Translate

Senin, 12 Juni 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle BAB 20




BAB 20


Pagi itu aku kembali bangun dengan perasaan ringan dan senang. Apalagi dengan ingatan tentang kebiasaan baru yang Soni lakukan sebelum kami tidur, mencium keningku. Ciuman lembut sama yang selalu membuatku terjaga untuk beberapa saat lamanya. Menikmati dan meresapi ciuman itu. Mengenang sensasi lembut bibirnya yang menyentuh keningku, sembari berbaring miring, memunggungingya. Aku khawatir jika aku tidur  menghadap ke arahnya, aku tak akan mampu menahan godaan untuk tidur dalam pelukannya. Guling yang menjadi pembatas kami terkadang terlihat sebagai penghalang yang menyebalkan. Semalam aku malah sempat terjaga sebentar, dan baru merasa lega dan tenang setelah mendengar desahan lembut nafas Soni yang teratur. Dia terlelap dengan begitu damainya disebelahku.

Aku terjaga karena kembali bermimpi tentang Soni. Mimpi dimana tubuh kami berdua menyatu dalam keadaan polos. Nyaris aku masih bisa merasakan begitu nyatanya rasa disaat kulit kami bergesekan. Belaian lembutnya ditubuhku terasa begitu nyata. Bahkan ingatan akan ciuman bergairah kami dalam mimpi bisa membuatku tersipu sekarang.  

Aaahhh......!

Satu sisi diriku merasa begitu kotor, jijik dan malu. Sementara sisi lainnya begitu berharap agar mimpi-mimpi itu terus datang setiap malam dan menjadi nyata.

Aku harus memaksa diriku untuk bangkit dari kehangatan tempat tidurku dan mandi. Saat aku baru saja mematikan shower, aku mendengar suara Soni yang memanggilku.

“Sebentar!! Mandii!!” jawabku seraya mengikat jubah mandi yang ku kenakan. Aku meraih handuk untuk mengusap rambut basahku dan keluar, “Darimana?” tanyaku pada Soni yang duduk ditepi ranjang sembari menonton tv.

“Ngambil barang kita yang dibawah. Dari Hartnell,” kata Soni dan menunjuk pada tumpukan kotak disamping tempat tidur, “Sudah jam sepuluh. Ayo cepat. Kita cari sarapan lalu lanjut touring-nya.”

“Aku ganti baju dulu,” tukasku dan meraih baju ganti yang aku siapkan di atas tempat tidur.



Selesai sarapan di restoran yang ada dibawah ( kami makan croissant, roti lapis daging dan susu coklat hangat yang membuatku berpikir kalo orang-orang Eropah itu suka makanan ringan. Sebagai orang Indonesia, aku dibilang belum makan kalau belum ada nasi yang masuk ke perut), kami melaju dijalanan kota Paris.

Siang ini Paris mendung. Matahari hanya bersinar sebentar. Udarapun terasa dingin. Terlalu dingin bagi aku yang berasal dari negara tropis. Untung saja mobil yang kami sewa memiliki mesin penghangat.

Dari jauh aku melihat menara Eiffel yang menjulang, hingga kemudian kami tiba di persimpangan Rue de Rivolli. Mobil terus melaju ke arah pepohonan Rue Castiglione yang menurut Soniadalah gerbang utara untuk masuk ke sebuah taman yang terkenal, Taman Tuilerier. Kalau orang-orang di New York memiliki Central Park, maka taman Tuilerier adalah central park-nya orang-orang Paris. Taman itu tak begitu ramai hari ini. Mobil terus melaju mengelilingi sebuah kolam bulat yang ada disana. Kami lalu sampai ke ujung taman yang ditandai dengan sebuah gerbang batu, Arc du Carrousel. Gerbang yang sempat membuatku meminta Soni menghentikan mobil untuk berfoto.

Soni lalu menunjuk ke sebuah gedung megah dikejauhan, “Kita kesana. Musee du Louvre.”

Kosakata bahasa Perancisku memang miris, tapi bahkan aku bisa menebak arti dari kata-katanya tadi, “Museum?” tanyaku kemudian saat kami kembali melaju.

Soni mengangguk, “Kamu tau Louvre? Louvre adalah salah satu museum paling terkenal didunia. Tau nggak, kalo Louvre juga merupakan gedung terpanjang di Eropah? Panjangnya 3 kali menara Eiffel kalau ditidurkan.”

Aku bengong dengan mulut terbuka, membuat Soni yang melihatku sekilas jadi tersenyum geli, “Bercanda kan?”

“Serius!” tegas Soni, “Ada plaza terbuka seluas sejuta kaki diantara sayap-sayap museum Louvre. Dan plaza itu bahkan tidak bisa mneyaingi luas bagian muka museum. Kalau ditotal, ada sekitar 65.300an benda seni yang ada dalam museum Louvre. Kalo kamu pengen melihatnya, mungkin kamu butuh sekitar 5-6 hari untuk bisa melihat semuanya.”

What? Kita nggak akan menghabiskan waktu selama itu di museum itu kan?’

“Ya enggak lah,” sergah Soni dan tertawa, “Kita cuma akan melakukan kunjungan singkat. Ada seseorang yang sangat terkenal tinggal disana,” ujar Soni lagi.

Saat keluar dari mobil yang diparkir oleh Soni, aku masih terpana oleh kemegahan gedung museum Louvre yang bernuansa Renaissance. Begitu menawan. Terkesan sebagai sebuah relik sejarah yang masih berdiri di abad modern ini. Pintu masuknya merupakan sebuah piramida kaca bening yang berdiri didepan gedung. Tampak sedikit kontras, mengingat gedung Louvre yang bernuansa klasik kuno, sementara piramida kaca itu boleh dibilang bernuansa neo modern. Tambah lagi bila dipikir bahwa piramida adalah hasil kebudayaan masyarakat Mesir.

Dan tentu saja akupun langsung ribut ngajak Soni buat foto bareng. Kami sempat meminta bantuan seorang bapak-bapak untuk mengambil foto kami berduda.

“Kamu pasti cukup heran dengan adanya piramida ini kan? Bagaimana karya seni yang bernuansa Mesir bisa berada di depan sebuah museum Eropah klasik?” ujar Soni seperti menebak isi kepalaku saat kami berjalan diantara dua kolam renang air mancur yang mengapit jalan masuk ke Louvre, “Piramida ini memang banyak menuai kontroversi kok. Mantan presiden Perancis yang memesannya dalah Ferdinand Mitter. Banyak yang mencemooh dia dan menganggapnya mengidap pharaoh complex.

“Kompleks Fir’aun?’ tanyaku dengan dahi berkernyit.

“Yep! Itu karena hobinya adalah mengumpulkan segala sesuatu yang berhubungan dengan Mesir. Dia banyak mengisi museum-museum Perancis dengan obelisk, artefak-artefak ataupun mumi dari Mesir. Perancang piramida ini sendiri adalah seorang warga negara Amerika keturunan Cina. D.H Dai. Just so you know, piramida ini dibangun dari 666 kaca, sesuai dengan pesanan Ferdinand. Kau tahu kan kalau orang-orang Amerika atau Eropah percaya bahwa angka 666 adalah angka setan?”

“Sepertinya benar kalau si Ferdinand itu mengidap pharaoh complex,” gerutuku saat kami masuk melalui pintu putar.

“Jam segini tapi tumben Louvre tidak begitu ramai,” gumam Soni dan mengedarkan pandangannya, “Tapi sebentar lagi pasti penuh. Kita cukup beruntung sepertinya. Ayo!” ajak Soni saat kami sampai di serambi bawah tanah. Menurut Soni, serambi ini dibnagun sekitar 57 kaki dari permukaan tanah di luar. Luasnya 70.000 kaki. Dibangun dari pualam berwarna kuning tua dengan bebatuan alam yang sewarna madu. Biasanya akan tampak hangat oleh sinar matahari. Disini adalagi sebuah piramida kaca yang dibangun terbalik. La Pyramide Inverse, tergantung di langit-langit.

Kami terus melangkah menaiki tangga pendek ke arah  sebuah terowongan bertulis sayap DENON. Naik lift ke 2 tingkat lantai diatas dan sampai ke sebuah galeri. Sebuah galeri besar dengan langit-langit tinggi yang disinari dengan cahaya terang lampu-lampu tipis putih. Langkah kami sedikit bergema, bercampur dengan suara percakapan disekitar kami. Sesekali kami melewati orang-orang yang diam berdiri, menikmati keindahan lukisan-lukisan berukuran besar yang tergantung di dinding.

Perjalanan terus berlanjut ke Le Grand Galerie. Disini banyak sekali adi karya dari pelukis-pelukis Italia yang menurut Soni sangat menakjubkan. Aku sendiri yang tidak begitu mengerti akan karya seni hanya mengangguk. Aku sendiri bahkan sempat dibuat kagum dengan desain lantai galeri ini. Lantainya terhampar dalam desain geometris yang hebat dengan potongan kayu tipis dan panjang. Efeknya menghasilkan ilusi singkat sebuah jaringan multi dimensi. Kami seakan-akan mengambang saat berjalan diatasnya.

“Ini disebut dengan Salle des Estat,” jelas Soni saat kami tiba disebuah ruangan sempit berbentuk persegi dengan pintu kayu, “Ruang  ini adalah ruang cul de sac, atau jalan buntu. Satu-satunya jalan keluar adalah pintu ini. Sekarang mumpung belum begitu ramai, tutup matamu.”

“Hah?! Apaan sik?” sergahku sedikit merona.

“Tutup!” ujar Soni singkat dengan senyum simpulnya. Meski sedikit malu karena ada beberapa orang yang melihat ke arah kami, aku menurut.

“Kalo kejutannya garing aku bakal langsung pulang,” gerundengku.

Just relax and follow me!” kata Soni dan menuntunk, “Nah, duduk perlahan,” kata Soni saat kakiku menyentuh sebuah benda yang mirip kursi, “Sekarang buka matamu.”

Aku membukanya. Dan begitu pandanganku fokus, aku dibuat ternganga oleh pemandangan didepanku.

Itu Monalisa!! Lukisan paling tersohor didunia, karya dari Leonardo da Vinci. Lukisan yang sering kali menjadi topik pembicaraan para ahli seni. Lukisan yang bahkan sering menjadi sumber inspirasi berbagai jenis artis didunia. Lukisan itu tergantung dalam sebuah dinding kaca plexi yang tebal.

“Ya Tuhan..............aku bisa melihat Monalisa secara langsung,” gumamku takjub.

“Bagaimana menururtmu?” tanya Soni yang ada disampingku.

“Lukisan nya begitu halus dan................” aku mneyipitkan mata, memperhatikan lukisan Monalisa dengan lebih seksama, 
“Sepertinya pengurus Louvre jarang membersihkan kacanya.”

Soni tertawa dengan analisaku, “Kau lihat lukisannya seperti agak.............buram kan? Berkabut mungkin?” tanyanya yang aku jawab dengan anggukan, “Gaya lukisan itu disebut dengan tehnik sfumato. Salah satu gaya lukis yang jadi keahlian dari Leonardo Da Vinci,” jelas Soni.

“Aku kira lukisan Monalisa akan lebih besar,” gerutuku lagi, meski masih terkagum-kagum akan indahnya.

“Ukurannya memang cuma sekitar 31 x 21 inci saja.”

“Senyumnya..........” gumamku, “Banyak yang membicarakan senyum Monalisa. Senyumnya memang seakan-akan dia mengetahui sesuatu. Suatu hal rahasia yang diketahui orang lain. Apa memang ada arti dibalik senyum Monalisa yang misterius itu?”

Soni mengangkat bahu, “Banyak teori tentang itu beredar. Ada yang mengatakan bahwa ada rahasia, semacam kode, yang Leonardo sembunyikan dalam lukisan itu. Sementara yang lain mengatakan bahwa lukisan Monalisa ini terkenal bukan karena senyum misteriusnya, tapi lebih karena pengakuaan dari Leonardo sendiri yang mengatakan bahwa lukisan Monalisa, adalah karya terbaiknya. Kalau kamu perhatikan, latar belakang di sebelah kiri dilukis lebih rendah dari yang sebelah kanan. Efeknya, kalau kau melihat lukisan itu dari sebelah kiri, Monalisa akan terlihat lebih besar dan lebih anggun.”

“Eh, bener!!” seruku setelah beberapa saat memperhatikannya, “Tapi bagaimana dengan gendernya? Monalisa is a girl, right? Bukankah banyak yang juga memiliki pendapat berbeda tentang hal itu?

Well, itu juga memang salah satu hal yang konon menjadi misteri dari lukisan ini. Kalau kau tahu beberapa karya Leonardo yang lain, kamu pasti paham kalau Leonardo, suka melukis orang-orang yang terlihat androgini. Hal itu yang terkadang membuat orang-orang sulit memahami jenis kelamin mereka. Kamu tahu nggak, kalo nama Monalisa sendiri diambil darui nama Dewa Kesuburan Mesir, Amon. Dan pasangannya, Dewi Isis yang piktogram kunonya pernah ditulis dengan L’ISA.”

Aku terperangah, “He was a genius.

And a bit of a wacko I might say. Leonardo memang dikenal jeniusn dalam berbagai hal. Dia tidak hanya pandai melukis. Dia juga pandai menemukan dan merancang senjata-senjata ataupun alat penyiksa yang mengerikan. Ada juga yang bilang kalau dia punya pengetahuan untuk merubah metal menjadi emas. Dia juga mempelajari anatomi tubuh manusia. Tahu bagaimana? Dia mengambil mayat-mayat dari kuburan untuk belajar. Oh ya, dia juga dikenal sebagai seorang gay yang flamboyan.”

“Dia.................gay?” gumamku setelah terdiam beberapa saat. Yang dijawab oleh Soni dengan anggukan. Penjelasan Soni selanjutnya tidak begitu kudengar. Aku lebih memperhatikan akan fakta bahwa Leonardo da Vinci, yang dikenal jenius dan misterius, ternyata gay. Dan bagaimana Soni mengatakan akan hal itu dengan santai. Pikiranku langsung melayang, mengajukan berbagai macam pertanyaan yang berkelebat cepat di otakku.

Apa sebenarnya pendapat Soni tentang homoseksualitas?
 
Apa reaksinya jika tahu kalau aku.........menyukainya?

Lamunanku terputus saat serombongan turis dari Belanda, jika mendengar pecakapan mereka, masuk. Soni yang sepertinya juga sadar kalau tempat ini akan penuh, segera menarik tanganku untuk pergi dari sana. Meski sebelumnya aku memaksanya untuk berfoto dengan latar lukisan Monalisa.  

“Dengan pengunjung sebanyak ini, gak heran lukisan itu ditaroh dalam kaca gitu,” gerutuku pelan saat kami harus berdesakan dengan beberapa pengunjung yang baru masuk didepan pintu.

“Jangan salah. Monalisa sudah 2 kali dicuri. Terakhir tahun 1911 dari ruang Salle impnetreble Louvre Le Salon Care. Dan baru ditemukan dua tahun kemudian didasar sebuah koper di hotel Florence, dan........”

“SON!!” aku sedikit berteriak memanggilnya saat beberapa orang yang berdesakan masuk sehingga kami terpisah. Aku sudah terdorong beberapa langkah dan Soni hilang tertutup oleh banyaknya pengunjung, “Excuse me! Maaf. Soni!!!!”

Panggilanku terputus saat tangan kananku digenggam oleh seseorang dan ditarik dengan kuat. Aku baru tahu kalau Soni yang menarikku ketika kami berada diluar ruangan itu. Nafasku jadi sedikit terengah. Bukan hanya karena sedikit perang fisik tadi, tapi juga karena Soni yang kini mendekapku erat. Kemudian dengan pelan dia melepasku.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Soni

Aku hanya mampu mengangguk tanpa mengangkat wajah, jengah.

“Syukurlah. Ayo pergi. Masih ada banyak tempat yang harus kita kunjungi,” kata Soni. Kali ini dia melnagkah dengan satu tangan merangkul pundakku, “Jangan khawatir. Aku nggak akan melepasmu,” kata Soni kemudian.

Kembali aku tak menjawab. Aku hanya mendekap tanganku ke dada. Mencoba menenangkan detakan jantungku yang mulai gila-gilaan.

Siang itu, Soni juga membawaku mengunjungi Arch de Thriomphe yang megah. Lalu ke gereja Notredame yang klasik, juga Musee d’Orsay. Sore harinya kami kembali jalan-jalan di kawasan Champs Elysees. Kali ini Soni membawaku mampir juga ke Hagen Daaz. Aku memesan banana split berukuran jumbo.

Hagen Daaz hari ini lumayan rame. Banyak pengunjung dari berbagai ras yang datang. Bule, kulit hitam, asia dan lain-lain.     Aku menangkap beberapa percakapan dalam bahasa Jepang, Belanda, Perancis dan Arab. Champs Elysees dan sekitarnya terkadang membuatku merasa seperti dimenara Babel.

“Ntar malem kita kemana?” tanyaku sembari melahap banana split-ku.

“Sudah waktunya kita memakai setelan yang kita pesan di Hartnell,” kata Soni dengan keriangan yang membuatku heran. Apalagi matanya yang bersinar dengan semangat yang tak mampu kupahami. Cengirannya makin lebar saat melihat kebingunganku, “You’ll see,” katanya senang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar