BAB 20
Pagi itu aku kembali bangun dengan perasaan ringan dan senang. Apalagi
dengan ingatan tentang kebiasaan baru yang Soni lakukan sebelum kami tidur,
mencium keningku. Ciuman lembut sama yang selalu membuatku terjaga untuk
beberapa saat lamanya. Menikmati dan meresapi ciuman itu. Mengenang sensasi
lembut bibirnya yang menyentuh keningku, sembari berbaring miring,
memunggungingya. Aku khawatir jika aku tidur
menghadap ke arahnya, aku tak akan mampu menahan godaan untuk tidur
dalam pelukannya. Guling yang menjadi pembatas kami terkadang terlihat sebagai
penghalang yang menyebalkan. Semalam aku malah sempat terjaga sebentar, dan
baru merasa lega dan tenang setelah mendengar desahan lembut nafas Soni yang
teratur. Dia terlelap dengan begitu damainya disebelahku.
Aku terjaga karena kembali bermimpi tentang Soni. Mimpi dimana tubuh kami
berdua menyatu dalam keadaan polos. Nyaris aku masih bisa merasakan begitu
nyatanya rasa disaat kulit kami bergesekan. Belaian lembutnya ditubuhku terasa
begitu nyata. Bahkan ingatan akan ciuman bergairah kami dalam mimpi bisa
membuatku tersipu sekarang.
Aaahhh......!
Satu sisi diriku merasa begitu kotor, jijik dan malu. Sementara sisi
lainnya begitu berharap agar mimpi-mimpi itu terus datang setiap malam dan
menjadi nyata.
Aku harus memaksa diriku untuk bangkit dari kehangatan tempat tidurku dan
mandi. Saat aku baru saja mematikan shower,
aku mendengar suara Soni yang memanggilku.
“Sebentar!! Mandii!!” jawabku seraya mengikat jubah mandi yang ku kenakan.
Aku meraih handuk untuk mengusap rambut basahku dan keluar, “Darimana?” tanyaku
pada Soni yang duduk ditepi ranjang sembari menonton tv.
“Ngambil barang kita yang dibawah. Dari Hartnell,” kata Soni dan menunjuk
pada tumpukan kotak disamping tempat tidur, “Sudah jam sepuluh. Ayo cepat. Kita
cari sarapan lalu lanjut touring-nya.”
“Aku ganti baju dulu,” tukasku dan meraih baju ganti yang aku siapkan di
atas tempat tidur.
Selesai sarapan di restoran yang ada dibawah ( kami makan croissant, roti lapis daging dan susu
coklat hangat yang membuatku berpikir kalo orang-orang Eropah itu suka makanan
ringan. Sebagai orang Indonesia, aku dibilang belum makan kalau belum ada nasi
yang masuk ke perut), kami melaju dijalanan kota Paris.
Siang ini Paris mendung. Matahari hanya bersinar sebentar. Udarapun terasa
dingin. Terlalu dingin bagi aku yang berasal dari negara tropis. Untung saja
mobil yang kami sewa memiliki mesin penghangat.
Dari jauh aku melihat menara Eiffel yang menjulang, hingga kemudian kami
tiba di persimpangan Rue de Rivolli.
Mobil terus melaju ke arah pepohonan Rue
Castiglione yang menurut Soniadalah gerbang utara untuk masuk ke sebuah
taman yang terkenal, Taman Tuilerier.
Kalau orang-orang di New York memiliki Central
Park, maka taman Tuilerier adalah
central park-nya orang-orang Paris. Taman itu tak begitu ramai hari ini. Mobil
terus melaju mengelilingi sebuah kolam bulat yang ada disana. Kami lalu sampai
ke ujung taman yang ditandai dengan sebuah gerbang batu, Arc du Carrousel. Gerbang yang sempat membuatku meminta Soni
menghentikan mobil untuk berfoto.
Soni lalu menunjuk ke sebuah gedung megah dikejauhan, “Kita kesana. Musee du Louvre.”
Kosakata bahasa Perancisku memang miris, tapi bahkan aku bisa menebak arti
dari kata-katanya tadi, “Museum?” tanyaku kemudian saat kami kembali melaju.
Soni mengangguk, “Kamu tau Louvre?
Louvre adalah salah satu museum paling terkenal didunia. Tau nggak, kalo
Louvre juga merupakan gedung terpanjang di Eropah? Panjangnya 3 kali menara
Eiffel kalau ditidurkan.”
Aku bengong dengan mulut terbuka, membuat Soni yang melihatku sekilas jadi
tersenyum geli, “Bercanda kan?”
“Serius!” tegas Soni, “Ada plaza terbuka seluas sejuta kaki diantara
sayap-sayap museum Louvre. Dan plaza itu bahkan tidak bisa mneyaingi luas
bagian muka museum. Kalau ditotal, ada sekitar 65.300an benda seni yang ada
dalam museum Louvre. Kalo kamu pengen
melihatnya, mungkin kamu butuh sekitar 5-6 hari untuk bisa melihat semuanya.”
“What? Kita nggak akan
menghabiskan waktu selama itu di museum itu kan?’
“Ya enggak lah,” sergah Soni dan tertawa, “Kita cuma akan melakukan
kunjungan singkat. Ada seseorang yang sangat terkenal tinggal disana,” ujar
Soni lagi.
Saat keluar dari mobil yang diparkir oleh Soni, aku masih terpana oleh
kemegahan gedung museum Louvre yang bernuansa Renaissance. Begitu menawan. Terkesan sebagai sebuah relik sejarah
yang masih berdiri di abad modern ini. Pintu masuknya merupakan sebuah piramida
kaca bening yang berdiri didepan gedung. Tampak sedikit kontras, mengingat
gedung Louvre yang bernuansa klasik kuno, sementara piramida kaca itu boleh dibilang
bernuansa neo modern. Tambah lagi bila dipikir bahwa piramida adalah hasil
kebudayaan masyarakat Mesir.
Dan tentu saja akupun langsung ribut ngajak Soni buat foto bareng. Kami
sempat meminta bantuan seorang bapak-bapak untuk mengambil foto kami berduda.
“Kamu pasti cukup heran dengan adanya piramida ini kan? Bagaimana karya
seni yang bernuansa Mesir bisa berada di depan sebuah museum Eropah klasik?”
ujar Soni seperti menebak isi kepalaku saat kami berjalan diantara dua kolam
renang air mancur yang mengapit jalan masuk ke Louvre, “Piramida ini memang
banyak menuai kontroversi kok. Mantan presiden Perancis yang memesannya dalah
Ferdinand Mitter. Banyak yang mencemooh dia dan menganggapnya mengidap pharaoh complex.”
“Kompleks Fir’aun?’ tanyaku dengan dahi berkernyit.
“Yep! Itu karena hobinya adalah mengumpulkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan Mesir. Dia banyak mengisi museum-museum Perancis dengan
obelisk, artefak-artefak ataupun mumi dari Mesir. Perancang piramida ini
sendiri adalah seorang warga negara Amerika keturunan Cina. D.H Dai. Just so you know, piramida ini dibangun
dari 666 kaca, sesuai dengan pesanan Ferdinand. Kau tahu kan kalau orang-orang
Amerika atau Eropah percaya bahwa angka 666 adalah angka setan?”
“Sepertinya benar kalau si Ferdinand itu mengidap pharaoh complex,” gerutuku saat kami masuk melalui pintu putar.
“Jam segini tapi tumben Louvre tidak begitu ramai,” gumam Soni dan
mengedarkan pandangannya, “Tapi sebentar lagi pasti penuh. Kita cukup beruntung
sepertinya. Ayo!” ajak Soni saat kami sampai di serambi bawah tanah. Menurut
Soni, serambi ini dibnagun sekitar 57 kaki dari permukaan tanah di luar.
Luasnya 70.000 kaki. Dibangun dari pualam berwarna kuning tua dengan bebatuan
alam yang sewarna madu. Biasanya akan tampak hangat oleh sinar matahari. Disini
adalagi sebuah piramida kaca yang dibangun terbalik. La Pyramide Inverse, tergantung di langit-langit.
Kami terus melangkah menaiki tangga pendek ke arah sebuah terowongan bertulis sayap DENON. Naik
lift ke 2 tingkat lantai diatas dan sampai ke sebuah galeri. Sebuah galeri
besar dengan langit-langit tinggi yang disinari dengan cahaya terang lampu-lampu
tipis putih. Langkah kami sedikit bergema, bercampur dengan suara percakapan
disekitar kami. Sesekali kami melewati orang-orang yang diam berdiri, menikmati
keindahan lukisan-lukisan berukuran besar yang tergantung di dinding.
Perjalanan terus berlanjut ke Le
Grand Galerie. Disini banyak sekali adi karya dari pelukis-pelukis Italia
yang menurut Soni sangat menakjubkan. Aku sendiri yang tidak begitu mengerti
akan karya seni hanya mengangguk. Aku sendiri bahkan sempat dibuat kagum dengan
desain lantai galeri ini. Lantainya terhampar dalam desain geometris yang hebat
dengan potongan kayu tipis dan panjang. Efeknya menghasilkan ilusi singkat
sebuah jaringan multi dimensi. Kami seakan-akan mengambang saat berjalan
diatasnya.
“Ini disebut dengan Salle des Estat,”
jelas Soni saat kami tiba disebuah ruangan sempit berbentuk persegi dengan
pintu kayu, “Ruang ini adalah ruang cul de sac, atau jalan buntu.
Satu-satunya jalan keluar adalah pintu ini. Sekarang mumpung belum begitu
ramai, tutup matamu.”
“Hah?! Apaan sik?” sergahku sedikit merona.
“Tutup!” ujar Soni singkat dengan senyum simpulnya. Meski sedikit malu
karena ada beberapa orang yang melihat ke arah kami, aku menurut.
“Kalo kejutannya garing aku bakal langsung pulang,” gerundengku.
“Just relax and follow me!” kata
Soni dan menuntunk, “Nah, duduk perlahan,” kata Soni saat kakiku menyentuh
sebuah benda yang mirip kursi, “Sekarang buka matamu.”
Aku membukanya. Dan begitu pandanganku fokus, aku dibuat ternganga oleh
pemandangan didepanku.
Itu Monalisa!! Lukisan paling tersohor didunia, karya dari Leonardo da
Vinci. Lukisan yang sering kali menjadi topik pembicaraan para ahli seni.
Lukisan yang bahkan sering menjadi sumber inspirasi berbagai jenis artis
didunia. Lukisan itu tergantung dalam sebuah dinding kaca plexi yang tebal.
“Ya Tuhan..............aku bisa melihat Monalisa secara langsung,” gumamku
takjub.
“Bagaimana menururtmu?” tanya Soni yang ada disampingku.
“Lukisan nya begitu halus dan................” aku mneyipitkan mata,
memperhatikan lukisan Monalisa dengan lebih seksama,
“Sepertinya pengurus
Louvre jarang membersihkan kacanya.”
Soni tertawa dengan analisaku, “Kau lihat lukisannya seperti
agak.............buram kan? Berkabut mungkin?” tanyanya yang aku jawab dengan
anggukan, “Gaya lukisan itu disebut dengan tehnik sfumato. Salah satu gaya
lukis yang jadi keahlian dari Leonardo Da Vinci,” jelas Soni.
“Aku kira lukisan Monalisa akan lebih besar,” gerutuku lagi, meski masih
terkagum-kagum akan indahnya.
“Ukurannya memang cuma sekitar 31 x 21 inci saja.”
“Senyumnya..........” gumamku, “Banyak yang membicarakan senyum Monalisa.
Senyumnya memang seakan-akan dia mengetahui sesuatu. Suatu hal rahasia yang
diketahui orang lain. Apa memang ada arti dibalik senyum Monalisa yang
misterius itu?”
Soni mengangkat bahu, “Banyak teori tentang itu beredar. Ada yang
mengatakan bahwa ada rahasia, semacam kode, yang Leonardo sembunyikan dalam
lukisan itu. Sementara yang lain mengatakan bahwa lukisan Monalisa ini terkenal
bukan karena senyum misteriusnya, tapi lebih karena pengakuaan dari Leonardo
sendiri yang mengatakan bahwa lukisan Monalisa, adalah karya terbaiknya. Kalau
kamu perhatikan, latar belakang di sebelah kiri dilukis lebih rendah dari yang
sebelah kanan. Efeknya, kalau kau melihat lukisan itu dari sebelah kiri,
Monalisa akan terlihat lebih besar dan lebih anggun.”
“Eh, bener!!” seruku setelah beberapa saat memperhatikannya, “Tapi
bagaimana dengan gendernya? Monalisa is a
girl, right? Bukankah banyak yang juga memiliki pendapat berbeda tentang
hal itu?
“Well, itu juga memang salah satu
hal yang konon menjadi misteri dari lukisan ini. Kalau kau tahu beberapa karya
Leonardo yang lain, kamu pasti paham kalau Leonardo, suka melukis orang-orang
yang terlihat androgini. Hal itu yang terkadang membuat orang-orang sulit
memahami jenis kelamin mereka. Kamu tahu nggak, kalo nama Monalisa sendiri
diambil darui nama Dewa Kesuburan Mesir, Amon. Dan pasangannya, Dewi Isis yang
piktogram kunonya pernah ditulis dengan L’ISA.”
Aku terperangah, “He was a genius.”
“And a bit of a wacko I might say.
Leonardo memang dikenal jeniusn dalam berbagai hal. Dia tidak hanya pandai
melukis. Dia juga pandai menemukan dan merancang senjata-senjata ataupun alat
penyiksa yang mengerikan. Ada juga yang bilang kalau dia punya pengetahuan
untuk merubah metal menjadi emas. Dia juga mempelajari anatomi tubuh manusia.
Tahu bagaimana? Dia mengambil mayat-mayat dari kuburan untuk belajar. Oh ya,
dia juga dikenal sebagai seorang gay yang flamboyan.”
“Dia.................gay?” gumamku setelah terdiam beberapa saat. Yang
dijawab oleh Soni dengan anggukan. Penjelasan Soni selanjutnya tidak begitu
kudengar. Aku lebih memperhatikan akan fakta bahwa Leonardo da Vinci, yang
dikenal jenius dan misterius, ternyata gay. Dan bagaimana Soni mengatakan akan
hal itu dengan santai. Pikiranku langsung melayang, mengajukan berbagai macam
pertanyaan yang berkelebat cepat di otakku.
Apa sebenarnya pendapat Soni tentang homoseksualitas?
Apa reaksinya jika tahu kalau aku.........menyukainya?
Lamunanku terputus saat serombongan turis dari Belanda, jika mendengar
pecakapan mereka, masuk. Soni yang sepertinya juga sadar kalau tempat ini akan
penuh, segera menarik tanganku untuk pergi dari sana. Meski sebelumnya aku
memaksanya untuk berfoto dengan latar lukisan Monalisa.
“Dengan pengunjung sebanyak ini, gak heran lukisan itu ditaroh dalam kaca
gitu,” gerutuku pelan saat kami harus berdesakan dengan beberapa pengunjung
yang baru masuk didepan pintu.
“Jangan salah. Monalisa sudah 2 kali dicuri. Terakhir tahun 1911 dari ruang
Salle impnetreble Louvre Le Salon Care.
Dan baru ditemukan dua tahun kemudian didasar sebuah koper di hotel Florence,
dan........”
“SON!!” aku sedikit berteriak memanggilnya saat beberapa orang yang
berdesakan masuk sehingga kami terpisah. Aku sudah terdorong beberapa langkah
dan Soni hilang tertutup oleh banyaknya pengunjung, “Excuse me! Maaf. Soni!!!!”
Panggilanku terputus saat tangan kananku digenggam oleh seseorang dan
ditarik dengan kuat. Aku baru tahu kalau Soni yang menarikku ketika kami berada
diluar ruangan itu. Nafasku jadi sedikit terengah. Bukan hanya karena sedikit
perang fisik tadi, tapi juga karena Soni yang kini mendekapku erat. Kemudian
dengan pelan dia melepasku.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Soni
Aku hanya mampu mengangguk tanpa mengangkat wajah, jengah.
“Syukurlah. Ayo pergi. Masih ada banyak tempat yang harus kita kunjungi,”
kata Soni. Kali ini dia melnagkah dengan satu tangan merangkul pundakku,
“Jangan khawatir. Aku nggak akan melepasmu,” kata Soni kemudian.
Kembali aku tak menjawab. Aku hanya mendekap tanganku ke dada. Mencoba
menenangkan detakan jantungku yang mulai gila-gilaan.
Siang itu, Soni juga membawaku mengunjungi Arch de Thriomphe yang megah. Lalu ke gereja Notredame yang klasik, juga Musee
d’Orsay. Sore harinya kami kembali jalan-jalan di kawasan Champs Elysees. Kali ini Soni membawaku
mampir juga ke Hagen Daaz. Aku memesan banana split berukuran jumbo.
Hagen Daaz hari ini lumayan rame. Banyak pengunjung dari berbagai ras yang
datang. Bule, kulit hitam, asia dan lain-lain. Aku menangkap
beberapa percakapan dalam bahasa Jepang, Belanda, Perancis dan Arab. Champs
Elysees dan sekitarnya terkadang membuatku merasa seperti dimenara Babel.
“Ntar malem kita kemana?” tanyaku sembari melahap banana split-ku.
“Sudah waktunya kita memakai setelan yang kita pesan di Hartnell,” kata
Soni dengan keriangan yang membuatku heran. Apalagi matanya yang bersinar
dengan semangat yang tak mampu kupahami. Cengirannya makin lebar saat melihat
kebingunganku, “You’ll see,” katanya
senang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar