Translate

Senin, 12 Juni 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle BAB 21





BAB 21


Aku baru mengerti sekarang, kenapa Soni menyukai Hartnell. Mereka benar-benar tahu bagaimana membuat baju yang nyaman. Setelan yang ku pakai terasa sangat pas, membungkus tubuhku dengan lembut. Potongan bajunya juga tidak membuatku kaku atau sulit bergerak. Semula aku pikir aku akan merasa seperti tercekik dengan setelan resmi begini. Kini, justru aku merasa sebaliknya. Meski tadi sempet minta bantuan Soni untuk mengajari mengenakan dasi. Karena seumur-umur aku belum pernah diharuskan untuk menggunakan dasi panjang dengan setelan  tuxedo begini.

Begitu keluar dari kamar mandi, aku mendapati Soni yang berdiri didepan cermin, sedang mematut diri. Sama denganku, dia memakai kemeja berkerah dengan dasi yang dibaut dengan jas . Kemejanya berwarna coklat gelap, sementara punyaku putih, dan terlihat menyatu dengan jas hitamnya. Aku memandang pantulan tubuhnya yang terlihat dicermin. Seperti biasa, dia tampak menawan.

Soni.........

Begitu beradab, dewasa dan................elegan. Baru kali ini aku melihatnya dalam setelan resmi. Potongan jas yang dia kenakan seakan mempertegas bahu lebarnya. Menampilkan lengkung dari bahu, menyempit di bagian pinggangnya. Aku baru memahami apa yang disebut dengan V shape  saat melihatnya. Kemejanya yang terkancing rapi, entah mengapa membuatku berpikiran untuk membuka kancing-kancingnya, menyapukan tanganku ke dadanya yang bidang. Rambutnya telah tertata rapi, basah dan berkilat. Perpaduan penampilan dewasa yang jauh dari kesan tua dan aura remajanya, menimbulkan efek yang memaksaku untuk membasahi bibirku yang kering mendadak.

Dia begitu sempurna! Batinku dengan perasaan yang sedikit tercabik. Apalagi saat dia berjalan mendekatiku dengan langkah khas-nya. Harum parfum yang tercium oleh hidungku masih sama. Hanya saja, kali ini di tunjang oleh penampilannya sekarang, harum itu menimbulkan kesan berbeda. Jauh lebih menggoda.

"Dasinya nyaman? Gak bikin tercekik?” tanya Soni. Aku yang tak percaya diri untuk mengeluarkan suara, hanya menjawabnya dengan gelengan. Dia memperhatikanku sejenak, “Begini saja............” Soni mendekat dan tiba-tiba saja tangannya terulur dan membuka dasiku. Dia lalu membuka dua kancing kemejaku yang paling atas. Aku masih terdiam kaku, merinding oleh sensasi aneh yang merambatiku saat dia membuka kancing kemeja yang kukenakan. Pikiranku langsung membayangkan hal-hal ngawur luar biasa. Perutku bergejolak dengan hebat. Cepat aku melangkah mundur dengan wajah sedikit menunduk.

"Kenapa?” tanya Soni heran saat aku cepat-cepat menjauhkan diri.

"Kok dibuka sik? Butuh lebih dari sepuluh menit bagiku buat pasang dasi itu tadi!” gerutuku dan memandang bayanganku dicermin, berusaha sebisa mungkin untuk menghindari matanya.

Soni tertawa kecil, “Aku hanya takut kamu nggak nyaman. Kita lepas saja dasinya,” ujar Soni. Saat aku meliriknya, dia mengendurkan dasi yang dia pakai, melepasnya dan kemudian membuka dua kancing atas kemejanya. Aku bisa melihat sekilas kulit dadanya yang terlihat kontras dengan warna gelap kemejanya. Dan seketika itu juga, aku membayangkan tanganku menempel disana.

Gila!!

“Kamu punya gel rambut kan?” kataku cepat, mencoba mencari subyek aman.

“Kan ada dikamar mandi,” jawab Soni singkat.

Aku hanya nyengir dan cepat-cepat kembali masuk kekamar mandi, untuk menata rambut dan juga pikiranku. Dan mengingat penampilan Soni yang resmi namun toh terkesan casual tanpa dasi, aku menata rambutku dengan sedikit mengacaknya.

“Ayo kita pergi,” ajak Soni begitu aku kembali muncul.




Aku tak bisa menahan decakan kagumku saat kami sampai ditempat tujuan. Soni mengajakku ke sebuah kasino! Dan sepertinya juga bukan kasino biasa, karena aku melihat sebuah antrian panjang yang menunggu untuk masuk di depannya. Semula kukira kami akan ikut antri, namun Soni langsung menunju penjaga dan menyebutkan namanya. Kami di persilahkan dengan segera.

“Kamu belum pernah kesini?” tanya Soni tanpa dapat menahan senyumnya melihatku yang ternganga memandang ke sekeliling. Mulutku membuka tanpa ku sadari.

No! Tapi aku sering melihatnya di film,” kataku pelan, masih dengan nada takjub. Aku benar-benar terpesona. Bukan hanya karena interior ruangan yang mewah dan elegan, tapi juga oleh orang-orang yang ada diruangan ini. Aku bisa menangkap campuran gairah dan semangat yang menguar di udara dari para pengunjung. Aku juga bisa melihat berbagai macam ekspresi, lelah, senang, bahkan marah.

This is not a movie, in case you’re wondering.,” ujar Soni sembari menyambar 2 gelas tinggi minuman dari sebuah nampan yang dibawa oleh pelayan berseragam dan bersarung tangan putih. Mereka tak henti-hentinya berlalu lalang di sekitar kami, “Try this,” katanya dan menyodorkan satu padaku.

Aku menyesapnya dan merasakan sensasi manis yang aneh namun luar biasa di lidahku. Seakan-akan ada gelembung-gelembung kecil yang tertelan, membuatku mendecak beberapa kali.

Champagne,” jelas Soni singkat saat melihat tatapan tanya dimataku. Gelasnya sendiri sudah berkurang separuh.

“Jadi gini rasanya sampanye,” gumamku. Ini kali pertama bagiku. Minuman ini biasanya hanya bisa kubaca di buku atau melihatnya di Tv, “Enak!” sahutku singkat. Aku nyengir dan menandaskan minumanku. Belum puas, aku menyambar segelas lagi dari pelayan yang lewat, “Gratis nggak?”

Soni mengangguk, “Salah satu servis yang disediakan oleh pemilik kasino ini.”

“Kalo gitu, mumpung,” cengirku dan kembali menandaskan isi gelasku, ”Jarang-jarangan kan aku bisa minum ginian. Biasanya Cuma denger namanya doang,” selorohku membuat Soni tertawa kecil. Aku kembali menyambar segelas minuman, kali ini berwarna merah. Aku mencicipinya sedikit, “Eh ini apaan? Kok rasanya lain?” tanyaku heran.

“Anggur. Just becareful with the drinks, ok? Ingat, kita kesini untuk bersenang-senang. Bukan cuma minum. Nah, kamu mau main apa? Roullete? Poker? Black jack?” tawar Soni dan menggiringku untuk ke dalam, membaur dengan hiruknya ruangan.

I honestly don’t know. Aku sama sekali gak ngerti tentang kasino. I’ve never been in such a place like this.

“Kalau begitu kita coba roullete,” kata Soni dan mendekat ke sebuah meja dan menarikku, “Kau cuma harus memasang taruhan and let the luck decide.

“Gak takut kalau aku marah? Seingatku koin-koin itu memiliki nilai yang berbeda-beda, tergantung warnanya. Dan aku sama sekali gak ngerti nilai dari masing-masing warna.”

“Hei, kita datang untuk bersenang-senang kan? Just relax and enjoy the game,” kata Soni tersenyum dan melambai pada tumpukan koin yang kemudian di bawa ke hadapanku.

Aku tertawa kecil dan mengambil beberapa koin yang berwarna hitam. Aku menaruhnya dengan asal, tanpa tahu maksudnya. Ada perasaan yang menegangkan saat kami menunggu roda itu berhenti berputar. Dan ternyata aku kalah. Aku dan Soni hanya mampu mengerang dan tertawa. Dia lalu menyuruhku untuk cepat-cepat kembali memasang taruhan.
Dan aku mendapati bahwa bermain roullete, ternyata gampang dan menyenangkan. Yang mengerankan adalah, aku bisa sering menang. Mungkin cuma kemujuran pemula atau memang sedang bernasib baik. Entahlah.. Sekarang baru aku tahu, kenapa banyak orang kaya yang keranjingan untuk datang ke kasino. Teriakan-teriakan keras saat kami menang ataupun kalah, perasaan tegang saat menunggu roda berhenti berputar, sungguh menyenangkan. Belum lagi kaviar, champagne dan anggur serta entah apa lagi yang tak berhenti datang. Selain beberapa gelas champagne, aku tak ingat sudah menyesap berapa gelas anggur. Yang jelas, aku sangat menikmati malam ini.

Tumpukan koin didepanku juga sudah makin bertambah. Aku bahkan sempat memberi pada beberapa teman bermain kami yang kalah. Mereka tampak gembira dan mengucapkan terima kasih serta beberapa kalimat lain yang kemungkinan hanya pujian. Aku cuma tertawa cekikikan, tak mengerti sama sekali bahasa Perancis yang mereka gunakan.

Soni yang menjadi penerjamahku tak dapat menahan senyumnya oleh tingkahku, “Kau mabuk,” kata Soni ditelingaku saat aku kembali memasang taruhan.

“What? Enggak kok. I’m not!” sangkalku dan nyengir sembari menepuk bahunya keras. Lalu kembali melonjak kegirangan saat aku tahau kalau aku kembali menang, “Kata orang-orang, orang mabuk itu............” aku berhenti sejenak karena keheranan sendiri dengan kalimatku tadi. Berapa kali aku mengatakan kata orang ya?

“TJ?”

“Pokoknya, kata mereka, orang mabok itu suka ngoceh gak karuan tanpa sadar. Aku masih sadar kok.”

Soni tak menyahut, hanya mengangkat sebelah alisnya dan memandangku.

I am fine,” tegasku sembari tertawa. Aku kembali memasang taruhanku dan kembali melonjak kegirangan karena kembali menang, “YAAAAAYY!!! Aku menaaanngg!! Kau tahu, aku mulai setuju dengan pepatah yang mengatakan bahwa jika kita suka memberi, maka suatu saat kita pasti akan menerima. What goes around, comes around. Is that right? Oh..whatever. but looak at me now. Apa yang aku berikan pada mereka tadi sudah kembali ku menangkan. Malah nambah dan.......”

Aku berhenti saat aku mulai sadar kalau barusan tadi, aku ngoceh tak karuan. Aku cegukan kecil dan sesaat kemudian merasa kalau tanah yang kupijak miring. Dan tubuhku seakan-akan melayang.

“TJ!!!”

“WAAAAOOWW!!! I guess you’re right. Sepertinya aku mulai mabuk,” kataku sembari nyengir mabok, senang karena ini pertama kalinya kau merasakannya, “Aku...............mabok?” kataku lagi seakan-akan tak percaya kalau aku bisa mengatakan hal itu. Aku cekikikan sendiri.

You think?!” dengus Soni dengan alis terangkat, “Ayo kita pulang,” ajaknya dan memapahku. Dia memberi isyarat pada 
pelayan yang segera mengemasi koin-koin kami. Sepertinya dia memintanya untuk menguangkan koin-koin itu.

“Aku..................aku tak pernah tahu rasanya..............mabuk. Rasanya.................tubuhku ringan, aneh. Well, aku bisa menyombongkan diri ke Wina dan yang lain, kalau aku sudah tahu....” aku harus berhenti karena cegukan, “...........sudah tahu rasanya mabuk,” sambungku dan melangkah dengan sedikit sempoyongan. Untung saja Soni sigap dan segera memapahku.

“Hati-hati,” katanya singkat dengan senyum simpulnya.

Aku membalasnya dengan cengiran, “Kau tahu berapa gelas tadi aku minum?”

“Sedikit. Kau hanya belum terbiasa dengan anggur dan champagne,” jawabnya.

Ganti aku yang mendengus keras mendengarnya, “Belum terbiasa? Aku mungkin gak akan terbiasa. Paling banter, biasanya aku cuma minum cola. Anggur yang pernah aku minum cuma anggur jamu,” kataku lalu kembali tertawa, “........ka-katanya anggur itu bagus untuk menghangatkan tubuh. Biasanya anggur itu yang diminum oleh ibu-ibu yang baru melahirkan. Kau tahu?”

“Tidak. Aku belum pernah mendengar anggur jamu. Tapi, kalau kau minum seperti tadi di Indonesia, mungkin kau sudah tak sadarkan diri.”

Well.............not here apparently,” kataku saat kami keluar dari pintu, “Tadi udara terasa dingin. Dan sekarang, sepertinya aku bisa berjalan dengan telanjang di jalanan Paris ini,” kataku dan membentangkan tanganku lebar-lebar, menghirup udara malam yang terasa sejuk. Padahal di awal malam tadi, aku sempat sedikit menggigil meski telah mengenakan setelan resmi yang lumayan tebal ini.

“Kau tak akan melakukannya kan?” tanya Soni dengan nada khawatir, hingga membuatku berpaling.

“Apa?”

“Berjalan dengan telanjang disini?” katanya dengan wajah sedikit ngeri.

Aku sontan ngakak melihat ekspresinya yang mungkin bisa di sebut takut luar biasa dengan ide ngawur yang ku cetuskan tadi , “Are you crazy? Tentu saja aku tidak akan melakukannya.”

“Syukurlah,” katanya dengan wajah lega.

“SARAP!!” rungutku cemberut dan menepuk bahunya dengan keras, “Mungkin aku mabuk, tapi aku tidak gila! Lagipula, yang ada ntar orang-orang pada lari ngeliat body-ku yang serem dan gak ada seksi-seksinya ini. Mending kamu aja yang telanjang.”

Ekspresi Soni kembali sedikit menegang, kaget.

“Kenapa? You’re cool and hot. I mean reeaaally H-O-T!! Seksi!! Semua orang pasti suka! Aku malah penasaran dari dulu, gimana kamu kalau telanjang. I swear I’m gonna take a picture dan memamerkannya ke Wina dan yang lain. Rika bisa langsung ayan kalo ngeliatnya! Emmy dan Enny bisa histeris!”

“APA?!!!”

Aku kembali tak bisa menahan tawaku melihat ekspresi Soni. Aku bisa melihatnya memucat ditempatnya berdiri, “I’m joking! Forget it!” kataku menenangkannya, “Ayo kita pergi,” kataku dan secara naluriah meraih lengannya, “Tapi aku belum mau kembali ke hotel. Kita jalan-jalan dulu, ok?” pintaku saat kami melangkah menuju mobil.

Fine...”kata Soni, mengalah.

“Enaknya kemana nih? Kamu kan guide-ku.”

“Bagaimana kalau kita ikut tur malam di Bateux Mouches?

“Apaan tuh?”

“Dermaga yang ada di sungai Seine. Kita bisa ikut tur menyusuri sungai Seine.”

Sounds great! Let’s go!



Tur malam ini tidak terlalu ramai. Mungkin karena ini adalah perjalanan terakhir pada jadwal malam ini. Kapal yang dibuat untuk tur adalah sebuah kapal besar bertingkat dengan atap terbuka. Mirip seperti bus pariwisata tanpa atap yang kulihat di majalah pariwisata Inggris.

Karena tidak terlalu ramai, dan karena keadaanku yang sedikit mabuk, kami memutuskan untuk mencari tempat duduk di paling belakang. Sedikit menjauh dari yang lain. Masih banyak kursi-kursi yang  kosong didepan kami.

Aku memejamkan mata, menikmati sensasi singkat kapal yang menghentak untuk kemudian bergerak menjauhi dermaga. Hembusan angin dingin terasa begitu segar di wajahku. Bangunan-bangunan di sepanjang garis sungai dengan lampu-lampunya yang berkerlipan terang lewat dengan cepat di kanan dan kiri kami. Aku merasa seakan-akan kami melaju menuju dunia mimpi yang indah. Apalagi saat kegelapan dan gemerlap lampu berkelebat bergantian. Memberi ilusi singkat, seolah-olah kami melewati lubang mistik yang akan membawa kapal ini ke gerbang sihir.

Aku nyengir dan berpaling pada Soni yang ada disebelahku.

I love Paris..............and I love you,” kataku pelan dan menarik lengannya untuk lebih mendekat dan kemudian menyandarkan kepalaku di bahunya. Kepalaku terasa ringan dan terkadang seperti melayang, hingga bersandar padanya dengan nyaman terasa begitu pas untuk ku lakukan. Aku mendesah pelan karenanya, “Thank you for taking me here. Aku benar-benar berterima kasih, Son,” lanjutku pelan.

“Ngantuk?” tanya Soni di telingaku.

No! Hanya sedikit pusing karena minuman tadi. Dan aku...............merasa seakan-akan kita sedang melaju ke dunia lain. Dunia mimpi. I FEEL LIKE FLYING!!!” kataku agak keras, membuat beberapa orang menoleh ke arah kami.

“Ssssttt!! Jangan keras-keras.”

Aku ngikik kecil dan menutup mulutku dengan tangan, “Maaf. But I’m so excited!” kataku dan kembali bersandar padanya. Memandang pada bayangan kabur yang berlalu di samping kami, “Tempat ini benar-benar romantis. Paris layak mendapatkan predikat kota yang romantis. Dan aku benar-benar beruntung bisa disini bersamamu, “ gumamku dan melingkarkan kedua tanganku pada lengannya, memeluknya. Aku lalu sedikit mengnagkat wajahku untuk bisa mencium rahangnya, “Thanks,” kataku pelan dan kembali menyandarkan kepalaku di bahunya dengan nyaman

Tak ada sahutan dari Soni. Tapi aku merasakan telapaknya mengusap tanganku yang memeluk lengannya.

Usapan lembut yang kembali membuatku mendesah pelan.

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle BAB 20




BAB 20


Pagi itu aku kembali bangun dengan perasaan ringan dan senang. Apalagi dengan ingatan tentang kebiasaan baru yang Soni lakukan sebelum kami tidur, mencium keningku. Ciuman lembut sama yang selalu membuatku terjaga untuk beberapa saat lamanya. Menikmati dan meresapi ciuman itu. Mengenang sensasi lembut bibirnya yang menyentuh keningku, sembari berbaring miring, memunggungingya. Aku khawatir jika aku tidur  menghadap ke arahnya, aku tak akan mampu menahan godaan untuk tidur dalam pelukannya. Guling yang menjadi pembatas kami terkadang terlihat sebagai penghalang yang menyebalkan. Semalam aku malah sempat terjaga sebentar, dan baru merasa lega dan tenang setelah mendengar desahan lembut nafas Soni yang teratur. Dia terlelap dengan begitu damainya disebelahku.

Aku terjaga karena kembali bermimpi tentang Soni. Mimpi dimana tubuh kami berdua menyatu dalam keadaan polos. Nyaris aku masih bisa merasakan begitu nyatanya rasa disaat kulit kami bergesekan. Belaian lembutnya ditubuhku terasa begitu nyata. Bahkan ingatan akan ciuman bergairah kami dalam mimpi bisa membuatku tersipu sekarang.  

Aaahhh......!

Satu sisi diriku merasa begitu kotor, jijik dan malu. Sementara sisi lainnya begitu berharap agar mimpi-mimpi itu terus datang setiap malam dan menjadi nyata.

Aku harus memaksa diriku untuk bangkit dari kehangatan tempat tidurku dan mandi. Saat aku baru saja mematikan shower, aku mendengar suara Soni yang memanggilku.

“Sebentar!! Mandii!!” jawabku seraya mengikat jubah mandi yang ku kenakan. Aku meraih handuk untuk mengusap rambut basahku dan keluar, “Darimana?” tanyaku pada Soni yang duduk ditepi ranjang sembari menonton tv.

“Ngambil barang kita yang dibawah. Dari Hartnell,” kata Soni dan menunjuk pada tumpukan kotak disamping tempat tidur, “Sudah jam sepuluh. Ayo cepat. Kita cari sarapan lalu lanjut touring-nya.”

“Aku ganti baju dulu,” tukasku dan meraih baju ganti yang aku siapkan di atas tempat tidur.



Selesai sarapan di restoran yang ada dibawah ( kami makan croissant, roti lapis daging dan susu coklat hangat yang membuatku berpikir kalo orang-orang Eropah itu suka makanan ringan. Sebagai orang Indonesia, aku dibilang belum makan kalau belum ada nasi yang masuk ke perut), kami melaju dijalanan kota Paris.

Siang ini Paris mendung. Matahari hanya bersinar sebentar. Udarapun terasa dingin. Terlalu dingin bagi aku yang berasal dari negara tropis. Untung saja mobil yang kami sewa memiliki mesin penghangat.

Dari jauh aku melihat menara Eiffel yang menjulang, hingga kemudian kami tiba di persimpangan Rue de Rivolli. Mobil terus melaju ke arah pepohonan Rue Castiglione yang menurut Soniadalah gerbang utara untuk masuk ke sebuah taman yang terkenal, Taman Tuilerier. Kalau orang-orang di New York memiliki Central Park, maka taman Tuilerier adalah central park-nya orang-orang Paris. Taman itu tak begitu ramai hari ini. Mobil terus melaju mengelilingi sebuah kolam bulat yang ada disana. Kami lalu sampai ke ujung taman yang ditandai dengan sebuah gerbang batu, Arc du Carrousel. Gerbang yang sempat membuatku meminta Soni menghentikan mobil untuk berfoto.

Soni lalu menunjuk ke sebuah gedung megah dikejauhan, “Kita kesana. Musee du Louvre.”

Kosakata bahasa Perancisku memang miris, tapi bahkan aku bisa menebak arti dari kata-katanya tadi, “Museum?” tanyaku kemudian saat kami kembali melaju.

Soni mengangguk, “Kamu tau Louvre? Louvre adalah salah satu museum paling terkenal didunia. Tau nggak, kalo Louvre juga merupakan gedung terpanjang di Eropah? Panjangnya 3 kali menara Eiffel kalau ditidurkan.”

Aku bengong dengan mulut terbuka, membuat Soni yang melihatku sekilas jadi tersenyum geli, “Bercanda kan?”

“Serius!” tegas Soni, “Ada plaza terbuka seluas sejuta kaki diantara sayap-sayap museum Louvre. Dan plaza itu bahkan tidak bisa mneyaingi luas bagian muka museum. Kalau ditotal, ada sekitar 65.300an benda seni yang ada dalam museum Louvre. Kalo kamu pengen melihatnya, mungkin kamu butuh sekitar 5-6 hari untuk bisa melihat semuanya.”

What? Kita nggak akan menghabiskan waktu selama itu di museum itu kan?’

“Ya enggak lah,” sergah Soni dan tertawa, “Kita cuma akan melakukan kunjungan singkat. Ada seseorang yang sangat terkenal tinggal disana,” ujar Soni lagi.

Saat keluar dari mobil yang diparkir oleh Soni, aku masih terpana oleh kemegahan gedung museum Louvre yang bernuansa Renaissance. Begitu menawan. Terkesan sebagai sebuah relik sejarah yang masih berdiri di abad modern ini. Pintu masuknya merupakan sebuah piramida kaca bening yang berdiri didepan gedung. Tampak sedikit kontras, mengingat gedung Louvre yang bernuansa klasik kuno, sementara piramida kaca itu boleh dibilang bernuansa neo modern. Tambah lagi bila dipikir bahwa piramida adalah hasil kebudayaan masyarakat Mesir.

Dan tentu saja akupun langsung ribut ngajak Soni buat foto bareng. Kami sempat meminta bantuan seorang bapak-bapak untuk mengambil foto kami berduda.

“Kamu pasti cukup heran dengan adanya piramida ini kan? Bagaimana karya seni yang bernuansa Mesir bisa berada di depan sebuah museum Eropah klasik?” ujar Soni seperti menebak isi kepalaku saat kami berjalan diantara dua kolam renang air mancur yang mengapit jalan masuk ke Louvre, “Piramida ini memang banyak menuai kontroversi kok. Mantan presiden Perancis yang memesannya dalah Ferdinand Mitter. Banyak yang mencemooh dia dan menganggapnya mengidap pharaoh complex.

“Kompleks Fir’aun?’ tanyaku dengan dahi berkernyit.

“Yep! Itu karena hobinya adalah mengumpulkan segala sesuatu yang berhubungan dengan Mesir. Dia banyak mengisi museum-museum Perancis dengan obelisk, artefak-artefak ataupun mumi dari Mesir. Perancang piramida ini sendiri adalah seorang warga negara Amerika keturunan Cina. D.H Dai. Just so you know, piramida ini dibangun dari 666 kaca, sesuai dengan pesanan Ferdinand. Kau tahu kan kalau orang-orang Amerika atau Eropah percaya bahwa angka 666 adalah angka setan?”

“Sepertinya benar kalau si Ferdinand itu mengidap pharaoh complex,” gerutuku saat kami masuk melalui pintu putar.

“Jam segini tapi tumben Louvre tidak begitu ramai,” gumam Soni dan mengedarkan pandangannya, “Tapi sebentar lagi pasti penuh. Kita cukup beruntung sepertinya. Ayo!” ajak Soni saat kami sampai di serambi bawah tanah. Menurut Soni, serambi ini dibnagun sekitar 57 kaki dari permukaan tanah di luar. Luasnya 70.000 kaki. Dibangun dari pualam berwarna kuning tua dengan bebatuan alam yang sewarna madu. Biasanya akan tampak hangat oleh sinar matahari. Disini adalagi sebuah piramida kaca yang dibangun terbalik. La Pyramide Inverse, tergantung di langit-langit.

Kami terus melangkah menaiki tangga pendek ke arah  sebuah terowongan bertulis sayap DENON. Naik lift ke 2 tingkat lantai diatas dan sampai ke sebuah galeri. Sebuah galeri besar dengan langit-langit tinggi yang disinari dengan cahaya terang lampu-lampu tipis putih. Langkah kami sedikit bergema, bercampur dengan suara percakapan disekitar kami. Sesekali kami melewati orang-orang yang diam berdiri, menikmati keindahan lukisan-lukisan berukuran besar yang tergantung di dinding.

Perjalanan terus berlanjut ke Le Grand Galerie. Disini banyak sekali adi karya dari pelukis-pelukis Italia yang menurut Soni sangat menakjubkan. Aku sendiri yang tidak begitu mengerti akan karya seni hanya mengangguk. Aku sendiri bahkan sempat dibuat kagum dengan desain lantai galeri ini. Lantainya terhampar dalam desain geometris yang hebat dengan potongan kayu tipis dan panjang. Efeknya menghasilkan ilusi singkat sebuah jaringan multi dimensi. Kami seakan-akan mengambang saat berjalan diatasnya.

“Ini disebut dengan Salle des Estat,” jelas Soni saat kami tiba disebuah ruangan sempit berbentuk persegi dengan pintu kayu, “Ruang  ini adalah ruang cul de sac, atau jalan buntu. Satu-satunya jalan keluar adalah pintu ini. Sekarang mumpung belum begitu ramai, tutup matamu.”

“Hah?! Apaan sik?” sergahku sedikit merona.

“Tutup!” ujar Soni singkat dengan senyum simpulnya. Meski sedikit malu karena ada beberapa orang yang melihat ke arah kami, aku menurut.

“Kalo kejutannya garing aku bakal langsung pulang,” gerundengku.

Just relax and follow me!” kata Soni dan menuntunk, “Nah, duduk perlahan,” kata Soni saat kakiku menyentuh sebuah benda yang mirip kursi, “Sekarang buka matamu.”

Aku membukanya. Dan begitu pandanganku fokus, aku dibuat ternganga oleh pemandangan didepanku.

Itu Monalisa!! Lukisan paling tersohor didunia, karya dari Leonardo da Vinci. Lukisan yang sering kali menjadi topik pembicaraan para ahli seni. Lukisan yang bahkan sering menjadi sumber inspirasi berbagai jenis artis didunia. Lukisan itu tergantung dalam sebuah dinding kaca plexi yang tebal.

“Ya Tuhan..............aku bisa melihat Monalisa secara langsung,” gumamku takjub.

“Bagaimana menururtmu?” tanya Soni yang ada disampingku.

“Lukisan nya begitu halus dan................” aku mneyipitkan mata, memperhatikan lukisan Monalisa dengan lebih seksama, 
“Sepertinya pengurus Louvre jarang membersihkan kacanya.”

Soni tertawa dengan analisaku, “Kau lihat lukisannya seperti agak.............buram kan? Berkabut mungkin?” tanyanya yang aku jawab dengan anggukan, “Gaya lukisan itu disebut dengan tehnik sfumato. Salah satu gaya lukis yang jadi keahlian dari Leonardo Da Vinci,” jelas Soni.

“Aku kira lukisan Monalisa akan lebih besar,” gerutuku lagi, meski masih terkagum-kagum akan indahnya.

“Ukurannya memang cuma sekitar 31 x 21 inci saja.”

“Senyumnya..........” gumamku, “Banyak yang membicarakan senyum Monalisa. Senyumnya memang seakan-akan dia mengetahui sesuatu. Suatu hal rahasia yang diketahui orang lain. Apa memang ada arti dibalik senyum Monalisa yang misterius itu?”

Soni mengangkat bahu, “Banyak teori tentang itu beredar. Ada yang mengatakan bahwa ada rahasia, semacam kode, yang Leonardo sembunyikan dalam lukisan itu. Sementara yang lain mengatakan bahwa lukisan Monalisa ini terkenal bukan karena senyum misteriusnya, tapi lebih karena pengakuaan dari Leonardo sendiri yang mengatakan bahwa lukisan Monalisa, adalah karya terbaiknya. Kalau kamu perhatikan, latar belakang di sebelah kiri dilukis lebih rendah dari yang sebelah kanan. Efeknya, kalau kau melihat lukisan itu dari sebelah kiri, Monalisa akan terlihat lebih besar dan lebih anggun.”

“Eh, bener!!” seruku setelah beberapa saat memperhatikannya, “Tapi bagaimana dengan gendernya? Monalisa is a girl, right? Bukankah banyak yang juga memiliki pendapat berbeda tentang hal itu?

Well, itu juga memang salah satu hal yang konon menjadi misteri dari lukisan ini. Kalau kau tahu beberapa karya Leonardo yang lain, kamu pasti paham kalau Leonardo, suka melukis orang-orang yang terlihat androgini. Hal itu yang terkadang membuat orang-orang sulit memahami jenis kelamin mereka. Kamu tahu nggak, kalo nama Monalisa sendiri diambil darui nama Dewa Kesuburan Mesir, Amon. Dan pasangannya, Dewi Isis yang piktogram kunonya pernah ditulis dengan L’ISA.”

Aku terperangah, “He was a genius.

And a bit of a wacko I might say. Leonardo memang dikenal jeniusn dalam berbagai hal. Dia tidak hanya pandai melukis. Dia juga pandai menemukan dan merancang senjata-senjata ataupun alat penyiksa yang mengerikan. Ada juga yang bilang kalau dia punya pengetahuan untuk merubah metal menjadi emas. Dia juga mempelajari anatomi tubuh manusia. Tahu bagaimana? Dia mengambil mayat-mayat dari kuburan untuk belajar. Oh ya, dia juga dikenal sebagai seorang gay yang flamboyan.”

“Dia.................gay?” gumamku setelah terdiam beberapa saat. Yang dijawab oleh Soni dengan anggukan. Penjelasan Soni selanjutnya tidak begitu kudengar. Aku lebih memperhatikan akan fakta bahwa Leonardo da Vinci, yang dikenal jenius dan misterius, ternyata gay. Dan bagaimana Soni mengatakan akan hal itu dengan santai. Pikiranku langsung melayang, mengajukan berbagai macam pertanyaan yang berkelebat cepat di otakku.

Apa sebenarnya pendapat Soni tentang homoseksualitas?
 
Apa reaksinya jika tahu kalau aku.........menyukainya?

Lamunanku terputus saat serombongan turis dari Belanda, jika mendengar pecakapan mereka, masuk. Soni yang sepertinya juga sadar kalau tempat ini akan penuh, segera menarik tanganku untuk pergi dari sana. Meski sebelumnya aku memaksanya untuk berfoto dengan latar lukisan Monalisa.  

“Dengan pengunjung sebanyak ini, gak heran lukisan itu ditaroh dalam kaca gitu,” gerutuku pelan saat kami harus berdesakan dengan beberapa pengunjung yang baru masuk didepan pintu.

“Jangan salah. Monalisa sudah 2 kali dicuri. Terakhir tahun 1911 dari ruang Salle impnetreble Louvre Le Salon Care. Dan baru ditemukan dua tahun kemudian didasar sebuah koper di hotel Florence, dan........”

“SON!!” aku sedikit berteriak memanggilnya saat beberapa orang yang berdesakan masuk sehingga kami terpisah. Aku sudah terdorong beberapa langkah dan Soni hilang tertutup oleh banyaknya pengunjung, “Excuse me! Maaf. Soni!!!!”

Panggilanku terputus saat tangan kananku digenggam oleh seseorang dan ditarik dengan kuat. Aku baru tahu kalau Soni yang menarikku ketika kami berada diluar ruangan itu. Nafasku jadi sedikit terengah. Bukan hanya karena sedikit perang fisik tadi, tapi juga karena Soni yang kini mendekapku erat. Kemudian dengan pelan dia melepasku.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Soni

Aku hanya mampu mengangguk tanpa mengangkat wajah, jengah.

“Syukurlah. Ayo pergi. Masih ada banyak tempat yang harus kita kunjungi,” kata Soni. Kali ini dia melnagkah dengan satu tangan merangkul pundakku, “Jangan khawatir. Aku nggak akan melepasmu,” kata Soni kemudian.

Kembali aku tak menjawab. Aku hanya mendekap tanganku ke dada. Mencoba menenangkan detakan jantungku yang mulai gila-gilaan.

Siang itu, Soni juga membawaku mengunjungi Arch de Thriomphe yang megah. Lalu ke gereja Notredame yang klasik, juga Musee d’Orsay. Sore harinya kami kembali jalan-jalan di kawasan Champs Elysees. Kali ini Soni membawaku mampir juga ke Hagen Daaz. Aku memesan banana split berukuran jumbo.

Hagen Daaz hari ini lumayan rame. Banyak pengunjung dari berbagai ras yang datang. Bule, kulit hitam, asia dan lain-lain.     Aku menangkap beberapa percakapan dalam bahasa Jepang, Belanda, Perancis dan Arab. Champs Elysees dan sekitarnya terkadang membuatku merasa seperti dimenara Babel.

“Ntar malem kita kemana?” tanyaku sembari melahap banana split-ku.

“Sudah waktunya kita memakai setelan yang kita pesan di Hartnell,” kata Soni dengan keriangan yang membuatku heran. Apalagi matanya yang bersinar dengan semangat yang tak mampu kupahami. Cengirannya makin lebar saat melihat kebingunganku, “You’ll see,” katanya senang.