Translate

Rabu, 18 Oktober 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle BAB 26



BAB 26



Pagi ini, bahkan saat mataku belum terbuka, kurasakan hawa hangat yang menyenangkan mengalir dari arah depanku. Hawa yang begitu nyaman dan membuatku malas untuk membuka mata. Tapi aku memaksa mataku untuk membuka dengan perlahan. Aku lihat Soni berbaring miring, menatapku dengan senyum lembutnya.

Morning,” sapanya pelan dan mendekatkan wajahnya untuk menciumku. Aku mengerang dan buru-buru menyembunyikan wajahku ke bantal.

Morning breath,” gumamku sedikit serak karena kantuk yang masih menggelayut.

Soni tertawa kecil, “Cepat bangun. Mau jalan-jalan keliling Bordeux lagi kan?” tawarnya sembari mencium kepalaku dan mengusap punggungku sekilas, untuk kemudian bnagkit, “Dan jangan lupa, malam nanti kita harus ke pesta Chantal.”

“Malam ini?” tanyaku dan mengangkat muka.

“Yup! Nanti sekalian kita ambil tuxedo kita. Aku mandi dulu,” kata Soni dan berbalik.

“Son!” panggilku sebelum dia benar-benar menghilang dibalik pintu kamar mandi, ”Gimana kalau kamu kasih aku kursus kilat tentang gimana aku harus bersikap nanti di pesta? I don’t wanna be the clown of the party.
Soni tersenyum paham, “You won’t be,” katanya dan menghilang.




Apa Perancis memang gudangnya desainer dunia? Pikirku sembari mematut diri didepan cermin. Setelan tuxedo yang kami pesan kemarin benar-benar nyaman dipakai. Jahitannya rapi tanpa cela. Dan aku harus mengakui kalau aku nyaris tak mengenali bayanganku di cermin. Aku yang biasanya sudah merasa super kece denganjeans dan t-shirt, kini kembali merasa begitu berkelas, beradab dan elegan dengansetelan yang ku kenakan. Dengan kemejanya yang terkanji rapi, dasi sutra kupu-kupu yang ku pakai, rompi, manset dan jasnya, begitu pas membentuk satu kesatuan yang utuh dengan celana, sepatu serta aksesoris lainnya yang kini melekat ditubuhku. Bahkan sapu tangan putih dari sutra yang sedikit tersembul di saku jasku dalam bentuk segitiga terasa melengkapi dengan pas.

“Kalo Bunda ngeliat, bisa pingsan,” gumamku geli tanpa mampu menahan cengiranku. Dengan bersenandung kecil aku mengusapkan gel pada rambutku yang sedikit basah dan menatanya, “And I’m ready to rock,” lanjutku lagi setelah selesai menyemprotkan parfum.

Soni tadi bilang kalau dia akan menunggu dibawah. Aku tak mendengar suara apapun saat aku turun dari tangga hingga 
jadi sedikit heran.

“Son?!! Soni?!!” panggilku, sedikit keras.

Here!

Sahutan itu terdengar dari ruangan di dalam. Kalau tak salah dari perpustakaan, pikirku sembari melangkah. Yup. There he is! Dia berdiri disamping perapian sembari menatap sebuah photo berukuran besar. Photo dari Jean Phillipe Damian Duianne, ayahnya. Lelaki yang memiliki garis wajah yang mirip dengan Soni. Dengan senyum hangat yang akhir-akhir ini juga sering kulihat pada Soni. Bukan wajah dingin, muram dan melankolis seperti saat pertama kali kami bertemu.

Aku tak langsung memanggilnya. Aku diam memandang sosoknya dari samping. Profil wajahnya yang sempurna, bahu yang lebar, dada bidangnya. Lengan, perut, hingga kaki panjangnya. Terbungkus dalam setelan resmi yang rapi. Kemeja hitam tanpa dasi, jas serta celaa senada, membuatnya terlihat lebih langsing dan tinggi. Rambutnya pun sudah tertata rapi dan berkilat. Dia Adonis hidup yang membuat perasaanku jungkir balik tak karuan. Orangyang telah 2 kali meyakinkanku bahwa dia...........mencintaiku.

Soni yang sepertinya sudah menyadari kehadiranku, menoleh dan membalikkan tubuhnya. Dia menelusuriku dari aas ke bawah dengan seksama. Dan saat mata nya kembali bertemu dengan mataku, mata itu melebar dengan senangnya. Dia menyukai penampilanku.

Astaga!! Melihat sinar matanya, aku bahkan bisa berpikir kalau dia terpesona padaku.

Perlahan dia melangkah, mendekat ke arahku, hingga akhirnya kami berdiri berhadapan. Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri.

So.....?” tanyaku, sedikit salah tingkah oleh intensitas tatapannya, “Aku sama sekali gak cocok ya pake ginian?”

Soni tergelak kecil sementara satu tangannya terangkat membelai sisi wajahku, “You look awesome!” bisiknya dan kemudian menciumku.

Wait!” cegahku saat dia sudah menarik pinggangku. Perlahan aku mencoba melepaskan diri.

Bukannya aku tak menginginkan kemesraan ataupun ciuman Soni. Hanya saja, ciuman Soni benar-benar menggoda dan menawarkan banyak hal. Aku tak ingin kehilangan kontrol. Aku tahu sendiri kalau aku tak akan puas hanya dengan ciumannya. Aku menginginkan lebih dari itu. Tapi memikirkan untuk melakukan ‘sesuatu’ yang lebih dengan Soni saja sudah membuatku meringis. Kalau ciumannya bisa membuatku merinding, aku tak mampu membayangkan akan seperti apa kalau kami............

Selain bingung harus apa dan bagaimana, aku juga pasti akan takut. Aku takut kalau sekali saja aku mereguk kenikmatan ragawi darinya, aku tak akan bisa berhenti. Aku takut kalau aku akan terus menginginkannya. Jangan sampai aku menjadi seorang maniak dan menjadikan Soni budak seperti yang Erma lakukan. Aku tak ingin membuat Soni menjadi obyek atau alas pemuas napsu saja.

Tidak!! Soni bernilai lebih dari itu. Sangat jauh dari itu. Dia orang yang layak disayang, diperhatikan, diidamkan. Aku tak bisa menyangkal kalau Soni memiliki daya tarik seks yang kuat. Apa yang dilakukan Erma sudah menjadi bukti konkrit kalau dia memiliki hal itu. Tapi Soni juga adalah orang yang membuat kita begitu ingin membahagiakannya. Sekali melihatnya dulu, bahkan sebelum aku mengerti luka masa lalunya, aku sudah ingin memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Soni berhak mendapatkan itu setelah semua yang dia alami.

Karena alasan-alasan itu pula, aku mati-matian menahan diri. Apalagi beberapa hari terakir ini, saat dia sering kali menciumku. Aku harus susah payah menahan gejolak dalam hatiku. Bukan hal yang mudah, karena Soni begitu membuka diri. Entah karena dia tak sadar pesona yang dia miliki, ataukah memang dia orang yang begitu ekspresif. Tapi aku benar-benar berusaha. Setiap kali ciuman kami memanas, saat tangan kami sudah ham pir bergerak untuk melepaskan pakaian yang melekat dalam tubuh kami, aku akan langsung memaksa otakku untuk memikirkan apa yang telah Erma lakukan pada Soni. Bahwa aku berbeda darinya. Bahwa aku tak akan boleh menjadi Erma yang lain bagi Soni.

Dengan itu, tubuhku akan langsung kaku. Dan aku akan memiliki sedikit kekuatan untuk melepaskan diri dan mengakhiri tindakan berbahaya kami.

Untungnya, Soni juga mengerti. Saat tubuhku menegang, dia segera berhenti dan memberiku ruang. Kurasa dia juga tidak mudah untuk melakukannya setelah apa yang dia alami itu. Baginya, seks mungkin jadi hal kotor yang mengingatkannya akan bagaimana dulu dia diperlakukan.

Dan alasan-alasan itu pula yang kini membuatku untuk menahan  diri seperti sekarang.

“Ada apa?” tanya Soni pelan.

“Kenapa kita harus siap 2 jam sebelum acara?’ tanyaku, lega karena berhasil menemukan topik aman.

“Oh, itu. Aku harus mengingatkanmu bahwa pesta yang diadakan Felix merupakan event yang lumayan dinantikan oleh kalangan elit disini. Semua orang yang memiliki gelar terhormat di daerah ini akan datang kesana. Mungkin ada beberapa dari luar daerah. Jadi kita harus mempersiapkan diri kita. Kau akan diperkenalkan Felix sebagai temanku dari Indonesia.”

Soni berhenti disana dan menatapku dengan khawatir. Aku yang tengah mendengarnya dengan seksama sempat dibuat bingung. Dia seakan-akan menungguku untuk melakukan sesuatu atas apa yang dia katakan tadi.

“Apa?” tanyaku heran.

Are you okay with that?” tanya Soni balik, masih dengan wajah khawatir.

With what?” tanyaku, tambah bingung.

“Aku sudah mengatakan pada Felix bahwa sebenarnya aku ingin memperkenalkanmu sebagai pacarku. Bukan teman.”

Untuk sesaat aku terpaku diam karena tak percaya sudah mendengarnya. Iya juga. Boleh dibilang kami sudah berpacaran kan? Dengan semua pengungkapan perasaan kemarin dan juga ciuman-ciuman itu. Kami sudah resmi menjadi pacar kan? Aku benar-benar terperangah saat menyadarinya.

“Felix bilang, itu akan menjadi sensasi. Besar kemungkinan kita akan menjadi pusat perhatian di pesta itu kalau kita mengungkapkan hubungan kita. I’m okay with that. Tapi Felix bilang, hal itu mungkin akan membuatmu tak nyaman. Kau belum tahu bagaimana perilaku teman-teman kami disini.”

“Oh....yeah! sepertinya Felix benar,” ujarku. Masuk akal. Meski ada skenario lain yang tberkelebat di benakku.

Soni menatapku dalam, “Dengar TJ, aku tak peduli kalau mereka membicarakanku. Sudah bertahun-tahun aku belajar menulikan telingaku. Kalau kau menginginkannya, aku akan mengumumkannya. Akan kukatakan bahwa kau pacarku dan..............”

Aku sudah meraih tangan kanannya dan menggenggamnya erat. Aku mengulas senyum untuk menenangkannya, “I’m 
okay with that. Felix benar. Aku tak mau berada di pesta dimana semua orang memelototiku seperti alien. Ini event pertamaku. Aku harus bisa menikmatinya.”

Are you sure?

“Yeah..” jawabku meyakinkannya.

Soni diam sejenak, “Kau tahu kan kalau aku tak peduli omongan mereka?”

Stop it! I know. I said I’m okay. Jangan khawatir. I think it would be the best for us,” ujarku. Siapa juga yang mau jadi badut dalam pesta? Apalagi aku yakin, kalau Felix mengatakan itu karena sebuah alasan yang bagus. Dan dia melakukannya untuk Soni.

Atau mungkin karena dia berpikir bahwa kau tak pantas untuk Soni?

Kelebatan itu melintas degan cepat. Aku mencoba untuk tidak menmgacuhkannya. Karena bahkan dari awalpun, aku sudah tahu. Soni layak mendapatkan orang yang jauh lebih baik dariku. Aku memang merasa tak pantas baginya.

“TJ?” tegur Soni dengan nada khawatirnya. Aku segera menyadarka diri dan kembali mengulas senyum.

Believe me, I’m fine.

“Baiklah. Nah, seperti yang aku bilang tadi, karena tamu-tamu Felix bukan kalangan biasa. Dan sesuai permintaanmu, aku akan mengajarimu beberapa hal agar kamu tidak salah sikap. Pertama adalah caramu berdiri dan............”

Soni memberikan arahan singkat tentang bagaimana standart berperilaku dalam tingkatan teman-teman Felix. Bukan hal yang sulit karena sebagian sudah pernah aku lihat di Tv. Dan kami berangkat menuju rumah Evelyn menggunakan porsche Soni. Agak canggung sebetulnya, karena ini pertama kalinya aku menaiki sedan sport hitam dengan jok kulit, yang seumur-umur hanya aku lihat di majalah dan film saja.




Seperti yang Soni bilang, tamu-tamu yang datang ke pesta Felix bukanlah kalangan biasa. Banyak dari mereka yang memiliki gelar kbangsawanan. Panggilan Sir, Lady, Duchess, Baroness  dan entah apa lagi. Ada juga beberapa orang aktor, aktris, penyanyi dan model yang menurut Felix gay. Felix membisikkan padaku mana diantara mereka yang memiliki orientasi seks yang sama. Sebagian besar tak ku kenal karena mereka asli Perancis, jadi tak ada pengaruhnya bagiku, meski harus aku akui, beberapa diantaranya memiliki fisik yang menawan.

Semua tamu tampak begitu berkelas, anggun dan jelas-jelas kaya.  Gaun-gaun malam karya perancang busana dunia bisa dilihat di ruangan ini. Kilauan permata dan perhiasan-perhiasan mahal terlihat kemanapun aku menoleh. Pria-pria yang hadir tampak gagah dalam setelan resmi mereka. Ballroom rumah Evelyn meriah dengan kumpulan orang-orang luar biasa ini.

Hingga saat ini, aku sudah memerankan bagianku dengan cukup baik. Felix memperkenalkan ku sebagai teman Soni dari 
Indonesia. Felix juga begitu tanggap melindungiku saat aku mengalami kesulitan untuk berbaur. Dengan luwes dia bisa menutupi kebingunganku saat ada topik pembicaraan yang tak ku mengerti. Misalnya saja tentang Soni. Seumur-umur, aku belum pernah belajar tentang seni lukis. Yang aku kenal Cuma Leonardo da Vinci dengan Monalisa-nya. Sedangkan nama-nama seperti Van Gogh, Monet, Renoir, Salvador Dali ataupun Michaelangelo dan entah siapa lagi, hanya aku tahu sekilas tanpa memahami adi karya mereka. Felix dengan halus bisa mengubah arah pembicaraan ke topik-topik yang mudah.

Sementara Soni.......

Dia nyaris tak pernah berhenti bergerak. Selalu saja ada orang yang menyapa, mengenalkannya pada seseorang, atau beberapa cewek yang bergiliran mengajaknya berdansa. Dia orang tersibuk setelah Chantal, guest of honor dalam pesta malam ini.

Aku sendiri lebih memilih untuk berbicara, hanya pada saat diperlukan saja. tak tertarik dan juga tak mengerti, karena pembicaraan lebih banyak terjadi dalam bahasa Perancis. Kemudian dengan perlahan-lahan, aku menarik diri. Hingga pada akhirnya, aku bisa keluar ke balkon.

Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya keras. Ternyata cukup melelahkan juga beramah tamah dengan orang-orang itu. Aku kembali menyesap anggur dalam gelas kristal yang kubawa. Kalau aku pikir, akhir-akhir ini aku sering banget menenggak minuman mahal seperti anggur merah dan champagne. Aku lebih banyak minum dalam beberapa hari terakhir, dibanding sepanjag hidupku sebelumnya. Tapi aku tak bisa menyangkal, kalau minuman ini memang bisa membantu untuk menghangatkan tubuhku yang terbiasa dengan iklim tropis. Dan Desember di Perancis lumayan menggigit untukku.

Kembali aku menghembuskan kepulan asap, membuatku merasa seperti seekor naga berapi. Aku lalu berbalik, melihat ke arah keramaian yang ada didalam sana melalui jendela kaca.

Didalam sana adalah dunia yang tak pernah aku ketahui. Dunia baru yang begitu asing, yang biasanya hanya aku lihat di Tv. Cara mereka bersikap, berbicara, berjalan, berpikir, benar-benar berbeda dengan apa yang biasa aku ketahui. Semua pembicaraan tentang seni, politik, perdagangan ataupun keadaan ekonomi dunia tidak pernah masuk dalam agenda pembicaraanku bersama Wina dan yang lain. Remaja seusia kami lebih penting untuk tahu siapa pacaran dengan siapa dalam dunia selebriti. Kami tak peduli akan topik-topik tadi.

Dan Soni........

Disini, kembali aku melihat sisi lain dirinya. Soni yang berwibawa, elegan, berkelas, kaya dan asing. Cara dia berbicara, tertawa atau bahkan bergerak, benar-benar , mencerminkan sosok baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dia benar-benar perwujudan sosok elit Eropah. Bukan remaja sekolah yang aku ketahui. Satu-satunya persamaan yang cukup menjengkelkanku adalah, dia sama larisnya disini.

Entah sudah berapa cewek yang mengajaknya berdansa. Soni menanggapi mereka semua dengan santun dan halus. Dia menjadi host yang sempurna malam ini. Bertindak sebagai bagian dari keluarga Evelyn dan Chantal. Lihatlah dia, sedang bergerak di lantai dansa dengan seorang gadis pirang mengenakan gaun malam yang bisa bikin penyanyi dangdut Indonesia nangis karena menginginkannya. Gaun backless yang dia kenakan begitu menggoda dan menawarkan dengan jelas pada Soni, apa yang bisa dia rasakan malam ini kalau semua berjalan lancar.

There you are!

Seruan itu berasal dari pintu balkon sebelah kiriku. Felix tersenyum dan menhampiriku, “Sudah lelah berada di dalam?” tanyanya dengan senyum simpulnya.

Aku membalasnya dengan cengiran, “Lumayan. Thanks for helping me in there. Sudah  beberapa kali kau menyelamatkanku agar tak terlihats seperti orang autis. Kalau tidak, aku mungkin hanya akan menjadi badut.”

Felix tertawa, “Untuk orang yang baru pertama kali melakukannya, kau sudah sangat baik.”

“Aku banyak nonton film,” ujarku nyengir, membuat Felix kembali tertawa. Dia juga membawa segelas anggur di tangannya dan bersandar pada pinggiran balkon, menatap keramaian di dalam.

“Yang kau alami dan lihat malam ini, hanya kulit luarnya saja TJ. Ada banyak hal tentang orang-orang didalam sana yang tak kau ketahui,” kata Felix ringan dan menyesap anggurnya.

“Yeah........ aku juga sudah menduganya,” ujarku dan menoleh padanya, nyengir, “Itu juga ku ketahui dari film.”

You watch too much!” seloroh Felix dan terkekeh, “Bagaimana menurutmu Soni?” tanya Felix dan menunjuk dengan dagunya ke dalam.

Aku tak langsung menjawabnya. Aku lihat Soni sudah berganti pasangan. Kali ini dengan seorang cewek berambut coklat dengan tubuh yang menakjubkan. Entah asli ataukah implant. Dan cewek itu jelas sekali sedang menggodanya, 

“Dia...........benar-benar lain dengan orang yang selama ini aku kenal,” kataku pelan.

“Dalam artian bagus?”

Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaan Felix, “Dia tak pernah berhenti membuatku terkagum-kagum, Felix,” jawabku tanpa memalingkan muka.

“Jangan katakan kalau kau cemburu sekarang, sayang. Kau tahu Soni tak akan tertarik pada mereka,” seloroh Felix yang terdengar seperti olokan bagiku. Mendengar itu, aku hanya mampu tertunduk perlahan.

“Maaf......” gumamku lirih.

“Untuk apa?” tanya Felix heran.

You know.................... me and him. Soni bilang, kau yang mengusulkan agar aku dikenalkan sebagai temannya. Supaya aku tak jadi pusat perhatian. Aku tahu, bukan itu saja alasanmu. Kau ingin melindungi Soni juga kan?”  kataku, sedikit terbawa emosi.

Ganti Felix yang tertegun. Kini dia memandangku dengan tertarik, “Well..............bisa kau jelaskan maksudmu?”

Aku tertawa,sedikit gugup, “Melihatmu dan Soni, serta semua yang kalian tunjukkan padaku beberapa hari terakhir, aku tahu bahwa bukan hanya kekayaan yang kalian miliki. Kalian juga memiliki reputasi dan imej terhormat. Aku mengerti kalau kau ingin melindunginya. Dengan munculnya aku dalam gambar kalian, hal itu mungkin akan membuat sedikit...............kekacauan. Am I right?

“Dengan kata lain, kau mengira bahwa aku menganggapmu tidak pantas untuk Soni?”

“Untuk hal itu, kita sepakat, Felix. Trust me. I know it well. Dia layak mendapatkan yang terbaik. An amazing guy like him, berada diluar jangkauanku. Lihat saja itu,” tunjukku ke dalam, dimana Soni sedang berganti pasangan lain.

You think so? My dear, don’t be ridiculous. Aku bahkan tidak peduli kalau kau memiliki dua kepala pada bahumu. Memang apa yang salah dengan kalian?”

Kalimatnya membuatku mengangkat muka untuk memandangnya, “Kau................tak keberatan?”

Ganti Felix yang kini tertawa, “Well.............aku memang terkejut. Dan tidak setiap waktu Soni bisa melakukan itu padaku. Tapi keberatan? Tidak! Aku tidak keberatan.”

“Tapi kami...................”

I know, TJ!” potong Felix, “I know it. Jujur saja, kalau boleh memilih, tentu saja aku ingin Soni menjadi normal seperti cowok kebanyakan.  Percayalah. Aku benar-benar tak ingin dia menempuh jalan yang dulu ku lalui. You know, semua celaan, hinaan, panggilan-panggilan merendahkan, serta pelecehan-pelecehan yang dilakukan oleh orang-orang yang melabeli diri mereka normal, tapi terkadang bisa luar biasa bejadnya.

But he’s not. Dia jatuh cinta padamu. So what? Aku akan mendukungnya, sepenuhnya. Aku ingin dia mendapatkan apapun keinginannya TJ. Apapun yang bisa membuatnya bahagia. Dia layak mendapatkan kebahagiaan setelah apa yang dia alami selama ini. Sudah terlalu lama dia hidup dalam kepahitan dan kegetirannya. Kau tahu sejarah anak itu kan?” tanya Felix.

Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.

“Kalau dia sudah menceritakannya padamu, itu artinya dia sudah sangat mempercayaimu. Percayalah, tak mudah bai Soni untuk melakukannya. Maka kaupun pasti bisa mengerti. Sekarang sudah waktunya dia bahagia, TJ. Dan aku sungguh-sungguh berharap kau bisa memberinya itu.”

Aku hanya mampu kembali tertunduk, memandang gelas anggur yang kupegang, “Can I? I mean, look at him. Or you! Can’t you see? Kami begitu..............berjauhan.”

“Dasar anak bodoh! Kau hanya perlu melakukan apa yang selama ini sudah kau lakukan untuk bisa membuatnya bahagia!” sergah Felix gemas.

“Huh? Apa?” tanyaku bingung.

“Menyayanginya. Mencintainya! Hanya itulah yang dia butuhkan,” kata Felix keras, sedikit mengagetkanku, “Dia punya segalanya TJ. Kecuali itu. Kau pasti setuju, he has the face, the fame, the money and everything. Semua itu berlimpah padanya. Meski sebagian dia dapatkan karena kesialan yang dia dapatkan. Dan semua itu bisa dia dapatkan. Dan aku yakin, dia juga pasti akan memberikannya padamu. All you have to do is just love him. That’s the only thing he wants or needs.”

Aku hanya bisa menatap Felix yang kini tersenyum padaku, “Dan hanya itulah satu-satunya hal yang ingin kulakukan padanya.”

Mata Felix melembut. Dia mengulurkan tangannya untuk mengusap aliran airmata di wajahku yang tak kusadari ada, “I think I know that now.,” ujarnya pelan. Dia lalu mengulurkan sapu tangan sutra putih. Cepat aku mengusap wajahku dan 
menyusut hidungku.

Thanks.

“Aku tak tahu harus berkata apa pada kalian berdua. Perasaan kalian benar-benar polos, murni dan begitu naif. Begitu banyak hal yang belum kalian ketahui dan alami. Terkadang aku ngeri membayangkan, akan jadi seperti apa kalian kalau mengalami dan tahu apa yang sudah ku lalui di masa lalu.”

“Eh?”

“Sayangku, kau tak berpikir kalau aku terlahir seperti ini bukan? Tampan, kaya, berkelas dan terhormat?” felix tergelak, 

I’ve been there, dear. Aku pernah berada di posisimu. Ragu, bingung, takut di tolak, ditindas, dilecehkan, dihina dan 
yang lainnya. Hanya karena aku gay. Bukan hanya oleh teman-temanku dan masyarakat. Tapi juga oleh keluargaku.
Ayahku menekanku. Memarahiku dan bahkan menghajarku. Ibuku menangisi dan memakiku. Keluarga yang lainpun 
menjauhiku. Hanya Kakaku, Phillipe, ayah Soni yang membantuku. Memberiku uang saat aku butuh, makan ketika aku kelaparan, dan support saat kondisiku memprihatinkan. Dia benar-benar orang yang perhatian, peduli, penuh kasih sayang, hangat dan luar biasa baik.  Hanya dia yang ku miliki saat semua orang menjauh dan tak peduli.

Teman-teman menjauhiku seakan-akan aku penyakit menular. Para orang tua melarang anak-anaknya bergaul denganku, seakan-akan aku akan memperkosa mereka. Masyarakat menghina, melecehkanku adn membenciku. Aku terpuruk pada awalnya. Merasa rendah, hina, bahkan terkutuk. Begitu kotor dan menjijikkan.

Phillipe yang terus adadisampingku. Memberiku dukungan. Meyakinkanku, bahwa aku adalah orang yang hebat. Bahwa aku berharga dan juga berguna. Aku bukan Cuma sekedar sampah. Karena dialah aku bangkit. Pada akhirnya aku sadar kalau aku tak boleh membiarkan orang-orang itu menekanku. Aku tak seharusnya membiarkanku merasa tertekan, rendah dan hina. Jadi aku bangkit. Belajar dan terus memperbaiki diri. Aku harus bisa membuka mata mereka. Bukan dengan jalan kekerasan dan intimidasi seperti yang mereka lakukan padaku, karena itu hanya akan membuatku sama seperti mereka. Sama brengsek dan arogannya. Aku belajar banyak hal, membuat prestasi. Menunjukkan pada semua orang bahwa aku mampu. Bahkan lebih daripada mereka. Pada akhirnya, mereka menoleh padaku.

Dan aku menjadi orang yang kau lihat sekarang. Dihormati, sejajar dengan mereka, dan cukup kaya. Semua orang yang pernah menghinaku, kini justr mengerubungiku seperti lalat. Merekameminta, bahkan  memohon agar aku menjadi anggota club mereka. Teman mereka. Keluarga mereka. Beberapa bahkan memintaku menjadi suami mereka. Can you believe that? Mereka tunduk dan bahkan menjilat sepatuku. “

Felix memberiku senyum sedikit getir, “Terkadang kita memang melihat orang dari bungkus luarbya saja, TJ. Tak bisa di pungkiri kalau ada sebagian orang yang cenderung menghargai baju, daripada siapa yang  memakainya. Mereka lebih menghormati uang dan pengaruh.

Aku mengajarkan pengetahuanku itu pada Soni. Saat pertama kali aku mengambilnya, dia adalah seorang anak yang selalu ketakutan, lemah dan tertekan. Bisa kau bayangkan bagaimana perasaanku? Dia, anak dari kakakku, satu-satunya orang yangs selalu mendukung dan membantuku, terlihat begitu mengenaskan karena ulah seorang perempuan sakit jiwa. Jelas aku tak akan membiarkannya hancur seperti itu.

Aku berikan semua yang aku bisa padanya. Hal pertama yang ku lakukan adalah membangun kembali kepercayaan dirinya. Memulihkan kesehatan fisik dan mentalnya. Kami banyak melakukan terapi bersama. Aku berikan semua pengetahuanku padanya. Aku juga yang membuatnya belajar semua hal. Seni, pengetahuan modern, bisnis, bahkan kepribadian. Aku mengajarinya bagaimana menghadapi ketakutan dan traumanya. Aku buat dia melampiaskan semua emosinya dengan belajar berbagai ilmu bela diri. Judo, karate, tinju dan lainnya. Aku mengajarinya bagaimana bersikap dan membentuk citra dirinya di masyarakat. Dia tak boleh terlihat lemah, karena orang-orang hanya akan memanfaatkannya. Dia harus menjadi orang yang kuat, bermartabat dan pintar.

Aku yang membentuknya seperti itu. Dengna imej yang seperti itu, aku membawanya ke lingkungan sosial elit dunia. Dan kini, dia telah belajar bagaimana mengatur perkebunan dan perusahaan yang menjadi miliknya. Tapi............ada saat dimanaaku lupa, bahwa dia hanyalah seorang bocah. Seorang anak yang perlu tumbuh dan berada di lingkungan yang normal. Karena itu dia tinggal di Indonesia. Karena disanalah sebenarnya setan yang harus dia taklukkan. Dia harus bisa menghadapi trauma yang Erma bawa padanya di sana. Dan mengendalikan apa yang sudah menjadi haknya. Kau tahu bahwa dia jadi pewaris tunggal Erma kan? Wanita iblis itu sudah menjadikannya kaya raya. Ironis. Karena aku yakin, nenek sihir itu tak akan mengijinkannya, andai saja dia masih hidup. Dia hanya akan memperlakukan Soni sebagai budak.

Dan........jadilah dia Soni yang kau kenal sekarang.

Tapi aku tahu, jauh di dalam dirinya, semua luka dan trauma yang ditinggalkan Erma dan Ibunya, tak bisa kusembuhkan sepenuhnya. Semua itu akan membekas padanya. Dari luar dia memangorang yang tampan, berkelas, percaya diri, kaya dan berpengaruh. Tapi didalam dirinya, dia msih seorang bocah yang terus ketakutan, kesepian dan rapuh.

Hingga hari ini.............

Dia menjadi manusia yang utuh, karenamu. Aku tak pernah melihatnya begitu ceria. Selalu tersenyum dan tertawa seperti sekarang. Dia.............hidup!”

Felix menatapku dengan pandaangan dalam dan tersenyum tulus, “Aku berterima kasih padamu atas itu.”

Aku hanya mampu menggeleng dan tersenyum tipis seraya kembali mengusap pipiku yang basah, “Kau salah. Justru karena Soni aku merasa utuh. Aku tak melakukan apa-apa. Dia yang melakukan banyak hal untukku.”

Oh dear one, justru itulah letak keindahan hubungan kalian. Can’t you see? Semua yang kalian lakukan tidak ada dasar pamrihnya. Semua kalian lakukan karena kalian saling peduli. Saling menyayangi. Apa yang lebih indah didunia ini selain mencintai dan dicintai?”

Aku hanya mampu diam. apakah Felix sadar besarnya makna yang terkandung dalam kalimatnya tadi? Tuhanku! Salahkah aku bila aku berharap? Desahku dalam hati. Kembali aku hanya bisa mengulas senyum tipisku.

“Felix, kalau boleh aku bertanya, mengapa dulu kau tak mengambil Soni dari awal? Kenapa justru Erma yang mendapatkannya?  Apa waktu itu, kau................tidak menginginkannya?”

“ARE YOU CRAZY?!! Tentu saja aku menginginkannya. I wanted him. Always have. Alaways will! Jangan berpikir kalau aku diam saja. aku sudah melakukan berbagai cara untuk memperoleh hak asuhnya. Tapi.......pikir saja. Satu pihak, seorang wanita sukses, single dengan segudang prestasi dan reputasi tak tercela. Sementara yang lain adalah seorang homoseksual dengan seorang putri tunggal hasil bayi tabung yang dibesarkan oleh Ibunya. Pengadilan mana yang akan memenangkanku?” kata Felix dengan nada getir yang nyata. Jelas sekali dia terluka.

You must be hurt,” gumamku.

Hurt? Itu kata yang terlalu halus untuk menggambarkan perasaankum” kata Felix. Dia tertawa pahit dan mengusap rambutnya dengan sedikit kalut. Dia menghela napas panjang,  “Aku sudah merasa tak suka pada Ibu Soni sejak pertama kali melihatnya. Ada sesuatu tentangnya yang waktu itu membuatku membencinya. Aku juga sudah dengan jelas mengungkapkan ketidak sukaanku pada Phillipe. Tapi tentu saja, Phillipe yang baik hati, polos dan luar biasa naif, tidak mempercayainya. Mereka menikah. Dan...................kecurigaanku terbukti. Phillipe menemui ajalnya ditangan wanita sialan itu. Untungnya, Phillipe cukup cerdas dengan mewariskan bagian perkebunan miliknya ini pada Soni, dengan aku sebagai pengawasnya. Sebenarnya Ayah tersayangku sudah mencoretku sebagai ahli waris, but bless Phillipe, dia menyerahkan kembali hakku ketika Ayah sudah meninggal. Dan kami bekerja sama sejak itu. Jadi ketika dia meninggal, akulah yang jadi pengawas hak Soni, sesuai dengan wasiatnya. Menjaga agar perkebunan kami, tetap berada di tangan keluarga.

Lalu Erma datang. Wanita itu.................bahkan lebih mengerikan dari adiknya, Ibu Soni. Dengan melihatnya saja, aku sudah langsung bertekad bahwa aku tak akan menyerahkan Soni padanya. Aku juga punya kecurigaan kalau dia mengincar bagian Soni di perkebunan. I went through all the way untuk mempertahankan Soni. Tapi.........aku kalah. Dan Soni harus mengalami apa yang sudah kau ketahui. Dia................hancur,” pungkas Felix dengan suara bergetar.

Untuk sejenak, kami hanya diam. Memberi kesempatan untuk melegakan dada kami yang penuh sesak oleh duka. Keheningan yang kemudian menggelayut benar-benar tak menyenangkan. Masing-masing dari kami seolah-olah memberi waktu bagi hati kami yang perih untuk membaik dalam hitungan detik. Tapi nyatanya justru makin menyakitkan. Felix kembali menyesap kembali anggur yang  berada dalam gelasnya.

“Kau tak akan bisa membayangkan bagaiamana luluh lantaknya perasaanku saat pertama kali melihatnya. Saat aku mengambilnya dari rumah Erma. Dia meringkuk di sudut kamar. Pucat, lemah dan begitu..............ketakutan. mulanya dia tak mengenaliku. Saat dia tahu aku yang datang, dia memelukku begitu erat. Saking eratnya hingga dokter harus menyuntiknya dengan obat penenang agar bisa lepas dariku.

Butuh waktu sekitar setahun  bagi Soni untuk memulihkan mentalnya. Kami bersama-sama menjalani terapi yang sangat menyakitkan. Chantal dan Evelyn banyak membantu, meski Soni lebih sering menolak mereka. Aaahhh TJ. Can you imagine what I felt? Satu-satunya anak dari kakakku, satu-satunya keluarga dekatku yang tersisa, terkoyak seperti itu. Aku kira apa yang aku alami dulu itu sudah sangat bruk. Tapi Soni..................dia harus emnerima lebih dari itu di usia yang masih sangat muda. Dia............begitu menyedihkan.”

Lagi, kami sama-sama terdiam, meresapi rasa perih yang merambati perasaan kami dengan pelan.

“Felix..” panggilku kemudian saat sesuatu melintas dibenakku, “.........apakah menurutmu, hal itu yang membuat Soni menjadi.......” aku tak sanggup meneruskannya.

“Gay?” tanya Felix sembari tersenyum, “I don’t know. Aku tak punya bayangan sama sekali kalau Soni gay. Soni tak pernah menunjukkan ketertarikan pada orang lain sebelumnya. Either to a boy or a girl. Dia cenderung menjadi orang yang dingin, tak acuh dan tertutup.”

Yeah! Aku tahu itu, batinku, “Aku sendiri juga tak pernah memahami kenapa aku begini. Kau sendiri, pernah bertanya-tanya, kenapa kau.................berbeda?”

“Maksudmu kenapa aku bisa jadi gay?”

Aku menganggukan kepala.

Felix tertawa, “Ok. Aku bukan seorang ahli atau ilmuwan, tetapi bukankah normal atau tidaknya sesuatu itu merupakan hal yang relatif dan cenderung berubah? Poliandri bagi kita mungkin aneh dan gila. Tapi tidak bagi masyarakat Tibet. Poligami di dunia modern dianggap aneh, padahal nyaris semua Raja di masa lalu melakukannya. Setiap orang, negara dan juga golongan memiliki standart normal yang berbeda. Dan itu terus berubah seiring waktu.

I’m gay. Dan bagiku dan juga teman-temanku yang gay, kami normal. Kami hidup sesuai dengan cara kami. Dan kami rasa, kami orang-orang yang baik. Kami tidak membunuh, merampok, memaksa ataupun membebani orang lain. Untuk masalah seks, kami juga tidak memperkosa partner kami. Kami melakukannya dengan orang yang kami sukai, atau yang mau. Tanpa paksaan. Kami sama-sama menginginkannya. Tak ada pihak yang dirugikan. Sama dengan pasangan heteroseksual. “

Aku terdiam sejenak, merenungkan ucapannya, “Lalu.............” aku melanjutkan tanpa mampu menahan diri, “........pernah berpikir tentang Tuhan atau..........dosa?” tanyaku pelan.

Felix tersenyum mendengarku, “Aku percaya Tuhan, TJ. Aku percaya ada kekuatan yang besar di dunia ini. Kekuatan yang  mengatur dan memberkati kita, serta mengendalikan kehidupan kita. Kekuatan yang menciptakan alam dan mengendalikan nyawa manusia. Dan aku percaya bahwa kekuatan itu, menginginkan kita untuk hidup denga baik. Saling membantu dan menghargai, dan juga menyayangi. Itulah yang coba aku lakukan.

Setahuku, itulah inti yang diajarkan oleh semua agama. Dan setahuku juga, semua agama tidak memaksa para penganutnya untuk mengambil jalan yang mereka tunjukkan. Agama adalah tuntunan. Mereka memberitahu kita jalan hidup, berikut semua konsekuensinya. Kita, memiliki kebebasan dalam memilihnya. Bahkan jika kita memilih untuk tidak mengakui apa yang agama  dan para Nabi mereka itu sampaikan.”

“Tapi agamaku mengajarkan........”

“Aku tidak mengatakan kalau agamamu salah,” potong Felix, masih dengan senyumnya, “Percayalah pada apa yang kau percayai. Aku tahu betul dan yakin bahwa Isa, Muhammad, Abraham ataupun Gautama adalah orang-orang hebat. Mereka telah berhasil mengubah wajah dunia. Mereka adalah orang-orang yang membawa pesan dari langit. Pesan yang mengatakan bahwa kita harus menjadi makhluk yang baik, berguna dan tidak merugikan orang lain. And that’s what I’m trying to do.

Aku berusaha untuk menjadi orang baik sesuai kemampuanku. Menghargai orang lain dan tidak menyakiti mereka. I’m not gonna steal, hurt or kill anyone. Kenyataan bahwa aku adalah gy adalah sebuah fakta yang real. Untuk seks dan pasangan hidup, aku menginginkan pria. Itu benar. Tapi aku tidak memaksa mereka untuk melakukannya denganku. Kami melakukannya karena itu adalah keinginan kami bersama.

Jika aku bersalah, maka biarlah. If I’m cursed, then so be it. Tapi hanya Tuhan sendiri yang berhak memberi label itu padaku. Hanya Tuhan yang berhak melakukannya. This is my way. This is my life. And this is how I want it to be.
Aku sudah tidak mau ambil peduli apa yang dikatakan orang-orang di belakangku. Let them say what they want to. Aku tak akan membiarkan apa yang mereka katakan atau lakukan, membuatku depresi, merasa berdosa atau terkutuk seperti dulu. No! I’m not gonna let it happen again. Kalau aku berdosa, maka biarlah itu menjadi urusanku dengan Tuhan.
Tapi satu hal yang aku percaya. Tuhan Maha Tahu segalanya. Dia Maha Besar dan Maha Benar. Tuhan tak pernah dan tak akan pernah salah. Dan Dia yang menciptakan aku. Dia yang membuatku terlahir seperti ini. Maka aku, bukanlah kesalahan. Yang  bisa aku katakan padamu adalah, sayangi dirimu sendiri. Hargai dirimu. Jangan pernah merasa cacat ataupun hina sepertiku dulu. Dan jangan pernah membiarkan orang lain membuatmu merasa begitu. Terimalah dirimu apa adanya. You are what you are. Kalau kau tak pernah melakukannya, maka tak akan ada orang lain yang bisa. It’s all in you.

Ada sedikit kelegaan yang mengalir di dadaku saat mendengar kata-kata Felix. Aku menarik napas panjang, 

“Kau...........sungguh-sungguh tak ingin menikah dan memiliki keturunan?” tanyaku lagi. Terus mencoba untuk meraih kelegaan yang lebih besar.

“Kau lupa aku punya Chantal?’ tanya Felix mengingatkanku sembari tetap tersenyum, “Menikah dengan 
wanita................aku belum pernah menginginkannya. Bahakn meski itu dengan Evelyn,” katanya lagi.

Aku memangkap kesedihan yang dalam dari caranya mengatakan kalimat tadi . tapi aku juga menangkap campuran rasa sayang ketika dia menyebut nama Evelyn. Untuk sejenak, dia diam dan hanya menarik napas panjang.

“Aku dan Evelyn berteman akrab. Sangat akrab. Meski dia tahu aku gay.............hal itu tidak berpengaruh pada Evelyn. Dia..................jatuh cinta padaku. Sayangnya, aku benar-benar tak bisa menyayangi Evelyn seperti yang dia inginkan. Jangan salah. Aku sayang padanya. I’d do anything for her. To make her happy. Tapi untuk mencintainya seperti yang dia inginkan.........I can’t. Yang menyedihkanku, Evelyn dengan lapang dada bisa menerimanya.

Sama sepertiku yang menutup hidupku untuk wanita, Evelyn menutup hidupnya untuk pria lain. Sudah berulang kali, dan sudah berbagai cara aku tempuh untuk meyakinkan Evelyn, agar dia melanjutkan hidupnya. Untuk tidak menyia-nyiakan hidupnya. Tapi Evelyn, tetap pada pendiriannya. Dia bilang bahwa dia tidak menuntut apapun dariku, karena dia tahu bagaimana aku. Hanya ada 2 hal yang dia inginkan dariku. Pertama, dia ingin agar aku tetap membolehkannya untuk berada dalam kehidupanku. Dan aku tentu saja mengabulkannya dengan mudah. Karena aku juga tak ingin jauh darinya. Dan yang kedua, agar aku memberinya seorang anak. Dan.................tentu saja aku kembali tak bisa menolaknya. Maka lahirlah Chantal. Melalui inseminasi buatan.

Mereka berdua adalah dua orang paling berarti dalah hidupku. Selain Soni tentu saja. I’d do everything for them all. Kalau kau bertanya apa aku tak ingin menikah, jawabnya adalah tentu saja aku ingin. Aku masih mencari orang yang tepat. Yang jelas, aku tak akan bisa melakukannya dengan wanita. Karena aku tak bisa. I know exactly what and who I am. Dan jangan berpikir kalau aku melakukannya hanya berdasarkan dorongan napsuku saja. I’ve been thinking a lot. Dengan semua yang terjadi, aku, Evelyn, Chantal dan juga Soni. Kini aku bisa menerima kenyataan bahwa aku tak bisa.”

“Tak pernah merasa bersalah atau menyesal pada Evelyn dan Chantal?”

“Pada awalnya, selalu. Berulang kali aku bertanya, marah, bahkan mengutuk diriku sendiri. Dengan adanya wanita seperti Evelyn, kenapa aku masih juga tak bisa berubah? Tapi dorongan yang kurasakan berasal dari dalam diriku, TJ. Bukan hanya pemenuhan kebutuhan hasrat belaka. Dan aku akan selamanya begitu.”

Ada kembali sedikit rasa ringan dalam dadaku yang membuatku sedikit lega. Sadar bahwa aku tidak sendiri. Bahwa aku bukannya manusia dengan pemikiran yang lain. Selama ini, ada rasa takut, cemas dan juga bingung yang sering bergumul dalam diriku. Rasa yang semakin jelas kurasakan saat Soni hadir dalam hari-hariku. Selama ini, oikiran alam bawah sadarku menuntut penjelasan. Mencari  jawaban akan jati diriku. Apa yang diucapkan Felix adalah apa yang selama ini menjadi bebanku. Aku selalu merasakannya. Semua ketakutan, keresahan dan kecemasan seta keraguan itu menggunung dan bertumpuk begitu lama, dan aku hanya memendam dan mencoba untuk tidak mengacuhkannya. Aku tak pernah memiliki teman untuk membicarakannya. Tak ada yang bisa ku ajak untuk berdiskusi. Tidak Wina, sahabat terbaikku, atau anggota gank-ku yang lain. Bahkan juga tidak Bunda, wanita yang melahirkanku. Aku selalu takut akan penghakiman dan penilaian mereka nantinya. Bahkan dengan semua dukungan yang selama ini mereka tunjukkan. Aku begitu ngeri kalau nantinya akan mengecewakan mereka dengan kebenaran yang ada pada diriku. Entah sudah berapa lama aku merasa kesepian, sendiri. Tanpa ada yang mengerti.

Hingga kini aku bertemu Felix.

Dia begitu yakin dan percaya diri. Berdiri tegak dengan apa adanya dia. Dia sudah menemukan jalan yang dia yakini. Aku benar-benar iri padanya. Andai saja aku memiliki sedikit saja keyakinan yang dia punya.

There you are! Aku sudah mencarimu kemana-mana!”
 
teguran itu datang dari Soni yang muncul dari balik pintu yang ada dibelakang kami. Dengan tersenyum dia melangkah emndekat. Namun ekspresinya berubah dalam sekejap saat melihatku dengan jelas.

“Ada apa?” tanya Soni cemas. Tangannya terulur mengusap pipiku yang ternyata sudah kembali basah.

Aku segera mengusap kembali wajahku dengan sapu tangan yang tadi dipinjami oleh Felix.

“Apa yang Felix katakan padamu?” desak Soni dan dengan segera berpaling pada Soni dengan wajah yang menggelap, “Felix, I told you..............”

“Son!” potongku cepat, kaget mendengar nada bicaranya yang sedikit naik karena gusar, “Felix tidak melakukan apa-apa. Dia justru membantuku.”

“Tapi..............”

He did nothing!” tegasku dan meraih satu tangannya untuk menenangkan, “I swear. Dia justru membantuku. Kami hanya berbicara tentang masa lalu dan.................aku hanya terharu.”

Dia diam sejenak. Memamndangku seksama dengan pandangan menyelidik, “Really?

Swear! Cross my heart!” tegasku meyakinkannya. Soni memandanku untuk beberapa lamanya sebelum menarik napas panjang.

“Kenapa sih kamu begitu cengeng?” desahnya pelan dan menarikku. Dia memelukku erat dan mencium ujung kepalaku. Aku memejamkan mata. Menikmati sepenuhnya dekapan Soni. Bernapas dalam-dalam, memenuhi rongga dadaku dengan harum wangi floral tubuhnya yang telah akrab. Tuhanku! Aku benar-benar menyayanginya. Ada kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Hanya bersama Soni aku merasakannya. Dan kenyamanan itu terasa begitu berlipat ganda kini, saat aku berada dalam dekapannya seperti ini.

Fakta tentang masa laluna memang membuatku sadar bahwa dia bukan orang yang sempurna. Namun hal itu ustru membuatku makin menyayanginya.  Aku sudah tersenyum saat dia melepasku.

“Lain kali kau harus mengurangi cengengmu.”

Aku  tertawa mendengarnya, “Teach me how,” balasku.

Soni berpaling pada Felix yang sedari tadi tak bersuara. Dan kali ini, giliran aku dan Soni yang jadi tertegun melihat Felix yang berdiri diam dengan pipi basah, “Felix....”

Felix hanya mengangkat tangannya untuk mencegah Soni berbicara. Pelan dia mendekat dan memegang wajah Soni, “Are you happy?

Soni tersenyum dan mengangguk, “More than I’ve ever felt before.

Felix mengembangkan tangannya. Soni tertawa kecil dan menyambutnya. Mereka berpelukan erat.

“Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu mengatakan itu padaku?’ bisik Felix pelan. Dan untuk sesaat pandangan Felix bertemu denganku. Ada begitu bnayak kata-kata terwakili dari sorot matanya. Aku bisa memahaminya. Naluriku bisa langsung menerjemahkan dalamnya tatapan Felix. Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepalaku untuk menjawabnya.

“Nah, sebelum para tamu bingung karena tidak ada tuan rumah yang muncul, kita harus kembali ke dalam. Ayo!” ajak Felix setelah melepas pelukannya. Dia menggandeng kami berdua dikedua sisinya.






Dalam perjalanan pulang, aku tak banyak bicara. Aku lebih banyak berpikir akan semua yang telah aku bicarakan bersama Felix. Terutama tentang aku dan Soni. Aku sependapat bahwa Soni berhak bahagia setelah semua yang telah dia alami. Dia layak untuk dicintai. Sekarang pertanyaannya adalah, apa aku bisa membahagiakannya?

Aku berpaling pada Soni yang sedang menyetir disampingku. Menelusuri wajahnya dengan seksama. Ada perasaan hangat yang kurasakan dan hampir-hampir tak tertahan. Perasaan hangat yang begitu kuat, yang emndorongu untuk meraih wajah itu, memebelainya, menciumnya dan mengatakan bahwa aku menyayanginya. Soni menoleh dan tersenyum padaku sekilas.

“Cape ya?” tanyanya pelan sembari memberiku senyuman.

Aku hanya bergumam lirih. Yah, aku benar-benar menyayanginya, desahku dalam hati. Pikiran itu terus berputar-putar di benakku hingga kami tiba dirumah Soni. Bahkan saat kami sudah berada dalam kamar.

Soni melepas jas dan melemparnya ke pembaringan. Lalu membuka kancing rompinya.

“Pheeewww...........cape juga. Dansa kesana kemari. Padahal aku ingin ngobrol saja denganmu,” gerutunya dab mendekat ke perapian untuk menyalakannya.

Aku hanya mengulas senyum simpul mendengarnya dan melepas jasku, “Ternyata nggak disini ataupun di Indonesia, kamu tetep saja banyak yang nguber.”

“Nguber apaan,” gerutu Soni lagi. Dia sudah berdiri didepan cermin besar berukuran  2 meter yang ada disamping closet, “By the way, kamu tadi ngomongin apa aja dengan Felix?’ tanya Soni ingin tahu dan melihatku melalui cermin sembari melepas dasinya.

Aku yang berada tak jauh dibelakang Soni, hanya diam dan menatap bayangannya. Pandangan kami bertemu. Sekali lagi aku menelusuri wajahnya. Bnetuk tubuhnya. Bahunya yang lebar. Dadanya yang bidang. Serta lengkungan mengecil pada pinggangnya. Bahkan saat aku menarik napas panjang, aku kembali bisa menghirup harum tubuhnya yang biasa. Dan sekali lagi, ada kehangatan yang kurasakan mengalir di sekujur tubuhku.

Aku kembali menatap wajahnya. Dan pandangan kami kembali bertemu. Dia diam memperhatikanku.

I love you,” bisikku lirih. Kalah oleh desakan dalam dadaku. Kalimat itu adalah satu-satunya yang bisa mewakili apa yang aku rasakan saat ini. Dan aku mengucapkannya dengan sepenuh hati.

Soni tampak sedikit tertegun. Dia berbalik dan menatapku. Lalu perlahan, senyum lebar merekah di wajahnya. Efeknya begitu besar, hingga aku tak sanggup melakukan apapun. Hanya diam di tempatku bediri. Itu senyum lebar yang pertama kali ku lihat di wajahnya.

Tanpa dapat ditahan, dia tertawa senang dan mendekat. Begitu berada di hadapanku, dia mengulurkan tangan kanannya dan mengusap sisi kiri wajahku dengan lembut, “Kamu sadar nggak, kalau tadi adalah pertama kalinya kau mengucapkan kalimat itu padaku?”

Aku menarik napas panjang. Mengulurkan kedua tanganku untuk meraih wajahnya. Aku harus berjinjit untuk bisa mencium bibirnya dengan lembut, “I love you. So much,” gumamku berulang kali seraya kembali menciumnya.

Soni tertawa kecil dan membalas ciumanku. Dia memeluk pinggangku, untuk kemudian membawaku ke tempat tidur. Sesaat kemudian dia menarik wajahnya dariku dengan ekspresi heran, lalu mendecak, “Kok nangis lagi?”

“Tangis bahagia gak kehitung,” elakku.

“Dasar!” gerutu Soni dan mengusap pipiku. Dia lalu kembali menciumku. Kian lama, ciuamannya jadi kian intens. Lidahnya turut bermain dengan ahlinya. Sekali lagi, alarm di otakku langsung berbunyi nyaring, membuatku mati-matian untuk mengembalikan akal sehatku.

“Son...........” desahku dan menahan dadanya begitu ada kesempatan.

Sepertinya Soni mengerti, karena sesaat kemudian dia menarik dirinya dariku perlahan, “I’m sorry. Kau pasti lelah. Kalau begitu, kita harus ganti baju dan tidur.”

Thanks,” kataku atas pengertiannya. Akupun bangkit dan menuju kamar mandi.

Saat aku sedang menyikat gigi didepan kaca tolet, Soni menyusulku. Dia sudah mengenakan piyamanya. Sambil tersenyum geli melihatku yang belepotan busa pasta gigi, dia mengambil sikatnya.

“Masih gak mau kasih tahu apa yang kamu omongin ama Felix tadi?” tanya Soni dan mulai menyikat giginya di sebelahku.

“Kan udah bilang tadi? Beneran bukan apa-apa kok. Cuma ngobrol bentar dan saling tukar pendapat. Itu aja.”

“Okay,” sahut Soni, sedikit tidak jelas karena sedang menyikat gigi.tapi dari nadanya, kentara sekali kalau dia tidak percaya. Aku hanya menggerutu pelan karenanya.

“Tapi........dia sayang banget sama kamu,” lanjutku pelan dan menatap bayangannya di cermin.

Soni menatapku juga dari cermin. Sejenak kami hanya beradu pandang. Dia lalu membasuh mulutnya di wastafel dan berpaling padaku, “Aku tahu. Sebelumnya, hanya dia satu-satunya orang dekat yang ku punya. Now.............I have you.”

Aku kembali tersenyum mendengarnya, hingga kemudian mataku tertumbuk pada bibirnya. Setelah menyikat gigi, bibirnya jadi keliahtan lebih merah dan basah. Aku mendesah dalam hati. Sepertinya aku tak akan pernah puas dengan dirinya. Siapa yang akan tahan dengan cobaan seperti ini? Perlahan, didorong oleh keinginan hati yang kuat, aku mendekat. Kulingkarkan kedua tanganku di lehernya dan berjinjit untuk menciumnya. Bibirnya basah dan manis.

Soni mengerang lirih, membuatku sadar untuk menahan diri. Aku menjauhkan diriku.

“Kamu sedang mengujiku ya?” gerutu Soni sedikit kesal.

Aku hanya nyengir iseng, “That’s it fot tonight. Karena kita harus beristirahat,” kataku. Aku meraih bahunya dan membalikkan badannya, “Sekarang bawa aku ke tempat tidur,” kataku lagi dan dengan cepat melompat ke punggungnya dengan kedua tangan berpegang pada lehernya.

Soni tertawa dan kemudian dengan setengah berlari memanggulku ke kamar. Dia menjatuhkan tubuhku ke kasur, membuatku sedikit terpekik kecil.

“Besok gimana?” tanyaku dan membetulkan selimut.

“Kita kembali ke Paris. Besok malam tahun baru kan? Tanggal 1 kita harus kembali ke Indonesia,” jelas Soni dan ikut naik.

Already?

“Kamu gak inget? kita udah disini hampir seminggu.”

Aku menggeleng, “Engga. Cepet juga ya? Gak kerasa,” gumamku setengah melamun.

“Karena besok hari terakhir di Paris, ada yang ingin kamu lakukan?”

Let’s not waste it. Bawa aku ke tempat-empat yang belum kita kunjungi.”

Deal! Aku akan membawamu keliing Paris lagi. Kita besok pergi pagi-pagi. Felix sepertinya harus mengurus sesuatu. Jadi kita tak mungkin bisa menemuinya,” kata Soni.

“Kita tidak berpamitan?”

“Kita bisa meneleponnya nanti,” sahut Soni lagi. Aku mengangguk menyetujuinya. Felix mungkin memang memiliki urusan penting yang harus dia bereskan. Soni lalu mendekat untuk mengecup bibir dan keningku sekilas.

Good night,” katanya pelan dan mematikan lampu.

Aku tak menyahut. Kata-kata Soni tadi kembali terngiang di benakku. Hari terakhir di Paris. Ugh!! Aku pengen hari-hari seperti ini terus berlanjut. Aku ingin tetap disini bersama Soni. Aku belum ingin kembali ke Indonesia. Pelan aku beringsut mendekat ke tubuh Soni.

“Son............” panggilku pelan dan menyurukkan kepalaku di lehernya.

“Ada apa?” tanya Soni yang jadi sedikit kaget.

“Hmmm...........aku Cuma pengen tidur gini aja,” sahutku pelan dan melingkarkan lenganku ke dadanya dan semakin menenggelamkan wajahku diantara rahang dan lehernya. Aku mencium lehernya lembut.

“Dasar.....” gerutu Soni. Dia menyelipkan lengannya ke bawah leherku dan memelukku, “Kadang aku piir kamu tuh sengaja menggodaku ya?”

Aku tertawa kecil, “Aku suka harum tubuhmu. Seperti wangi pinus yangs segar. Mengingtakanku pada harum segar daerah dataran tinggi. Beli dimana? Merknya?”

“Di Paris. Sebenarnya bukan parfum kebanyakan. Ini hasil ramuan seorang ahli aroma therapy yang menggabungkan berberapa essence floral. Karena suka, aku selalu memesan racikan yang sama. I’ll buy you tomorrow if you want. For now, tidurlah. Besok kita harus kembali bermotor ke Paris.”

Aku Cuma bergumam tak jelas dan menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma Soni yang aku suka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar