Translate

Rabu, 20 Desember 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle Bab 27




BAB 27


Kami benar-benar berusaha dan memanfaatkan hari-hari terakhir kami di Paris dengan sebaik-baiknya. Soni memenuhi janjinya untuk membawaku ke tempat-tempat yang belum kami kunjungi sebelumnya. Disneyland salah satunya. Disana kami berfoto bersama dengan para karakter Disney yang terkenal, seperti Mickey, Minnie, Donald, Chip and Dale, Beauty and The Beast juga Ariel, The Little Mermaid. Kami juga sempat melihat parade karakter Disney dan mencoba berbagai permainan seru, seperti Jet Coaster (Sumpah ngeri banget ama yang satu ini! Aku teriak kenceng dan mencengkeram lengan Soni begitu kerasnya hingga menibulkan handprint  di lengan putihnya!), Tornado, Komidi Putar (yang ditertawakan oleh Soni!) dan lain-lainnya.

Soni juga membawaku ikut Tour di Seine Cruise River, dan kali ini dalam keadaan sadar dan terang benderang. Tur yang pertama tidak begitu ku ingat karena mabuk. Jadi dia menebusnya kali ini dengan membawaku dalam keadaan sadar. 

Sial!!

Saat hampir  melewati jembatan Alexander III, Soni mengatakan orang-orang percaya kalau kita berdoa di bawahnya, doa kita akan terkabul. Jadi jelas saja, saja aku cepat-cepat memejamkan mata begitu kami lewat dibawahnya.
Aku hanya menjulurkan lidah saat Soni bertanya doa apa yang aku panjatkan. Dia sendiri membalasnya dengan melakukan yang sama saat aku bertanya apa yang dia doakan.

Kami juga mengunjungi  Notredame yang megah dan menawan. Membeli beberapa oleh-oleh untuk Wina and the gank. Taruhan, mereka pasti suka dengan berbagai souvenir yang kami beli. T-shirt gaul, hiasan-hiasan kecil dan juga beberapa pernak-pernik khas cewek yang lucu. Dan bisa aku jamin mereka tidak akan menemukannya di Indonesia. Made in France! Selesai mendapatkan oleh-oleh untuk mereka, Soni mangajakku masu ke sebuah toko jam tangan besar.

Sepertinya toko ini bukan toko sembarangan, pikirku. Selain tempatnya yang mewah, barang-barang yang di display juga jelas bukan barang murahan atau palsu. Ada satu rak khusus yang menarik perhatianku karena dislay-nya yang begitu mewah dan catchy. Rak display berlapis plexy glass dengan tulisan Rolex. Salah satu merk jam tangan terkenal yang aku tahu harganya selangit.

Aku tak bisa menahan decakan kagumku melihat beberapa produk yang diapajng. Ada sebuah jam tangan silver yang tertangkap mataku. Jam tangan berbentuk persegi dengan bingkai berhias batu permata putih. Tampak begitu mewah dan berkelas, namun toh masih mewakili energi muda yang sporty dan casual.

Ugh!! Pengeeeennnn!! Batinku ngiler. Aku tahu harganya gila-gilaan. Mau minta sampe mampus juga Bunda gak bakalan mungkin beliin aku jam tangan beginian. Coba ada yang kasih begituan tanggal 2 ntar, batinku lagi.

Wina pernah mengolok-olokku karena tanggal ulang tahunku yang jatuh sehari setelah tahun baru. Dia bilang aku anak telat sehari. Kalau saja ultahku jatuh tanggal 1, orang-orang sedunia pasti ikutan merayakan. Kira-kira apa reaksi Wina ya kalo gue minta hadiah ultah jam tangan Rolex gini? Pikirku geli. Yang pasti dia bakal nyap-nyap. Aku masih ingat waktu Wina ultah kemarin. Aku ngasih dia sandal jepit warna pink yang harganya cuma 10 ribu.

Meski menerima dengan senyum, Wina nyindir halus, “Kenapa lo gak beliin gue jepit rambut pink juga jeung? Ada tuh yang harganya cuma lima rebu. Kan bisa matching,” katanya waktu itu.

Aku sih cuma nyengir membalasnya dan dengan jujur mengatakan kalau waktu itu aku lagi krisis. Wina tahu dan mengerti.

Aku asyik ngelamun tanpa melepas pandanganku dari display jam Rolex sampai akhirnya Soni memanggil dan melangkah mendekatiku.

“Sampai segitunya liat jam. Gak denger berapa kali aku manggil?” gerutunya sedikit sewot.

“Eh? Apa?!” tanyaku, tak mengerti maksudnya.

“Jadi bener-bener gak denger pertanyaanku tadi?”

Aku yengir, “Maap. Tadi aku ngelamun. Inget pas ulang tahun kemaren.”

“Kamu dapat hadiah Rolex?” tanya Soni dengan alis terangkat, “Dari siapa?”

Aku tertawa mendengarnya, “Engga. Bukan kok. Siapa juga yang kasih jam tangan Rolex. Ngibul ah. Cuma inget 
kejadian lucu. Ada apa tadi manggil?”

“Menurutmu jam tangan ini gimana?” tanay Soni akhirnya setelah mendengus keras karena jawabanku tadi. Dia mengangsurkan sebuah jam tangan wanita berwarna gold yang tampak mewah.

“Bagus kok dan........” aku melotot membaca harga yang tertera pada price tag-nya.kalo dirupiahkan bisa delapan digit angka tuh, “Gila!! Mahal bener, Son. Merk...............Cartier,” bacaku pada merk yang tergrafir dan maklum dengan harga yang aku lihat tadi.

“Pertanyaannya, oke nggak nih? Aku tak begitu paham  selera wanita.”

“Bagus kok. Buat siapa sih? Chantal?” tanyaku.

Soni tergelak, “Chantal sudah aku belikan. Dia sudah dengan spesifik meminta merk dan seri tertentu. Dan jam tangannya sudah berada ditangannya kemarin. Trust me, that girl sudah akan memberiku list hadiah yang dia inginkan satu bulan  sebelum dia menginginkannya. Ini buat Bunda,” jawab Soni dengan santai dan berlalu. Aku yang kembali dibuatnya kaget segera memburunya.

“Hei, tunggu! Kamu mau beli itu buat Bunda?”

“Iya. Memangnya kenapa? Siapa tahu kan ibu mertua bisa langsung merestui kita dengan sogokan ini,” ujarnya.

Untuk sejenak aku kembali bengong. Apalagi mendengar sebutan Ibu mertua yang dia pakai tadi.

“Rese!! Bukannya gitu!”sergahku cepat dengan wajah  merona parah karena luar biasa jengah, “Bunda bukan orang yang mudah menerima pemberian orang. Apalagi benda semahal itu. Itu emas kan?”

“Memang. Dan karena itu kamu harus membantuku meyakinkan Bunda untuk menerima hadiah ini,” kata Soni dan mengerling padaku, “ Aku ingin mengambil hati Ibu Mertuaku. I’ll take this,” kata Soni pada pelayan toko.

“Son............”

“Pokoknya kamu harus bantu aku. Kamu ke mobil dulu gih. Bantuin aku buka bagasi. Biar barang-barangnya aku yang bawa,” kata Soni dan mengangsurkan kunci mobil padaku. Aku hanya mampu menggerutu saat Soni mendorongku pergi. 

Aku yang tak mampu protes akhirnya cuma menurut dan menunggu Soni di samping mobil dengan bagasi yang ku buka. Sepuluh menit kemudian dia muncul dengan menenteng beberapa bungkusan. Dia bahkan menolak membicarakan soal protesku di mobil dan mengalihkan pembicaraan pada hal lain.

Setelah istirahat di hotel, malamnya kami merayakan tahun baru, tak jauh dari menara Eiffel.  Berbaur dengan ratusan orang yang ikut menikmati malam pergantian tahun di Paris. Ada pesta kembang api dan juga pentas musik yang di gelar. Menara Eiffel juga terlihat lebih semarak dengan hiasan lampu-lampunya. Tahun baru ini benar-benar yang terbaik sepanjang ingatanku, batinku saat kami berdiri menikmati indahnya warna-warna kembang api yang meledak di angkasa pada jam 12 tepat.

Luapan rasa di dadaku nyaris tak tertahankan. Aku menatap Soni yang berdiri diam disampingku. Dia tersenyum sambil memandang ke atas. Dia.................Soni ku. Yang selama ini hanya bisa aku lihat dari jauh. Dia sekarang disini. Bersamaku. Dan dia............milikku.

Soni yang akhirnya sadar kalau aku perhatikan, berpaling padaku dan tersenyum.

“Apa?” tanya dia pelan dengan tatapan bertanya meski ada senyum di bibirnya.

 Aku maju tanpa menjawabnya, berjinjit dan kemudian mencium pipinya.

Happy new year!” bisikku pelan di tengah keriuhan.

Soni hanya tertawa dan melingkarkan lengannya di bahuku, “Happy New Year to you too. Are you happy now?” tanya dia senang.

Aku mengangguk, “Tentu saja. ngomong-ngomong, jam berapa besok kita pulang?” tanyaku.

“Jam sepuluh pagi.”

“Ooh....” sahutku singkat, berusaha menyembunyikan kekecewaanku.

“Tanggal 3,” sambung Soni lagi. Mulanya aku mengira kalau aku salah dengar. Aku hanya menatapnya, tak percaya, 

“Kau sudah memberiku ciuman tahun baru. Untuk itu, aku akan memberimu 2 hari ekstra di Paris. Well, satu hari ekstra. Karena  sekarnag sudah tanggal 1.”

Aku mengerang kesal dengan keisengannya meski aku tak mampu menyembunyikan cengiran senangku. Soni kembali tertawa melihat reaksiku.

Let’s get something to eat.” Ajaknya dan menggandengku pergi.

***

 
Meski malam tahun baru telah berakhir, namun kami masih bisa merasakan sisa-sisanya di atmosfir Paris. Kami masih sering berpapasan dengan turis dari berbagai negara. Soni bahkan sempat mengajakku melihat sebuah pertunjukan opera dalam bahasa Itali yang sama sekali tak ku mengerti, selain kemampuan mengagumkan para aktornya dalam bernyanyi, aku tak bisa berkomentar lain. Saat aku mengeluh karena tak mengerti jalan ceritanya, Soni hanya tertawa. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku hanya ingin menghabiskan sisa waktu kami di Paris ini berdua saja. Tapi Soni begitu bersemangat tentang opera ini yang dia bilang hanya mengadakan pertunjukan tanggal 1 Januari ini, karena besok, mereka sudah harus meneruskan show-nya ke Jerman. Dalam hati aku hanya menanamkan dalam ingatanku untuk belajar tentang opera supaya bisa mengikutinya.

Seusai nonton opera, Soni membawaku menonton pertunjukan band indie di kafe-kafe kecil yang banyak tersebar. Kami kembali larut malam di hotel.

“Kau lapar?” tanya Soni saat kami memasuki lobi hotel.

Aku tak perlu menjawabnya karena suara dari perutnya berkeriuk dengan kerasnya. Kami berdua tertawa karenanya. Sedari tadi kami memang lebih banyak minum daripada makan. Dan sekarang sudah hampir tengah malam. Perutku sudah kembali menagih jatah.

“Bagaimana kalau kita makan di restoran sini saja?” tawar Soni.

“Jam segini? Apa nggak tutup?” tanyaku khawatir.

“Biar ku atur,” ujar Soni dan mendekati resepsionis. Aku diam di tempatku, menunggu. Hanya beberapa menit mereka berbicara, dan Soni pun kembali mendekatiku.

“Beres. Kita bisa mandi sebentar di atas selagi mereka menyiapkan makan malam. Ayo,” ajaknya dan menuju lift.

Ide yang hebat karena bauku sudah tak karuan. Bau campuran bir, rokok dan entah apa lagi memang menempel pada baju dan tubuh kami. Kafe-kafe kecil yang kami kunjungi tadi memang cukup ramai. Jadi mandi sepertinya wajib untuk kami malam ini sebelum turun ke restoran.

Begitu keluar dari kamar mandi dalam keadan segar, aku mendapati Soni yang lebih dulu tadi, sudah berganti baju. Kali ini dia menggunakan kemeja hitam polos dengan kerah lebar, di balut dengan jaket keluaran D&G berpotongan rapi dan celana senada. Aku baru menyadari kalau aku sering dan suka melihatnya menggunakan warna hitam itu. Membuatnya tampak lebih cerah, kontras dengan kulit putihnya.

Aku sendiri lebih memilih kemeja putih dengan garis hitam vertikal dari DKNY, jaket kulit Hugo dan celana hitam Ralph Laurent. Selera Soni memang tak tercela. Sejak aku tiba di paris, busana yang aku kenakan tak bisa dikategorikan busana biasa karena jasanya.

Kamipun langsung turun ke bawah. Restoran yang ada di Ceazar ini memang mewah, meski tidak terlalu besar. Ruangannya bernuansa klasik Romans dengan lampu-lampu kristal yang indah. Perpaduan antara klasik dan modern membaur dengan apiknya di ruangan ini. Restoran ini juga memiliki sebuah grand piano tempat artis tampil untuk menghibur para pengunjung.

Satu-satunya meja yang tertata dan siap adalah meja kami, berada persis di depan grand piano tadi. Sementara meja-meja lainnya kosong dan gelap.

“Enak juga ya kalo sepi gini,” gumamku.

“Benarkah? Mungkin besok kita harus makan malam larut lagi.”

 Aku tertawa, “Besok kita harus tidur lebih awal. Kita pulang paginya, ingat?’ selorohku. Soni hanya tersenyum, “Oh ya, Felix benar-benar tak bisa bergabung dengan kita?”

“Sepertinya ada acara dengan orang-orang penting di Monaco,” sahut Soni singkat.

“Kenapa kamu gak ikut gabung kalau memang kemarin ada pertemuan penting?”

“Emang kamu mau ngerayain taon baru dengan orang-orang berusia 40 tahun ke atas?” tanya Soni balik.

Aku nyengir mendengarnya, “Iya juga. Ogah ah. Ntar yang ada aku bengong doang selagi kalian ngomongin bisnis.”

“Lebih enak berdua kan?” goda Soni yang ku jawab dengan cengiran setuju.

“Eh, aku ke kamar kecil dulu ya? Sebentar..........” pamitku yang tiba-tiba mendapat panggilan alam.

Soni hanya tersenyum menanggapinya. Dia menunjukkan arah kamar kecilnya padaku.   


Saat aku kembali, sekitar 5 menit kemudian, meja kami kosong. Aku mendapati Soni sedang berada di depan grand piano, memainkan sebuah musik klasik yang lembut. Musik yang entah bagaimana, terasa begitu pas dengan makan malam kami yang terasa pribadi ini. Tak ada seorangpun yang ada di restoran ini selain kami, jadi aku bisa tersenyum dan merasa kalau dia memang memainkannya untukku. Mata Soni terpejam, larut dalam permainannya. aku memiliki pengetahuan yang minim tentang musik klasik, jadi aku tak mengerti karya siapa yang dia mainkan. Entah itu Vivaldi, Mozart ataupun Chopin. Yang jelas, aku menyukainya.

Aku duduk di meja kami dengan pelan, tak ingin mengganggu Soni yang sedang menikmati waktunya. Aku hanya meraih gelas minumanku, dan hampir saja memuntahkannya lagi saat ku dengar musik yang Soni mainkan, berubah. Aku ingat nada ini. Hardly a Hero-nya Levi Kreiss.

Dan......................Soni membuka mulutnya!

Dia bernyanyi!!

Suara Soni terdengar lebih berat daripada Levi. Namun toh dia bisa sukses menyanyikan lagu itu, tepat pada nadanya. Bahkan pada nada tinggi yang membutuhkan head voice. Dan permainan pianonya, mulus. Mungkin pendapatku subyektif, tapi kurasa Soni layak menjadi seorang performer. Dia memiliki wajah, tubuh serta kemampuan.

Apa yang tidak bisa dia lakukan? Pikirku. Dia benar-benar penuh dengan kejutan.

Dan saat lagu itu selesai, aku tak bisa menahan diri untuk bangkit dan bertepuk tangan.

MORE!! MOREE!! MOOORREEEE!!!!” kataku keras. Aku bisa mendengarnya menggeram, tapi aku hanya nyengir dengan tatapan memohon. Kukira dia benar-benar tidak akan memenuhi permintaanku, namun sesaat kemudian, intro lagu Right here Waiting-nya Richard Mark mulai terdengar.

Sepanjang lagu itu, mataku tak bisa lepas dari Soni. Soni yang juga memandangku, sambil sesekali melihat ke tuts pianonya, seakan-akan menjadi sosok lain di mataku. Aku hanya mampu endesah. Dia sempurna bagiku. 
Dia................sangat sempurna. Jangan salahkan aku kalau aku tak pernah merasa pantas untuknya.

Kembali aku bertepuk tangan keras saat dia menyelesaikan lagu itu. Soni bangkit untuk membungkuk sejenak untuk kemudian menghampiriku.

“Terimakasih sudah membuatku tampil dua kali,” katanya dengan nada menggerutu.

“Suruh siapa mainnya bagus,” cengirku, “That was beautiful. Aku tak menyangka kalau kau bisa........melakukannya.”

“Sudah lama aku tak melakukannya. And that was for you,” katanya pelan dan meraih tanganku. Soni meremasnya pelan. Aku membalasnya.

Thank you. Aku tak tahu harus bagaimana membalasnya.”

“Kau disini bersamaku. Itu sudah cukup.”

Aku menghela napas panjang, “Bagaimana kau bisa ..........begini?” gumamku dan menggelengkan kepala.

“Kenapa memangnya?” tanya Soni balik, sedikit bingung.

You’re just................too perfect. Semua ini................ It’s all too good to be true! Kadang aku khawatir kalau beberapa saat lagi ada seorang pria pendek botak yang akan keluar dari belakang pintu dan berteriak, CUT!”

Soni tergelak mendengarnya, “Ok. Baiklah, aku ngaku. Sebenarnya..............semua ini ide Felix.”

“Felix?”

Well..................yeah. Beberapa waktu yang lalu, aku bertanya padanya,  bagaimana membuat sebuah makan malam yang romantis dan berkesan. Dia memberiku beberapa ide. Dan ini salah satunya.”

What? Makan di restoran yang sudah tutup dan memainkan piano?”

“Begitulah. Dia juga menganjurkan aku untuk melihat beberapa film drama. But to be honest, I don’t have e nough time. Sempat bingung juga ketika harus memilih lagu yang tepat. Lalu aku ingat kalau kau menyukai lagu tadi ketika pertama kali mendengarnya. Jadi.........kupikir kau akan suka kalau aku memainkannya.”

Aku tertawa mendengarnya, “Apa kau pernah berpikir kalau aku suka semua tentangmu? Caramu berbicara, berjalan, bersikap atau bahkan saat kau diam tak melakukan apa-apa? You don’t have to do a thing to impress me. I already am impresed!

Is that so? Kalau begitu, aku juga tak perlu memberi ini padamu sebagai hadiah ulang tahun?” katanya dan mengulurkan sebuah kotak dari saku celananya. Untuk sesaat aku hanya bisa bengong.

“Ulang tahunku masih besok,” gumamku.

Soni tersenyum dan melirik jam tangannya, “Sekarang sudah jam 12 lebih beberapa detik. Jadi kau sudah resmi bertambah umur. Congratulation! Sweet seventeen, right?” katanya geli melihatku yang benar-benar hanya mampu terdiam, “Happy birthday,” bisiknya lagi dan mengulurkan kotak hadiah itu.

Aku tak mampu menyahut. Hanya menerima kotak yang dia berikan. Benar-benar kejutan yang tak terduga. Apa karena ini dia menunda kepulangan kami?

May I?” tanyaku, meminta ijin untuk membukanya. Soni hanya menjawabku dengan anggukan.

Dan aku kembali ternganga saat menemukan sebuah jam tangan Rolex yang pernah menyita perhatianku ada di dalamnya.

“Son, i-ini....”

Don’t say it. Itu hadiah. Terimalah!” katanya pelan, paham apa yang hendak aku katakan.

Thanks,” kataku akhirnya setelah terdiam agak lama.

That’s it? You don’t wanna give me a kiss?” tuntut Soni, sedikit manyun.

I would love to. But not here. Kita simpan saja untuk nanti,” sahutku sembari menjulurkan lidah, “Bisakah...” pintaku dan mengulurkan tangan supaya Soni memakaikan jam itu padaku.

“Awas. Ntar aku tagih lho,” ancam Soni dan membantuku.

Aku kembali menjulurkan lidah untuk membalasnya.

Yang tak aku sangka adalah, Soni serius dengan perkataannya. Malam  ini, setelah kami makan malam terakhir di Paris karena besok kami akan kembali ke Indonesia, dia mengajakku ke sebuah restoran Itali, Soni terkesan sedikit tergesa-gesa ketika membuka pintu kamar dengan kartu yang dipegangnya. Begitu pintu terbuka, dia langsung menyeruak masuk dan menarikku. Dia memojokkanku di balik pintu, memerangkapku dengan tubuhnya.

Untuk beberapa saat lamanya, kami terdiam dengan nada bergerak cepat dan napas yang memburu. Aku dengan kekagetanku. Dan Soni dengan..............apapun yang dia rasakan. Sepertinya insiden singkat tadi mempengaruhi kami berdua.

Pelan Soni merapatkan tubuhnya padaku. Dan sebelum aku sempat bereaksi, dia sudah menutup bibirku dengan miliknya. Tanpa dapat kutahan, tanganku terangkat  mengusap kepalanya. Jemariku menyusup diantara lebatnya rambut Soni, meremasnya, mendorongnya untuk lebih  memperdalam ciumannya. Sesaat kemudian, tanganku bergerak membuka jas Soni, membiarkannya jatuh. Lalu rompi dan dasinya. Kemudian beralih ke kancing kemejanya. Dan saat tanganku mengusap dadanya, bersentuhan dengan kulitnya yang berbulu, sedikit kesadaran menggeliat di otakku. Kesadaran yang kemudian, dengan  sekuat tenaga, ku pertahankan dan ku perbesar.

Tubuhku mulai menegang. Dengan lembut aku mendorong tubuh Soni untuk menjauh dariku. Aku terengah dan dengan cepat menundukkan wajah saat Soni yang juga terengah-engah, menatapku bingung.

“Kita harus beristirahat. Besok kita pulang kan?” bisikku, mencoba terdengar biasa-biasa saja. perlahan aku melepaskan diri dari himpitannya yang mengendor. Cepat aku melangkah masuk ke kamar mandi setelah menyambar piyamaku.
Disana aku menarik napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri.

Bagaiamana aku bisa terus-terusan mempertahankan diri seperti ini? Pikirku. Rasanya tak akan lama aku bisa bertahan. Aku benar-benar takut dan juga bingung. Bukan hanya takut kalau aku akan menjadi seorang maniak, tapi juga takutkarena aku tak tahu harus bagaimana melakukannya. Kami sama-sama lelaki, sementara untuk bercinta, selalu ada dua peran yang berbeda. Dan itu membingungkanku........

Aku harus bagaimana? Aku harus melakukan apa? Bagaimana posisinya? Pertanyaan-pertanyaan yang bahkan aku sendiri merasa malu, jengah, bingung dan sekaligus takut memikirkannya.

Saat keluar dari kamar mandi, aku mendapati Soni sedang duduk di kaki ranjang, menonton Tv. Dia tak bergerak ataupun berkomentar saat aku duduk dibelakangnya.

“Ga ganti baju?” tanyaku.

“Ehmmm..................bentar,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari layar Tv. Aku langsung merasa tak enak dengan reaksinya.

“Kamu gak marah kan?” tanyaku lagi, lebih pelan dari tadi.

“Marah?” soni bangkit dan berbalik melihatku, “Untuk apa?” tanya dia heran. Reaksinya justru membuatku bingung dan tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Soni tersenyum menenangkan, “I’m fine. Don’t worry,” katanya dan melangkah masuk ke kamar mandi.

Sikap Soni bukannya membuatku lega, malah membuatku gelisah dan merasa harus melakukan sesuatu. Tapi tak tahu apa dan bagaimana. Soni sendiri terkesan santai. Setelah keluar dari kamar mandi dengan piyama lengkap, dia langsung naik ke tempat tidur dan mematikan lampu kamar.

Good night,” katanya dan mencium keningku. Dia lalu berbaring memunggungiku. Membiarkanku tercabik antara bingung dan bersalah. Dalam kegelapan, mataku nyalang terbuka, sementara pikiranku kosong. Akhirnya, setelah lima menitdalam kebisuan yang tak tertahankan, dengan perlahan aku menggeser tubuhkan setelah menyingkirkan guling yang memisahkan kami.

“Son.................” panggilku pelan dan menyentuh punggungnya.

“Ehhmm...............?” sahut Soni tanpa berbalik.

I’m sorry,” bisikku lagi. Sejenak, dia tak bereaksi. Aku hanya mendengarnya menarik napas panjang. Dia lalu menelantangkan tubuhnya, “For what?” tanya Soni seraya menelengkan kepalanya, melihatku.

Aku hanya mampu mengalihkan pandanganku. Karena bingung, aku hanya menyusupkan wajahku ke lehernya, melingkarkan tanganku ke dadanya, “I don’t know. Sepertinya kamu marah,” gumamku lagi, dan semakin merapatkan tubuhku padanya.

Soni jadi menggerutu kecil karenanya, “Kalau saja kamu tahu. Sudahlah. I’m fine. Tidur saja. besok kita harus terbang kembali ke Indonesia,” kata Soni dan mengangkat kepalaku sedikit untuk meletakkan satu lengannya di bawahku.

I don’t wanna go home,” gumamku lirih.

“Aku juga. Tapi kamu kan gak mungkin tinggal disini selamanya. Emang kamu mau, gak ketemu ama Bunda dan Wina lagi?”

“Hmm.............asal bareng kamu,” sahutku.

“Really?”

“No!”

Soni tertawa, “Dasar! Tapi aku tahu. Aku tahu kenapa kamu ngerasa begitu. Aku juga pengen gini terus.”

Kini ganti aku yang menarik napas panjang. Aaahhhh..........Soni. bukan hanya karena itu. Disini, di tempat asing ini, dimana tak ada seorangpun yang mengenalku, aku merasa aman bersamamu. Disini aku memiliki dunia sendiri. Dunia yang aku miliki bersamamu. Tapi jika aku kembali ke rumah, aku takut apa yang aku miliki disini akan hilang. 

Karena.............

Soni sepertinya tahu akan keresahnku. Dia mencium ujung kepalaku dan mengusapnya, “Aku janji akan melakukan apapun yang aku bisa untuk membuatmu bahagia. Apapun yang ada di depan kita nantinya, kita akan hadapi bersama, ok?”

“Bersama?” ulangku.

“Bersama,” tegas Soni meyakinkanku.

Dengan ucapan itu aku menarik napas panjang, mengenyahkan semua pikiran kacau di otakku, dan memejamkan mata. Dan ketenanganpun menyambutku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar