BAB 1
Tahun 200-
Sebut
saja namaku TJ. Cowok 16 tahun.Kelas 1 disebuah SMA swasta di Jakarta.Tinggi
173 cm,kulit agak kuning langsat, rambut lurus dan profil wajah yang tidak begitu menarik perhatian. Aku bukan
cowok yang bisa membuat cewek terpaku sehingga dia tak mampu
memalingkan muka dariku.Aku benar-benar cowok biasa. Hanya saja.........
"Eh,cowok itu kok jalannya agak. .
..Ih,jangan-jangan ban. . ."
Selentingan
itu datang dari 2 orang cewek SMP yang berpapasan dariku. Entah sengaja atau tidak, kalimat mereka
terdengar begitu jelas.Aku tak acuh dan terus melangkah. Masih sekitar 300 meter lagi jarak yang aku tempuh untuk tiba di sekolah.
Selentingan
seperti itu telah cukup sering kudengar. Mungkin lebih sering lagi saat aku
SMP. Jalanku yang
katanya terkesan sedikit melambai,wajah dan perawakanku yang kalem,bajuku yang terlalu rapi untuk ukuran anak cowok, membuat
aku menyandang sebutan 'Banci'.
Sialan!!
Sepanjang
pengetahuanku,sebutan itu hanya ditujukan pada laki-laki yang berpakaian wanita dengan bra
tersumpal busa,make up tebal, serta wig panjang.
Aku
bukan mereka!
Aku suka
merawat wajahku.Tapi seumur-umur, aku belum pernah pake yang namanya lipstik, blush on atau eye shadow. Aku juga suka melihat baju-baju rancangan designer atau bentuk-bentuk lingerie cewek yang di iklankan di majalah dan tv.Tapi kalau aku
disuruh memakainya,. . . idih!!
Amit-amit!!
Demi
Tuhan! Aku tidak dengan sengaja berpura-pura atau berlagak begini. Tapi inilah aku! Aku tidak merasa aneh dengan cara jalanku. Aku juga merasa
nyaman dengan cara bicaraku yang santun.Aku juga suka dengan caraku berpakaian yang rapi, dibandingkan teman-teman cowokku yang bajunya semrawut,dan kemeja yang keluar gak jelas kemana dari celananya. Dan aku juga lebih suka bermain dirumah daripada harus main sepak bola atau
layangan yang harus
berpanas-panas ria.
Aku suka
semua itu.
Tapi
siapa peduli?!Mau ngotot juga tak ada gunanya. Jelas apa yang kusuka lebih condong ke arah feminim daripada maskulin. Karena itu,predikat banci disandangkan padaku.
Sudah
lama aku membiasakan diri menulikan telinga kalau ada orang yang menyebutku begitu. Aku kan gak harus dekat dengan mereka. Aku akrabin aja mereka yang mau menerima aku apa adanya. Dan bisa ditebak, sebagian besar dari
mereka adalah cewek.
Mau apa
lagi?Terserah deh orang mau bilang apa!Aku nyaman dengan diriku. Aku jalani hidupku seperti apa adanya. Aku sudah tenang dan
baik-baik saja.
Tapi.......................tidak akhir-akhir ini.
Ketenangan
yang kurasakan mulai terusik.Aku tak tahu kapan
persisnya.
"TJ!!"
Aku
kenal suara itu! Aku terus melangkah memasuki gerbang sekolah tanpa menoleh sedikitpun.
"RESE!!" Wina berseru kesel seraya menepuk bahuku
keras, membuatku meringis," Sok seleb lo! Dipanggil aja gak mau berhenti!"
omelnya judes.
"Gua
heran! Lo cewe tapi kok ga ada manis-manisnya sih Win? Gimana bisa laku?!" gerundengku,masih mengelus
bahuku yang tadi ditaboknya.Sumpah sakit! Aku curiga, kerjaan sampingan nih anak nabuh gendang kali ya?Tabokannya mantep banget!
"Suruh
siapa sok gitu. Belom juga jadi artis, udah gak mau noleh dipanggil orang."
Aku
mendengus dan kembali melangkah,"Gua males!" komentarku singkat.
"Maksud
looooo?!" goda Wina dengan aksen cadel maksa ala Cinta Laura.Ngeselin banget nih anak!Dia
menjejeri langkahku dan melambai sok anggun.
"Oh.
. . coba gua pikir," kataku meniru gayanya,"Elo, Ratu Telat Sejagad
dateng pagi-pagi
kesekolah. Berlari sampe ngos-ngosan kaya kebo, terus teriak-teriak panggil gue,"Aku berhenti,berpaling padanya dan melotot," Hari ini ada
2 PR. Matematik ma Inggris. Mana yangbelum lo kerjain?"
Wina yang semula bengong, nyengir ketahuan
belangnya." Dua-duanya. PINJEM BENTAR DOAAAAANG!!!!" Dia langsung menyambar tas ku dengan cepat dan lari.
"WINAAAAAA!!!!!"
Akuyang gak ikhlas dengan
tingkah premannya,
segera mengejarnya. Kegiatan kaya gini udah hampir jadi hal rutin bagi aku dan
gank ku. Rame, bercanda, tertawa bareng, berteriak dan kadang saling
berkejaran. Bebas dan tanpa beban! Aku menikmatinya. Aku merasa senang, tenang dan damai. . . .
Hingga
baru-baru ini semua berubah.
Wina yang sudah masuk kekelas melambai heboh padaku.
Mengisyaratkan aku untuk segera mendekatinya.
"Apaan?"
tanyaku. Tapi Wina hanya memberi isyarat untuk menutup mulut dan menunjuk
keluar jendela.
Aaaah. .
.!Dia disana!
Untuk
kesekian kali, aku diam dan menikmati karunia Tuhan yang terpahat diwajah itu. Soni Prabowo DD. Anak
kelas III IPS.Kelas sebelah. Cowok itu baru saja memarkir sepeda motor
gedenya.Tangannya membuka helm, berkernyit sejenak dan kemudian mengangguk beberapa kali padaorang-orang yang menyapanya.Dan tak acuh pada beberapa cewek yang secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi, melirik dan tersenyum ke arahnya.
Soni
Prabowo DD(aku ga tau huruf DD dibelakang namanya itu apa). Tinggi sekitar
180cman lebih, berkulit cerah (agak terdengar aneh, tapi aku
tidak bisa menemukan kata yg tepat untuk mewakilinya.Hanya itu.Cerah. Kulitnya
perpaduan antara putih dan sedikit warna madu yang membayang) dan cuakep luar biasa!
Beralis
tebal dengan lengkungan tajam dan tegas dihias sedikit bulu-bulu halus diantara keduanya, sehingga tampak
bersambung kalo diliat dari dekat. Hidung yang tinggi, lurus dan mancung dengan garis samar dibagian ujung bawahnya. Garis samar itu seolah-olah
bersambung dengan lekukan
diatas bibirnya kemerahan dan
entah bagaimana, selalu tampak basah. Kadang aku suka berpikir kalo dia pake lipgloss seperti Wina.Tapisepertinya tak mungkin.
Dan yang paling kusuka adalah bayang biru kehitaman diatas bibir,dagu dan
kedua sisi wajahnya. Sisa cukuran yang seolah-olah membingkai wajah menawannya. Siapa sangka kalau
pemuda seusia dia telah memiliki cambang yang begitu merata seperti mereka yang
telah berusia duapuluhan. Mungkin dia sudah harus bercukur sejak kelas 1 SMA.
Tubuhnya
tidak bisa dibilang gede atau kurus. Menurutku, dia berada diantara keduanya.
Mungkin sekitar 5kg lebih berat dari berat idealnya.Tapi dengan tinggi dan postur tubuh yang dia miliki,hal itu tak berpengaruh. Dan lagi,dia mempunyai gerakan yang gesit dan lincah! Mengindikasikan bahwa
dia memiliki tubuh yang fit.Aku suka dengan dadanya yang bidang dan bahunya yang lebar. Kelihatannya nyaman banget buat bersandar. Lalu tangannya,tampak
begitu menggoda dan kuat dengan bulu-bulu
kehitaman yang
sepertinya lembut dan nyaman untuk dibelai.
Secara
fisik,dia benar-benar sempurna di mataku.
Dan itu
menjadi masalah!
Kembali
aku menarik nafas saat dia berlalu dari tempat parkir, menuju ke kelasnya yang ada disamping kelasku.
"Sumpah!
Tuh cowok bener-bener perfect.Gue heran, kenapa dia ga ikut pemilihan modelling aja.Padahal muka cakep.Super
cakep malah! Postur tubuh en bentuknya juga oke banget.
Eh, menurut lo, dia mau gak ya kalo kita suruh buka baju? Swear! Gue ngiler banget pengen liat gimana dalemnya.Pasti seksi ab. . ."
Aku
sudah menyumpal mulut Wina dengan diktat Matematika yang ku
pegang. "Dasar cewek mesum! Lebih baik lo salin PR Mtk itu sebelum
bel!"ujarku singkat.
Wina
ngedumel,tapi tak membantah. Aku cuma tersenyum dan duduk dibelakangnya.Membuka
diktat MTK ku tadi. Mencoba mempelajari bab yang akan kami bahas nanti. Tapi konsentrasiku buyar karena kejadian tadi. Aku mencoba mengenyahkan bayangan wajah Soni. Dan hal itu bukan hal yang mudah untuk di
lakukan.
Cowok
itu benar-benar
mustahil untuk tidak di acuhkan. Bentuk fisiknya mau tak mau membuat menjadi pusat perhatian.Sosoknya sudah menyedot konsentrasiku sejak
aku dan gank ku melihatnya pertama kali. Saat itu adalah hari pertama kami
masuk kesekolah ini sebagai murid baru hampir dua bulan yang lalu. . . .
*****************************************
"Ngapain
girls?" tanyaku heran saat melihat Wina,Rika,Emmy dan Enny anggota gank
ku, lagi asyik duduk dimeja dan menghadap ke lapangan parkir yang ada sekitar 5 meter disebelah kelas kami.
Semua murid yangdatang, terlihat dari jendela kelas kami. Dan dari
tadi,gank ku ini terlihat asyik berbisik dan sesekali cekikikan
"Lo
ga ikut?" tanya Rika.
"Sini!"
Wina menarikku untuk berdiri disampingnya. "Kita lagi menyeleksi siapa-siapa aja cowok yang pantes kita kecengin taon ini. Mata lo kan jeli. Biasanya lo jago kasih penilaian. Nah, coba lo nilai mereka-mereka yang dateng," katanya dan menunjuk dengan dagunya keluar.
"TJ!
Itu! Yang pake motor biru?!" seru Rika.
"
Empat!" sahutku cepat saat melihat yang dimaksud Rika, "Lo liat sepatunya.Kumal en dekil kaya setaon ga ganti. Lo bakal
tekor kalo jalan ma dia."
"TJ,kalo
yang jalan kekantin itu gimana?"tanya Enny.
"Tiga
setengah!Enny,lo kecil.Dia bantet gitu.Kalo kalian jadi kawin, bakal setinggi apa anak-anak kalian ntar?" selorohku membuat Enny
manyun sementara yang lain ngakak.
"Empat!
Jorok!"
"Tiga!Kurus
banget!”
"Dua!
Kaca matanya segede jigong!!"
"Minus
7!!!" pekikku histeris saat Wina menunjuk pada seorang cowok item gendut yang jalan sambil asyik nyemil coklat
dengan baju seragam berantakan.Kami kembali ngakak setelahnya.
Dan
sebuah derum sepeda motor cowok menarik perhatian kami.Ada sebuah motor cowok yang jelas sudah dimodifikasi hingga terlihat lebih garang dan gagah melaju
pelan. Pengendaranya menggunakan helm full face warna hitam, membuat kami tak bisa melihat wajahnya. Jaket katun
hitam membungkus tubuhnya yang terlihat tinggi dan tegap.
"Motor
delapan.Postur tubuh delapan," gumamku. Tak ada yang berkomentar.Sosok itu benar-benar mencuri perhatian kami. Gerakan dan gayanya juga tenang saat dia memarkir sepeda dan membuka
jaketnya.
"Ok!Delapan
setengah untuk tubuh seksinya," ralatku cepat. Dan kemudian,dia membuka
helmnya. . .
Hampir
bersamaan,kami menarik nafas tertahan dengan mulut terbuka. Cowok itu dengan tak acuhnya mengacak-acak rambutnya sambil meletakkan helm. Lalu berjalan dengan langkah tenang yang seakan-akan lebih layak dia lakukan di atas
papan catwalk. Dia membuat lapangan parkir itu seperti sebuah area pagelaran
busana.Dan
selama itu pula, aku terpaku melihat wajahnya yang terkesan dingin,aristokrat dan entah mengapa terasa mellow. Nyaris
membuatku mendesah. Hingga akhirnya sosoknya lenyap disamping gedung.
"Ok!
Nilainya sepuluh pangkat sepuluh. Dan kita harus cari tau siapa Adonis
itu!"
Tak
perlu disuruh lagi.Kami semua menghambur keluar.
Tapi ternyata mecari informasi tentang cowok itu
tak semudah yang kami
bayangkan. Info yang kami dapatkan benar-benar minim. Sampai waktu pulang, hal yang kami ketahui adalah namanya Soni Prabowo DD.Gak ada yang tahu apa arti dari dua huruf D dibelakang.
Kelas IPS 3,
merupakan kelas unggulan dan dia pemegang ranking 1 paralel selama 2 tahun
berturut- turut.
Sampai beberapa hari berikutnya, kami tak bisa juga mendapat info baru yang menarik. Meski, ada satu hal yang sebetulnya cukup menggembirakan. Dia tak pernah terlihat jalan bareng cewek. Tidak ada satupun orang yang kami tanyai,penjaga sekolah, tukang parkir,
orang-orang kantin sampe ketua OSIS (yang nanyain dia itu si Enny,gak jelas gimana caranya) pernah liat dia jalan sama cewek. Bukannya nggak laku. Dari kelas 1,
dia sudah menarik perhatian orang banyak.Hanya saja orangnya emang dingin dan tak acuh!
"Well, setidaknya dia belom punya pasangan kan?" tukasku pada yang laen setelah hampir sebulan kami nyari info tambahan.
"Eh,udah
bel. Ayo cepet keparkiran!" ajak Emmy semangat. Sejak hari itu, sejak saat pertama kali melihatnya, kami semua
sengaja nongkrong dekat tempat parkir begitu bel pulang berdering. Karena dengan begitu kami bisa melihatnya. Kebiasaan rutin yang terus kami
lakukan selain menunggu kedatangannya di pagi hari dan memperhatikannya dari
jendela kelas.
Sikutan
dilenganku membuat aku menoleh ke arah Wina. Kunyuk satu itu menunjuk dengan dagu. Soni keluar dari kelas sambil memakai jaket katunnya dan berjalan cuek ke arah kami.
Bahkan
dia punya cara berjalan yang enak dilihat,pikirku sambil terus memperhatikannya. Aku hampir-hampir tak bisa melepaskan pandanganku darinya. Pada jarak sekitar 2
meter,dia mengangkat wajahnya,dan untuk sesaat kami bertemu pandang!
Hanya
untuk beberapa detik. Dan untuk beberapa detik itu pula nafasku tertahan!
Selalu
reaksi yang sama.
Mata
itu!!
Aku
sedikit kaget waktu pertama kali aku melihat matanya ternyata berwarna kecoklatan. Namun yang membuat nafasku tertahan adalah sorot yang terpancar dari kedua mata itu. Terasa sedih
dan . . . pilu. Ekspresi murung dan dingin yang terpancar dari wajahnya belum seberapa dibandingkan mata itu. Dari
matanya aku bisa merasakan kesedihan dan. . .kesendirian. Hampir-hampir mirip dengan sorot
anak kecil yang terjaga
dari tidurnya, dan tak menemukan kedua orang tuanya disisinya. Tengkukku terasa
dihembus hawa dingin dan dadaku sesak. Ya Tuhan, hanya dengan pandangan yang bertemu selama beberapa detik,dan dia bisa mempengaruhiku seperti ini.
Soni
berlalu cepat dihadapanku, meninggalkan bau harum floral yang mulai akrab tercium tiap kali dia ada didekat kami.
Aku
harus cari informasi yang lain tentangnya,tekadku.
Tapi hal
itu bener-benar sulit.
Entah karena Soni memang orang yang tertutup atau emang gak ada aja yang rela bagi-bagi info tentangnya. Info terbaru yg kami dapat adalah sudah ada beberapa orang anak kelas 1 yang mengiriminya surat cinta. Dan beberapa lainnya, setia nongkrong didekat kelasnya saat istirahat dan pulang sekolah. Tapi semuanya tak mendapat respon dari Soni.Alias, ditolak.
Wina dan
yang lainnya mengajukan usul gila-gilaan tentang bagaimana cara menyelidiki Soni. Ada yang mau nyewa detektif, ngebuntutin dia sampe
rumah, atau pasang penyadap di motornya. Semua asal cuap dan ditolak sejak
pertama kali diajukan.
Hingga
kemudian, guru Bahasa Indonesia kami memberi kami tugas untuk membuat essay
tentang orang yang kami kagumi.
"Girls,kita bisa gunakan ini!"
seruku.
"Maksud
lo?" tanya Wina gak ngerti.
"Pak
Andy kan gak minta secara spesifik buat menulis orang-orang terkenal yang kita kagumi. Kenapa kita gak pake Soni aja? Gak harus ilmuwan atau
apalah. Apa lagi Soni udah jadi juara paralel 2 tahun berturut-turut. Bisa jadi
alasan kan?" jelasku berapi-api.
Yang lain saling bergumam dan menoleh.
"Boleh
juga. Usul bagus tuh. Terus, kita kudu ngapain?" tanya Rika.
"Yaa.
. . kita minta dia buat kasih biodata lengkap. Tempat tangal lahir, kesukaan atau mungkin. . . . tipe
pasangan favorit? Gimana?"
"Siiip!!" sahut Wina langsung, "Siapa tahu dia sukanya sama orang kaya
gue kan?"
Kalimat
terakhir yang Wina
ucapkan kami sambut dengan koor huuuu dan beberapa jitakan dikepalanya.
"Please
deh Win! Tolong bedain antara percaya diri dan tidak tahu diri!" selorohku membuat Wina yang masih mengelus-elus kepalanya misuh-misuh.
"Ok
deh! Kita serahin semuanya ke elo!" putus Emmy tiba-tiba.
"Apa?
Kok gue?" sergahku
kaget.
"Kan
lo tau sendiri dia gak mau respon kalo ada cewek yang deketin. Kali aja kalo sama cowok dia
mau."
"Ogah
ah!" tolakku langsung, "Ntar bisa salah paham kan? Bisa-bisa dia mikir yang enggak-enggak soal gue ntar?"
"Lho?
Bukannya elo emang yang enggak-engga?" celetuk Rika polos. Buku diktat Bhs Indonesia yang kupegang langsung terbang ke mukanya, membuat dia misuh-misuh kaya Wina tadi.
Tapi aku kalah suara. Hasil voting positif
menentukan kalau aku yang harus melakukannya. Sialan! Dan menurut mereka,lebih cepat lebih baik. Dengan kata lain,siang ini juga, sepulang sekolah, aku harus bertindak.
Jadilah siang itu,saat bel pulang baru berdering,kami
udah stand by mencegatnya. Aku
sebenernya udah keukeuh menolak dan mengajukan berbagai macam argumen yang semuanya tak digubris oleh mereka. Semuanya rukun bergotong royong menyeretku.
Seperti
biasa,dia keluar dari kelas dengan langkah pelan, tak acuh dan sedikit menunduk. Kali ini dia memakai jaket katun warna
coklat yang pas ditubuhnya.Heran!! Perasaan cowok ini
kelihatan keren pake apa aja deh!
Wina
menowel lenganku, memberi isyarat untuk maju sebelum Soni lewat. Aku menggeleng
dan memandangnya dengan tatapan memohon. Wina membalasnya
dengan delikan marah. Aku keukeuh menggeleng sehingga Wina hilang kesabaran. Saat Soni lewat, dia mendorong tubuhku. Dan. . .. .
BRUK!!
Aku
menabrak Soni, membuat kami berdua hampir jatuh tersungkur. Bunda tolong!!
"M-m-maaf.
Ga-ga sengaja," kataku gagap sementara debaran didadaku yang sedari tadi sudah mengeras semakin menjadi-jadi, hingga dadaku terasa agak nyeri dan sesak.
Soni
melihatku dengan kening sedikit berkerut,dan sekali lagi aku terpaku. Dia lebih tinggi dari dugaanku.Aku harus mendongak untuk melihatnya. Dan lagi-lagi, aku kembali terperangkap ekspresi mellow dari mata itu. Bulu matanya yang tebal seharusnya memberi kesan tajam pada mata dalamnya. Tapi
anehnya,hal itu justru mempertegas ekspresi melankolisnya. Cepat aku mengerjapkan mata untuk
menyadarkan diri.
"Ma-maaf,"
kataku lagi.Grogi dan salah tingkah.
Soni tak
menjawab. Dia hanya membetulkan letak tas nya dan berbalik. Sementara aku
merasakan timpukan batu kecil di belakangku.Wina dan yang lain melotot sembari memberi isyarat heboh, sehingga aku tersadar tujuan kami
sebenarnya.
"Tunggu!"
panggilku dan mendekat saat Soni berhenti lalu berbalik.
"M-maaf.Se-sekali
lagi maaf.Tapi. . . bi-bisa minta bantuannya?" tanyaku lagi.
Duh!!
Tatapannya makin membuat ku salah tingkah. Cowok itu tak mengatakan apapun.
Hanya melihatku dengan sorot tanya. Aku mencoba menarik nafas untuk menenangkan diri. Harum
floral yang mengingatkanku akan segarnya daerah
pegunungan kembali tercium dari Soni, "Anu. . .tadi. . .eeuh tugas. . .Indonesia. . . guru. . .kami. . . ."
Eh?! Aku
ngomong apa sih?!
"Maksudmu
apa?" tanya Soni bingung.
Ya
Tuhan! Akhirnya dia bersuara juga, batinku bersorak. Dan ini kali pertama aku mendengar
suaranya dari dekat dan dia tujukan padaku langsung. Meski hanya dua kata. Eh,
tadi dua atau tiga kata sih? pikirku. Aku lalu melihat ekspresi heran di wajah Soni yang segera membuatku sadar.
Sekali lagi aku berusaha menenangkan diri.
Menarik nafas, memenuhi paru-paruku dengan harumnya.Ok,
aku akan coba menyelesaikannya dalam satu helaan nafas.
"Begini,tadi
guru Bhs Indonesia kasih kami tugas buat bikin essay tentang orang-orang yang kami kagumi. Saya dan teman-temanmemutuskan buat angkat kakak sebagai topik. Kami dengar kakak pegang juara paralel 2 tahun ini berturut-turut. Jadi kalau tak keberatan, kami mohon bantuannya. Kakak bisa isi biodata ini
dan. . ."
"Maaf.
Cari orang lain saja," kata Soni datar dan berlalu dengan cepat.
Aku
bengong!
Wina dan
yang lain mendekat!
"Gila!
Gue ga dianggap!" seruku tertahan.
Dan itu
bukanlah jadi yang terakhir.
Pernah
suatu kali kami berpapasan dikantin. Aku yang semula kaget, cepat-cepat pasang senyum dan mengangguk,"Halo kak!" sapaku ramah.
Tanpa
menyahut,atau setidaknya tersenyum balik, dia ngeloyor pergi begitu saja.
Anjrit!
Begitu
pula saat kami hampir bertabrakan di Perpustakaan. Kunyuk itu langsung ngeloyor tanpa dosa. Pokoknya dimana aja ketemu, dia langsung aja
menyingkir. Berulang kali aku menyapa, tetep aja dia asyik selonong boy gitu!
"Gua heran!" gerutuku ke yang lain suatu hari, "Sebenernya tuh anak
emang dasarnya cool, sokcuek gitu, apa cuman sok jaim en arogan aja sih?"
Wina
ngakak,"Dooooh. . ., yang gak terima dicuekin. Bukan lo aja kali. Tapi dia emang gitu ke semua orang. Bahkan ke
kakak kelas kita. Eh ya TJ, lo udah mutusin buat ikutan kegiatan ekskul apa?
Akhir bulan ini, kita udah kudu gabung lho. Minimal ma satu kegiatan,"
tukas Wina mengubah subyek pembicaraan kami.
"Gue
belom mutusin! Tapi yang jelas, gue gak mau jadi bahan tertawaan lagi kaya SMP dulu," jawabku pelan. Aku masih inget waktu SMP. Aku
tergabung dalam klub kesenian daerah. Dan itupun kulakukan karena permintaan guru kesenian kami. Aku sih cukup
menikmatinya, karena dengan ikut klub itu aku, jadi bisa sedikit kenal budaya nasional kita. Sialnya, hal itu malah justru jadi bahan penegasan di mata teman-teman yang menghinaku. Bahwa aku persis sama seperti perkiraan mereka. Banci!
Wina
tersenyum lembut, "Lo pikir aja dulu baik-baik. Kita semua selalu dukung elo kok. Kita semua akan selalu jadi temen
lo," katanya.
"Iya
Nek!" kata Rika dan meraih tanganku. Emmy mengangguk mendukungnya.
"Jangan
lupain itu!" imbuh Enny.
Aku
tersenyum dan mengangguk,"Gua tau. Thanks!" bisikku pelan.
Dan aku...............memutuskan untuk bertindak nekat. Aku akhirnya
memilih untuk masuk ke klub Pecinta Alam. Aku tahu kalau ini tindakan ekstrim
dan mungkin gila! Tapi di SMA ini, aku ingin semua orang melihatku dengan
berbeda. Aku sudah tak mau lagi jadi bulan-bulanan seperti saat di SMP karena aku masuk ke klub Tari yang ku
pilih. Padahal aku sangat menyukai kesenian tari daerah yang di ajarkan.
Bagiku, kesenian tari daerah dari Indonesia memiliki daya tarik yang unik.
Hampir semua tarian itu memiliki tema yang membumi dan akrab dengan kehidupan
sehari-hari. Beberapa dari mereka malah memiliki filosofi berat yang tidak di
temukan dalam tarian-tarian modern. Seperti tari-tarian dari daerah Jawa Tengah
dan yang lainnya. Sayangnya, kesukaanku itu justru menjadi amunisi bagi
teman-teman SMP untuk makin membully dan menyematkan label padaku.
Karena itu, kali ini aku memutuskan untuk mengambil sesuatu yang berbeda.
Aku akan masuk ke klub PA. Klub yang biasanya di dominasi oleh cowok-cowok
hutan yang jorok, kuli dan begajulan. Dan aku tak memberitahukan niatku ini
pada Wina dan yang lain.
Hari ini adalah pertemuan pertamanya!
Waktu aku masuk ke ruang klub, beberapa orang senior yang melihatku,
langsung saja bisik-bisik. Ada delapan senior yang hadir hari ini. Dua
diantaranya cewek. Aku nyengir saja menanggapi reaksi mereka. Yeaah,,, aku tahu
kalau fisik dan penampilanku, sama sekali tidak menunjukkan anak hutan. Dengan
tubuh yang agak kurus, gerakan pelan dan santun, aku benar-benar jauh dari
kesan anak hutan yang biasa. Mau gimana lagi?
Ku lihat ada 10 lagi anak baru. Dan tak ada satupun dari mereka yang ku
kenal. 3 di antaranya cewek. Semuanya memiliki penampilan khas anak-anak
pecinta alam. Dandanan yang terkesan cuek, agak berantakan, serta kulit yang
sedikit terbakar. Jelas mereka aktif dengan kegiatan outdoor. Dan sudah hampir bisa dipastikan kalau mereka
adalah aktivis Pecinta Alam pada waktu SMP. Dengan kata lain, aku satu-satunya
makhluk aneh di sini.
Tanpa sadar aku menelan ludah pahit.
Salah seoraang dari senior itu kemudian berdiri, membuat perhatianku
teralih. Dia berdiri di tengah ruangan dan memandang kami semua.
“Kayaknya udah semua. Kita mulai saja. Selamat datang adik-adik senua di
klub Pecinta Alam. Seperti yang kalian lihat, klub ini mungkin klub terkecil
yang ada di sekolah ini. Dengan kata lain, kalian sudah masuk ke dalam
sekelompok manusia elit yang lain dan
tidak biasa.”
Kalimat sambutannya itu mendapat sedikit tawa kecil dari kami yang hadir.
“Hanya ada sembilan anggota senior di atas kalian. Saya, Andri ketua. Lalu
ada Rio, wakil..”
Ada seorang cowok bertubuh gempal yang duduk di belakangnya mengangkat satu
tangan.
“Ada Endah, sekretaris. Bendahara, Rasti. Sie Perlengkapan, Adi.
Dokumentasi, Dani. Administrasi, Aldo. Dan dua anggota. Eki dan satunya lagi
masih belum datang. Nanti akan saya perkenalkan. Mungkin ada beberapa dari
kalian yang pernah ikut klub sejenis ini saat SMP?” tanya Andri. Dia tersenyum
melihat anggukan dari beberapa orang anak, “Dan yang pertama kali bergabung?”
lanjutnya lagi.
Pelan aku mengangkat tangan. Dan seperti yang ku duga, selain aku, tak ada
lagi anak yang mengangkat tangannya. Aku kembali menelan ludah. Dan ku lihat
Andri tersenyum, menenangkan.
“Ada kabar untuk kamu. Namamu...........”
“TJ..” sahutku pelan.
“Yeah.....ada kabar bagus untukmu, TJ. Sebenarnya kami merencanakan
perjalanan lintas alam sejak semester kemarin. Tapi karena satu dan lain hal,
rencana itu selalu tertunda. Dan sesudah rapat singkat kemarin, kami memutuskan
untuk melakukan pendakian di gunung Ijen, Banyuwangi. Jawa Timur. Semester
ini..”
ada beberapa gumaman antusias yang kemudian terdengar.
ada beberapa gumaman antusias yang kemudian terdengar.
“Tepatnya minggu ini,” lanjut Andri dengan senyum terkembang.
Aku mendelik hebat. APA?!!!!!!!!!
“Selain sebagai bahan untuk pembelajaran kalian. Pendakian kali ini juga
kami gunakan sebagai tes agar kalian bisa di terima di klub ini. Ini juga
sebagai perjalanan terakhir bagi kami yang kelas Tiga. Karena setelah semester
ganjil selesai, kami sudah tidak bisa aktif lagi di klub. Persiapan untuk ujian
Nasional. Jadi perjalanan kali ini akan sangat menyenangkan dan kami harap,
berkesan.
Aku diam terpaku di tempat mendengar cowok itu ngocol. Gilaa!! Gua di suruh
naek gunung minggu ini?!! Helloooohh?!! Apa kata dunia ntar?!
“Yang harus kalian ingat, mendaki gunung memerlukan kondisi fisik yang
prima. Selain itu, ada beberapa benda yang jadi
keperluan basic dan harus
kalian persiapkan......”
Aku sudah tak mau mendengarnya lagi. Aku sudah gila! Aku sudah benar-benar
gila karena berpikir untuk masuk ke klub ini. Aku akan mengundurkan diri. Aku
gak mungkin mendaki gunung dan membiarkan kakiku lecet-lecet. OGAH banget!
Pikirku mantap.
“Jadi siapkan diri kalian,” terdengar kembali suara Andri yang tadinya tak
ku acuhkan, “Kemudian juga.... aaahh, itu dia anggota terakhir kami. Adik-adik,
ini senior kalian yang lain. Soni!, anggota terakhir kami.”
Spontan aku menoleh ke arah pintu. Cowok itu melangkah dengan gaya cueknya
seperti biasa dan langsung saja duduk di samping Rico. Tampak mencolok dengan
kulit putihnya yang jauh dari kesan terbakar di bandingkan teman-temannya yang
lain. Dia mengedarkan pandangannya pada kami yang baru sekilas. Hingga akhirnya
mata itu terpaku yang sedari tadi memperhatikannya.
GUA IKUUUT!!! sorakku dalam hati.
Aku makin yakin untuk menyembunyikan keikutsertaanku dalam kegiatan PA pada
Wina dan lainnya. Aku tak ingin memancing perhatian. Juga fakta bahwa Soni
adalah salah satu anggotanya. Untuk saat ini, akan aku biarkan semua berjalan
seperti biasanya. Kunikmati saja hari-hari ku melihat kedatangan Soni ke
sekolah bersama yang lain. Hal yang sudah menjadi rutinitas bagi aku dan gank
ku.
**************************************
Hmmm. . .Seperti biasanya. Dia berlalu tanpa menyadari aku
memperhatikannya.
"Dia masih juga terlihat menakjubkan," gumam Wina disampingku
yang kujawab dengan anggukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar