Translate

Rabu, 27 April 2016

DUA TITIK JENUH, bab 1

Bab 1


 RIZKY



Rizky mengusap peluh yang mulai menetes di sisi wajahnya. Panas di bulan Juni kali ini benar-benar menyengat. Entah karena isu pemanasan global yang dia dengar beberapa waktu yang lalu, ataukah memang sudah waktunya. Musim hujan masih beberapa bulan lagi. Matahari seakan-akan marah pada penduduk Bumi dan berniat untuk menghukum mereka dengan pancaran panasnya. Padahal Angga masih harus berjalan sekitar 20 menit lagi untuk bisa sampai di rumahnya. Dan dibenaknya, sudah terbayang berbagai macam aktifitas yang harus dia selesaikan sesamainya di rumah nanti.
Rizky menghela nafas. Sungguh dia merasa enggan kalau harus memikirkannya. Namun bagaimanapun juga, dia tahu, kalau semua itu sebuah keharusan baginya. Dia jarang mengeluh. Tapi.....sebagai remaja, terkadang dia merasa jenuh dan terbebani.

“Bodoh!!!” gumamnya, kesal pada dirinya sendiri. Merasa konyol dan juga bersalah, setiap kali rasa jenuh itu mulai merambatinya. Dia kembali melangkah dengan langkah lebih riang daripada tadi. Meski kemudian langkahnya terhenti saat sebuah motor gede yang jelas sudah di modifikasi sehingga tampak garang, berhenti persis di depannya dengan jarak hanya beberapa senti.

“Naik!” kata Angga santai, seolah-olah tadi dia tak hampir menabrak temannya itu.

“SEMPRUL!!!!” umpat Rizky tegas setelah bisa menguasai kekagetannya. Satu tangannya masih memegang dada karena merasa nyaris  nyawanya melayang dicium motor gede Angga.

“Naik deh, cepetan! Panas nih!!” gerutu Angga, masih dengan muka tanpa dosanya.

Rizky menggeram kesal karena kecuekan Angga. Kalau saja dia tak mengenal teman dekatnya itu, dia pasti sudah nyap-nyap dengan serangkaian kata-kata mutiara padanya. Tapi dia sudah tahu tabiat Angga yang selengekan dan cuek bebek. Percuma saja dia ngamuk sampai bibirnya jontor pada pemuda sableng seperti Angga. Yang ada dia sendiri tambah kesal. Kecuekan Angga sudah melegenda di sekolah mereka.

Jadi Rizkypun naik ke belakang motornya, meski kemudian dia menghadiahi sebuah tepukan keras di punggung Angga.

“Tumben pulangnya telat,” ujar Rizky dengan nada sedikit bertanya.

“Dipanggil wali kelas,” jawab Angga sembari melajukan motornya dengan kecepatan yang bikin Rizky kaget dan dengan segera berpegangan pada bahu Angga.

“Karena bolos kemaren?” tanya Rizky setelah kembali menepuk bahu Angga, karena tadi membuatnya kaget untuk kedua kali.

“Aku juga lupa sms kamu sebelumnya. Aku ngerjain sesuatu dan ketiduran. Baru bangun jam 10 siang. Jadi gak sempet sms kamu buat minta bikinin surat ijin,” kata Angga di antara deru angin.

Rizky menghela nafas panjang. Selama ini, memang dia yang selalu membuatkan surat ijin bagi Angga kalau cowok itu tidak masuk sekolah. Bukan karena Rizky mendukung agar temannya itu bolos. Tapi lebih karena dia tahu kalau Angga melakukannya karena suatu kewajiban. Dia hanya mengatakan bahwa dia sudah bekerja. Meski tak pernah mengatakan dengan jelas sebagai apa. Namun Rizky yakin bahwa Angga memang sudah bekerja.

Sedikit banyak, Rizky tahu bagaimana keadaan Angga yang sebenarnya. Meski tampak selalu bergaya dan berkecukupan, Angga sebenarnya sudah tak memiliki orang tua. Dan dia memiliki seorang adik perempuan yang dia titipkan pada pamannya. Tempat Angga juga menumpang hidup. Tapi meski begitu, Angga yang mencukupi semua kebutuhan adiknya yang sudah kelas 2 SMP tersebut. Dia juga mengaku bahwa dia juga rutin memberikan uang belanja dalam jumlah yang lebih dari cukup pada pamannya. Sekedar uang terimakasih karena telah mampu menampung mereka berdua. Meski sebenarnya Angga sendiri lebih sering di luar. Dan mungkin hanya seminggu sekali berada di rumah pamannya.

Rizky pernah mengusulkan pada Angga untuk menyewa rumah saja. Jumlah uang yang dia berikan pada pamannya itu, sebenarnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Angga dan adiknya saja. Tapi Angga menolak dan beralasan bahwa adiknya membutuhkan pengawasan. Karena pekerjaan, Angga tak bisa selalu berada di rumah. Adiknya pasti akan kesepian sendiri kalau mereka menyewa rumah berdua. Plus, usia mereka juga masih muda. Dengan adanya sang paman dan keluarganya, setidaknya sang adik memiliki pengawasan serta tali kekang yang bisa mengendalikan kalau-kalau sedikit melenceng dan nakal. 

Banyak hal yang sebetulnya tidak di pahami oleh Rizky tentang Angga. Meski mereka cukup dekat, dan Rizky bisa mengatakan bahwa dia adalah satu-satunya orang yang dekat dengan Rizky di sekolah, namun Rizky masih belum tahu banyak tentang temannya itu. Angga selalu menyimpan sebagian besar informasi tentang dirinya, dan tak pernah membagikannya pada orang lain. Termasuk Rizky. Dia bahkan membiarkan stigma seram tentang dirinya yang selama ini beredar di sekolah.

Angga di sekolah di kenal sebagai pimpinan geng berandalan yang kerjanya cuma bikin ulah. Dia punya reputasi sebagai preman yang cukup di segani karena pernah menghajar pentolan preman kampung yang sukanya memalak para pedagang pasar dan anak-anak sekolah. Sekolah mereka, SMA Negeri 3 Negara, memang berada tak jauh dari pasar tradisional daerah Negara. Hanya berjarak sekitar 500 meter. Ada gerombolan preman yang biasa mangkal disana. Di pimpin oleh Nyoman Calegi. Pria asli Negara, Bali yang dikenal pemberani dan pemalak. Dia dan beberapa anak buahnya cukup dikenal dan sering bertingkah seenaknya. Baik pada para pedagang ataupun murid sekolah yang berpapasan dengannya. Beberapa anak-anak sekolah bahkan ada yang sengaja mendekati dan menjadi anak buahnya. Memberinya informasi kapan harus beraksi dan siapa yang bisa di jadikan korban. Juga menutupi semua perbuatan Calegi dan kroco-kroconya.

Para warga sendiri terlalu takut untuk melapor pada pihak berwajib. Ada beberapa orang mencoba untuk melakukannya, tapi banyak di antaranya berakhir dengan menginap di rumah sakit. Sementara Calegi sendiri masih melenggang dan beberapa orang pernah bercerita bahwa mereka melihat Calegi sedang ngobrol dengan santai bersama pihak aparat. Dan mereka pun mahfum kalau usaha mereka untuk meminta bantuan aparat, akan menjadi percuma.

Dan Angga, tanpa sengaja harus berhadapan dengan mereka. Waktu itu dia yang masih kelas 11 di cegat oleh Calegi dan dua orang kroconya. Juga 3 orang anak kelas 12 yang jadi antek Calegi. Tak jelas apa yang sebenarnya mereka inginkan. Meski intinya sepertinya sama. Mereka mencoba memalak Angga yang penampilannya memang mencerminkan anak berada. Sial bagi mereka. Angga sudah memegang sabuk hitam di usia 16 tahun. Jadi saat mereka mencoba menggunakan kekerasan, justru Calegi dan anak buahnya yang babak belur.

Angga mematahkan rahang Calegi, membuat 2 orang yang lain dislokasi tulang di bagian bahu dan kaki. Serta 3 anak kelas 12 yang ikut mengeroyok kehilangan beberapa gigi dan mata mereka biru untuk beberapa minggu.

Sejak itu reputasi Angga meroket. Dia segera saja menjadi sosok baru yang di segani dan juga di takuti. Para trouble maker di sekolah tak berani mencari gara-gara dengannya. Bahkan mereka bersikap super ramah saat ada di sekitar Angga. Tapi Angga adalah Angga dengan segala ketidak peduliannya.

Dia dingin saja dan bersikap seperti biasa. Cuek dan tak mau tahu. Sepanjang mereka tidak mengusiknya, Angga juga melenggang. Dia hanya menanggapi sikap orang-orang di sekitarnya, baik yang memuja, menakuti atau menghormatinya, dengan ketidak acuhannya. Berbicara hanya bila di perlukan. Dan diam kalau memang tak ada yang perlu di sampaikan.
Para guru bahkan ada yang beberapa di antaranya mencoba meminta bantuan Angga dalam menertibkan murid-murid yang bermasalah. Dan yang Angga lakukan hanyalah mendekati mereka dan bicara sepatah dua patah kata, merekapun tunduk.
Dan diapun melenggang. Membiarkan semua kasak kusuk tentang dirinya berkembang dengan sendirinya. Tidak membenarkan atau menyangkal gosip-gosip murahan yang kadang sangat berlebihan. Misalnya gosip bahwa dia memakai jasa dukun. Bahwa dia kumpul kebo dengan pacarnya yang sudah kuliah. Atau gosip edan bahwa dia pernah dipenjara saat masih tinggal di Surabaya.

Mencengangkan bagaimana orang-orang bisa menciptakan kabar angin yang kreatif sekaligus absurd seperti itu.
Pertemanan mereka dimulai saat Rizky menyelamatkannya dari hukuman karena tertidur di kelas. Waktu itu, dia yang duduk di sebelah Rizky kebablasan ngorok saat pelajaran kimia. Pak Jono yang mengajar waktu itu terkenal killer dan tak pandang bulu. Salah satu dari beberapa guru yang selalu menuntut kepatuhan dan hormat dari murid-murid yang di ajarinya. Dan Rizky saat itu melihat bagaimana beliau mulai menyadari kondisi Angga yang tidak pernah mengangkat kepalanya dari meja.

Karena tak tahu bagaimana membangunkannya tanpa menambah kecurigaan Pak Jono, Rizky menendang kaki Angga yang ada di bawah meja. Tepat kena tulang keringnya. Angga mengerang keras karenanya.

“Angga bisa selesaikan soal di depan ini?” tanya Pak Jono dengan suara menggelegar.

Angga yang baru saja melek jelas saja cuma bisa celingukan. Rizky lalu menyelipkan selembar kertas berisi jawaban dari soal yang dimaksud Pak Jono. Untungnya Angga anak yang cepat tanggap. Dengan gaya natural dia menjabarkan jawabannya sambil sesekali bergaya menghitung persamaan kimia di buku catatannya.

Dan dia selamat.

Saat Pak Jono telah keluar kelas, dia berpaling pada Rizky dengan wajah kesal, “Emang kamu nggak bisa ngebangunin aku dengan pelan ya?” tegurnya.

“Aku sudah mencoba. Tapi kamu nggak bangun-bangun juga!” gerutu Rikzky balik. Sedikit takut kalau akan mendapatkan hadiah bogem mentah darinya.

Angga hanya menggerutu pelan dan mengangkat kakinya. Dia menunjukkan tulang keringnya. Tepat dimana Rizky menendangnya tadi, kulitnya mulai membiru.

“Lain kali cubit aja,” ujarnya lagi dan bangkit untuk kemudian pergi.Rizky tanpa sadar menghela nafas lega karena tak harus merasakan bogem Angga.

Dan semenjak kejadian itu, Angga mau mengajaknya bicara. Dan pertemanan merekapun di mulai. Meski Rizky bisa mengatakan ada banyak hal yang tidak dia ketahui tentang Angga.

“Buka tasku!” kata Angga, membuat sedikit lamunan Rizky buyar.

“Apaan?!!” tanya Rizky balik.

“BUKA TASKUU!!!” kali ini Angga agak meneriakkan kalimat tadi. Sedikit heran, Rizky menurutinya. Dia menemukan sebuah bungkusan tas plastik yang kemudian diambilnya.

“INI?!!!” tanya dia kemudian dan menunjukkan bungkusan itu pada Angga. Dia menjawabnya dengan anggukan dan berhenti. Mereka telah sampai di gang kecil yang menuju rumah Rizky.

Rizky turun dan mengulurkan bungkusan itu pada Angga, “Ini apaan?” tanya Rizky heran.

Angga yang masih nongkrong di atas motornya yang menyala melihat langsung ke arah Rizky, “Kemaren aku beli buku tulis. Itu untukmu,” jawabnya singkat. Dan tanpa menunggu respon dari Rizky yang masih terbengong di tempatnya, dia melaju pergi.

Rizky hanya bisa menghela nafas setelah bisa menguasai diri. Kebiasaan Angga. Dia tahu akan kondisi keluarga Rizky. Satu dari segelintir orang yang tahu dan peduli. Sudah beberapa kali dia membantu Rizky dan selalu bisa menghindar sebelum Rizky mampu menolaknya.

Akhirnya dengan langkah sedikit berat, Rizky melangkah menuju rumahnya. Rumah yang telah menjadi tempat bernaung keluarganya selama lebih dari 4 tahun ini. Orang tua Rizky berasal dari Jawa. Banyuwangi tepatnya. Mereka merantau ke Bali. Mencoba peruntungan mereka di pulau dewata. Pertama kali mereka tinggal di daerah Kuta.

Sayangnya, Bapak dan Ibu Rizky hanyalah orang kampung biasa yang tidak memiliki keahlian. Karena itu, mereka sulit mendapatkan pekerjaan. Hingga kemudian Bapaknya mendapat tawaran bekerja di sebuah proyek pembangunan di daerah Negara ini. Keluarga Rizkypun mengepak semua milik mereka yang tidak seberapa dan pindah ke Negara.

Mereka cukup senang meski boleh dibilang kekurangan. Hingga kemudian petaka itu terjadi. Bapak Rizky jatuh dari tingkat 2 gedung yang digarapnya. Dan keadaannya tidak pernah lagi sama.

Tubuh Bapaknya lumpuh separuh. Entah akibat dari jatuh itu atau efek penyakit lainnya. Yang jelas, beban keluarga kemudian pindah ke pundak ibunya. Dan dengan adanya 2 adik Rizky yang lain, beban Ibunya makin bertambah. Sampai akhirnya mereka harus terusir dari rumah kontrakannya.

Dan harus tinggal di tempat mereka sekarang.......

Rizky memandang rumah reyotnya dengan hati berat.

Rumah reyot yang berada persis di sebelah kandang sapi dan kambing yang menjadi tugas Rizky dan adik-adiknya. Rumah milik seorang kenalan Bapak, pemilik dari kebun kelapa dan semua sapi dan kambing yang di pelihara oleh Rizky dan adik-adiknya. Mereka mendapat sedikit upah dan juga bebas menempati rumah itu sebagai imbalannya. Rumah yang kadang mengeluarkan suara aneh saking reyotnya di malam hari karena terpaan angin. Beberapa bagian rumah tersebut bahkan suka bocor kala musim hujan.

Kurang dari setahun! Batin Rizky. Hanya kurang dari beberapa bulan dia akan lulus SMA. Dan dia akan keluar dari rumah itu. Merantau. Mencari rejeki di kota untuk meringankan beban keluarganya. Mengentaskan mereka dari kondisi mereka saat ini.

“Sudah pulang Mas?” sapa Agus, adiknya yang duduk di kelas 2 SMP. Dia muncul dari arah kandang kambing sambil membawa sebilah sabit dan juga angkringan. Sepertinya dia sudah siap keluar untuk mencari rumput sebagai pakan kambing, bagian dari tugasnya.

Rizky tersenyum, “Iya Gus. Sudah makan?” tanyanya.

“Sudah Mas. Si Dewi bikin kuah kelor tuh. Ma sambal terasi pedas,” jawabnya dan membalas senyum Rizky.

“Sepertinya enak. Bapak sudah di suapi?” tanya Rizky balik yang di jawab dengan anggukan oleh Agus, “Ibu?”

“Belum pulang dari rumah Ibu Muryati,” jawab Agus singkat. Ibu mereka memang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di tempat Bu Muryati. Istri dari pemilik lahan dan hewan peliharaan mereka.

“Ya sudah, kamu jalan dulu pergi cari rumput. Bentar lagi Mas nyusul abis makan siang,” kata Rizky yang kembali di jawab 
dengan anggukan oleh Agus.

Rizky memandang kepergian adiknya itu dengan tatapan sayu. Dia tahu kalau dia harus bersyukur kepada Allah karena memberi 2 orang adik yang tidak hanya mampu mengerti keadaan keluarga mereka. Tapi juga mau bahu membahu meringankan beban keluarga.

Agus dan Dewi yang seharusnya masih senang-senangnya bermain, dengan rela ikut menyumbangkan tenaga. Agus mau untuk membantu Rizky memelihara sapi dan kambing. Mencarikan rumput, memandikan dan yang lainnya. Sementara Dewi yang masih kelas 6 SD, bertugas memelihara rumah. Memasak, membersihkan rumah, serta menemani ayah mereka yang hanya tergolek di tempat tidurnya.

Saat memasuki rumah, dia mendapati Dewi sedang duduk menonton tv di ruang tengah. Satu-satunya benda termewah milik mereka. Itupun hadiah dari Bu Muryati. Dewi bersisian dengan Bapaknya. Rahmat. Yang tubuhnya kian hari kian kurus. Tubuh yang entah bagaimana, makin kehilangan cahaya hidupnya. Rizky tahu kalau bapak sedih. Sedih memikirkan bagaimana kondisi keluarga mereka. Sedih bagaimana istri dan anak-anaknya harus bertarung untuk  bertahan hidup. Sementara dia, tak dapat membantu mereka.

“Bagus acaranya Wi?” sapa Rizky setelah bisa menguasai gumpalan di dadanya.

“Eh, Mas. Film tv Mas. Sudah pernah maen kok,” sahut Dewi.

Rizky hanya tersenyum mendengarnya. Dia ganti memandang bapaknya. Dan tiap kali mata mereka bertemu, Rizky bisa 
melihat kesedihan itu disana. Di mata Bapaknya yang kian ringkih tiap harinya dengan kecepatan yang mengherankan.

“Sudah makan kan Pak?” sapanya ringan, menutupi perasaannya.

Bapaknya mengeluarkan geraman kecil dari sudut bibirnya dan membuat gerakan yang mirip dengan mengangguk. Kembali Rizky mengulas senyum palsunya.

“Kalau gitu Rizky ganti baju dulu ya? Rizky harus nyusul Agus buat nyari rumput. Dewi jaga Bapak ya?” pamitnya yang hanya Dewi balas dengan anggukan, sementara kedua tangannya mulai bergerak memijati kaki Bapak dengan gerakan pelan.

Rizky segera membalikkan badannya. Karena kalau dia terus berada disana, dia akan kembali merasa sesak. Dan dia takut kalau dia tak sanggup menahan dirinya. Akan lebih baik kalau dia keluar untuk mengumpulkan rumput pakan si Bejo dan Poni, sapi peliharaan mereka. Hari ini mungkin dia akan mencari sekedarnya saja. Toh besok hari minggu. Dia bisa keluar rumah dari pagi untuk mencari lebih banyak rumput.



ANGGA



Angga mematikan motornya dan segera masuk ke rumah pamannya. Ruang depannya sepi. Dia tak tahu apakah Anggi sudah pulang atau tidak. Kalau tidak salah, adiknya itu memiliki jadwal les hari ini. Tapi dia tak bisa mengingat jadwalnya. Dia bahkan jarang berada di rumah ini. Sebentar lagi, dia juga harus kembali menuju Denpasar.

“Pulang, Ngga? Sudah makan kamu?” sapa pamannya yang muncul dari ruang tengah. Mujiono, adik dari Ibunya itu mengenakan kaos singlet yang sudah tampak lusuh. Juga sarung yang seingat Angga, dia belikan 2 tahun yang lalu.

“Sudah Paman. Anggi?”

“Ada di belakang. Sedang membantu Bibi dan Asih menyiapkan dagangannya. Dia....”

“Mas Angga, sudah pulang? Makan Mas?” sapa Anggi yang tahu-tahu muncul sebelum Angga ke belakang untuk 
mencarinya.

“Sudah Nggi. Mas mau berangkat kerja dulu.”

“Mbok ya ganti baju dulu, Ngga,” saran Pamannya sembari menunjuk baju seragamnya.

“Nanti saja di kantor Paman. Anggi uang jajannya..”

“Nggak usah, Mas. Uang jajan Anggi yang minggu kemarin masih sisa banyak,” jawab Anggi yang segera masuk ke dalam. Sesaat kemudian dia kembali dengan membawa sebuah jaket. Dia lalu mengangsurkan jaket itu pada Angga yang heran karena dia telah memakai jaket sedari tadi.

“Aku sudah pakai jaket Nggi,” ujarnya heran.

“Jaket Mas Angga itu sudah kotor. Sudah 3 hari dipakai terus. Biar Anggi cuci Mas. Cepet buka,” ujar Anggi dan kembali mengangsurkan jaket yang dipegangnya. Angga tak mengatakan apa-apa. Dia hanya membuka jaket yang dia pakai, menuruti adiknya itu.

“Oh ya,” tukas Angga. Dia lalu membuka tasnya dan membuka bungkusan buku tulis yang dia beli tadi dan menyerahkannya pada Anggi, “Ini buku tulis kosongnya. Jangan lupa Asih dikasih juga.”

“Iya Mas,” jawab Anggi singkat.

Angga tersenyum dan melangkah keluar. Anggi mengikutinya dan masih tetap berdiri di sebelahnya sampai Angga naik ke motornya, “Nanti malam kamu masih membantu Bibi jualan?” tanyanya sembari menggunakan helmnya.
Pamannya memang membuka sebuah warung tenda kecil, tak jauh dari rumah mereka. Mereka berjualan nasi goreng, mie goreng dan beberapa masakan lainnya.

“Iya, Mas. Mumpung malam minggu. Kalau hari sekolah kan nggak di bolehin sama Paman.”

Angga mengangguk, “Ya sudah. Mas berangkat.”

“Hati-hati Mas,” seru Anggi, mengatasi deru motor Angga.

Angga hanya mengangguk dan melajukan motornya. Dia melihat bayangan Anggi dari spion sampai bayangan adiknya itu menghilang. Dan begitu tak melihatnya lagi, Angga menghela nafas panjang. Kalau saja dia berada di situasi yang berbeda. Dia pasti akan membawa Anggi untuk bersamanya. Dia tak akan membiarkan adiknya itu terlibat dalam kehidupan yang dia miliki sekarang. Hanya Anggi satu-satunya keluarganya yang tersisa.

Memang ada Paman Mujiono dan keluarganya. Tapi................kalau saja bisa, dia tak ingin melibatkan mereka.
Masih dia ingat saat pertama kali dia sampai di rumah Paman di Negara ini. Waktu itu, setelah 7 hari meninggalnya orang tua mereka, Paman memboyong mereka untuk ikut ke Negara, karena tak ada lagi sanak saudara mereka yang tersisa di pulau Jawa. Malam pertama disana, Angga yang masih berusia 15 tahun, tak bisa memejamkan mata.

Saat itulah dia mendengar pembicaraan Mujiono pamannya, dengan sang istri, Bi Asirah.

“Gimana kita bisa menghidupi mereka kalau keadaan kita begini Pak? Lha wong kita sendiri masih harus memikirkan Asih. Kalau cuma makan, mungkin masih bisa. Terus sekolah dan lainnya? Dapat darimana kita?!!”

Pamannya tidak langsung bereaksi. Baru beberapa saat kemudian dia mendengar pamannya itu menghela nafas, “Aku juga ndak tahu, Bu. Kita serahkan saja semuanya kepada Tuhan. Bapak akan berusaha sekuat mungkin. Bapak kan ndak bisa membiarkan mereka sendiri disana. Mereka sudah ndak punya siapa-siapa lagi. Hidup mereka dulu sudah susah. Kamu tau sendiri gimana kelakuan Mas Ronggo.”

Angga yang waktu hanya terbaring diam di tempat tidurnya, hanya bisa menarik nafas tertahan pelan. Setiap kali mendengar nama Bapaknya di sebut, dia selalu merasakan sentakan nyeri di dadanya. Bekas masa lalu yang di tinggalkan orang yang seharusnya dia hormati itu begitu lekat di benaknya. Orang yang seharusnya menjadi sosok pelindung dan dia hormati, justru lebih menjadi mimpi buruk yang memaksanya untuk tumbuh dewasa lebih cepat dari normal.

Sifat keras dan ringan tangan Bapaknya sudah menjadi makanan sehari-hari Angga dan Ibunya. Angga babak belur pertama kali ketika dia berusia 5 tahun. Waktu itu Bapaknya baru pulang dari kerjanya sebagai satpam di sebuah rumah milik seorang pedagang keturunan yang kaya. Tapi sepertinya, sebelum pulang, Bapaknya itu mampir untuk bersenang-senang dengan beberapa orang temannya, karena bau minuman yang menyengat, menguar dari tubuh Bapaknya. Dan entah karena dia melakukan apa, kemarahan Bapaknya tersulut. Dia mengamuk dan menempeleng Ibunya. Angga kecil yang melihat bagaimana Bapaknya menghajar Ibunya hanya bisa menangis keras. Dan hanya dalam waktu beberapa menit kemudian dia sudah babak belur di hajar.

Sejak itu, Angga berusaha sebisa mungkin untuk menjauh dari Bapaknya. Meski terkadang dia harus menerima makian, umpatan kasar, tempelengan dan tendangan dari Bapaknya. Angga belajar untuk menahan rasa sakitnya. Hingga kemudian ketika dia masuk SMP, dia yang mulai tumbuh, melihat dengan kepalanya sendiri, betapa Bapaknya berbeda dengan Bapak teman-temannya yang lain. Angga mencoba memahami dan membandingkannya. Dan hanya sebuah kesimpulan sederhana yang kemudian dia bisa ambil.

Dia tak bisa berdiam diri lagi!

Dia harus melakukan sesuatu. Bukan hanya untuk dirinya sendiri. Tapi juga Ibunya yang kian kurus dan adiknya, Anggi yang masih kecil. Dia tak akan membiarkan tubuh kecil adiknya itu babak belur seperti yang dia alami dulu.
Hal itu yang mendorong Angga untuk mengikuti klub karate. Dia belajar dengan keras disana. Karena dalam benaknya, dia harus menjadi kuat untuk bisa membela anggota keluarganya dari kekejaman Bapaknya.

Dan hanya membutuhkan waktu satu tahun setelah itu bagi Angga untuk bisa membalas perlakuan Bapaknya. Dan hingga kini, Angga masih bisa mengingat ekspresi bapaknya itu saat bogem keras Angga mampir di rahangnya. Campuran antara kaget, heran, marah dan sedikit takut di wajah pria itu Angga nikmati dan patri di benaknya.

“Bapak nggak boleh memukul Ibu, aku ataupun Anggi lagi!!” katanya dengan dua tangan terkepal keras.

Itu merupakan awal dari serangkaian pertengkaran mereka. Entah karena sifat bebal atau kekeras kepalaan dan arogansi orang tua, Bapaknya masih saja mencoba memukul Angga ataupun keluarganya yang lain. Hingga beberapa kali mereka terlibat baku hantam. Tak jarang pula, beberapa orang tetangga mereka ikut melerai. Sebenarnya Angga malu bagaimana terkadang dia merasa kalau keluarganya lebih mirip semacam sirkus yang menjadi tontonan menarik para tetangga mereka. Namun sebagian besar dari mereka yang sudah tahu watak Bapak Angga, memakluminya. Beberapa dari mereka bahkan mendukung perlawanan Angga dan mengatakan bahwa Bapaknya perlu untuk diberi pelajaran.

Dan Angga jelas saja mengamininya. Karena itu pula dia makin getol belajar bela diri. Dan dia sudah memegang sabuk hitam ketika dia hendak lulus SMP. Dan pada saat itu, Bapaknya sudah tak mampu lagi menyakitinya. Juga anggota keluarganya yang lain. Dia yang dulu terlihat menakutkan dan mengancam, di mata Angga, dia jadi terlihat menjadi sosok yang menyedihkan. Sosok pemipin keluarga yang gagal dan menyembunyikan kepengecutannya dengan meneggak minuman keras ringan dengan bau yang menjijikkan.

Namun bahkan dengan kondisinya yang seperti itu, Bapak Angga masih bisa mengacaukan hidupnya!

Suatu hari, pria sialan itu membawa Ibunya ke pasar, mengantarkan beliau untuk belanja. Dan entah karena dia sedang mabuk, atau karena sudah takdir, mereka kecelakaan di jalan. Dan meninggal di tempat.

Kejadian itu yang memaksa Angga untuk tinggal bersama pamannya.

Getaran yang terasa di saku celananya membuat Angga sedikit tersentak dan merenggut kilas balik hidupnya di masa lalu. Angga meminggirkan motornya dan berhenti. Kalau ada orang yang tak akan berhenti menelepon sampai dia mengangkatnya, pasti orang itu, batin Angga.

Dan benar saja. Wajah Andrian muncul pada screen ponselnya.
“Ya An? Aku sedang di jalan,” katanya langsung.

“Berkas Pak Nyoman Budiarta kau bawa kan?” tanya Andrian di seberang sana. Dia terdengar sedang mengetik sesuatu 
dan meminta sekretarisnya untuk melanjutkan.

“Ada dalam tas. Aku sudah meminta beliau menandatangani semua berkas yang di butuhkan. Kau bisa segera memprosesnya,” sahut Angga dengan nada datar. Meski sudah sekian lama dia bekerja dengannya, Andrian masih saja suka mengecek. Seakan-akan tak pernah mempercayai kemampuanya. Meski sebenarnya...

“Sudah sampai mana?” tanyanya dengan nada yang berbeda. Kalau tadi dia terdengar resmi, kali ini suaranya terdengar lembut, penuh perhatian. Itu berarti Jessica, sekretarisnya sudah keluar dari ruangannya.

“Sekitar setengah jam lagi aku sampai,” jawab Angga.

“Hati-hati...” kata Andrian, tak kalah lembutnya dengan tadi.

Angga hanya mengeluarkan suara dengusan pelan untuk kemudian memutus sambungan. Dia segera memasukkan kembali ponselnya dan meneruskan perjalanan menuju Denpasar.

Andrian adalah..................................pacarnya!

Pertemuan pertama mereka terjadi tatkala Angga berada dalam titik terendah di hidupnya. Waktu itu, sekitar sebulan setelah dia dan Anggi mulai hidup bersama pamannya. Semuanya terasa menekan bagi Angga. Pamannya memang tak pernah mengeluh atau mengatakan hal yang tak mengenakkan. Tapi suasana rumah mulai terasa panas dan sesak. Pertengkaran-pertengkaran kecil antara paman dan bibinya mulai terjadi. Dan Angga tahu, semua di awali oleh kehadirannya dan Anggi disana.

Dan sepertinya, Pamannya juga mengerti. Entah karena apa atau ide siapa, suatu hari pamannya berkata, “Kamu kok ndak pernah keluar Ngga? Mumpung lagi di Bali, main-main sana. Ke Kuta atau Tanah Lot atau apa gitu lho. Pakai saja motor Paman.”

Angga melihatnya sebagai sebuah kesempatan. Kesempatan untuk melarikan diri sejenak dari suasana rumah yang menekannya. Meski dia merasa tak enak karena harus meninggalkan Anggi disana. Tapi Angga butuh sedikit waktu sendiri untuk berpikir dan menenangkan diri. Dan pada sabtu pagi, Angga meluncur pergi dari sana dengan motor pamannya. Mencoba untuk menghindari pandangan sengit dari bibinya dan tatapan memelas dari Anggi.

Dan bahkan ketika melaju di jalanan, deru angin yang menerpa tubuhnya, sedikit memberi tenaga baru yang sudah lama tak di rasakannya. Sedikit kebebasan. Seakan-akan dia menyatu dengan angin dan bukan bagian dari dunia yang fana dan fakta yang menyesakkan dalam hidupnya. Dia punya beberapa jam untuk menjadi pribadi yang bebas. Dan dia ingin menikmatinya. Karena seperti Cinderella, dia akan kembali pada kehidupan nyata yang menjeratnya nanti. Untuk saat ini, dia dan angin adalah teman akrab.

Dia tiba di Kuta pada jam makan siang. Udara pantai yang menyengat menyambutnya tanpa ampun. Tapi dia menyambutnya dengan senang. Apalagi kini dia berada di tengah keramaian pantai yang membuatnya seakan-akan berada di bagian negara lain. Berbagai macam orang dengan berbagai warna kulit tampak berseliweran. Dia menangkap percakapan dalam bahasa Inggri, Prancis dan entah apa lagi.

Setelah memarkir motornya, Angga segera melangkah melewati tembok pembatas pantai dan menghirup udara yang berhembus sedikit kencang.

“Hanya untuk hari ini...” gumamnya pelan dan kemudian melangkah, membaurkan diri dengan keramaian pengunjung Kuta hari itu.

Siang itu pantai Kuta ramai seperti biasa. Sekali lagi, dia menangkap samarpercakapan dengan  berbagai macam bahasa terdengar di sekelilingnya. Ada yang sedang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, Bali, Inggris, Belanda, dan bahkan Cina. Pantai yang membentang itu jadi mirip menara babel dengan penghuninya yang berasal dari berbagai belahan dunia. Semua menyatu dalam aktifitas yang acak.

Angga melihat semuanya itu seperti sebuah lukisan dengan warna-warna terang. Ada pria kulit hitam yang dengan percaya dirinya mengenakan celana renang berwarna hijau menyala. Seorang wanita kulit putih bertubuh subur, dengan santainya berbaring di kursi malas, tidak memperdulikan sinar matahari yang cukup menyengat. Lalu mereka-mereka dari Asia yang berkulit coklat, membaur dengan santainya. Ada juga turis-turis lokal yang dengan konyolnya berlagak seakan-akan mereka tamu-tamu dari luar. Dengan dandanan ajaib, topi super besar dan kaca mata hitam serta baju yang sebenarnya tidak layak di gunakan oleh orang-orang ketimuran, berlagak seakan-akan mereka sudah tahunan berada di tempat ini.
Angga menggelengkan kepalanya.

Cukup lama dia berada di pantai. Berjalan-jalan di pingirannya. Menikmati hembusan angin yang sedikit kencang dan panasnya matahari. Hingga kemudian dia berhenti di depan kedai Mc.D yang berdiri menghadap pantai. Sebenarnya dia agak ragu untuk makan disana. Tapi..............persetan. hari ini dia akan memanjakan dirinya.

Dia pun menyeberang untuk masuk ke gedung bertingkat itu. Angga sudah tak ingat, kapan terakhir kali dia berdiri dalam antrian seperti ini. Rasanya menyenangkan berada dalam sebuah baris kedai yang mungkin, bagi sebagian orang membosankan. Tapi kali ini, antrian ini membuat Angga merasa menjadi bagian dari sesuatu. Bagian dari sebuah kenormalan.

Ada sedikit rasa sesal yang kemudian muncul dalam hatinya, ketika harus membayar pesenannya yang hampir lima puluh ribu rupiah. Rasa itu muncul setelah mengingat wajah adiknya. Suatu saat aku akan membawanya ke sini, batin Angga. Dia akan menebus apa yang dia lakukan kali ini nanti, dengan berlipat ganda.

Angga membawa bakinya dan mencari tempat duduk kosong. Beruntung baginya karena ada satu meja yang kosong di luar. Dia bisa makan sambil melihat ke arah pantai. Dengan cepat dia kesana dan duduk. Ada dua meja lain yang terisi penuh. Di belakang Angga, ada sepasang turis bule yang asyik makan sambil nyerocos dalam bahasa aneh. Kalau tidak Jerman, pasti Belanda. Sementara meja lainnya, di isi oleh segerombolan pria yang sepertinya pekerja kantor sukses.

Empat orang itu ngobrol dengan santai. Semuanya berpakaian rapi dan jelas mahal. Dua diantaranya bahkan mengenakan dasi dan terlihat resmi. Dua orang di antara mereka terlihat jelas memiliki darah TiongHoa. Di lihat dari kulit mereka yang putih dan mata yang sedikit sipit. Yang satu malah begitu sipit sehingga mengingatkan Angga akan orang yang sedang mengantuk. Sementara pria keturunan yang satunya................

Dia memiliki ekspresi sok yang biasanya di miliki oleh orang-orang sombong. Raut wajahnya yang sedikit dingin, dengan bahu dan dagu terangkat membuatnya terlihat menyebalkan. Apalagi dia memiliki bentuk mata unik. Orang-orang menyebutnya dengan mata kucing. Dengan rambut terpotong pendek dan berkilap, baju yang mewah dan jam tangan mahal itu, dia memiliki aura seorang penguasa. Seakan-akan dia memiliki segalanya. Mungkin dia memang Bos dari 3 orang lainnya. Tapi melihatnya...............membuat Angga merasa kesal.

Dua orang lain memiliki wajah lokal. Satu terlihat sudah berusia matang. Memiliki kumis tebal yang jelas di tata. Berusia mungkin di atas 40. Jauh lebih tua dari lainnya yang mungkin masih berusia di akhir 20an atau awal 30. Suaranya berat dan terdengar dari meja Angga. Sementara yang satunya, memiliki perawakan kalem. Penampilannya jelas terawat seperti yang lain. Kulit bersih, kemeja rapi dan juga mahal. Tapi yang mencuri perhatian Angga adalah, dia terlihat kalem. Wajahnya memiliki kesan lembut, sabar dan terpelajar. Wajahnya yang bersih di hiasi senyum simpul yang sesekali terlihat kala mendengar celotehan teman-temannya. Sepertinya dia tipe-tipe pria yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri.
Dan juga insting yang tajam! Karena tiba-tiba dia mengangkat muka sehingga pandangan mereka bertemu!

Kepergok sedang memperhatikan membuat Angga sedikit salah tingkah. Wajahnya memanas dan sepertinya terlihat merah. Yang bisa dia lakukan hanyalah mengangguk sekilas dan memberikan senyum tipis seraya cepat-cepat memalingkan wajahya.

“Lucu juga tuh bocah. Deketin aja.”

Celetukan itu terdengar hanya selang beberapa detik setelah pandangan mereka bertemu. Hal itu membuat Angga secara instingtif kembali menoleh dan melihat kalau ke empat orang itu kini melihat ke arahnya. Jelas saja Angga jadi makin salah tingkah. Lelaki kalem tadi memberi sikutan pelan pada pria keturunan dengan mata kucing tadi. Sepertinya dia yang mengeluarkan celetukan tadi.

Angga kembali memberi anggukan sekilas pada mereka dan meneruskan makannya. Dari sudutnya, pria kalem tadi sepertinya menegur temannya.

“Halaaaaahh!! Semua cowok pantai kek dia bisa di pake semua. Gak usah takut. Deketin aja dan tanya berapa tarifnya. Tapi lo inget, kudu safe sex ya? Jangan sampe lo ketularan penyakit. Bocah kek dia udah pasti sering di pake ma bule-bule yang datang ke sini.”

Kali ini tanpa sadar tubuh Angga menegang mendengar kalimat yang jelas begitu sinis itu. Otaknya masih berusaha mencerna kalimat-kalimat tadi. Benarkah semua itu di tujukan padanya? Bukan orang lain? Pikirnya celingukan memperhatikan sekelilingnya. Tak ada lagi makhluk yang pantas di sebut bocah selain dirinya di sini. Dengan kata lain, pria brengsek itu mengira dirinya tipe anak-anak pantai yang menajajakan diri?!

Rasa malu yang dirasakannya tadi berubah menjadi kemarahan dalam hitungan detik.

“Tanya aja. Paling ga sampe 300 ribu semalem.”

ANJING!!!

Tubuh Angga gemetar menahan diri. Makanan yang tadinya terasa begitu lezat, tiba-tiba saja kehilangan rasa. Selera makannya menghilang. Hal yng ingin dia lakukan saat ini adalah mendekati meja mereka dan menumpahkan semua makanan dan minuman yang ada di bakinya ke kepala pria sipit edan itu!

“Maaf...........”

Sapaan pelan yang di ucapkan dengan penuh sesal itu datang dari sebelah kanannya, membuat Angga hampir terlonjak. Pria kalem itu berdiri di sebelahnya dengan wajah menyesal. Dia langsung duduk tanpa menunggu di persilahkan oleh Angga.

“Namaku Andrian. Aku kesini mewakili teman-temanku disana. Tolong maafkan temanku tadi ya? Dia tidak bermaksud...”

“Jadi berapa?”

Kalimat santai dan tanpa tandeng aling-aling di ucapkan oleh pria mata kucing tadi dengan nada kalem dan tanpa dosa. Dia berdiri di sebelah meja mereka. Begitu dekat hingga bahkan Angga bisa mencium harum parfumnya yang nyaman. Jauh berbeda denga aura menyebalkan yang menguar kuat dari tubuhnya.

Rasa terhina dan marah yang Angga rasakan karena di anggap sebagai gigolo pantai begitu besarnya hingga membuat Angga terpaku kaku di tempat. Angga memang mendengar ada fenomena seperti ini. Dimana banyak bocah-bocah di bawah umur menawarkan diri untuk bisa di gunakan oleh turis-turis yang datang. Tak di sangka kali ini, dia yang mendapat anggapan seperti itu. Apa yang membuatnya terlihat seperti gigolo pantai? Seingatnya, dia tak memakai pakaian macam-macam.

Andrian yang duduk di depan Angga mengeluarkan suara terkesiap keras dan menegur temannya itu dengan nada marah.

“Andre! Tolong!!” pintanya lagi.

Angga menoleh pada pria yang di panggil Andre tadi. Dia memang gambaran umum seorang pria kaya. Tubuh tinggi tegap dan terlihat terawat dengan baik. Angga tidak akan heran kalau ada yang memberitahu bahwa Andre ini rajin nge-gym. Pakaian rapi dan jelas bisa ratusan kali lebih mahal dari harga baju yang Angga pakai kali ini. Jam tangan dan semua atribut yang melekat di tubuhnya meneriakkan kata berkelas dengan begitu jelas.

Tapi siapa sangka. Pria yang terlihat begitu normal ini ternyata penyuka sesama jenis.

Bahkan Andrian yang tadi memperkenalkan diri dan duduk di hadapannya juga terlihat normal. Wajahnya yang kalem dan terpelajar memang terawat bersih. Tubuhnya yang langsing itu juga terbungkus pakaian yang rapi dan jelas mahal. Kacamata yang dia pakai membuat kesan kalemnya maikn terlihat. Hidung mancungnya menahan kacamata itu dengan apik. Dan bibirnya yang kemerahan dan sepertinya tidak pernah tersentuh nikotin itu memberikan senyum minta maaf. Bahkan matanya yang kini menatap Angga dengan penuh penyesalan itu tak mengindikasikan bahwa dia penyuka sesama jenis.
Dia lebih tampak seperti seorang eksekutif muda tampan dengan masa depan cerah. Angga menyukai aura kalem dan terkendali yang dia pancarkan. Berbeda dengan pria keturunan yang masih berdiri dengan muka sengaknya di sebelah Angga ini.

“Aku tak tertarik,” jawab Angga akhirnya pelan. Dia melanjutkan makannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Andre tak langsung menjawab. Dia menarik kursi dan duduk di sebelah kiri Angga tanpa di persilahkan. Dia juga langsung meraih gelas minuman Angga yang masih utuh dan meneguknya begitu saja.

“Temanku ini sedang berulang tahun hari ini. Aku ingin memberinya kado yang berkesan. Dan dia tertarik padamu,” jelasnya santai dan tak acuh meski Andrean yang duduk di sebelahnya kembali menegurnya dengan keras.

“ANDRE!!!”

Andre mengangkat tangannya untuk menahan Andrian. Seperti yang Angga duga. Andre tipe-tipe seorang penguasa. Dia tidak akan heran kalau  nanti Andrian mengatakan bahwa Adre brengsek ini adalah bos-nya. Kasihan sekali Andrian harus bekerja dengan orang yang menyebalkan seperti ini.

“Jadi kenapa tidak kita lewati omong kosong ini dan katakan, berapa yang kau mau?” lanjut Andre, “Sebutkan berapa dan aku akan melipat gandakannya. Dua kali lipat!” kata Adrian dan kembali meneguk minuman Angga.

Angga melihatnya dengan kesal. Dia bahkan belum menikmati kesegaran minuman itu. Dan dia tidak akan sudi minum dari 
gelas yang sama dengan pria ini. Dia mengalihkan matanya pada Andrian yang duduk di depannya dengan wajah waspada.

“Bisa tolong belikan aku segelas minuman lagi? Aku tak tertarik pada apapun yang sudah dia pegang,” pintanya pada Andrian kalem.

Andrian mengeluarkan suara tersedak dan terlihat menahan tawa. Dia berusaha menguasai diri dengan cepat dan memberikan anggukan, menyanggupi permintaan Angga. Dia sudah bangkit dan meraih tangan Andre untuk mengikutinya. Tapi Andre menahan dirinya.

“Aku tidak main-main. Katakan berapa?!” katanya lagi. Kali ini dengan geraham terkatup terkatup, geram.

Angga menoleh kalem padanya. Senang rasanya bisa membuat pria sok ini sedikit tertampar. Mungkin dia bisa sedikit bersenang-senang dengan mempermainkannya. Toh kalaupun urusan ini jadi ricuh, Angga yakin kalau dia bisa menangani mereka semua dengan kemampuan bela dirinya. Tubuh mereka semua boleh terlihat fit. Tapi semua itu hasil dari gym. Angga yakin, tak seorangpun dari mereka yang menguasai ilmu bela diri. Bahkan Andre yang sok ini tak akan mungkin menguasai ilmu kung fu kan?

“10 juta semalam. Jadi kalau kau membuatnya dobel, kau harus membayarku 20 juta. Kau tak akan sanggup kan?” jawab Angga akhirnya.

Semula Angga kira reaksi Andre adalah marah-marah. Atau setidaknya mengatakan kalau dia gila. Karena tidak mungkin ada gigolo di tempat seperti ini bertarif sebanyak itu. Bahkan dia sendiri yang bukan berasal dari tempat ini, bisa memperkirakan hal itu. Tapi Adrian hanya menatapnya tanpa berkedip selama beberapa saat.

Hingga kemudian dia bangkit dan kembali ke mejanya tadi tanpa mengatakan apapun. Angga tak mampu menahan senyum kecilnya dan kembali memalingkan mukanya pada Andrian di depannya.

“Bagaimana dengan minumanku tadi? Aku haus,” katanya singkat.

Andrian sedikit tersentak dan memalingkan wajahnya pada Angga, “Ahhhh... i-iya. Maaf, aku akan...”
Kalimatnya terputus saat sebuah tangan menaruh selembar kertas di atas meja kami. Andre menatap Angga tajam, “Aku menyewamu selama dua malam. Kau bisa mencairkannya sekarang kalau mau. Dan Andrian, setidaknya dalam lima tahun ke depan, kau tak akan mendapat hadiah apapun lagi dariku. Dan habiskan dia!” katanya pada Andrian dan menunjuk ke arah Angga. Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, Andre pergi. Meninggalkan Angga dan Andrian yang terpaku di tempatnya. Dia melambai pada 2 orang temannya yang lain. Mereka bangkit dari mejanya dan mengikuti Andre.

“Kita tinggal dulu, An. Enjoy!!!” ujar salah satu dari mereka dan melambai pada mereka berdua. Sementara yang satunya 
hanya mengeluarkan tawa kecil. Mereka bertiga masuk ke dalam sebuah sedan mewah yang di parkir tak jauh dari sana.

Angga benar-benar tak mampu mengeluarkan kata-kata apapun. Dia hanya meraih selembar cek yang ada di atas meja dan melihatnya. 40 juta!!! Begitu gampangnya?!! Apa Andre itu benar-benar sudah gila?!!!

“Maaf. Biar aku kembalikan cek itu dan....”

“Ini milikku!” sahut Angga cepat. Dengan uang ini dia dan Anggi bisa bertahan selama beberapa waktu tanpa harus merepotkan pamannya. Dia memasukkan cek itu ke dalam sakunya. Dia tak memperdulikan Andrian yang untuk beberapa saat lamanya terperangah menatapnya, “Minuman. Tolong,” pinta Angga lagi.

Andrian masih diam di tempatnya.

“Kamu takut aku kabur?” decak Angga. Dia lalu bangkit dari duduknya, “Ayo bareng ke counter. Aku haus,” ajaknya lagi.
Lagi-lagi Andrian tak menjawabnya. Dia hanya mengangguk patuh dan mengikuti Angga ke dalam.







Seharusnya ini mudah kan? Pikir Angga. Apa susahnya bercinta? Bahkan jika itu harus dengan sesama pria. Dia sudah beberapa kali melihat film biru. Dan inti dari semua hubungan seks sepertinya tak akan jauh beda. Itu yang Angga pikir. Tapi ketika dia berada di dalam sebuah kamar hotel berdua dengan Andrian, semua hal itu menguap begitu saja dari otaknya. Dia bahkan terlalu takut untuk menyadari interior kamar hotel yang sebenarnya mewah itu.

“Jadi.........” Andrian tak meneruskan kalimatnya.

Angga sendiri berpaling cepat padanya yang sudah berdiri di sebelah tempat tidur. Begitu cepatnya hingga sesaat dia merasa sedikit pusing. Dia melihat pria itu dengan sedikit panik. Dia menelan ludah sejenak dan berdehem untuk mengumpulkan suara, “Jadi.................?” tanyanya bingung.

“Kamu mau mandi dulu atau................”

“Ya, mandi!!” sahut Angga cepat, “Aku seharian berada di pantai. Tubuhku bau,” sambungnya lagi dan melangkah menuju pintu. Tapi hanya dua langkah saja dia berjalan karena Andrian telah menahan lengannya. Angga harus menggigit bibir untuk tidak mengibaskan tangan Andrian darinya.

“Itu pintu balkon. Kamar mandi di sebelah sana,” kata Andrian dan menunjuk pada pintu yang ada di belakang Angga. Angga mengeluarkan tawa gugup yan terdengar aneh. Dia hanya menggaruk kepalanya dan segera berbalik untuk kemudian masuk ke kamar mandi.

Begitu pintu kamar mandi tertutup, Angga menghembuskan nafas yang tanpa sadar di tahannya sedari tadi. Dia berjalan mendekat ke arah wastafel yang memiliki cermin besar di atasnya. Untuk beberapa waku, dia hanya berdiri disana, memandang bayangannya. Bayangan yang meski setiap hari dia lihat, namun entah bagaimana, terlihat begitu asing saat ini. Dia tahu kalau nanti dia harus keluar dari kamar ini, dan menghadapi Andrian yang berada di luar.

Dia harus membiarkan pria itu menikmati tubuhnya...

Menyetubuhinya.....

Dan tiba-tiba saja Angga merasa mual. Dia muntah dengan suara tertahan di wastafel itu. Semua makanan yang tadi dia makan, tiba-tiba saja berbalik arah dan keluar dari perutnya. Dan ketika semua selesai, kaki Angga nyaris tidak bisa 
menyanggah tubuhnya. Tapi dia memaksakan dirinya untuk berdiri dan membasuh wajahnya.

“Kamu bisa....” gumamnya pada bayangannya di cermin, “Hanya dua hari. Dan kau bisa tenang selama beberapa bulan.”

Angga memejamkan matanya. Ada perasaan ironis yang di rasakannya, karena dia tahu uang yang dia dapatkan bukan dari jalan yang benar. Tapi dia mencoba mengenyahkan perasaan itu dengan cepat. Dia harus mandi dan membersihkan tubuhnya. Jadi dia segera meloloskan pakaiannya dan melangkah masuk ke bawah shower yang mengalirkan air dingin ke seluruh tubuhnya.

Sekitar 20 menit Angga membersihkan badannya sembari berusaha menenangkan diri. Dan begitu dia keluar dari kamar mandi dengan menggunakan piyama panjang yang membungkus tubuhnya, dia mendapati Andrian sedang duduk di ranjang sembari menonton tv. Pria itu memberinya senyum ramah.

“Sudah selesai? Aku sudah memesankan makan malam. Kau bisa menyantapnya kalau mau,” katanya ringan dan menunjuk pada baki yang ada di meja.
 
“Tadi kan sudah,” jawab Angga sedikit heran. Kan mereka bisa di bilang makan bareng tadi di Mc.D

“Yeah. Tapi sepertinya perutmu sudah mengeluarkan isinya di kamar mandi tadi. Yakin tidak lapar lagi?”

Angga harus menunduk malu karenanya, “Kau mendengarnya? Maaf,” katanya pelan.

“Ini pertama kali bagimu melakukannya bukan?”

Andrian mengucapkan kalimat itu seperti bukan sedang bertanya. Tapi lebih mengatakan fakta yang sudah jelas di ketahuinya. Angga tak menjawab. Dia tahu kalau dia harus siap menghadapinya. Jadi dia melangkah mendekat ke pembaringan.

“Aku siap...” katanya. Tapi suaranya terdengar aneh dan pelan. Jadi dia berdehem sejenak untuk memebersihkan tenggorokannya, “Maaf. A-aku siap..” ulangnya lagi.
Lagi-lagi Andrian tersenyum. Dia bangkit dari duduknya dan mendekat hingga mereka berdua berdiri berhadapan. Dan dia terus mendekat hingga kedua dada mereka nyaris bersentuhan. Tanpa bisa menahannya, Angga menelan ludahnya sendiri.

“Benarkah?” tanya Andrian lagi dengan satu alis terangkat.

Lagi-lagi Angga menelan ludah tanpa di sadarinya. Tapi dia bisa memaksa kepalanya untuk mengangguk beberapa kali, 

“Ta-tapi kau benar...” katanya cepat.

“Soal?”

“Ini pertama kali bagiku. Jadi......................” dia kembali menelan ludah, “.................aku harap kau bisa......” Angga kesulitan untuk menemukan kata yang tepat dan tidak menurunkan harga dirinya. Dia tak ingin kalau sampai Andrian menganggapnya merengek seperti cewek. Tapi dia tak dapat menemukan satu katapun yang tidak membuatnya malu.

Andrian hanya kembali mengangkat sebelah alis dan menatapnya bingung.

“Aku harap............kau bisa pe-pelan-pelan,” kataAngga lagi dan kali ini, dia harus menunduk karena malu luar biasa. Wajahya benar-benar terasa panas. Dia tak sanggup untuk beradu pandang dengan lelaki di hadapannya. Jadi dia menancapkan pandangannya ke lantai.

“Kau..............belum pernah?”

Angga hanya menggelengkan kepala untuk menjawabnya.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kau saja yang melakukannya padaku?”

Kalimat itu membuat Angga tertegun. Dan jujur, dia tak bisa memahaminya dengan benar. Dia bahkan menyangka kalau dia sudah salah dengar. Jadi, dia mengangkat wajahnya agar bisa melihat Andrian.

Andrian mengangguk, “Benar. Kau bisa..............menusukku,” kata Andrian dengan senyum. Dia sempat harus berpikir sebelum akhirnya menggunakan kata tadi, “Beneran kok. Role-ku lebih ke bottom daripada top. Aku lebih menyukainya dan..................entah kamu sadar atau tidak, wajahmu semakin terlihat pucat,”

Ada sesuatu yang menggelegak dalam perut Angga. Sesuatu yang membuatnya mual. Dan sesuatu itu dengan cepat naik ke tenggorokannya, “Y-ya Tu-tuhaaann..................”

Dia segera berlari menuju kamar mandi dan kembali muntah dengan hebatnya.

Dan malam itu menjadi bencana. Angga benar-benar tak bisa mengendalikan tubuhnya yang berontak keras. Pada akhirnya, dia hanya bisa meminta maaf pada Andrian. Andrian sendiri terlihat seperti tercabik antara geli, iba dan juga bingung. Dia mencoba mengatakan bahwa Angga, bahwa mereka tak perlu melakukan apapun. Mereka berdua bisa diam saja di kamar. Ngobrol atau sekedar makan. Dan dia akan meyakinkan Andre, bahwa mereka telah menuntaskan malam mereka dengan bercinta.

Tapi Angga menolak ide itu. Dia sudah berhutang pada Andrian. Dan dia, bertekad akan melunasinya. Sesuai dengan perjanjian. Hanya saja, malam ini dia tidak siap. Dia meminta nomor ponsel Andrian dan berjanji akan segera menghubunginya. Angga hanya perlu menata diri dan mentalnya. Dia berjanji bahwa maksimal dalam satu minggu, akan memberitahu Andrian.

Andrian waktu itu tersenyum. Dan tanpa mengajukan argumen atau apapun, dia menyetujuinya. Dia menyerahkan kartu namanya pada Angga, yang kemudian baru tahu kalau Andrian adalah seorang pengacara. Entah karena dia tahu hukum untuk menjerat Angga atau bagaimana, tapi Angga sempat dibuat sedikit heran akan ketenangannya. Dia seolah-olah tak takut kalau Angga akan kabur dan melupakan perjanjian mereka. Apalagi Angga sudah mencairkan ceknya tadi siang. Seharusnya, Adrian menaruh sedikit kecurigaan. Bisa saja Angga kabur tanpa kabar. Toh Andrian tak tahu sama sekali tentang kehidupan Angga.

Tapi pria itu, dengan begitu polosnya, menyetujui dan mengamini semua kalimat Angga. Dia bahkan melepas Angga pulang keesokan harinya dengan senyum.

Pria aneh, pikir Angga.

Dan Angga memang berniat untuk melunasi semua hutangnya. Sehari setelah kembali dari Kuta, Angga menghabiskan beberapa hari setelahnya di warnet. Dia melakukan beberapa penelitian tentang gay. Dia juga mendownload beberapa film gay sex yang dia jadikan referensi untuk melayani Adrian nanti.

Tubuh Angga sempat panas dingin saat pertama kali melihat beberapa film itu. Sama seperti film biru lainnya, gay sex juga ada berbagai macam. Ada yang lembut, liar, manis dan bahkan menjijikkan. Angga mulas saat pertama kali melihatnya. Keringat dingin merembes dari pori-pori tubuhnya. Namun meski begitu, ada sedikit keingin tahuannya yang muncul ke permukaan. Kalau di tanya di awal apa yang dia pikirkan pertama kali, satu kata yang terlintas adalah, sakit. Pasti sakit kan kalau sampai ada sesuatu memasuki tubuhnya? Apalagi sesuatu yang secara lazim memang bukan pada tempatnya.

Tapi anehnya, semua pemain dalam film yang dia download, terlihat sangat menikmatinya. Lebih gilanya lagi, ada dari mereka yang mengerang penuh kenikmatan saat di tembus tangan pasangannya. Film jenis ini yang membuat Angga super mulas dan mematikan hape-nya. Dia tak sanggup menonton film itu hingga selesai.

Dan pada akhirnya, dia hanya bisa mengeraskan hati. Dia harus melunasi hutangnya. Toh dia bukan pihak yang harus menahan saki. Tak ada ruginya bagi dia. Dengan tekad bulat, hari sabtu berikutnya, dia menelepon Andrian. Lucunya, Angga bisa mendengar kesan kaget dalam suara Andrian saat menerima teleponnya. Andrian bahkan dengan polosnya mengaku bahwa dia semula berpikir kalau mereka tidak akan pernah kontak lagi. Merekapun membuat janji temu lagi di Mc.D Kuta, tempat pertama kali mereka bertemu.

Yang mengejutkan Angga adalah, selain rasa takut dan dada yang berdebar-debar keras, Angga juga merasakan sedikit gairah aneh saat melihat Andrian duduk menunggunya. Sejenis rasa senang yang asing dan sulit dia jabarkan. Rasa itu yang kemudian membuat ketenangannya sedikit kembali. Andrian menyambutnya dengan senyum ramahnya. Dia mengajaknya ngobrol dengan santai. Dia bahkan sengaja menunggu Angga sebelum memesan makanan.

Pembicaraan keduanya berjalan seperti dua teman lama. Dengan santainya, Andrian menggiring Angga untuk mengobrol tentang berbagai macam hal. Dari hal-hal umum hingga sedikit pribadi. Dia bahkan berhasil memancing Angga untuk sedikit bercerita tentag latar belakangnya. Angga sempat menceritakan tentang situasinya bersama Anggi. Tapi untungnya dia bisa menguasai diri dan menutup mulut sebelum dia curhat dadakan di tempat itu. Andrian sendiri tersenyum saat Angga terdiam karena sadar terlalu banyak bicara, dan dengan luwesnya mengalihkan topik ke hal lain yang lebih umum.

Dan kemudian, Andrian mengajaknya ke rumahnya.

Satu lagi kejutan lain bagi Angga. Semula dia kira, mereka hanya akan bermalam di hotel. Tapi Andrian mengajaknya ke Denpasar. Dia meminta Angga untuk mengikuti mobilnya. Mereka memasuki derah tengah kota. Rumah Andrian berada di kawasan jalan Sudirman. Sebuah jalan besar di tengah kota yang menjadi pusat kegiatan di Denpasar. Ada beberapa mall besar yang tersebar tak jauh di daerah itu. Mereka masuk ke sebuah gang besar yang cukup untuk di lewati dua mobil. Dan mobil Andrian berbelok pada sebuah rumah berpagar tembok tinggi dengan gerbang besi.

Jelas profesi Andrian menghasilkan uang yang lumayan banyak. Karena tak mungkin dia bisa memiliki rumah yang cukup besar di tengah kota seperti ini. Rumah besar itu memiliki halaman yang cukup luas dengan sebuah garasi terbuka beratap seng yang mungkin bisa menampung 3 mobil. Angga yang masuk di sambut oleh gonggongan anjing yang berada dalam kandangnya. 2 ekor anjing jenis herder murni dan pasti akan membuat Angga ketakutan, andai saja keduanya tidak berada dalam kandangnya.

“Takut anjing?” tanya Andrian yang sudah keluar dari mobilnya dan menunggu Angga.

“Dengan ukuran sebesar itu? Tentu saja,” seloroh Angga.

Andrian tertawa, “Itu Rambo dan Bella. Mereka ramah kalau sudah kenal kok. Ayo masuk,” ajaknya kemudian.

“Kau tinggal sendiri?” tanya Angga dan mengikuti Andrian.

“Ada 3 orang lain yang  membantu. Mereka ada di belakang. Dan itu, Pak Muji,” jelas Andrian singkat dan menunjuk pada seorang pria berusia sekitar awal tigapuluhan yang muncul dari pintu belakang rumah. Dia menggunakan pakaian khas petugas keamanan. Angga tak tahu harus menyebutnya satpam atau tidak. Tapi pria itu hanya mengangguk pada mereka untuk kemudian berjalan ke arah gerbang untuk menutupnya.

“Ayo..!” ajak Andrian lagi dan melangkah mendahului Angga untuk masuk.

Dan debaran itu kembali muncul di dadanya. Jantungnya berdetak dengan keras, hingga Angga nyaris mendengar bunyi di telinganya. Tapi Angga segera menarik nafas panjang beberapa kali. Dia punya misi dan dia akan menyelesaikannya. Jadi ketika mereka memasuki pintu rumah, hal yang dia tanyakan pertama kali adalah...

“Dimana kamarmu?”

Pertanyaan itu bahkan terdengar asing di telinga Angga. Namun meski dia heran, Andrian tak menunjukkannya di wajahnya. Dia hanya kembali tersenyum untuk kemudian mengulurkan tangannya pada Angga.Angga menyambutnya dan membiarkan Andrian membimbingnya.

Kamar itu benar-benar mencerminkan Andrian. Warna coklatnya memberi kesan membumi dan hangat. Semuanya tertata rapi dan pada tempatnya. Bahkan sentuhan modern dari tv berukuran besar yang terpasar di satu dinding beserta peralatan elektronik yang menyambung di bawahnya tidak meninggalkan kesan dingin. Lemari kayu besar yang ada di sebelah tempat tidur memiliki kaca seukuran tubuh manusia. Bersambung dengan jendela kaca seukuran dinding yang di tutupi korden besar. Dan ada dua pintu lain di kamar. Satu di yakini Angga menuju kamar mandinya. Dan entah satunya.Semuanya menyatu dalam tema alam yang hangat dan kalem. Dan saat pandangan Angga tertumbuk pada pemiliknya, mata itu menyiratkan hasrat yang menyala dengan jelasnya.

Angga menelan ludah untuk sejenak. Debaran dadanya mulai kembali gila-gilaan. Tapi dia tahu kalau tak ada lagi kata mundur darinya. Dia menghentakkan tangan Andrian sehingga tubuh pria itu menabraknya. Tangan Angga segera meraih wajahnya, dan mencium bibir Andrian dengan beringas.

Andrian tertawa dan mendorong dada Angga dengan sedikit tekanan. Angga yang melepas ciumannya jadi heran.

“Apa aku melakukannya dengan salah?” tanyanya heran.

“Biar aku yang menunjukkannya padamu,ok?” ujar Andrian lagi. Untuk beberapa saat lamanya Angga ragu. Dan akhirnya dia mengangguk, pasrah. Dan Andrian mengulurkan tangannya pada sisi kanan wajah Angga, dan menciumnya dengan lembut.

Angga memejamkan mata dan membiarkan Andrian kembali membimbingnya. Kali ini dia membawa Angga menuju pucak kenikmatan fisik yang sebelumnya tak pernah dia sadari pernah ada. Dengen kelembutan yang mencengangkan dia menunjukkan pada Angga titik rahasia yang membuatnya menggelinjang. Dan tak ada satupun dari aksinya yang membuat Angga merasa kotor atau jijik. Semuanya terasa wajar dan pada tempatnya. Bahkan saat dia menyatukan tubuh mereka, saat bagian tubuh Angga memasuki tubuhnya dengan gerakan pelan, Andrian membuat Angga mengerang keras dengan penuh nikmat dan hampir saja semuanya selesai disana. Tapi Angga segera menenggelamkan wajahnya pada leher Andrian dan menahan Andrian untuk diam di tempatnya selama beberapa saat.

Angga mematrikan setiap detik itu dalam benaknya. Saat dimana kedua tubuh mereka di satukan oleh hasrat dan seonggok daging. Memberinya sedikit kesempatan untuk mengendalikan diri dan menarik nafas panjang.

Dan saat berikutnya, mereka kembali memacu diri menuju puncak tertinggi kenikmatan raga.

Akhir pekan itu Angga habiskan di rumah Andrian. Mereka nyaris tidak pernah keluar kamar selain untuk makan. Keduanya menghabiskan waktu dengan bercinta, tidur, ngobrol dengan tubuh menyatu dan mandi. Ketika hari senin pagi datang, yang kebetulan tanggal merah, Angga tahu, sudah waktunya dia kembali ke Negara. Kembali ke kehidupan nyatanya. Apapun yang dia miliki bersama Andrian selama dua hari ini, telah berakhir.

Meski pada ternyata tidak.

Hubungan keduanya di mulai sejak itu.

Andrian yang  kembali menghubungi Angga. Memintanya untuk kembali menemuinya. Tawaran yang pada mulanya Angga tolak. Karena menjadi gigolo adalah hal terakhir yang dia inginkan. Kira-kira seperti itu kalimat yang ia sampaikan pada Andrian. Pada waktu itu Andrian tertawa.

“Tak pernah sekalipun aku berpikir kalau kau adalah seorang gigolo,” kata Andrian dari seberang saluran. Dia lalu mengajak Angga ngobrol dengan santainya. Dan tahu-tahu, Angga sudah menceritakan segalanya pada Andrian. 

Dan hubungan merekapun berkembang dari sana.

Boleh dibilang Andrian yang selama ini membantu Angga untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Dia membantu Angga hampir dalam setiap hal. Hingga terkadang justru Angga yang harus mengerem usaha Andrian. Dia nyaris ingin menopang semua kebutuhan Angga. Di satu sisi hal itu sebenarnya sangat membantu kehidupan Angga. Namun di sisi lain, hal itu justru membuat Angga kerepotan dan risih. Dia merasa seperti soerang simpanan. Dan Angga tidak menginginkan hal itu.
Karena itu, dia memilih untuk meminta pekerjaan pada Andrian. Permintaan yang semula di tolak oleh Andrian, dengan alasan bahwa dia tak ingin memperlakukan Angga sebagai seorang bawahan. Namun Angga menjelaskan bahwa apa yang dia lakukan sekarang justru membuat Angga merasa lebih rendah. Dengan bekerja, setidaknya Angga merasa telah memberi balik sesuatu pada Andrian. Jadi dia tidak hanya diam dan menerima. Akhirnya, setelah pembicaraan yang sedikit alot, Andrian menyetujui permintaan Angga dan menerimanya bekerja. Tapi dia melakukannya sepulang sekolah dan akhir pekan.

Angga menerima itu dengan gembira. Dan dia melakukan pekerjaannya sepenuh hati. Sedapat mungkin dia berusaha agar pekerjaannya terselesaikan dengan sebaik mungkin. Meski dia harus bolak-balik Negara-Denpasar, Angga melakukannya dengan senang hati. Andrian yang pada masa-masa awal jadi super khawatir. Dia malah menawarkan untuk menawarkan Angga agar membawa satu mobilnya. Angga jelas menolak. Dengan uang yang dia peroleh dari Andre dulu, dia sudah membeli sebuah motor matic second yang dia gunakan. Sisanya sudah dia masukkan ke dalam tabungan untuk 
keperluannya dan juga Anggi nanti.

Andrian memang akhirnya kembali menerima argumen Angga. Tapi hanya satu minggu kemudian, dia sudah mengganti motor Angga dengan motor sport keluaran YAMAHA R25. Yang dia katakan hanyalah, “Aku sudah cukup mengalah dengan semuanya kan? Gantian kamu sekarang yang kudu diam dan menerimanya,” katanya ringan dan menyerahkan kunci motor itu pada Angga.

Giliran Angga yang mengalah kali ini. Yang bisa dia lakukan hanyalah melakukan tugas-tugas yang dia bebankan padanya sebaik mungkin. Dia tahu kalau Andrian hanya memberinya tugas-tugas ringan. Hal-hal remeh seperti mengantar surat-surat, meminta tanda tangan atau bahkan sekedar mengcopy berkas-berkas. Tapi dia melakukan semuanya. Terkadang bila tidak ada pekerjaan, Angga membantu pegawai-pegawai lain atau meminta mereka mengajarinya. Dia sudah belajar menggunakan berbagai macam applikasi dan program komputer seperti words ataupun power point pada beberapa pegawai senior lain yang baik hati.terkadang dia sendiri yang menawarkan untuk membantu mengerjakan tugas mereka. Dia mencoba membaurkan diri dengan mereka. Menganggap semua yang bekerja di sana adalah guru. Apapun yang mereka ajarkan coba di serap dan praktekkan dalam dunia nyata.

Dan sejujurnya, Angga belajar banyak. Dia sudah tahu bagaimana melakukan atau membuat surat-surat resmi. Prosedur-prosedur penting yang berhubungan dengan pengurusan tanah, property dan juga hukum. Dia seperti spons busa yang menyerap semuanya dengan mudah. Kini, sesekali dia bahkan mendapat tugas menemui klien dan membereskan urusan-urusan penting mereka.

Andrian tak mengatakan apapun. Tapi sinar bangga yang dia perlihatkan tiap kali Angga menyelesaikan tugasnya dengan baik, sudah menjadi balasan yang sepadan bagi Angga. Tatapan itu bernilai lebih dari sekedar kata-kata. Dan Angga berniat agar tatapan itu terus ada untuknya.

3 komentar: