BAB 19
Saat terbangun, aku tidak mendapati Soni disampingku. Tempat tidur
disebelahku kosong dan sudah agak dingin. Hanya sedikit sisa kehangatan tubuh
Soni yang terasa saat aku berguling kesana. Akhirnya aku memutuskan untuk mandi
dulu sebelum mencarinya. Hampir satu jam aku mandi. Kebanyakan karena aku asyik
bermain dengan berbagai tombol dan kran kamar mandi sebelum akhirnya memutuskan
untuk berendam sejenak.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat aku selesai dengan ritual
mandiku. Paris benar-benar kota yang indah,
pikirku saat aku diam di balkon setelah berganti pakaian. Aku memakai pullover putih gading dengan garis
vertikal hitam Lacoste dengan celana berwarna sama yang dipilihkan Soni.
Pakaian yang kukenakan terasa lembut dan hangat. Matching dengan sepatu putih
dengan stripe abu-abu yang ku pakai.
Seumur-umur baru kali ini aku merasa mengenakan setelan yang terasa memiliki
tema dan nyambung. Dirumah biasanya aku main tabrak warna dan pola seenak udel.
Aku memegang besi pembatas balkon dan kembali mengedarkan pandanganku.
Melihat pada gedung-gedung modern dan lama di sekitar hotel yang bersinar
dengan lampu-lampu neonnya. Udara dingin malam Paris berhembus menerpaku. Aku
bahkan bisa mendengar suara-suara kendaraan yang lewat. Semua terasa begitu
berbeda. Mungkin karena banyaknya gedung-gedung yang arsitekturnya bernuansa
Renaissance kuno. Atau mungkin karena aku bisa melihat menara Eiffel di
kejauhan.
AKU BERADA DI
PARIS?!!!!!!piikirku.
Dan dadakupun mengembang. Terasa penuh dengan kebahagiaan. Setelah shock
yang beberapa jam lalu kurasakan karena kepergian kami yang mendadak, aku mulai
sadar sepenuhnya. Aku berada ditempat yang paling aku inginkan didunia. Tempat
yang selama ini hanya menjadi mimpi bagiku.
PARIS!!!
Tanganku mencengkeram besi pembatas balkon dengan kuat karena rasa antusias
yang membuncah. Hampir tak kusadari Soni yang berjalan masuk ke kamar.
“Sudah bangun?” tanya dia pelan dari belakangku.
Cepat aku berbalik. Aku tak dapat menahan senyum lebarku saat melihatnya,
“Aku di Pariss!!!!” pekikku girang tanpa mampu menahan tawa.
Soni memasang tampang cemberut, “Dan kamu baru nyadar? Apa kau bisa
mengenal siapa aku sekarang? Kepalamu terbentur tadi?” godanya.
Aku memekik keras dan menghambur ke pelukannya, “Ayo keluar! Aku mau
melihat menara Eiffel, jalan-jalan di Champs
Elysees, makan es krim di Hagen Daaz dan...........”
“Whoahh!! Hold it!” cegah Soni
dan menahanku yang jadi terlalu bersemangat, nyerocos begitu saja sembari
lompat-lompat kegirangan, “Kita akan melakukannya. Tenang saja. aku pasti akan
membuatmu terpesona dengan kota ini. Aku pemandu wisata yang ahli lho.”
Aku tertawa, “Narsis ih. Ayo cepat!!”
“Sebentar,” kata Soni dan kebali ke dalam kamar. Aku mengikuti
dibelakangnya. Dia mengambil sebuah syal dari bahan kashmir lembut berwarna
hitam. Syal sama yang kemarin siang dia pakaikan padaku, “Disini dingin. Jangan
sampai kamu sakit,” katanya sembari menyerahkannya padaku. Juga sebuah jaket
berwarna hitam.
“Lembut dan hangat,” komentarku saat mengalungkan syal itu ke leherku.
“Nyaman kan?” kata Soni yang juga sudah mengalungkan syalnya. Dengan
t-shirt turtleneck berwarna hitam, jaket dan syal yang berwarna sama, dia
terlihat menawan. Kulitnya masih tampak bersinar seperti biasanya, “Aku juga
sudah siapin ini,” katanya lagi dan menunjukkan sebuah kamera perekam serta
kamera digital.
“Cool!!” kataku bersemangat dan
meraih kamera digitalnya. “Aku yang bawa ini! Aku gak akan bisa memakai
camcoder-
nya. Smile!” kataku dan mengambil gambarnya.
Soni hanya tertawa menanggapiku, “Come
on. Let’s go!”
“PARIS, HERE WE COOMMEEE!!!”
teriakku dan berlari mendahuluinya keluar kamar, diiringi suara tawa Soni yang
mengikuti dibelakangku.
Champs Elysees benar-benar menakjubkan.
Jalan yang paling terkenal dan mewah di Paris ini ramai dengan turis lokal
maupun mancanegara. Aku menangkap suara-suara percakapan dalam bahasa Belanda,
Inggris, Jepang bahkan Arab, dari orang-orang yang berpapasan dengan kami.
Sebagian ada yang cuma jalan-jalan seperti kami, sebagian masuk ke dalam
berbagai butik terkenal yang tersebar di sepanjang jalan. Dari Versace, Armani,
Valentino, DKNY, Gucci, Prada, Chanel dan yang lainnya. Aku juga melihat cabang
Hartnell yang gedungnya terlihat mewah. Dan serunya, banyak butik disana yang
memberikan harga sale akhir tahun.
Bergantian aku dan Soni mengambil gambar kami berdua. Terkadang kami juga
meminta bantuan pada orang-orang yang lewat untuk membantu kami mengambil
gambar. Hal yang mungkin sudah umum dilakukan oleh turis, namun Soni bilang,
baru kali ini dia melakukannya di Paris. Aku yang mendengarnya hanya mampu menggerutu. Gila aja
kalo sampe ke Paris dan melewatkan kesempatan buat foto-foto untuk kenangan.
Tapi mungkin bagi Soni, Paris tidak ada bedanya dengan Bandung.
Lebih banyak lagi foto yang kami ambil di taman dekat menara Eiffel. Banyak
juga orang-orang yang berada disini. Sepertinya kehidupan malam di Paris justru
lebih hidup. Taman ini sendiri tampak begitu meriah. Semua sudut taman tampak
terang dengan banyaknya lampu yang berkerlipan. Bahkan pohon-pohon yang ada
disana juga dihiasi dengan ratusan lampu, hingga kadang mereka seolah-olah
terlihat memiliki ranting-ranting yang menyala. Beberapa juga dihias dengan
lampu-lampu yang ditaat menjuntai seperti tetesan air.
Menurut Soni, pada hari-hari biasa, tidak begitu banyak lampu. Lampu-lampu
itu biasanya dipasang pada bulan Desember saja, untuk menyongsong natal dan
tahun baru. Perayaan yang dinanti-nanti oleh masyarakat Paris.
Setelah puas merekam, berfoto dan jalan-jalan, Soni mengajakku ke salah
satu kafe terbuka yang banyak tersebar disana. Soni memesan coklat hangat. Aku
sendiri sebenarnya sudah pengen banget menikmati es krim di Hagen Daaz, tapi
Soni bilang besok siang saja, karena malam ini sudah cukup dingin. Tidak perlu
ditambah dengan es krim. Alasan tepat yang tidak bisa kubantah.
Kami duduk disana sembari mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Ada
beberapa pasangan yang lewat sembari bergandengan tangan. Tak jauh dari meja
kami bahkan ada sepasang kekasih, atau mungkin suami istri yang ngobrol mesra
sembari sesekali berciuman.
Ironis, pikirku kecut. Selama
ini aku selalu ingin merasakan bagaimana indahnya jika kita mencintai dan
dicintai oleh seseorang. Aku selalu iri pada Wina, Rika, Emmy ataupun Enny.
Mereka sudah pernah berpacaran. Mereka sudah tahu bagaimana rasanya jatuh
cinta. Rasanya dipuja oleh seseorang. Punya tempat untuk mencurahkan perasaan
mereka.
Tempat untuk berbagi dan bermanja. Merasa begitu diinginkan dan
dibutuhkan.
Aku tidak bilang bahwa hidupku selama ini total kering dan mengerikan. Aku
banyak menerima cinta dan kasih sayang dari Bunda, Wina dan yang lainnya. Tapi
bukan cinta seperti itu yang aku ingin rasakan. Aku ingin merasakan cinta
seorang pasangan jiwa. Orang spesial. Soulmate-ku.
Aku ingin menjadi tumpuan perhatian seseorang. Titik sentral dari jiwa
seseorang. Aku ingin dibelai, dimanja, dibutuhkan. Aku ingin tidur dengan perasaan damai, tahu bahwa
ada seseorang disuatu tempat di luar sana, di dunia ini, ,membutuhkanku.
Menginginkanku. Merindukanku.
Aku ingin itu!
Aku juga selalu berangan-angan untuk bisa pergi ke Paris ini dengan
kekasihku. Menikmati indahnya kota ini dengan orang yang aku cintai.
Dan kini, aku tak tahu harus tertawa bahagia ataukah menangis nelangsa.
Aku telah jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta. Tak ada gunanya lagi aku
menyangkal. Dan disinilah aku. Di Paris! Bersama dengan orang yang aku cintai. Tapi dia.................tak akan pernah
mencintaiku, pikirku sedih sembari menatap Soni yang ada didepanku. Dia
sedang melihat ke arah menara Eiffel. Tanpa sadar, aku sedikit menghela nafas
panjang saat menikmati pahatan indah Tuhan yang ada didepanku.
We’re just friends. Soni orang yang baik dan
murah hati seperti yang pernah Andri katakan padaku dulu.
Aku tertawa kecil, sedikit getir. Kutancapkan pandanganku pada gelas hangat
yang kupegang. Aku kira, kejadian seperti yang aku alami kini hanya ada dalam sinetron-sinetron
cengeng di Tv.
Well, kau tak boleh serakah TJ, pikirku lagi. Kau sudha hampir memiliki
apa yang selama ini kamu impikan. Kamu disini sekarang. Bersama dengan Soni,
orang yang kau cintai. Meski jelas sekali, perasaan ini hanya berjalan satu
arah. Tak akan ada romantisme seperti yang kau angankan. Tak akan ada acara
berjalan berdua, bergandengan tangan sembari berpelukan. Ataupun sesekali
berciuman seperti pasangan disana. Di tempat yang romantis ini. Setidaknya kau
harus bersyukur bahwa kau sudah memiliki sebagian dari mimpimu.
“Kok diam? ada apa?” tanya Soni sedikit mengejutkanku.
“Eh apa?” tanyaku bego, “Nanya apa tadi?”
Soni mendengus dan menghirup coklat hangatnya, “Jalan-jalan kemana
pikiranmu tadi? Ngebayangin pacar yang ada di Jakarta? Berharap dia yang ada
disini dan bukannya aku?”
Aku terperangah mendengarnya, “Lho? Kok gitu sik? Engga kok!” sahutku
cepat, kaget dengan reaksinya, “Aku gak mikir gitu kok. Lagian juga siapa yang
punya pacar? Swear! Aku gak punya
pacar. Lagipula tadi aku cuma....”
“Hei..!! Heii...!!” Soni meletakkan satu tangannya diatas tanganku untuk
memnenangkan, “I was joking,” katanya
sembari nyengir, membuatku sedikit merengut meski hatiku sedikit mencelos oleh
belaian tangannya.
“Rese!!” gerutuku dan menarik tanganku dengan grogi.
“Emang asyik ngebayangin apa tadi?”
“Kucing!” sahutku asal, dongkol dengan keisengannya.
“Kucing? Emang kamu punya kucing? Kok aku nggak pernah liat?” tanyanya
heran dengan sebelah alis terangkat.
GGGRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR!!!!!!
“Masih di pet shop kucingnya.”
“Lho kok?”
“Gak usah dibahas deh!” sungutku, tahu kalau pembicaraan kami tak jelas
akan kemana tuuannya. Bakalan makin ngaco
ntar kalo diterusin, pikirku.
“Dooooohhh segitunyaaa,” ujar Soni dan mengacak-acak rambutku, membuatku
kembali mengerang jengkel, “Ngambek gak dapat es krim nih? Ya udah ntar kita
mampir ke Hagen Daaz. Tapi jangan salahin aku kalo ntar kamu sakit perut
dan.....”
“Bukan itu!” potongku lagi, “Gak usah dibahas lagi deh. Kita mau kemana
lagi nih?”
“Kita nyari makan malam dulu, lalu kembali ke hotel. Besok kita lanjutin
jalan-jalannya. Aku mau bawa kamu menemui seseorang yang tersohor didunia ini.
Dan dia tinggal di Paris.”
“Tersohor?”
“Paling tersohor!” tegas Soni membuatku makin mnegerutkan dahi, “Besok.
Tunggu aja. Rahasia soalnya. Kita cari makan dulu yuk?”
“Eh ntar ajaa! Kita jalan-jalan lagi aja. Ntar makan malam di Mc D aja yak?
Disini buka 24 jam kan?”
“Besok kita bakal banyak acara.”
“Mc D!!!!”
“Iya iya!! Cepetan!” kata Soni mengalah dan bangkit. Aku segera mengikutinya.
“Aku pengen makan ayam gorengnya. Baru satu hari disini, tapi kok aku sudah
kangen rumah ya?”
“Kita bisa nyari resto masakan Indonesia? Mau?”
“Enggak! Pokoknya mah Mc D!” tegasku keukeuh.
Soni tertawa kecil, “You know,
semangat kayak gini yang ingin aku lihat dari kemarin. Bukannya diem kayak
orang lagi sakit gigi. Inget gimana kamu di pesawat kemarin dan pas kita baru
turun?”
“Cerewet! Namanya aja shock. Wajar dong. Ayok ah! Lapeeerr!!!”
Soni kembali tertawa. Lalu dengan gemas dia menjepit leherku dengan tangan
kirinya, sementara tangan kananya mengacak-acak rambutku dengan kuat. Aku
kembali terpekik dan langsung mengejarnya yang sudah ngacir duluan,
meninggalkanku yang dengan geram mengangkat bogem!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar