Translate

Minggu, 27 November 2016

THE MEMOIRS, a gay Chronicle Bab 10

BAB 10




Hari ini aku kembali pulang sendiri karena piket buat bersihin kelas. Sekolah sudah sunyi. Hanya ada satu dua orang yang mengikuti kegiatan ekstra. Sebagian besar ada di lapangan olah raga. Wina dan yang lain udah ngilang dari tadi. Mereka pergi les bareng. Aku yang tak memiliki kemampuan buat ikutan les hanya bisa angkat tangan. Sebenernya tadi mereka menawarkan diri buat bolos les dan hang out bareng. Mereka agak gak enak hati melihatku. Tapi aku yakinkan mereka kalau aku baik-baik saja dan Cuma lelah.

Seberapapun dekatnya aku dengan mereka, aku tak mungkin cerita kalau aku menyukai...

Langkahku terhenti saat ku dengar keributan dari arah lapangan parkir. Disana aku melihat Soni sedang berkelahi dengan 5 orang. Salah satunya Brino!

Ini pasti buntut dari insiden kemarin! Apa yang harus aku lakukan?!! Pikirku panik.
Lalu ku lihat 2 orang teman Brino berhasil memegang tangan Soni. Brino yang mendapat angin, langsung beraksi. Bogemnya berkelebat dan menghantam perut Soni, membuatnya tersungkur.  Dan satu lagi mengenai sisi wajah Soni sehingga dia jatuh terjungkal.

“BERHENTI!!!!” teriakku ngeri saat kulihat Brino mengangkat kursi kayu yang biasa dipakai oleh tukang parkir duduk, dan hendak menghantamkannya pada Soni.

Aku tak tahu apa yang ku pikirkan. Aku hanya berlari sekencang mungkin dan kemudian melompat. Menjatuhkan tubuhku di atas tubuh Soni yang terjatuh. Mencoba melindunginya! Dan suara hantaman keras diikuti suara berderak terdengar.

Rasanya seperti dibanting ke sebuah tembok. Nafasku terhenyak dan sesak. Mataku perlahan-lahan mengabur.
Setelah itu aku tak tahu pasti apa yang terjadi. Hanya samar-samar ku dengar suara orang-orang berteriak, beberapa dari mereka berlarian dari kejauhan.

Dan kemudian, semuanya menjadi gelap. Tak terlihat!


**************************************************************************************************




 Saat aku membuka mata, aku sudah berada di ruang UKS sekolah. Tempat siswa-siswa yang biasanya cedera diistirahatkan.

“Kau sudah sadar?”

Aku tak bisa menjawabnya langsung. Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa yang menanyakan hal itu adalah Andri.

“Kenapa aku disini?” tanyaku pelan dan mengernyit saat kepalaku berdenyut sakit dan punggungku terasa ngilu.

“Masih belum ingat apa yang terjadi?” tanya Andri balik

Aku menatapnya heran. Dan setelah beberapa detik, akupun terjingkat, “SONI!!! Bagaimana .....”

“Aku tak apa-apa.”

Sahutan itu datang dari arah kananku. Soni yang duduk bersandar pada tembok menatapku datar. Ku lihat ada luka di sudut bibirnya.selain itu, dia terlihat baik-baik saja. Hanya sedikit pucat dan kotor bajunya.

“Kau baik-baik saja? Tadi ku lihat kau jatuh dan...”

“Andri, bisa tinggalkan kami sebentar,” pinta Soni pada temannya, memotongku. Andri tak berkata apa-apa lagi. Hanya mengangkat bahu dan kemudian meninggalkan kami berdua.

“Bagaimana Brino dan yang lainnya?” tanyaku lagi.

“Pihak sekolah dan kepolisian sudah mengurusnya. Masalah itu sudah di luar wewenang kita,” jelas Soni singkat.

Aku menghela nafas lega mendengar penjelasannya, “Syukurlah kalau mereka yang menangani masalahnya. Ini pasti gara-gara kejadian kemarin kan? Maaf ya? Kamu jadi ikutan susah karena membelaku,” pintaku dan memandangnya langsung, tapi langsung segera memalingkan muka seperti biasanya, karena Soni juga tengan melihatku. Aku mengalihkan pandanganku ke langit-langit ruangan, “Aku yang membuat Brino dan gerombolannya marah.”

“Kau bisa terluka parah tadi.”

Untuk sejenak aku hanya terdiam mendengar kalimat Soni. Entah itu sebuah pernyataan atau teguran, tapi setidaknya aku tak menangkap kemarahan disana. Kalimatnya terdengar datar dan hampir-hampir tanpa emosi.

“Mana bisa aku melihat orang yang ku kenal terancam, Son,” kataku, mencoba terdengar riang, “Itung-itung balas budi. Kau kan sudah menolongku sebelumnya. Anggap aja kita impas dan...”

Kalimatku terputus saat Soni dengan tiba-tiba berdiri dari duduknya. Aku menoleh kaget padanya. Kini dia terlihat marah.

“Lain kali berpikir dulu sebelum kau bertindak!” katanya dengan geram. Baru kali ini aku melihatnya menunjukkan emosi sejelas ini. Biasanya dia tak acuh dan datar, “Bisa saja kepalamu yang terkena telak. Kau bisa gegar otak atau lebih parah. Kau bisa mati! Kalau itu yang...”

“Hei..! Hei...!” aku benar-benar terperanjat dengan kepanikannya. Aku bangkit perlahan dan meraih tangannya yang terkepal erat. Pelan, ku tarik dia untuk duduk di pembaringan. Tapi Soni menarik tangannya dan menjauh dariku, sedikit  kaget. Aku sendiri segera sadar dengan kelancanganku yang asal menyentuhnya, “Maaf. Duduklah.....”

Mula-mula dia seperti hendak menolakku. Semula kupikir dia akan meledak dan segera menghambur pergi dari ruangan ini. Tapi dia hanya kembali duduk di kursinya tadi.

Aku diam memperhatikannya.

Dia disana. Duduk dengan wajah semakin pucat di setiap menitnya. Kedua tangannya mendekap perut dengan kuat. Perlahan, tubuhnya bergoyang maju mundur. Gerakannya makin lama makin konstan. Matanya terpaku pada suatu titik di lantai dan kulihat keringat mulai bermanik di dahinya.

Ya Tuhan!!! Dia terlihat begitu ketakutan. Tapi apa yang  membuatnya seperti ini? Aku benar-benar tak mengerti. Rasanya reaksinya terlalu berlebihan bila penyebabnya adalah aku. Toh aku sudah baik-baik saja, selain agak sakit di beberapa bagian tubuhku. Tapi selain itu, aku masih bisa berdiri tegak. Berfungsi normal. Tapi Soni...........

“Son.....?” panggilku pelan dan cemas.

“Aku sudah memanggil Dokter,” gumamnya lirih. Gerakan tubuhnya menjadi semakin cepat. Keringat di dahinya semakin bermanik, sementara tubuhnya terlihat tegang, “Dia akan segera datang. Kau akan diperiksa. Kau akan baik-baik saja. Baik-baik saja.....”

Kalimat terakhir itu terus dia gumamkan seperti orang yang tak sadar. Tuhanku!!! Sosoknya benar-benar terlihat seperti anak kecil yang ketakutan karena berbuat sesuatu yang besar. Sebuah kesalahan yang besar. Dia terlihat begitu mengibakan. Aku tak tahan melihatnya.  

“Son.............aku baik-baik saja,” kataku mencoba menenangkannya. Aku bangkit dengan sangat pelan agar tak membuatnya kaget dengan gerakan tiba-tiba, “Son......”

Lalu pintu ruang UKS terbuka. Seorang laki-laki berusia dengan baju rapi dan jas putih masuk. Jelas dia seorang dokter. Usianya mungkin di awal empat puluhan. Yang mengherankan, dia membawa segelas air

Soni yang melihatnya terlonjak bangun, “Dokter Iwan!”

“Soni, sekarang cepat minum dulu obat ini. Aku sudah berbicara dengan Roni,” katanya dengan senyum menenangkan. 
Dia mengangsurkan gelas berisi air putih tadi pada Soni sementara tangan kanannya mengulurkan dua butir obat.

“Dok, temanku...”

“Minum obat itu dulu,” potong Dokter Iwan tadi cepat dan dengan halus memaksa Soni untuk meminum obat yang dia berikan, “Apa tak ada tempat lagi untuk berbaring?” tanyanya padaku yang hanya diam memperhatikan. Dia mengedarkan pandangannya ke ruangan sempit itu. Sayangnya hanya ada satu tempat tidur disana.

Aku segera bangkit, “Dok, biar dia saja yang disini. Saya sudah tak apa-apa kok.”

“Tidak! Kau harus diperiksa dan.....” Soni memejamkan mata tanpa meneruskan kalimatnya. Sepertinya obat yang dia telan tadi adalah obat penenang dosis tinggi, dan obat itu bereaksi dengan cepat.

“Dokter...” kataku pelan. Dokter Iwan hanya mengangguk dan dengan perlahan menuntun Soni untuk berbaring. Tak ada perlawanan dari Soni. Dia berbaring tenang dengan mata terpejam. Dokter Iwan mengendurkan ikat pinggang dan membuka sepatunya. Aku yang duduk di kursi yang ada di samping ranjang hanya diam memperhatikannya.

“Dia baik-baik saja Dok?” tanyaku setelah ku lihat Dokter Iwan selesai dengan Soni.

Dokter Iwan tersenyum dan meraih tas kerjanya, “Bukankah pertanyaan itu seharusnya diajukan untukmu?” ujarnya dan mengambil stetoskop-nya, “Biar saya periksa dulu ya?” sambungnya lagi dan mendekat.

“Sebaiknya Dokter konsen ke Soni saja dulu. Keadaaannya jauh lebih mencemaskan dari saya.”

“Lho? Bukannya kamu yang cedera?” tanya Dokter Iwan lagi.

“Saya hanya sedikit luka luar saja Dok. Tapi saya lihat tadi Soni .....” agak aneh rasanya untuk mengungkapkannya dalam kata, “..............shock. Dia..........terlihat sangat panik dan tidak wajar.”

Sekali lagi Dokter Iwan tersenyum, “Saya tahu. Karena itu dia saya beri obat penenang. Kamu tak perlu cemas. Saya sudah menangani Soni. Sekarang, saya periksa kamu dulu, ok?”

Aku diam tak membantah.

“Kau..........tadi dipukul di kepala?” tanya Dokter Iwan setelah memeriksaku dengan stetoskopnya. Dia memeriksa kepalaku yang tadinya di perban. Perban itu dia buka perlahan.

“Sepertinya Dok. Saya tidak melihatnya. Waktu itu saya kena pukul dari belakang karena melindungi Soni. Tapi.......tidak kena telak menurut saya.”

“Pantas Soni panik,” gumam Dokter Iwan.

“Maksudnya Dok?” tanyaku bingung.

Dokter Iwan yang telah selesai memeriksaku hanya tersenyum, “Saya akan membersihkan lukanya dulu dan kemudian mengobatinya. Seperti yang kamu bilang tadi, hanya luka luar saja. Tak ada luka yang serius. Saya akan tulis resep buat staminamu. Dan hanya untuk berjaga-jaga, beberapa hari ke depan, hindari dulu kegiatan berat dan hindari benturan kepala yang keras ok? Jangan tidur untuk dua jam ke depan. Kemudian kalau kamu pusing dan muntah, segera hubungi no saya,” katanya tanpa memperdulikan pertanyaanku.

“Soni Dok?”

“Dia mungkin akan tertidur selama dua jam. Biarkan saja. Saya yang akan menghubungi sopirnya yang akan menjemputnya nanti,” kata Dokter Iwan dan memberiku resep obat.

Aku diam dan membiarkannya mengurus lukaku. Aku mencoba membaca tulisan yang dia tulis pada kertas resep, tapi tak bisa membacanya. Yang bisa kubaca hanya kop surat yang berisi nama dan tempat praktek Dokter Iwan, berikut nomor teleponnya.

“Nah, sudah selesai. Saya akan pulang dulu ok?” pamit Dokter Iwan setelah dia selesai mengobati dan memperban lukaku.

“Tapi Dok, biayanya...?”

“Sudah ada yang mengurus. Tenang saja. Obat itu juga tinggal diambil nanti. Tagihannya akan masuk ke kantor saya. Jadi, jangan risau,” kata Dokter Iwan setelah membereskan peralatannya, “Semoga le;as sembuh dan selamat siang.” Pamitnya dan pergi.

Aku bengong saja melihatnya.

Sesaat kemudian Andri masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh Rasti.

“Gimana?” tanya Rasti.

“Aku nggak apa-apa,” jawabku segera, “Tapi tadi dokter bilang, mungkin Soni akan tertidur selama dua jam. Nanti akan ada orang yang menjemputnya. Gimana? Ga apa-apa nih?”

“Tenang saja. Ada beberapa klub yang lagi kegiatan hari ini. Sekolah mungkin bakal buka terus sampe jam 5 sore ntar,” 
kata Andri menenangkan.

“Eh kamu yang luka, tapi kok Soni yang teler sih?” celetuk Rasti yang sepertinya sudah heran dari tadi. Tapi dia menahan diri dengan cukup baik.

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala, “Aku juga heran. Tapi sepertinya dia agak...........shock.”

Penjelasanku sepertinya malah menambah kebingungan Rasti, karena keningnya langsung mengernyit tak mengerti.

“Mungkin dia Cuma merasa bersalah aja sih. Boleh dibilang TJ luka karena telah melindunginya. Kalo kamu tadi tak melindungi Soni, mungkin dia akan luka parah,” ujar Andri.

“Yeaaahh................mungkin saja,” gumamku lirih. Tapi apakah reaksinya tidak berlebihan? Pikirku.

“Kalo gitu, kita biarkan saja Soni beristirahat. Rasti, kita harus bantu yang lain di klub. TJ......”

“Aku disini saja,” sergahku cepat, “Biar aku saja nungguin. Kali ada dia ntar dia butuh sesuatu.”

“Kamu juga istirahat lah,” saran rasti.

Aku mengangguk, “Ya, tentu. Andri, ada nomor telepon rumah Soni? Mungkin kita bisa memberitahu untuk membawakan baju ganti atau...”

Andri menggelengkan kepala, “Sayangnya aku hanya tahu nomor handphone dia saja. Kau kan tahu bagaimana Soni.”

“Yeeaahh, aku tahu,” jawabku pelan. Semoga saja Dokter Iwan sudah memberitahu sopir Soni untuk membawa keperluannya.

Andri tersenyum padaku, “Istirahat saja dulu, ok? Ayo Ras,” katanya dan beranjak pergi. Rasti mengikutinya setelah menepuk bahuku pelan.

Dan kembali aku hanya berdua di ruangan ini bersama Soni. Aku berdiri di samping ranjang dan memandangnya dengan seksama. Dia terlelap begitu tenangnya.

Bahkan pada saat seperti ini, dia terlihat begitu menarik, pikirku. Saat dia terlelap dengan wajah sedikit pucat. Aku menangkap kesan rapuh yang selama ini tak pernah aku lihat sebelumnya. Biasanya hanya kesan mellow yang aku tangkap. Tapi kini.................ada kerapuhan yang membayang darinya. Dia yang biasanya terlihat dingin, tak acuh dan nyaris tak tersentuh,  kini tampak mengibakan dan rapuh di mataku. Ada rasa haru yang sulit ku pahami menyentuh hatiku saat aku melihatnya seperti ini.

Benar-benar mengherankan. Cowok ini memiliki begitu banyak sisi yang misterius dan juga kompleks. Ada banyak sisi darinya yang menimbulkan tanya. Aku tak tahu apa penyebabnya, tapi segala hal tentangnya seakan-akan menarikku.

Aku lalu mendekat dan duduk di sisi pembaringan.

Aaaahhhh..... wajah ini. Wajah yang selalu saja ku lihat dan ingat setiap waktu. Wajah yang kerap kali muncul pada saat aku sendiri. Wajah yang hapir-hampir tak pernah lepas dari mataku.

Tanpa dapat ku tahan, tanganku terulur. Perlahan ku usap dahinya yang sedikit berkeringat, lalu turun ke sisi wajahnya. Adasedikit gerakan dimata Soni karenany. Tapi jelas, dia tak akan bangun karena pengaruh obat tadi. Wajahnya kembali tenang dalam beberapa detik kemudian. Dan kembali aku mengusap dahinya, turun ke pipi, dan ujung jariku berhenti di dagunya.

Perlahan, kuletakkan jari telunjukku di atas bibirnya. Bibir yang biasanya kemerahan dan basah, yang kini agak berwarna pucat. Bibir yang sering kulihat dan aku kagumi dari kejauhan. Bibir yang kadang membuatku tak tahan untuk menciumnya.

YA TUHAN!!!

Cepat aku tarik tanganku dan bangkit. Akku lekangkah pelan, kembali ke kursi tempatku duduk tadi dengan dada sesak akan kesadaran yang baru aku terima.

TUHANKU!! AKU BENAR-BENAR JATUH CINTA PADANYA!!!

Aku terperangah sendiri. Aku bangkit lagi dan dengan langkah limbung, aku bergerak menuju pintu, untuk kemudian berhenti di ambangnya. Mencoba mengumpulkan kesadaran dan kewarasanku.

Tidak! Ini tidak boleh!! Aku menyangkalnya. Tak mungkin seorang lelaki....

Ya Tuhan! Apa yang akan terjadi kalau ada yang tahu bahwa aku....

Ternyata semua tuduhan yang selama ini mereka ajukan adalah benar. Aku...............jatuh hati pada seorang pria lain. Aku penyuka sesama jenis! Percuma selama ini aku menyangkal. Mengatakan bahwa aku hanya kagum padanya. Mengagumi keindaha fisik yang dia miliki, kepribadiannya, prestasinya. Bukan jatuh hati seperti lazimnya seorang lelaki pada lawan jenisnya...

Perlahan aku berbalik dan melihatnya yang masih terlelap, kembali memperhatikannya dengan seksama. Wajahnya yang menawan, salah satu bentuk pahatan sempurna Tuhan pada makhluknya, tubuhnya yang jangkung hingga panjang tempat tidur darurat itu tidak bisa menampungnya dengan utuh, hingga aura yang terpancar darinya.

Belum pernah, selama aku hidup, aku mengagumi sosok manusia seperti aku mengaguminya!

Aku selalu merasa salut dan takjub dengan para bintang film, penyanyi ataupun orang-orang lain di dunia entertainment. Mereka yang selalu tampak sempurna dan berkilau di layar kaca ataupun majalah. Tapi jelas kekagumanku pada mereka, jauh berbeda dengan kekaguman yang aku rasakan pada Soni.

Dia didepanku. Dia nyata! Bisa aku sentuh. Dan bagiku, dia jauh lebih mempesona dan bersinar dibandingkan semua bintang-bintang yang pernah ku lihat!



Ya Tuhan!!

Aku jadi susah bernafas dalam ruangan ini. Aku harus pergi dan menjauhkan diri!!!

**************************************************************************************************


Sejak saat itu aku mulai membatasi diri!
Siang itu, sejak aku meninggalkanya di ruang kesehatan dan membiarkannya ditangani oleh Andri dan yang lain, aku 
sadar. Aku harus menjaga jarak dengannya. Bukan hanya bagiku, tapi juga bagi Soni. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Soni, jika dia tahu aku memiliki perasaan khusus terhadapnya. Aku tak sanggup membayangkan, jika suatu saat, dia akan menjauhi dan memandangku dengan jijik. Membenciku!

TIDAK!!!

Aku tak ingin semua itu. Ini masalahku. Dan aku yang harus menyelesaikannya. Dan akan lebih baik jika semuanya lu simpan sendiri. Hanya saja, aku harus menjauh dan mencoba untuk mendapatkan akal sehatku lagi. Tak ada yang boleh tahu tentang perasaanku padanya. Tidak juga Wina dan yang lain. Meski mereka sahabatku, aku tak yakin mereka mau mengerti. Bahkan aku sendiri ingin menyangkalnya.

Dan sejak hari itu pula, aku mengusahakan agar datang ke sekolah, tepat ketika bel masuk berdering. Aku tak ingin diam di kelas ataupun menanti kedatangan Soni ditempat parkir seperti yang biasa kami lakukan. Akan lebih baik kalau aku tak melihatnya dan langsung ke kelas untuk menerima pelajaran.

Pulang sekolahpun aku usahakan sesegara mungkin. Kebanyakan anak-anak yang pulang bawa kendaraan pulang agak belakangan, karena gerbang akan penuh dengan mereka yang berjalan pulang. Jadi aku hanya harus menyelinap dan pergi sebelum dia keluar dari kelas. Wina dan yang lain sempat protes dengan jadwalku yang kini aneh. Ku karang saja berbagai macam alasan pada mereka. Untungnya, banyak kegiatan ekstra yang aktif. Jadi aku agak tertolong.

Klub PA sendiri juga aktif. Dan entah harus merasa lega ataukah kecewa, seperti yang pernah Andri bilang, Soni jarang kumpul di klu. Aku hampir-hampir tidak pernah menemuinya disana. Hingga kadang aku tercabik antara harus merasa kecewa atau tidak.

Dan hari ini aku benar-benar kaget saat mendengar seseorang memanggilku ketika sedang buru-buru berangkat ke sekolah. Sudah hampir bel. Aku bisa langsung mengenal suara Soni yang terus memanggil di belakangku. Bukannya berhenti, aku malah mempercepat langkahku. Sementara jantungku juga ikut mempercepat detakannya.

“TJ!!!”

Kembali hatiku mencelos mendengarnya. Meski sebenarnya aku nyaris tak sanggup untuk menahan keinginanku berpaling, kembali melihat wajahnya. Melepas kangen yang tidak bisa lagi ku sangkal. Tapi aku tahu kalau akan lebih baik jika aku tak melakukannya. Karena jika aku menyerah, aku akan kembali langsung lumer.

“Hei!! Ga dengar?”

Sial!! Dia sudah menjejeri langkahku, “Maaf. Sebentar lagi bel,” sahutku tanpa mellihatnya.

“WHOAAAHH!! Tenang! Tak akan ada apa-apa meski kau telat 2 jam hari ini,” kata Soni dan menyambar lenganku. Aku yang kaget dengan refleks mengibaskan tanganku. Sayangnya, aku mengeluarkan tenaga terlalu besar. Hingga seakan-akan aku kena stroom.

Bukan hanya Soni yang kaget, aku sendiri sontan terdiam kaku dengan reaksiku.

“M-maaf...” kataku pelan dan melihatnya sekilas, untuk kemudian tertunduk. Mencoba menyembunyikan wajahku. Jangan sampai dia menyadari apa yang terjadi padaku. Karena kemungkinan besar, jika dia melihat wajahku, dia akan tahu.

“Apa yang..............”

“Maaf,” kataku cepat, mencoba menetralisir keadaan, “Pagi ini agak...............kacau. Ada sesuatu...............sesuatu....” gumamku tak jelas. Bingung harus mengatakan apa.

“Tapi kau......”

“Tolong jangan tersinggung,” pintaku lagi, “Aku tak bermaksud .............kasar. Hanya................kaget. Jadi...............kau tadi bilang apa?” tanyaku mencoba terdengar santai meski kurasa aku gagal dan hatiku kebat kebit tak karuan. Karena bingung, aku kembali melangkah, kali ini dengan langkah pelan.

“Para guru masih sedang rapat untuk mempersiapkan bimbingan bagi kami kelas 3,” jawab Soni sembari menjejeri langkahku. Masih denga nada bingung dala suaranya, “Yakin kau baik-baik saja. Kau............agak aneh pagi ini.”

Aku Cuma tertawa kecil, gugup. “Cuma agak banyak yang dipikirkan. Ada banyak..............tugas yang belum aku selesaikan.”

“Really? Tugas apa?”

“Eeuuuhhh.....” aku harus berpikir sebentar, “...........bahasa Indonesia. Kami diminta untuk membuat deskripsi tentang cara-cara pembuatan pasport dan... Tunggu dulu! Kamu kan sering ke luar negeri,” kataku yang baru sadar akan tugas itu, 

“Bisa jelaskan bagaimana proses dan cara-caranya?”

“Sebelumnya aku harus tanya, ada orang lain yang tahu pengalamanku ke luar?”

“Selain aku? Sepertinya nggak. Kenapa?” tanyaku heran.

“Tolong jangan katakan pada siapapun,” pintanya.

Meski heran, aku mengangguk menyetujuinya.

“Kita bicarakan nanti sepulang sekolah.”

“Jangan!” cegahku refleks. Lagi-lagi, baik aku ataupun Soni berhenti, bengong dengan reaksiku, “Maksudku..........tidak 
bisa kita bicarakan sekarang? Aku harus menyelesaikan tugas lain dan harus........” suaraku semakin melemah, sementara 

Soni menatapku tajam dengan pandangan menylidik, sehingga aku makin gugup dan salah tingkah.

Tuhanku! Hentikan diaaa!!!

Tubuhku jadi lemas, seakan-akan mengibarkan bendera putih, kalah! Aku mengusap wajahku dan menarik nafas panjang. Aku melangkah minggir dan menyandarkan punggungku ke pagar tembok sebuah rumah, entah milik siapa. Aku menunduk melihat sepatuku sampai kemudian tubuhku makin lemas dan akhirnya membuatku duduk berjongkok.
Sialan!!!

Aku mengumpat dalam hati. Mengumpat diri sendiri yang bereaksi dengan konyolnya. Kenapa sulit bagiku untuk bersikap konyol didepannya? Orang bodohpun pasti akan sadar kalau ada yang salah dengan sikapku.

“TJ, kau benar-benar aneh pagi ini. Apakah ada masalah...............denganku?” tanya Soni lagi.

Aku cepat-cepat menggeleng. Aaahhh....Soni. bukan kamu. Tapi aku yang bermasalah dengan diriku sendiri. Masalahnya ada pada diriku.

“Maaf...” gumamku pelan, “..............ada sesuatu...” aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya mampu kembali menunduk bingung.

“TJ..........ada apa?” tanya Soni dengan nada yang lebih bingung lagi dariku. Dan aku benar-benar tak tahu harus mengatakan apa. Aku sedikit mendongak saat ku dengar Soni melangkah maju sehingga bayangannya menutupi tubuhku. Dan saat itu, aku kembali disadarkan akan betapa jangkung dan besar tubuhnya bila dibandingkan aku. Seakan-akan dia mampu merengkuhku ke dalam pelukannya seakan-akan aku hanya sebuah boneka kecil.

Tanpa sadar aku menggigil. Cepat aku kembali menunduk.

“TJ.............apa aku melakukan sesuatu lagi yang menyinggungmu?”

“Tidak Son. Aku...”

“Maaf, ok?!” sambar Soni cepat, “Kalau ini masalah kemarin, aku benar-benar minta maaf. Aku mungkin kasar dan bersikap aneh waktu itu. Aku tak memiliki penjelasan lain selain khawatir kamu terluka karena melindungiku. Aku..”

“Son, it’s not that!” kataku cepat dan bangkit, “Aku hanya sedang...........”

Aku tak mampu meneruskan kalimatku. Sekarang saat aku benar-benar melihatnya, aku jadi terpaku sejenak. Dia sudah kembali mengubah penampilannya. Tak ada lagi cambang ataupun kumis serta semua atribut macho yang kemarin ada padanya. Wajahnya kembali mulus dan bersih. Hanya bagian cambangnya yang dia biarkan sedikit memanjang hingga di bagian bawah garis telinga. Ia mencukur sisanya. Meninggalkan bayang kebiruan samar di atas bibir dan dagunya.

Dia...............benar-benar menawan.

“TJ......?” panggil Soni pelan.

Seketika aku sadar dan menyentakkan diri dari lamunan. Aku menarik nafas yang enath sudah berapa lama tadi kutahan. Cepat aku memalingkan wajah dan kembali melangkah. Memberi sedikit ruang bagiku.

“TJ?!!” panggil Soni lagi dan menjejeriku.

“Ganti penampilan lagi?” tanyaku dengan nada yang ku harap terdengar bercanda.

“Baru sadar? Sudah beberapa hari ini,” katanya sedikit menggerutu.

Benarkah? Huh...... sepertinya aku terlalu sibuk menghindarinya sehingga tak menyadari akan hal itu.

“Bukannya kamu tak suka dengan penampilanku kemaren? Ku kira kau akan senang aku kembali ke gaya lama. Nggak taunya baru sadar sekarang. Kamu gak ngamuk gara-gara ini kan?”

“Son.............” desahku dan menggelengkan kepala resah, “Ini tak ada hubungannya denganmu. Aku Cuma ada sedikit masalah. Lagian, kamu juga gak harus dengerin aku kan? Kamu toh punya kebebasan bergaya seperti apapun maumu kan? Aku juga bego karena saranin kamu buat ganti penampilan kayak kemaren. Maaf ya..”

“Yeeaahh......sejujurnya aku juga lebih suka seperti sekarang. Kehebohan kemarin benar-benar........ bikin tak nyaman.”

Aku langsung teringat akan ucapanku yang begitu sarkas padanya di perpustakaan waktu itu, “Son......aku juga minta maaf atas kata-kataku yang kasar di perpustakaan waktu itu ya? Tak adil rasanya kalau kau menerima perlakuan seperti itu dariku. Aku tahu kamu tipe yang tidak menyukai kehebohan seperti itu. Aku Cuma.........”

Kembali aku tertohok. Apa yang mau ku katakan? Kalau aku cemburu? Kalau aku tak suka cewek-cewek itu mengerubutinya? Bahwa aku mau, Cuma aku yang memperhatikannya?

GILA!!!

“TJ.............”

Kembali aku meggelengkan kepala kuat-kuat untuk memperoleh kesadaranku, “Pokoknya maaf. Aku benar-benar sedang kacau,” kataku dan mencoba tertawa untuk menutupi kegugupan.

“Kau tahu, hanya dengan beberapa hari kita tak bertemu, kau jadi super aneh.”

“Hanya sedikit kacau!” bantahku, “Kau tahulah. Banyak tugas dan lainnya...”

“Jangan khawatir kalau tugas bahasa tadi. Aku akan bantu.”

“Thanks,” kataku.

“Sampai nanti pulang sekolah ya? Tunggu aku, ok?”
 
“Apa?” tanyaku. Tapi dia sudah berlari menjauh dan tak mendengarku lagi. Maksud dia tadi apa sih? Dia minta aku buat nunggu dia pulang sekolah ntar kan? Dia ngajak pulang bareng gitu?

DIA BILANG APA TADI?!!!!

THE MEMOIRS, a gay chronicle Bab 9

BAB 9 



Pagi itu aku melangkah dengan lesu ke sekolah. Kejadian sabtu kemaren benar-benar membuatku sulit tidur selama dua hari ini. Apalagi kalo mengingat tatapan mata Brino. Aku jadi gelisah, tak tenang. Benakku langsung dipenuhi pikiran-pikiran yang menyeramkan. Tapi semua itu tersingkirkan saat aku hampir sampai di kelas.

Entah kenapa, rasanya depan kelas kok jadi agak lebih rame dari biasanya ya? Banyak anak cewek lalu lalang. Udara jadi semerbak dengan bau berbagai macam parfum yang bikin puyeng. Alisku terangkat karena penuh heran dengan pemandangan yang tak biasa ini.

Di dalam kelas, ku lihat Wina dan yang lain asyik ngerumpi sembari duduk di atas meja.

“Nek, ada apaan sih?” tanyaku keras. Wina cuma melambai dan menyuruhku cepat-cepat mendekat.

“Lihat!” kata Wina singkat dan menunjuk ke arah lapangan parkir di luar. Disana, di dekat lapangan parkir ada segerombolan cewek yang ngumpul dan ngobrol seru.

“Apaan sih? Kok rame banget?” tanyaku penasaran.

“Mereka lagi nunggu seleb yang mo dateng?” jelas Rika dengan senyum simpulnya.

“Seleb?” ulangku bengong, “Emang ada seleb yang mo dateng? Ada event apaan sih? Ada shooting ya?”

“Bawel ih. Diem en liat aja dulu,” serobot Enny.

“Eh, tuh dateng!!” seru Wina, membuatku langsung berpaling.

Lho?! Itu kan....

Gerombolan cewek-cewek di luar mulai heboh. Ada yang bersorak, tepuk tangan, sampai mangacung-acungkan poster gede, yang entah tadi mereka letakkan dimana, dengan tulisan KAK SONI, WE LOVE YOU!!!!!!

Aku mendengus keras.

Soni sendiri kelihatan bingung dan kaget ketika dia mencopot helm dan memarkir motornya. Ekspresinya kosong dan kemudian heran. Keningnya langsung berkerut dalam. Dan teriakan-teriakan itu berlanjut dan semakin kenceng. Cewek-cewek itupun mulai beringas dan berebutan mengerumuni Soni. Untuk sejenak, cowok itu cuma diam terperangah. Detik berikutnya, dia cepat-cepat menerobos kerumunan massa yang mengelilinginya sembari melindungi wajahnyadari jepretan kamera. Butuh beberapa waktu bagi Soni untuk bisa lepas dari kerumunan dan berlari ke kelasnya.

Beberapa teman Soni yang sekelas menyambutnya dengan gelak tawa geli. Sebagian temen cowoknya yang tanggapun berusaha membantu, sementara yang lain segera menutup pintu kelas, mencegah kerumunan itu untuk masuk. Mereka hanya mampu membuat keributan di luar. Beberapa cewek keukeuh mencoba mengambil gambar Soni dari luar.

Aku memandang semua keributan itu dengan bengong, tak percaya. GILA!!!! Selebriti aja kalah. Lama-lama aku jadi gondok melihat gerombolan cewek yang masih berteriak heboh itu. Emang gak ada cara lain untuk menarik perhatian orang, selain bergerombol dan berteriak kenceng macam orang kesurupan gitu?

“Mungkin lain kali Kak Soni kudu bawa bodyguard ya?” celetuk Emmy.

Aku mendengus keras mendengar perkataannya, “Emang kurang kerjaan apa? Lo kira Soni itu siapa? Pangeran Inggris? Heran! Ngapain sih pada histeris norak gitu?” gerutuku sewot.

Untuk sejenak, Wina dan yang lain diam dan menatapku takjub.

“Elo ngigo apa sawan sih? Lo lupa, siapa yang dulu pertama kali histeris ngeliat Kak Soni? Elo kan?” tanya Wina.

“Histeris apaan? Biasa aja ih. Lagian, meski mungkin gue histeris, tapi gue kan gak sampe bikin poster dan arak-arakan gitu. Norak!” belaku kesal, “Lihat tuh! Kalap kek orang kesurupan. Ramenya ngalahin presiden yang mo lewat aja. Soni juga rese. Ngapain ngubah penampilan segala gitu. Emang dia pikir sekolah ini apa? Papan catwalk?”

“Eh, lo kok jadi sensi gini sih?” tanya Wina makin heran. Aku sudah membuka mulut hendak protes, namun urung saat bel berdering nyaring.

“Udah bel,” gumam Rika, “Eh ya, ada berita bagus. Jam pertama sampe jam empat ntar kosong. Gue denger, guru bahasa 
Indonesia sakit. Pak Tikno, lagi ke Jakarta pusat buat seminar,” lanjutnya girang.

“Yang bener?” tanya Wina semangat.

Emmy mengangguk seru, “Tapi ada tugas dari Bu Ina. Beliau minta kita buat bikin karangan prosedur tentang pembuatan pasport ma visa. Kita perlu narasumber nih. Dapat darimana dong?”

“Nah lho? Mo nyari kemana kita?”

“Lo punya kenalan yang pernah ke luar negeri TJ?” tanya Enny padaku. Sejenak aku terdiam dan ingat akan Soni yang udah bolak-balik ke luar negeri. Dia pasti mengerti dan bisa menjelaskan.

“Ada! Tapi gue lagi males ngomong ma dia,” cetusku judes dan bangkit, “Dan gue mo ke perpus aja. Kali aja ada buku yang bisa dijadiin referensi. Gue empet ngeliat gerombolan groupies norak di luar sana!” lanjutku dan ngeloyor pergi meninggalkan  gengku yang bengong melompong.

“Kesurupan setan apa sih dia?!” kudengar celetukanWina sebel. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku terus melangkah menuju perpustakaan sembari ngedumel gak jelas.

SWEAR!!! Aku jadi empet ngeliat tingkah cewek-cewek sarap itu. Sekolah jadi kayak Mall tempat jumpa fans. Soni juga gitu! Pake nurutin gue lagi! Ganti penampilan segala. Mestinya gue gak kasih dia ide buat melakukannya.

Perpustakaan sepi! Petugas yang jaga juga lagi duduk santai di mejanya. Seorang wanita separuh baya yang bertubuh subur. Bu Tina. Kelihatannya lagi ngemil. Gimana mo kurus? Batinku.

“Bu Tina, ada buku yang nerangin tentang cara bikin pasport ma visa gak?” tanyaku sembari mendekat.

Beliau mikir sejenak, “ Kalau buku khusus seperti itu..................sepertinya tidak ada. Coba kamu cari di buku tentang pariwisata. Rak paling ujung.”

Bakalan susah nih, pikrku lagi. Akupun segera ngeloyor menuju rak yang paling ujung setelah mengucapkan terimakasih padanya. Ada sekitar 10 rak buku besar di perpustakaan ini. Untuk ukuran SMU, sekolahku memiliki koleksi buku yang cukup lumayan. Tapi..........seperti umumnya perpustakaan, hanya sedikit siswa yang berkunjung. Apalagi betah.

Seperti yang Bu Tina bilang, ada beberapa buku tentang berwisata ataupun pariwisata itu sendiri disana. Aku mengambil 4 buku tebal dan segera membawanya ke bangku terdekat. Dan untuk beberapa lamanya aku mencoba tekun mencari informasi yang ku perlukan sembari berusaha keras mengenyahkan kehebohan di kelas tadi.

Dan setelah lebih dari setengah jam aku mencari di buku-buku itu, aku mendapati usahaku percuma.  Tak ada informasi tentang cara pembuatan pasport ataupun visa disana. Dengan lesu aku bangkit dan mengembalikannya.

“Ada dimana ya?” gumamku dan membaca sekilas judul-judul buku lainnya yang ada di rak, “Kalau gak ada di buku pariwisata, mungkin ada di buku...”

“Nyari buku apa?”

Aku terpekik kaget ada suara yang tiba-tiba terdengar begitu dekat dari arah belakangku. Aku berbalik dengan cepat dan hampir saja menabrak orang yang ada disana. Aku terkesiap kaget melihatnya.

Kudapati Soni berdiri dengan tenang seraya menatapku datar. Aku menghembuskan nafas keras dan memegang dadaku yang berdebar keras karena kaget tadi, “Jangan-pernah-lakukan-itu-lagi!” kataku memberi sedikit tekanan pada setiap katanya.

“Maaf,” kata Soni santai dengan sebelah alis terangkat menlihat reaksiku.

Aku mengibaskan tangan dan sedikit menjauh darinya. Tubuhku mulai agak meremang karena berada terlalu dekat dengannya. Dan kembali, aku mencium aroma floral segar parfumnya. Sepertinya aku tadi terlalu serius dalam mencari buku yang kuperlukan sehingga tak menyadari kehadirannya. Seharusnya, harum parfum yang dia gunakan bisa kusadari sebelum dia berdiri terlalu dekat dariku tadi.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku setengah berbisik sembari kembali mengalihkan perhatianku pada buku-buku yang ada di rak.

“Mencari ketenangan,” jawabnya singkat.

Tanpa sadar aku kembali mendengus sinis, sementara mataku menelusuri buku-buku disana tanpa menyadari apa yang sedang kucari, “Kenapa? Sudah bosan dengan sambutan anak-anak? Mereka tergila-gila dengan penampilan barumu.”

“Kau tak suka?” tanya Soni dengan nada heran.

Honestly? Tidak!” jawabku singkat.

“Kenapa? Ini idemu bukan?” tanya Soni makin heran.

“Ya. Dan aku mneyesalinya,” sahutku lagi setengah menggerutu.

“Jangan katakan kalau kau berpendapat aku tidak cocok dengan ini. You know what, kalau saja kau cewek, aku bisa mengatakan kalau kau sedang cemburu.”

Aku terbungkam dengan kalimat Soni yang pelan itu. Sebenarnya dia mengatakan kalimat itu dengan nada biasa. Tapi kalimat itu telak menghantamku. Tuhan!! Aku cemburu? Apa yang dia pikirkan?!!

“TJ?!”

Aku mengambil dua buku yang ada didepanku tanpa menlihat judulnya. Aku lalu kembali melangkah ke bangku yang tadi aku gunakan, “Jangan ngawur!” sergahku kemudian, menutupi kegugupanku. Aku duduk dan membuka buku itu tanpa tahu apa isinya, “Aku hanya tak menyukai kehebohan tadi. Jangan katakan kalau kau menikmati semua itu.”

Soni duduk didepanku dan menggeleng “Aku sama sekali tak menyukainya. Aku lebih menyukai kondisi yang kemarin. Lebih tenang,” sambungnya lagi datar.

Aku melihatnya dan tersenyum sinis, “Setahuku tak ada kata tenang dalam kasusmu. Ku dengar kau menjadi pusat perhatian anak-anak cewek satu sekolah sejak pertama kali masuk kesini. Menyenangkan punya banyak penggemar bukan?”

“Aku tak tahu dan tak peduli,” sahutnya cuek.

Aku yang sedari tadi berusaha tak melihatnya, mau tak mau mengangkat muka dan melihatnya sejenak. Tapi dengan cepat  kembali mengalihkan mataku pada buku didepanku. SUMPAH!! Dilihat dari dekat, Soni tampak jauh lebih menawan. Kulit wajahnya yang putih terlihat halus dan nyaris tak berpori. Mulus, bersih tanpa noda. Hanya titik-titik kebiruan bulu-bulu wajahnya saja yang membingkai. Bekas cukuran yang entah kenapa membuatku gatal ingin mengusapnya.

Aku menarik nafas sejenak,yang ternyata menjadi tindakan yang tidak tepat, karena harum parfumnya segera saja melingkupi.

Tanpa sadar mataku tertancap pada tangan Soni. Tangan yang tampak kuat, besar dan liat dengan rambut kehitaman yang lurus dan rebah. Terlihat nyaman untuk dibelai. Pikiranku langsung membayangkan bagaimana rasanya jika tangan itu berada diatas tubuhku. Membelaiku dengan perlahan.

SIALAN!!!

Aku cepat-cepat menurukan tanganku yang mulai gemetaran, sementara bagian bawah perutku bergolak hebat. Ada geliatan asing yang membuatku serta merta mendekap perutku, seakan-akan ada yang memukulnya. Wajahku terasa panas dalam hitungan detik.

AMPUN!!!

Pada saat seperti ini, kenapa tubuhku bereaksi gila-gilaan begini?!!! Padahal Cuma melihat tangannya. Sialan! Ada apa denganku?!!

“TJ?!!” panggil Soni lagi.

“Kau bilang kau tak tahu dan tak peduli?” ulangku, “Well, bukankah itu terdengar agak sombong? Rasanya terlalu naif kalau kau tak tahu semua perhatian yang mereka tujukan padamu bukan? Karena bahkan aku yang baru mengenalmu, bisa merasakan itu. Tapi kalaupun kau tahu, kau tak peduli? Benarkah? Bukankah kau juga tak mengeluh mendapatkannya? Seperti kehebohan tadi pagi. Kau menyukainya kan?”

“Apa?” tanya Soni heran dengan wajah sedikit kaget.

“Mungkin harus ada SONI fans club di sekolah ini. Usul yang menarik kan? Yep!!” kataku dan menyibukkan diri dengan bukuku, “Dan juga, aku bisa menjadi pengurusnya kalau kau mau,” ocehku lagi tanpa dapat menahan diri. Ya Tuhan, tolong bungkam mulutku sekarang juga!!!!

“Soni!!” panggil seseorang dari samping kami. Sepertinya salah seorang teman sekelas Soni, “Kau harus segera masuk kelas sekarang. Ayo!”

Soni melihatku sejenak dan kemudian bangkit. Dia berlalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi dengan wajah datar.
ANJRIT!!!

Aku mengumpati diriku sendiri. Sebenarnya aku tadi marah pada diriku sendiri. Ucapan sinis dan sarkas tadi meluncur begitu saja dari mulutku. Dan sepertinya tadi Soni marah. Oh dia PASTI marah. Ampuuunn!! Kenapa aku jadi tak bisa berpikir jernih?! Bukan salah Soni juga kalau anak-anak cewek sekolah ini histeris. Dia tidak meminta diperlakukan seperti itu. Dia tidak berencana. Jadi bodoh rasanya kalau aku menyalahkannya.

Sepertinya kedatanganku ke perpustakaan ini percuma. Yang ada di otakku hanyalah sosok Soni, senyum tipisnya, tangannya yang besar dan kuat, dan juga.....harumnya. dan setelah nyaris satu jam aku berkutat, aku menyerah. Aku harus segera kembali ke kelas, pikirku lesu.

Aku harus mencari cara untuk memperbaiki kesalahanku pada Soni. Dia tak menginginkan segala keributan ini. Bukan salahnya pula kalau tangannya, bisa membuat hati dan pikiranku kalang kabut begini. Dia toh tak berniat menggodaku. Dia hanya diam ditempatnya, sementara tubuhku bereaksi dengan sendirinya.

SHIT!!!

Kembali aku memaki diriku sendiri!

Ada apa dengan dirimu TJ?!!! Kembalikan pikiran sehatmu! Dia cuma seorang cowok. Sama sepertimu! Cuma seorang anak remaja yang memiliki paras menawan, tubuh menggoda dan aroma yang membuat benakmu terangsang dan...
Aku berhenti melangkah dan memejamkan mata. Aku tak sanggup meneruskan kalimat tadi! Ya Tuhan!! Jangan katakan kalau aku tepat seperti yang orang tuduhkan selama ini! Jangan katakan kalau aku.............jatuh cinta pada Soni! Pikirku ngeri. Kugelengkan kepala kuat-kuat.

 Tuhan tolong aku!!! Yakinkan otak dan pikiranku bahwa semua hanya bentuk kekaguman semata. Hanya mengaguminya, bukan jatuh cinta. Sama seperti remaja cowok lain yang begitu mengidolakan pemain bola ataupun bintang rock. Reaksi mereka pasti sama kan? Pasti akan malu-malu, salah tingkah bahkan terbayang seperti ini! Aku tak ubahnya seorang fans saja kan? Aku tak mau kalau harus menyandang predikat ban....

Bahkan memikirkannya saja sudah membuatku muak!
TJ!!”

Aku agak tersentak kaget saat Wina menepuk bahuku agak keras.
Muka lo agak pucat. Kenapa? Sakit?”

Aku menggelengkan kepala, “Engga Win. Gak papa,” sahutku cepat.
Darimana tadi?”
Perpustakaan. Nyari bahan buat tugas bahasa tadi,” jawabku pelan dan melangkah masuk ke dalam kelas.
Menemukan sesuatu?” tanya Wina yang ku jawab dengan gelengan, “Tenang aja lagi. Tugas itu ternyata buat tugas akhir semester. Jadi kita masih punya banyak waktu buat nyari nara sumber yang udah biasa ke luar negeri.”

Aku tak menanggapi berita itu dengan antusias. Aku hanya memberi Wina senyuman tipis untuk kemudian duduk di bagkuku. Diam!

Bagaimana cara minta maaf ke Soni?!!!