BAB 10
Hari ini aku kembali pulang sendiri karena piket buat bersihin kelas. Sekolah
sudah sunyi. Hanya ada satu dua orang yang mengikuti kegiatan ekstra. Sebagian
besar ada di lapangan olah raga. Wina dan yang lain udah ngilang dari tadi.
Mereka pergi les bareng. Aku yang tak memiliki kemampuan buat ikutan les hanya
bisa angkat tangan. Sebenernya tadi mereka menawarkan diri buat bolos les dan
hang out bareng. Mereka agak gak enak hati melihatku. Tapi aku yakinkan mereka
kalau aku baik-baik saja dan Cuma lelah.
Seberapapun dekatnya aku dengan mereka, aku tak mungkin cerita kalau aku
menyukai...
Langkahku terhenti saat ku dengar keributan dari arah lapangan parkir.
Disana aku melihat Soni sedang berkelahi dengan 5 orang. Salah satunya Brino!
Ini pasti buntut dari insiden kemarin! Apa yang harus aku lakukan?!!
Pikirku panik.
Lalu ku lihat 2 orang teman Brino berhasil memegang tangan Soni. Brino yang
mendapat angin, langsung beraksi. Bogemnya berkelebat dan menghantam perut
Soni, membuatnya tersungkur. Dan satu
lagi mengenai sisi wajah Soni sehingga dia jatuh terjungkal.
“BERHENTI!!!!” teriakku ngeri saat kulihat Brino mengangkat kursi kayu yang
biasa dipakai oleh tukang parkir duduk, dan hendak menghantamkannya pada Soni.
Aku tak tahu apa yang ku pikirkan. Aku hanya berlari sekencang mungkin dan
kemudian melompat. Menjatuhkan tubuhku di atas tubuh Soni yang terjatuh.
Mencoba melindunginya! Dan suara hantaman keras diikuti suara berderak
terdengar.
Rasanya seperti dibanting ke sebuah tembok. Nafasku terhenyak dan sesak.
Mataku perlahan-lahan mengabur.
Setelah itu aku tak tahu pasti apa yang terjadi. Hanya samar-samar ku
dengar suara orang-orang berteriak, beberapa dari mereka berlarian dari
kejauhan.
Dan kemudian, semuanya menjadi gelap. Tak terlihat!
**************************************************************************************************
Saat aku membuka mata, aku sudah berada di ruang UKS sekolah. Tempat
siswa-siswa yang biasanya cedera diistirahatkan.
“Kau sudah sadar?”
Aku tak bisa menjawabnya langsung. Butuh beberapa saat bagiku untuk
menyadari bahwa yang menanyakan hal itu adalah Andri.
“Kenapa aku disini?” tanyaku pelan dan mengernyit saat kepalaku berdenyut
sakit dan punggungku terasa ngilu.
“Masih belum ingat apa yang terjadi?” tanya Andri balik
Aku menatapnya heran. Dan setelah beberapa detik, akupun terjingkat,
“SONI!!! Bagaimana .....”
“Aku tak apa-apa.”
Sahutan itu datang dari arah kananku. Soni yang duduk bersandar pada tembok
menatapku datar. Ku lihat ada luka di sudut bibirnya.selain itu, dia terlihat
baik-baik saja. Hanya sedikit pucat dan kotor bajunya.
“Kau baik-baik saja? Tadi ku lihat kau jatuh dan...”
“Andri, bisa tinggalkan kami sebentar,” pinta Soni pada temannya,
memotongku. Andri tak berkata apa-apa lagi. Hanya mengangkat bahu dan kemudian
meninggalkan kami berdua.
“Bagaimana Brino dan yang lainnya?” tanyaku lagi.
“Pihak sekolah dan kepolisian sudah mengurusnya. Masalah itu sudah di luar
wewenang kita,” jelas Soni singkat.
Aku menghela nafas lega mendengar penjelasannya, “Syukurlah kalau mereka
yang menangani masalahnya. Ini pasti gara-gara kejadian kemarin kan? Maaf ya?
Kamu jadi ikutan susah karena membelaku,” pintaku dan memandangnya langsung,
tapi langsung segera memalingkan muka seperti biasanya, karena Soni juga tengan
melihatku. Aku mengalihkan pandanganku ke langit-langit ruangan, “Aku yang
membuat Brino dan gerombolannya marah.”
“Kau bisa terluka parah tadi.”
Untuk sejenak aku hanya terdiam mendengar kalimat Soni. Entah itu sebuah
pernyataan atau teguran, tapi setidaknya aku tak menangkap kemarahan disana.
Kalimatnya terdengar datar dan hampir-hampir tanpa emosi.
“Mana bisa aku melihat orang yang ku kenal terancam, Son,” kataku, mencoba
terdengar riang, “Itung-itung balas budi. Kau kan sudah menolongku sebelumnya.
Anggap aja kita impas dan...”
Kalimatku terputus saat Soni dengan tiba-tiba berdiri dari duduknya. Aku
menoleh kaget padanya. Kini dia terlihat marah.
“Lain kali berpikir dulu sebelum kau bertindak!” katanya dengan geram. Baru
kali ini aku melihatnya menunjukkan emosi sejelas ini. Biasanya dia tak acuh
dan datar, “Bisa saja kepalamu yang terkena telak. Kau bisa gegar otak atau
lebih parah. Kau bisa mati! Kalau itu yang...”
“Hei..! Hei...!” aku benar-benar terperanjat dengan kepanikannya. Aku
bangkit perlahan dan meraih tangannya yang terkepal erat. Pelan, ku tarik dia
untuk duduk di pembaringan. Tapi Soni menarik tangannya dan menjauh dariku,
sedikit kaget. Aku sendiri segera sadar
dengan kelancanganku yang asal menyentuhnya, “Maaf. Duduklah.....”
Mula-mula dia seperti hendak menolakku. Semula kupikir dia akan meledak dan
segera menghambur pergi dari ruangan ini. Tapi dia hanya kembali duduk di
kursinya tadi.
Aku diam memperhatikannya.
Dia disana. Duduk dengan wajah semakin pucat di setiap menitnya. Kedua
tangannya mendekap perut dengan kuat. Perlahan, tubuhnya bergoyang maju mundur.
Gerakannya makin lama makin konstan. Matanya terpaku pada suatu titik di lantai
dan kulihat keringat mulai bermanik di dahinya.
Ya Tuhan!!! Dia terlihat begitu ketakutan. Tapi apa yang membuatnya seperti ini? Aku benar-benar tak
mengerti. Rasanya reaksinya terlalu berlebihan bila penyebabnya adalah aku. Toh
aku sudah baik-baik saja, selain agak sakit di beberapa bagian tubuhku. Tapi
selain itu, aku masih bisa berdiri tegak. Berfungsi normal. Tapi
Soni...........
“Son.....?” panggilku pelan dan cemas.
“Aku sudah memanggil Dokter,” gumamnya lirih. Gerakan tubuhnya menjadi
semakin cepat. Keringat di dahinya semakin bermanik, sementara tubuhnya
terlihat tegang, “Dia akan segera datang. Kau akan diperiksa. Kau akan
baik-baik saja. Baik-baik saja.....”
Kalimat terakhir itu terus dia gumamkan seperti orang yang tak sadar.
Tuhanku!!! Sosoknya benar-benar terlihat seperti anak kecil yang ketakutan
karena berbuat sesuatu yang besar. Sebuah kesalahan yang besar. Dia terlihat
begitu mengibakan. Aku tak tahan melihatnya.
“Son.............aku baik-baik saja,” kataku mencoba menenangkannya. Aku
bangkit dengan sangat pelan agar tak membuatnya kaget dengan gerakan tiba-tiba,
“Son......”
Lalu pintu ruang UKS terbuka. Seorang laki-laki berusia dengan baju rapi
dan jas putih masuk. Jelas dia seorang dokter. Usianya mungkin di awal empat
puluhan. Yang mengherankan, dia membawa segelas air
Soni yang melihatnya terlonjak bangun, “Dokter Iwan!”
“Soni, sekarang cepat minum dulu obat ini. Aku sudah berbicara dengan
Roni,” katanya dengan senyum menenangkan.
Dia mengangsurkan gelas berisi air
putih tadi pada Soni sementara tangan kanannya mengulurkan dua butir obat.
“Dok, temanku...”
“Minum obat itu dulu,” potong Dokter Iwan tadi cepat dan dengan halus
memaksa Soni untuk meminum obat yang dia berikan, “Apa tak ada tempat lagi
untuk berbaring?” tanyanya padaku yang hanya diam memperhatikan. Dia
mengedarkan pandangannya ke ruangan sempit itu. Sayangnya hanya ada satu tempat
tidur disana.
Aku segera bangkit, “Dok, biar dia saja yang disini. Saya sudah tak apa-apa
kok.”
“Tidak! Kau harus diperiksa dan.....” Soni memejamkan mata tanpa meneruskan
kalimatnya. Sepertinya obat yang dia telan tadi adalah obat penenang dosis
tinggi, dan obat itu bereaksi dengan cepat.
“Dokter...” kataku pelan. Dokter Iwan hanya mengangguk dan dengan perlahan
menuntun Soni untuk berbaring. Tak ada perlawanan dari Soni. Dia berbaring
tenang dengan mata terpejam. Dokter Iwan mengendurkan ikat pinggang dan membuka
sepatunya. Aku yang duduk di kursi yang ada di samping ranjang hanya diam
memperhatikannya.
“Dia baik-baik saja Dok?” tanyaku setelah ku lihat Dokter Iwan selesai
dengan Soni.
Dokter Iwan tersenyum dan meraih tas kerjanya, “Bukankah pertanyaan itu
seharusnya diajukan untukmu?” ujarnya dan mengambil stetoskop-nya, “Biar saya
periksa dulu ya?” sambungnya lagi dan mendekat.
“Sebaiknya Dokter konsen ke Soni saja dulu. Keadaaannya jauh lebih
mencemaskan dari saya.”
“Lho? Bukannya kamu yang cedera?” tanya Dokter Iwan lagi.
“Saya hanya sedikit luka luar saja Dok. Tapi saya lihat tadi Soni .....”
agak aneh rasanya untuk mengungkapkannya dalam kata, “..............shock. Dia..........terlihat
sangat panik dan tidak wajar.”
Sekali lagi Dokter Iwan tersenyum, “Saya tahu. Karena itu dia saya beri
obat penenang. Kamu tak perlu cemas. Saya sudah menangani Soni. Sekarang, saya
periksa kamu dulu, ok?”
Aku diam tak membantah.
“Kau..........tadi dipukul di kepala?” tanya Dokter Iwan setelah
memeriksaku dengan stetoskopnya. Dia memeriksa kepalaku yang tadinya di perban.
Perban itu dia buka perlahan.
“Sepertinya Dok. Saya tidak melihatnya. Waktu itu saya kena pukul dari
belakang karena melindungi Soni. Tapi.......tidak kena telak menurut saya.”
“Pantas Soni panik,” gumam Dokter Iwan.
“Maksudnya Dok?” tanyaku bingung.
Dokter Iwan yang telah selesai memeriksaku hanya tersenyum, “Saya akan
membersihkan lukanya dulu dan kemudian mengobatinya. Seperti yang kamu bilang
tadi, hanya luka luar saja. Tak ada luka yang serius. Saya akan tulis resep
buat staminamu. Dan hanya untuk berjaga-jaga, beberapa hari ke depan, hindari
dulu kegiatan berat dan hindari benturan kepala yang keras ok? Jangan tidur
untuk dua jam ke depan. Kemudian kalau kamu pusing dan muntah, segera hubungi
no saya,” katanya tanpa memperdulikan pertanyaanku.
“Soni Dok?”
“Dia mungkin akan tertidur selama dua jam. Biarkan saja. Saya yang akan
menghubungi sopirnya yang akan menjemputnya nanti,” kata Dokter Iwan dan
memberiku resep obat.
Aku diam dan membiarkannya mengurus lukaku. Aku mencoba membaca tulisan
yang dia tulis pada kertas resep, tapi tak bisa membacanya. Yang bisa kubaca
hanya kop surat yang berisi nama dan tempat praktek Dokter Iwan, berikut nomor
teleponnya.
“Nah, sudah selesai. Saya akan pulang dulu ok?” pamit Dokter Iwan setelah
dia selesai mengobati dan memperban lukaku.
“Tapi Dok, biayanya...?”
“Sudah ada yang mengurus. Tenang saja. Obat itu juga tinggal diambil nanti.
Tagihannya akan masuk ke kantor saya. Jadi, jangan risau,” kata Dokter Iwan
setelah membereskan peralatannya, “Semoga le;as sembuh dan selamat siang.”
Pamitnya dan pergi.
Aku bengong saja melihatnya.
Sesaat kemudian Andri masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh Rasti.
“Gimana?” tanya Rasti.
“Aku nggak apa-apa,” jawabku segera, “Tapi tadi dokter bilang, mungkin Soni
akan tertidur selama dua jam. Nanti akan ada orang yang menjemputnya. Gimana?
Ga apa-apa nih?”
“Tenang saja. Ada beberapa klub yang lagi kegiatan hari ini. Sekolah
mungkin bakal buka terus sampe jam 5 sore ntar,”
kata Andri menenangkan.
“Eh kamu yang luka, tapi kok Soni yang teler sih?” celetuk Rasti yang
sepertinya sudah heran dari tadi. Tapi dia menahan diri dengan cukup baik.
Aku tersenyum dan menggelengkan kepala, “Aku juga heran. Tapi sepertinya
dia agak...........shock.”
Penjelasanku sepertinya malah menambah kebingungan Rasti, karena keningnya
langsung mengernyit tak mengerti.
“Mungkin dia Cuma merasa bersalah aja sih. Boleh dibilang TJ luka karena
telah melindunginya. Kalo kamu tadi tak melindungi Soni, mungkin dia akan luka
parah,” ujar Andri.
“Yeaaahh................mungkin saja,” gumamku lirih. Tapi apakah reaksinya
tidak berlebihan? Pikirku.
“Kalo gitu, kita biarkan saja Soni beristirahat. Rasti, kita harus bantu
yang lain di klub. TJ......”
“Aku disini saja,” sergahku cepat, “Biar aku saja nungguin. Kali ada dia
ntar dia butuh sesuatu.”
“Kamu juga istirahat lah,” saran rasti.
Aku mengangguk, “Ya, tentu. Andri, ada nomor telepon rumah Soni? Mungkin
kita bisa memberitahu untuk membawakan baju ganti atau...”
Andri menggelengkan kepala, “Sayangnya aku hanya tahu nomor handphone dia
saja. Kau kan tahu bagaimana Soni.”
“Yeeaahh, aku tahu,” jawabku pelan. Semoga saja Dokter Iwan sudah
memberitahu sopir Soni untuk membawa keperluannya.
Andri tersenyum padaku, “Istirahat saja dulu, ok? Ayo Ras,” katanya dan
beranjak pergi. Rasti mengikutinya setelah menepuk bahuku pelan.
Dan kembali aku hanya berdua di ruangan ini bersama Soni. Aku berdiri di samping
ranjang dan memandangnya dengan seksama. Dia terlelap begitu tenangnya.
Bahkan pada saat seperti ini, dia terlihat begitu menarik, pikirku. Saat
dia terlelap dengan wajah sedikit pucat. Aku menangkap kesan rapuh yang selama ini
tak pernah aku lihat sebelumnya. Biasanya hanya kesan mellow yang aku tangkap.
Tapi kini.................ada kerapuhan yang membayang darinya. Dia yang
biasanya terlihat dingin, tak acuh dan nyaris tak tersentuh, kini tampak mengibakan dan rapuh di mataku.
Ada rasa haru yang sulit ku pahami menyentuh hatiku saat aku melihatnya seperti
ini.
Benar-benar mengherankan. Cowok ini memiliki begitu banyak sisi yang
misterius dan juga kompleks. Ada banyak sisi darinya yang menimbulkan tanya.
Aku tak tahu apa penyebabnya, tapi segala hal tentangnya seakan-akan menarikku.
Aku lalu mendekat dan duduk di sisi pembaringan.
Aaaahhhh..... wajah ini. Wajah yang selalu saja ku lihat dan ingat setiap
waktu. Wajah yang kerap kali muncul pada saat aku sendiri. Wajah yang
hapir-hampir tak pernah lepas dari mataku.
Tanpa dapat ku tahan, tanganku terulur. Perlahan ku usap dahinya yang
sedikit berkeringat, lalu turun ke sisi wajahnya. Adasedikit gerakan dimata
Soni karenany. Tapi jelas, dia tak akan bangun karena pengaruh obat tadi.
Wajahnya kembali tenang dalam beberapa detik kemudian. Dan kembali aku mengusap
dahinya, turun ke pipi, dan ujung jariku berhenti di dagunya.
Perlahan, kuletakkan jari telunjukku di atas bibirnya. Bibir yang biasanya
kemerahan dan basah, yang kini agak berwarna pucat. Bibir yang sering kulihat
dan aku kagumi dari kejauhan. Bibir yang kadang membuatku tak tahan untuk
menciumnya.
YA TUHAN!!!
Cepat aku tarik tanganku dan bangkit. Akku lekangkah pelan, kembali ke
kursi tempatku duduk tadi dengan dada sesak akan kesadaran yang baru aku
terima.
TUHANKU!! AKU BENAR-BENAR JATUH CINTA PADANYA!!!
Aku terperangah sendiri. Aku bangkit lagi dan dengan langkah limbung, aku
bergerak menuju pintu, untuk kemudian berhenti di ambangnya. Mencoba
mengumpulkan kesadaran dan kewarasanku.
Tidak! Ini tidak boleh!! Aku menyangkalnya. Tak mungkin seorang lelaki....
Ya Tuhan! Apa yang akan terjadi kalau ada yang tahu bahwa aku....
Ternyata semua tuduhan yang selama ini mereka ajukan adalah benar.
Aku...............jatuh hati pada seorang pria lain. Aku penyuka sesama jenis!
Percuma selama ini aku menyangkal. Mengatakan bahwa aku hanya kagum padanya.
Mengagumi keindaha fisik yang dia miliki, kepribadiannya, prestasinya. Bukan
jatuh hati seperti lazimnya seorang lelaki pada lawan jenisnya...
Perlahan aku berbalik dan melihatnya yang masih terlelap, kembali
memperhatikannya dengan seksama. Wajahnya yang menawan, salah satu bentuk
pahatan sempurna Tuhan pada makhluknya, tubuhnya yang jangkung hingga panjang
tempat tidur darurat itu tidak bisa menampungnya dengan utuh, hingga aura yang
terpancar darinya.
Belum pernah, selama aku hidup, aku mengagumi sosok manusia seperti aku
mengaguminya!
Aku selalu merasa salut dan takjub dengan para bintang film, penyanyi
ataupun orang-orang lain di dunia entertainment. Mereka yang selalu tampak
sempurna dan berkilau di layar kaca ataupun majalah. Tapi jelas kekagumanku
pada mereka, jauh berbeda dengan kekaguman yang aku rasakan pada Soni.
Dia didepanku. Dia nyata! Bisa aku sentuh. Dan bagiku, dia jauh lebih
mempesona dan bersinar dibandingkan semua bintang-bintang yang pernah ku lihat!
Ya Tuhan!!
Aku jadi susah bernafas dalam ruangan ini. Aku harus pergi dan menjauhkan
diri!!!
**************************************************************************************************
Sejak saat itu aku mulai membatasi diri!
Siang itu, sejak aku meninggalkanya di ruang kesehatan dan membiarkannya
ditangani oleh Andri dan yang lain, aku
sadar. Aku harus menjaga jarak
dengannya. Bukan hanya bagiku, tapi juga bagi Soni. Aku tak bisa membayangkan
bagaimana reaksi Soni, jika dia tahu aku memiliki perasaan khusus terhadapnya.
Aku tak sanggup membayangkan, jika suatu saat, dia akan menjauhi dan
memandangku dengan jijik. Membenciku!
TIDAK!!!
Aku tak ingin semua itu. Ini masalahku. Dan aku yang harus
menyelesaikannya. Dan akan lebih baik jika semuanya lu simpan sendiri. Hanya
saja, aku harus menjauh dan mencoba untuk mendapatkan akal sehatku lagi. Tak
ada yang boleh tahu tentang perasaanku padanya. Tidak juga Wina dan yang lain.
Meski mereka sahabatku, aku tak yakin mereka mau mengerti. Bahkan aku sendiri
ingin menyangkalnya.
Dan sejak hari itu pula, aku mengusahakan agar datang ke sekolah, tepat
ketika bel masuk berdering. Aku tak ingin diam di kelas ataupun menanti
kedatangan Soni ditempat parkir seperti yang biasa kami lakukan. Akan lebih
baik kalau aku tak melihatnya dan langsung ke kelas untuk menerima pelajaran.
Pulang sekolahpun aku usahakan sesegara mungkin. Kebanyakan anak-anak yang
pulang bawa kendaraan pulang agak belakangan, karena gerbang akan penuh dengan
mereka yang berjalan pulang. Jadi aku hanya harus menyelinap dan pergi sebelum dia
keluar dari kelas. Wina dan yang lain sempat protes dengan jadwalku yang kini
aneh. Ku karang saja berbagai macam alasan pada mereka. Untungnya, banyak
kegiatan ekstra yang aktif. Jadi aku agak tertolong.
Klub PA sendiri juga aktif. Dan entah harus merasa lega ataukah kecewa,
seperti yang pernah Andri bilang, Soni jarang kumpul di klu. Aku hampir-hampir
tidak pernah menemuinya disana. Hingga kadang aku tercabik antara harus merasa
kecewa atau tidak.
Dan hari ini aku benar-benar kaget saat mendengar seseorang memanggilku
ketika sedang buru-buru berangkat ke sekolah. Sudah hampir bel. Aku bisa
langsung mengenal suara Soni yang terus memanggil di belakangku. Bukannya
berhenti, aku malah mempercepat langkahku. Sementara jantungku juga ikut
mempercepat detakannya.
“TJ!!!”
Kembali hatiku mencelos mendengarnya. Meski sebenarnya aku nyaris tak
sanggup untuk menahan keinginanku berpaling, kembali melihat wajahnya. Melepas
kangen yang tidak bisa lagi ku sangkal. Tapi aku tahu kalau akan lebih baik
jika aku tak melakukannya. Karena jika aku menyerah, aku akan kembali langsung
lumer.
“Hei!! Ga dengar?”
Sial!! Dia sudah menjejeri langkahku, “Maaf. Sebentar lagi bel,” sahutku
tanpa mellihatnya.
“WHOAAAHH!! Tenang! Tak akan ada apa-apa meski kau telat 2 jam hari ini,”
kata Soni dan menyambar lenganku. Aku yang kaget dengan refleks mengibaskan
tanganku. Sayangnya, aku mengeluarkan tenaga terlalu besar. Hingga seakan-akan
aku kena stroom.
Bukan hanya Soni yang kaget, aku sendiri sontan terdiam kaku dengan
reaksiku.
“M-maaf...” kataku pelan dan melihatnya sekilas, untuk kemudian tertunduk.
Mencoba menyembunyikan wajahku. Jangan sampai dia menyadari apa yang terjadi
padaku. Karena kemungkinan besar, jika dia melihat wajahku, dia akan tahu.
“Apa yang..............”
“Maaf,” kataku cepat, mencoba menetralisir keadaan, “Pagi ini
agak...............kacau. Ada sesuatu...............sesuatu....” gumamku tak
jelas. Bingung harus mengatakan apa.
“Tapi kau......”
“Tolong jangan tersinggung,” pintaku lagi, “Aku tak bermaksud .............kasar.
Hanya................kaget. Jadi...............kau tadi bilang apa?” tanyaku
mencoba terdengar santai meski kurasa aku gagal dan hatiku kebat kebit tak
karuan. Karena bingung, aku kembali melangkah, kali ini dengan langkah pelan.
“Para guru masih sedang rapat untuk mempersiapkan bimbingan bagi kami kelas
3,” jawab Soni sembari menjejeri langkahku. Masih denga nada bingung dala
suaranya, “Yakin kau baik-baik saja. Kau............agak aneh pagi ini.”
Aku Cuma tertawa kecil, gugup. “Cuma agak banyak yang dipikirkan. Ada
banyak..............tugas yang belum aku selesaikan.”
“Really? Tugas apa?”
“Eeuuuhhh.....” aku harus berpikir sebentar, “...........bahasa Indonesia.
Kami diminta untuk membuat deskripsi tentang cara-cara pembuatan pasport dan...
Tunggu dulu! Kamu kan sering ke luar negeri,” kataku yang baru sadar akan tugas
itu,
“Bisa jelaskan bagaimana proses dan cara-caranya?”
“Sebelumnya aku harus tanya, ada orang lain yang tahu pengalamanku ke
luar?”
“Selain aku? Sepertinya nggak. Kenapa?” tanyaku heran.
“Tolong jangan katakan pada siapapun,” pintanya.
Meski heran, aku mengangguk menyetujuinya.
“Kita bicarakan nanti sepulang sekolah.”
“Jangan!” cegahku refleks. Lagi-lagi, baik aku ataupun Soni berhenti,
bengong dengan reaksiku, “Maksudku..........tidak
bisa kita bicarakan sekarang?
Aku harus menyelesaikan tugas lain dan harus........” suaraku semakin melemah,
sementara
Soni menatapku tajam dengan pandangan menylidik, sehingga aku makin
gugup dan salah tingkah.
Tuhanku! Hentikan diaaa!!!
Tubuhku jadi lemas, seakan-akan mengibarkan bendera putih, kalah! Aku
mengusap wajahku dan menarik nafas panjang. Aku melangkah minggir dan
menyandarkan punggungku ke pagar tembok sebuah rumah, entah milik siapa. Aku
menunduk melihat sepatuku sampai kemudian tubuhku makin lemas dan akhirnya
membuatku duduk berjongkok.
Sialan!!!
Aku mengumpat dalam hati. Mengumpat diri sendiri yang bereaksi dengan
konyolnya. Kenapa sulit bagiku untuk bersikap konyol didepannya? Orang bodohpun
pasti akan sadar kalau ada yang salah dengan sikapku.
“TJ, kau benar-benar aneh pagi ini. Apakah ada
masalah...............denganku?” tanya Soni lagi.
Aku cepat-cepat menggeleng. Aaahhh....Soni. bukan kamu. Tapi aku yang
bermasalah dengan diriku sendiri. Masalahnya ada pada diriku.
“Maaf...” gumamku pelan, “..............ada sesuatu...” aku tak tahu harus
mengatakan apa. Aku hanya mampu kembali menunduk bingung.
“TJ..........ada apa?” tanya Soni dengan nada yang lebih bingung lagi
dariku. Dan aku benar-benar tak tahu harus mengatakan apa. Aku sedikit
mendongak saat ku dengar Soni melangkah maju sehingga bayangannya menutupi
tubuhku. Dan saat itu, aku kembali disadarkan akan betapa jangkung dan besar
tubuhnya bila dibandingkan aku. Seakan-akan dia mampu merengkuhku ke dalam pelukannya
seakan-akan aku hanya sebuah boneka kecil.
Tanpa sadar aku menggigil. Cepat aku kembali menunduk.
“TJ.............apa aku melakukan sesuatu lagi yang menyinggungmu?”
“Tidak Son. Aku...”
“Maaf, ok?!” sambar Soni cepat, “Kalau ini masalah kemarin, aku benar-benar
minta maaf. Aku mungkin kasar dan bersikap aneh waktu itu. Aku tak memiliki
penjelasan lain selain khawatir kamu terluka karena melindungiku. Aku..”
“Son, it’s not that!” kataku cepat dan bangkit, “Aku hanya
sedang...........”
Aku tak mampu meneruskan kalimatku. Sekarang saat aku benar-benar
melihatnya, aku jadi terpaku sejenak. Dia sudah kembali mengubah penampilannya.
Tak ada lagi cambang ataupun kumis serta semua atribut macho yang kemarin ada
padanya. Wajahnya kembali mulus dan bersih. Hanya bagian cambangnya yang dia
biarkan sedikit memanjang hingga di bagian bawah garis telinga. Ia mencukur
sisanya. Meninggalkan bayang kebiruan samar di atas bibir dan dagunya.
Dia...............benar-benar menawan.
“TJ......?” panggil Soni pelan.
Seketika aku sadar dan menyentakkan diri dari lamunan. Aku menarik nafas
yang enath sudah berapa lama tadi kutahan. Cepat aku memalingkan wajah dan
kembali melangkah. Memberi sedikit ruang bagiku.
“TJ?!!” panggil Soni lagi dan menjejeriku.
“Ganti penampilan lagi?” tanyaku dengan nada yang ku harap terdengar
bercanda.
“Baru sadar? Sudah beberapa hari ini,” katanya sedikit menggerutu.
Benarkah? Huh...... sepertinya aku terlalu sibuk menghindarinya sehingga
tak menyadari akan hal itu.
“Bukannya kamu tak suka dengan penampilanku kemaren? Ku kira kau akan
senang aku kembali ke gaya lama. Nggak taunya baru sadar sekarang. Kamu gak
ngamuk gara-gara ini kan?”
“Son.............” desahku dan menggelengkan kepala resah, “Ini tak ada
hubungannya denganmu. Aku Cuma ada sedikit masalah. Lagian, kamu juga gak harus
dengerin aku kan? Kamu toh punya kebebasan bergaya seperti apapun maumu kan?
Aku juga bego karena saranin kamu buat ganti penampilan kayak kemaren. Maaf
ya..”
“Yeeaahh......sejujurnya aku juga lebih suka seperti sekarang. Kehebohan
kemarin benar-benar........ bikin tak nyaman.”
Aku langsung teringat akan ucapanku yang begitu sarkas padanya di
perpustakaan waktu itu, “Son......aku juga minta maaf atas kata-kataku yang
kasar di perpustakaan waktu itu ya? Tak adil rasanya kalau kau menerima
perlakuan seperti itu dariku. Aku tahu kamu tipe yang tidak menyukai kehebohan
seperti itu. Aku Cuma.........”
Kembali aku tertohok. Apa yang mau ku katakan? Kalau aku cemburu? Kalau aku
tak suka cewek-cewek itu mengerubutinya? Bahwa aku mau, Cuma aku yang
memperhatikannya?
GILA!!!
“TJ.............”
Kembali aku meggelengkan kepala kuat-kuat untuk memperoleh kesadaranku,
“Pokoknya maaf. Aku benar-benar sedang kacau,” kataku dan mencoba tertawa untuk
menutupi kegugupan.
“Kau tahu, hanya dengan beberapa hari kita tak bertemu, kau jadi super
aneh.”
“Hanya sedikit kacau!” bantahku, “Kau tahulah. Banyak tugas dan lainnya...”
“Jangan khawatir kalau tugas bahasa tadi. Aku akan bantu.”
“Thanks,” kataku.
“Sampai nanti pulang sekolah ya? Tunggu aku, ok?”
“Apa?” tanyaku. Tapi dia sudah berlari menjauh dan tak mendengarku lagi. Maksud
dia tadi apa sih? Dia minta aku buat nunggu dia pulang sekolah ntar kan? Dia
ngajak pulang bareng gitu?
DIA BILANG APA TADI?!!!!