bilang kalau Soni akan menyusul ke KFC. Apalagi saat tahu kalau dia mengirim sopirnya untuk mengantar kami.

Kami nonton film animasi terbaru keluaran Pixar. Selesai nonton, Wina langsung menyeretku ke KFC. Tapi Rikan dan yang lain pamit untuk ke toilet dulu. Mereka hendak merapikan make up mereka. Hampir 2o menit penuh mereka di dalam. Aku dan Wina yang menunggu di depan KFC jelas jadi uring-uringan dengan ulah mereka yang kecentilan.

“RESEE!!” semburku kesal ketika mereka muncul dengan langkah melambai tenang, “Kalian lupa kalo kalian udah punya pacar semua? Ganjen banget deh.”

“Eh, kalo emang ada prospek yang lebih bagus, kenapa harus ditolak? Iya nggak?” kilah Emmy.

“Sial banget si Dono dapet pacar kek elu,” gerundengku.

“DONI, kunyuk!!!” bnatah Emmy dan menepuk bahuku keras.

Wina ngakak dan segera menyeret kami msuk, “Nah sekarang, lo mau traktir kita apaan nih? Jangan sampe duit lo gak cukup en kita kudu ninggalin lo disini buat jaminan,” katanya dan nyengir licik.

Aku mendengus mendengarnya, “Kalian boleh makan apa aja sampe perut kalian meledak. Puas-puasin deh ka...”

Aku belum menyelesaikan kalimatku, tapi Wina dan yang lain langsung teriak kegirangan dan menyerbu counter kosong, memesan berbagai macam makanan. Aku hanya kembali merutuk dengan tingkah mereka.


“Jarang-jarangan lho kita bisa ada kesemparan ngebajak elo kayak gini,” ujar Rika kalem dan melahap makanan di bakinya yang penuh sesak.

“Iya nih,” timpal Enny dan menyedot pepsi ukuran XL-nya, “Tumben-tumbenan lo kaya nek.”

“Atau lo sekarang miara tuyul ya? Muja?’ sambung Emmy antusias.

“Ngepet kali!” imbuh Wina.

“Atau...................jangan-jangan sekarang lo jadi simpenan Oom-Oom kaya ya?” serobot Rika asal cuap.

Aku mendecak keras, “Dasar cewek-cewek sableng!” makiku sengit, “Otak kalian pada error semua. Kalian gak bisa mikir lurus apa?!!”

Wina tergelak, “Tapi beneran deh. Kemaren lo udah kasih kita banyak oleh-oleh. Lalu sekarang lo bisa traktir kita kayak gini. Gak biasa banget kan?”

“Gue...............”

Kalimatku terpotong saat Rika mengeluarkan suara tersedak keras. Lalu sembari mengusap bibirnya dengan tissue, dia memberi isyarat heboh pada kami untuk menoleh ke pintu masuk.

Disana, Soni tersenyum ke arah kami dan melambaikan tangannya sekilas. Aku, Wina dan yang lain ternganga melihatnya. Dia memakai kaos dalam singlet warna hitam tanpa lengan yang mencetak sempurna tubuhnya. Dari lekukan dada bidangnya, perut hingga pinggang. Dia mebalutnya dengan kemeja yang tak dikancingkan. Di padu dengan celana jeans belel robek-robek serta sepatu kets. Ada sebuah antai di pinggangnya, yang kurasa berhubungan dengan dompet yang ada di sakunya.

Meski penampilannya ala bad boy begitu, tetap saja dia terlihat bergaya dan berbeda. Penampilannya lebih terlihat sebagai model yang memperagakan gaya street wear. Aku curiga celana jeans yang dia pake bukan merk sembarangan. Karena meski robek-robek, celana itu terlalu bergaya dan pas membungkus kakinya. Out fit-nya menyatu dengan rambutnya yang kali ini tidak terminyaki rapi. Dia membiarkannya sedikit acak.

Bahkan saat seperti ini, dia masih menjadi magnet, pikirku saat menyadari banyaknya mata yang berpaling ke arahnya. Bahkan mereka yang menjaga counter terpana dan berhenti sejenak.

“Sorry telat. Tadi aku ada urusan,” kata Soni seolah-olah dia tidak membuat lingkungan di sekitarnya berhenti dari aktifitasnya. Dia duduk di sebelahku, “Udah makannya?” tanya Soni lagi.

Aku menoleh pada Wina dan yang lain. Hebatnya, mereka masih diam dengan pose cengo bego. Aku berdehem keras, membuat mereka tersadar dan langsung nyengir. Sedikit salah tingkah, meski mata mereka masih menelusuri Soni.

“Be-belum Kak,” jawab Rika grogi.

“Kamu gak pesen?” tanyaku tanpa melihatnya. Aku lebih memilih konsen dengan makananku, sementara kakiku yang di bawah meja, menendang kaki Wina dan yang lain, supaya mereka sadar dan lebih fokus. Tidak bengong terus melihat Soni.

“Bareng aja,” jawab Soni dan mencomot french ries dari bakiku.

Aku hanya menggerutu sambil melirik ke sekeliling kami. Mereka semua masih melihatnyam pikirku kesal.

“Kenapa?” tanya Soni. Mungkin dia mendengar gerutuanku.

“Nggak papa,” sahutku singkat dan sedikit ketus, lalu kembali menendang Wina didepanku yang kulihat kembali bengong dengan mulut nganga, menatap Soni. Wina mengerang pelan dan melotot padaku, membuat Soni makin heran.

“Kok gitu?”

“Mau bikin sensasi baru?” sindirku akhirnya, tak tahan untuk nyolot, “Kenapa gak lepas kemejanya sekalian? Nanggung.”

“Oh ya?” komen Soni santai. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia membuka kemejanya dan mengikatkannya dengan tak acuh ke pinggangnya.

Ku dengar Wina dan yang lain menahan napas keras, terkesiap. Aku sendiri hanya mampu menggigit lidah untuk menahan diri yang hampir mengeluarkan umpatan pelan. Soni Cuma tersenyum, melirikku geli. Tak pedulli kalau tindakannya tadi justru membuatnya jadi makin diperhatikan dengan orang-orang disini. Sekarang mereka jadi lebih jelas melihat bentuk tubuhnya dibalik kaos singletnya yang ngepas ditubuhnya. Dadanya yang penuh dengan sedikit bulunya yang menyembul di bagian atas singletnya. Lengannya yang putih berbulu dengan otot-otot bicep gagahnya yang menggoda. Dia benar-benar definisi iblis yang menyuguhkan kenikmatan dunia dan pada akhirnya menyeret manusia ke neraka. Dan aku adalah salah satu korbannya.

“WOII!! Cepetan makannya!” bentakku pada Wina dan yang lainnya, yang lagi-lagi bengong hebat. Mereka hanya kembali nyengir dan melanjutkan makannya sambil seekali masih melirik Soni.

“Nonton apa tadi?” tanya Soni, masih dengan kecuekannya.

“Film animasi, Kak. Bagus lho. Sayang, kakak gak bisa ikut,” sahut Enny, sedikit terlalu bersemangat.

Soni tersenyum tipis menanggapinya dan melirikku. Aku yang sadar dengan lirikannya, cuek dan masih konsisten cemberut. Malas untuk menanggapi, karena yakin kalau aku membuka mulut, yang ada hanya omelan keluarnya.

“Oh ya, Wina. Bisa ikut aku sebentar?” pinta Soni mendadak.

Bukan hanya Rika, Enny dan Emmy serta aku saja yang terlengak kaget. Wina sendiri bengong hebat dan melihat ke arah Soni yang bangkit dari duduknya, dengan tatapan bego.

“S-sa-saya Kak?” tanya dia gugup.

“Iya. Ayo! Sebentar kok,” tegas Soni dan melangkah mendahuluinya. Wina cuma menatapku dan yang lain dengan bego, lalu bangkit mengikuti Soni setelah mengangkat bahu pasrah. Aku jadi makin uring-uringan tak jelas.

Mau ngapain lagi sih tuh orang? Pikirku dalam hati, mangkel. Sepanjang sejarah pengetahuanku dengan Soni, aku gak pernah liat dia bicara berdua saja dnegan seorang cewek. Apalagi ini dia yang ngajak duluan. There must be something wrong, pikirku lagi dan memperhatikan mereka yang ngobrol di luar. Sesekali mereka melihat ke arah kami. Terakhir kulihat, dia membisikkan sesuatu di telinga Wina.

Sesaat kemudian mereka kembali. Ekspresi Soni masih datar dan cuek seperti biasa. Sementara Wina tampak nyengir senang. Begitu dia duduk, Emmy dan yang lain langsung aja mencolek karena ingin tahu. Tapi Wina hanya tersenyum tanpa menjawabnya. Aku sendiri lebih memilih untuk melirik Soni dengan sengit.

What?” tanya Soni dengan wajah tanpa dosa, lalu kembali mencomot french fries punyaku. Aku tak menjawab, hanya 
kebali menggerutu. Jelas sekali kalau dia tak akan mengatakn apapun meski aku memaksanya. Sial!

“Kalian udah kelar? Kita balik!” ajakku kemudian pada yang lain.

“Eh, ntar dong. Gue belom kelar!” sergah Rika.

“Iya nih. Makanannya juga masih banyak ini!” tukas Wina.

Aku ganti melotot sengit padanya. Tapi Wina Cuma nyengir dan melanjutkan makannya dengan tenang. Aku yang sudah tidak berselera akhirnya memilih untuk mendengarkan koleksi mp3ku dan tidak mengacuhkan mereka, termasuk Soni. Begitu mereka selesai, aku segera bangkit mendahului .

Sesampainya di lapangan parkir aku tak mendapati Pak Surya dan mobilnya. Tapi malah mendapati peugeot yang biasa di pakai Soni.

“Aku sudah menyuruh Pak Surya pulang tadi,” jelas Soni yang muncul dibelakangku dan langsung mematikan alarm mobil denga remote-nya. Dia membuka pintu depan untukku. Tanpa berkata apapun, aku masuk. Soni hanya tersenyum dan mengikutiku. Aku berniat untuk tidak mengacuhkannya hingga nanti aku merasa baikan. Untuk sekarang, aku tak ada niatan untuk baik padanya. Aku lalu duduk bersandar sembari memejamkan mata. Mendengarkan sebuah lagu dari Craig David dari ponselku.

Sesaat kemudian, aku dibuat sedikit kaget saat Soni menarik lepas earphone-ku pelan, “Manyun amat. Kenapa sik?” 
tanyanya heran.

Aku hanya mendengus dan mencoba merebut earphone-ku yang dia pegang. Tapi Soni menahannya, “Nggak ada apa-apa!” sergahku dan akhirnya memilih untuk mematikan mp3 playerku. Tahu kalau percuma melawannya.

“Masa? Dengan muka gitu?” tanya Soni lagi.  

“Wina lelet banget siik?!!” gerundengku tanpa menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian aku mendengar tawa Wina dan yang lain. Mereka baru muncul dari arah lift, “WOOOII!!! CEPETAANN!!”

“IYAAA!!” sahut mereka dan berlari menekat.

“Lama banget sik?!!” gerutuku dan membuang muka ke depan tanpa menoleh lagi pada mereka yang masuk ke bagian belakang mobil.

“Soalnya kita mau kasih ini ke lo!” ujar Wina yang kemudian menepuk bahuku. Saat aku menoleh, dia sedang memegang sebuah kue tart dengan beberapa lilin yang menyala. Wajahnya dan yang lain terlihat girang karena berhasil mengerjaiku.

SURPRISE!!!” seru mereka kompak dan ngikik.

“Met ultah ya? Lo udah resmi 17 taon sekarang. Udah boleh liat bokep!” lanjut Wina nyengir.

“Udah tua ya?! Rasain! Suruh siapa ultah di awal taon,” imbuh Enny

Aku bengong, terlalu kaget untuk bereaksi. Bahkan untuk membalas ledekan mereka. Dengan cepat aku berpaling pada Soni yang tertawa kecil di sebelahku.

“Ulang tahun belum lengkap tanpa kue tart dan lilin kan?” selorohnya, “And by the way, kalau kamu manyun? Priceless! Seharusya tadi aku mengambil foto!”

Aku menggeram dan memukul bahunya keras. Sadar kalau sedang dikerjai sedari tadi, “RESE!!” umpatku kesal membuat Soni dan yang lain tertawa.

“Ayo TJ, tiup lilinnya!” kata Rika.

Make a wish!” potong Soni.

Aku memejamkan mata dan memanjatkan doa pada Tuhan agar kebahagiaan ini bisa terus aku rasakan, kemudian ku tipu lilinya. Wina dan yang lain bersorak.

“Ayo potong kuenya! Gue mau yang ada cherry-nya ya?” pinta Emmy bersemangat.

“Gila!! Emang perut lo masih nampung, Em?” tanyaku kaget.

“Penuh sih. Tapi kan lumayan buat besok. Emang kenapa? Lo mau ngabisin kuenya sendiri? Enak aja!” serobotnya, membuat kami tergelak.




Soni menghentikan mobilnya di depan gang yang menuju rumahku. Aku tidak langsung turun, tapi menoleh padanya dengan senyuman senang.

“Thanks! Kamu sudah memberiku banyak sekali,” kataku pelan.

Soni membalas senyumanku, “Anything for you,” katanya dan mematikan mesin mobil, sehingga kami tenggelam dalam kegelapan. Dia mengulurkan tangannya dan menarik wajahku. Untungnya jalanan sepi dan malam sudah larut, jadi tak ada yang melihat kami.

Aku mendesah, melepas napas yang tertahan saat Soni melepas ciumannya. Aku mungkin tak akan pernah bisa menenangkan jantungku yang mneggelepar hebat tiap kali dia menciumku, pikirku.

“Mau ikut ke rumah?” tawarnya kemudian pelan, membuatku yang mendengarnya tertawa kecil.

Not tonight. Aku mau tidur. Cape.”

Soni menghela naps, “Sudah beberapa hari ini aku tidur sendiri. I hate it!” grutunya.a

Aku hanya mampu kembali tertawa kecil dan menunduk jengah, “Yeah...... I do too,” sahutku jujur, karena memang itu yang kurasakan. Aku membuka pintu mobil untuk turun, namun urung karena teringat sesuatu, “Son...?”

“Apa?” tanya Soni yang melihatku dengan hern.

“Jangan pernah pake out fit seperti ini lagi! Promise me! Aku tak suka orang-orang ngeliatin kamu terus!” pintaku dengan wajah serius.

Soni tersenyum geli, “It was your idea. But.......ok,” katanya dan mengangguk.

Aku tersenyum membalasnya dan turun dari mobil, “Good nigt!” kataku dan tetap berdiri di sana. Melihatnya pergi, hingga akhirnya mobilnya menghilang di tikungan. Sesaat kemudian, saat hendak melangkah untuk pulang, ponselku berbunyi. Nomor Soni? Pikirku heran ketika melihat screen ponselku.

“Iya Son. Ada yang ketinggalan?” tanyaku.

“Ada satu yang kelupaan,” jawab Soni dari seberang, “Aku lupa bilang...I love you.”

Aku tertawa mendengarnya, “Love you too,” balasku dengan perasaan ringan dan berbunga. Saat Soni menutup telepon, hanya satu hal yang melintas di benakku.


Semuanya akan berbeda dari sekarang, batinku bahagia.


 

4 komentar:

  1. Mas Soni, makasih saya sudah baca kisah Soni dan TJ. Apa masih ada lanjutannya? Ditunggu ya mas.

    BalasHapus
  2. bang soni udah 4thn ga ada kabar nih...
    moga sehat selalu ya bang....

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus