Bab 1
RIZKY
“Tadi kan sudah,” jawab Angga sedikit heran. Kan mereka bisa di bilang makan bareng tadi di Mc.D
RIZKY
Rizky mengusap peluh yang mulai menetes di sisi
wajahnya. Panas di bulan Juni kali ini benar-benar menyengat. Entah karena isu
pemanasan global yang dia dengar beberapa waktu yang lalu, ataukah memang sudah
waktunya. Musim hujan masih beberapa bulan lagi. Matahari seakan-akan marah
pada penduduk Bumi dan berniat untuk menghukum mereka dengan pancaran panasnya.
Padahal Angga masih harus berjalan sekitar 20 menit lagi untuk bisa sampai di
rumahnya. Dan dibenaknya, sudah terbayang berbagai macam aktifitas yang harus
dia selesaikan sesamainya di rumah nanti.
Rizky menghela nafas. Sungguh dia merasa enggan
kalau harus memikirkannya. Namun bagaimanapun juga, dia tahu, kalau semua itu
sebuah keharusan baginya. Dia jarang mengeluh. Tapi.....sebagai remaja,
terkadang dia merasa jenuh dan terbebani.
“Bodoh!!!” gumamnya, kesal pada dirinya sendiri.
Merasa konyol dan juga bersalah, setiap kali rasa jenuh itu mulai merambatinya.
Dia kembali melangkah dengan langkah lebih riang daripada tadi. Meski kemudian
langkahnya terhenti saat sebuah motor gede yang jelas sudah di modifikasi
sehingga tampak garang, berhenti persis di depannya dengan jarak hanya beberapa
senti.
“Naik!” kata Angga santai, seolah-olah tadi dia tak
hampir menabrak temannya itu.
“SEMPRUL!!!!” umpat Rizky tegas setelah bisa
menguasai kekagetannya. Satu tangannya masih memegang dada karena merasa nyaris
nyawanya melayang dicium motor gede
Angga.
“Naik deh, cepetan! Panas nih!!” gerutu Angga, masih
dengan muka tanpa dosanya.
Rizky menggeram kesal karena kecuekan Angga. Kalau
saja dia tak mengenal teman dekatnya itu, dia pasti sudah nyap-nyap dengan
serangkaian kata-kata mutiara padanya. Tapi dia sudah tahu tabiat Angga yang
selengekan dan cuek bebek. Percuma saja dia ngamuk sampai bibirnya jontor pada
pemuda sableng seperti Angga. Yang ada dia sendiri tambah kesal. Kecuekan Angga
sudah melegenda di sekolah mereka.
Jadi Rizkypun naik ke belakang motornya, meski
kemudian dia menghadiahi sebuah tepukan keras di punggung Angga.
“Tumben pulangnya telat,” ujar Rizky dengan nada
sedikit bertanya.
“Dipanggil wali kelas,” jawab Angga sembari
melajukan motornya dengan kecepatan yang bikin Rizky kaget dan dengan segera
berpegangan pada bahu Angga.
“Karena bolos kemaren?” tanya Rizky setelah kembali
menepuk bahu Angga, karena tadi membuatnya kaget untuk kedua kali.
“Aku juga lupa sms kamu sebelumnya. Aku ngerjain
sesuatu dan ketiduran. Baru bangun jam 10 siang. Jadi gak sempet sms kamu buat
minta bikinin surat ijin,” kata Angga di antara deru angin.
Rizky menghela nafas panjang. Selama ini, memang dia
yang selalu membuatkan surat ijin bagi Angga kalau cowok itu tidak masuk
sekolah. Bukan karena Rizky mendukung agar temannya itu bolos. Tapi lebih
karena dia tahu kalau Angga melakukannya karena suatu kewajiban. Dia hanya mengatakan
bahwa dia sudah bekerja. Meski tak pernah mengatakan dengan jelas sebagai apa.
Namun Rizky yakin bahwa Angga memang sudah bekerja.
Sedikit banyak, Rizky tahu bagaimana keadaan Angga
yang sebenarnya. Meski tampak selalu bergaya dan berkecukupan, Angga sebenarnya
sudah tak memiliki orang tua. Dan dia memiliki seorang adik perempuan yang dia
titipkan pada pamannya. Tempat Angga juga menumpang hidup. Tapi meski begitu,
Angga yang mencukupi semua kebutuhan adiknya yang sudah kelas 2 SMP tersebut.
Dia juga mengaku bahwa dia juga rutin memberikan uang belanja dalam jumlah yang
lebih dari cukup pada pamannya. Sekedar uang terimakasih karena telah mampu
menampung mereka berdua. Meski sebenarnya Angga sendiri lebih sering di luar.
Dan mungkin hanya seminggu sekali berada di rumah pamannya.
Rizky pernah mengusulkan pada Angga untuk menyewa
rumah saja. Jumlah uang yang dia berikan pada pamannya itu, sebenarnya lebih
dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup Angga dan adiknya saja. Tapi Angga
menolak dan beralasan bahwa adiknya membutuhkan pengawasan. Karena pekerjaan,
Angga tak bisa selalu berada di rumah. Adiknya pasti akan kesepian sendiri
kalau mereka menyewa rumah berdua. Plus, usia mereka juga masih muda. Dengan
adanya sang paman dan keluarganya, setidaknya sang adik memiliki pengawasan
serta tali kekang yang bisa mengendalikan kalau-kalau sedikit melenceng dan
nakal.
Banyak hal yang sebetulnya tidak di pahami oleh
Rizky tentang Angga. Meski mereka cukup dekat, dan Rizky bisa mengatakan bahwa
dia adalah satu-satunya orang yang dekat dengan Rizky di sekolah, namun Rizky
masih belum tahu banyak tentang temannya itu. Angga selalu menyimpan sebagian besar
informasi tentang dirinya, dan tak pernah membagikannya pada orang lain.
Termasuk Rizky. Dia bahkan membiarkan stigma seram tentang dirinya yang selama
ini beredar di sekolah.
Angga di sekolah di kenal sebagai pimpinan geng
berandalan yang kerjanya cuma bikin ulah. Dia punya reputasi sebagai preman
yang cukup di segani karena pernah menghajar pentolan preman kampung yang
sukanya memalak para pedagang pasar dan anak-anak sekolah. Sekolah mereka, SMA
Negeri 3 Negara, memang berada tak jauh dari pasar tradisional daerah Negara.
Hanya berjarak sekitar 500 meter. Ada gerombolan preman yang biasa mangkal
disana. Di pimpin oleh Nyoman Calegi. Pria asli Negara, Bali yang dikenal
pemberani dan pemalak. Dia dan beberapa anak buahnya cukup dikenal dan sering
bertingkah seenaknya. Baik pada para pedagang ataupun murid sekolah yang
berpapasan dengannya. Beberapa anak-anak sekolah bahkan ada yang sengaja
mendekati dan menjadi anak buahnya. Memberinya informasi kapan harus beraksi
dan siapa yang bisa di jadikan korban. Juga menutupi semua perbuatan Calegi dan
kroco-kroconya.
Para warga sendiri terlalu takut untuk melapor pada
pihak berwajib. Ada beberapa orang mencoba untuk melakukannya, tapi banyak di
antaranya berakhir dengan menginap di rumah sakit. Sementara Calegi sendiri
masih melenggang dan beberapa orang pernah bercerita bahwa mereka melihat
Calegi sedang ngobrol dengan santai bersama pihak aparat. Dan mereka pun mahfum
kalau usaha mereka untuk meminta bantuan aparat, akan menjadi percuma.
Dan Angga, tanpa sengaja harus berhadapan dengan
mereka. Waktu itu dia yang masih kelas 11 di cegat oleh Calegi dan dua orang
kroconya. Juga 3 orang anak kelas 12 yang jadi antek Calegi. Tak jelas apa yang
sebenarnya mereka inginkan. Meski intinya sepertinya sama. Mereka mencoba
memalak Angga yang penampilannya memang mencerminkan anak berada. Sial bagi
mereka. Angga sudah memegang sabuk hitam di usia 16 tahun. Jadi saat mereka
mencoba menggunakan kekerasan, justru Calegi dan anak buahnya yang babak belur.
Angga mematahkan rahang Calegi, membuat 2 orang yang
lain dislokasi tulang di bagian bahu dan kaki. Serta 3 anak kelas 12 yang ikut
mengeroyok kehilangan beberapa gigi dan mata mereka biru untuk beberapa minggu.
Sejak itu reputasi Angga meroket. Dia segera saja
menjadi sosok baru yang di segani dan juga di takuti. Para trouble maker di
sekolah tak berani mencari gara-gara dengannya. Bahkan mereka bersikap super
ramah saat ada di sekitar Angga. Tapi Angga adalah Angga dengan segala ketidak
peduliannya.
Dia dingin saja dan bersikap seperti biasa. Cuek dan
tak mau tahu. Sepanjang mereka tidak mengusiknya, Angga juga melenggang. Dia
hanya menanggapi sikap orang-orang di sekitarnya, baik yang memuja, menakuti
atau menghormatinya, dengan ketidak acuhannya. Berbicara hanya bila di
perlukan. Dan diam kalau memang tak ada yang perlu di sampaikan.
Para guru bahkan ada yang beberapa di antaranya
mencoba meminta bantuan Angga dalam menertibkan murid-murid yang bermasalah.
Dan yang Angga lakukan hanyalah mendekati mereka dan bicara sepatah dua patah
kata, merekapun tunduk.
Dan diapun melenggang. Membiarkan semua kasak kusuk
tentang dirinya berkembang dengan sendirinya. Tidak membenarkan atau menyangkal
gosip-gosip murahan yang kadang sangat berlebihan. Misalnya gosip bahwa dia
memakai jasa dukun. Bahwa dia kumpul kebo dengan pacarnya yang sudah kuliah. Atau
gosip edan bahwa dia pernah dipenjara saat masih tinggal di Surabaya.
Mencengangkan bagaimana orang-orang bisa menciptakan
kabar angin yang kreatif sekaligus absurd seperti itu.
Pertemanan mereka dimulai saat Rizky
menyelamatkannya dari hukuman karena tertidur di kelas. Waktu itu, dia yang
duduk di sebelah Rizky kebablasan ngorok saat pelajaran kimia. Pak Jono yang
mengajar waktu itu terkenal killer dan tak pandang bulu. Salah satu dari
beberapa guru yang selalu menuntut kepatuhan dan hormat dari murid-murid yang
di ajarinya. Dan Rizky saat itu melihat bagaimana beliau mulai menyadari
kondisi Angga yang tidak pernah mengangkat kepalanya dari meja.
Karena tak tahu bagaimana membangunkannya tanpa
menambah kecurigaan Pak Jono, Rizky menendang kaki Angga yang ada di bawah
meja. Tepat kena tulang keringnya. Angga mengerang keras karenanya.
“Angga bisa selesaikan soal di depan ini?” tanya Pak
Jono dengan suara menggelegar.
Angga yang baru saja melek jelas saja cuma bisa
celingukan. Rizky lalu menyelipkan selembar kertas berisi jawaban dari soal
yang dimaksud Pak Jono. Untungnya Angga anak yang cepat tanggap. Dengan gaya
natural dia menjabarkan jawabannya sambil sesekali bergaya menghitung persamaan
kimia di buku catatannya.
Dan dia selamat.
Saat Pak Jono telah keluar kelas, dia berpaling pada
Rizky dengan wajah kesal, “Emang kamu nggak bisa ngebangunin aku dengan pelan
ya?” tegurnya.
“Aku sudah mencoba. Tapi kamu nggak bangun-bangun
juga!” gerutu Rikzky balik. Sedikit takut kalau akan mendapatkan hadiah bogem
mentah darinya.
Angga hanya menggerutu pelan dan mengangkat kakinya.
Dia menunjukkan tulang keringnya. Tepat dimana Rizky menendangnya tadi,
kulitnya mulai membiru.
“Lain kali cubit aja,” ujarnya lagi dan bangkit
untuk kemudian pergi.Rizky tanpa sadar menghela nafas lega karena tak harus
merasakan bogem Angga.
Dan semenjak kejadian itu, Angga mau mengajaknya
bicara. Dan pertemanan merekapun di mulai. Meski Rizky bisa mengatakan ada
banyak hal yang tidak dia ketahui tentang Angga.
“Buka tasku!” kata Angga, membuat sedikit lamunan
Rizky buyar.
“Apaan?!!” tanya Rizky balik.
“BUKA TASKUU!!!” kali ini Angga agak meneriakkan
kalimat tadi. Sedikit heran, Rizky menurutinya. Dia menemukan sebuah bungkusan
tas plastik yang kemudian diambilnya.
“INI?!!!” tanya dia kemudian dan menunjukkan
bungkusan itu pada Angga. Dia menjawabnya dengan anggukan dan berhenti. Mereka
telah sampai di gang kecil yang menuju rumah Rizky.
Rizky turun dan mengulurkan bungkusan itu pada
Angga, “Ini apaan?” tanya Rizky heran.
Angga yang masih nongkrong di atas motornya yang
menyala melihat langsung ke arah Rizky, “Kemaren aku beli buku tulis. Itu
untukmu,” jawabnya singkat. Dan tanpa menunggu respon dari Rizky yang masih
terbengong di tempatnya, dia melaju pergi.
Rizky hanya bisa menghela nafas setelah bisa
menguasai diri. Kebiasaan Angga. Dia tahu akan kondisi keluarga Rizky. Satu
dari segelintir orang yang tahu dan peduli. Sudah beberapa kali dia membantu
Rizky dan selalu bisa menghindar sebelum Rizky mampu menolaknya.
Akhirnya dengan langkah sedikit berat, Rizky
melangkah menuju rumahnya. Rumah yang telah menjadi tempat bernaung keluarganya
selama lebih dari 4 tahun ini. Orang tua Rizky berasal dari Jawa. Banyuwangi
tepatnya. Mereka merantau ke Bali. Mencoba peruntungan mereka di pulau dewata.
Pertama kali mereka tinggal di daerah Kuta.
Sayangnya, Bapak dan Ibu Rizky hanyalah orang
kampung biasa yang tidak memiliki keahlian. Karena itu, mereka sulit
mendapatkan pekerjaan. Hingga kemudian Bapaknya mendapat tawaran bekerja di
sebuah proyek pembangunan di daerah Negara ini. Keluarga Rizkypun mengepak
semua milik mereka yang tidak seberapa dan pindah ke Negara.
Mereka cukup senang meski boleh dibilang kekurangan.
Hingga kemudian petaka itu terjadi. Bapak Rizky jatuh dari tingkat 2 gedung
yang digarapnya. Dan keadaannya tidak pernah lagi sama.
Tubuh Bapaknya lumpuh separuh. Entah akibat dari
jatuh itu atau efek penyakit lainnya. Yang jelas, beban keluarga kemudian
pindah ke pundak ibunya. Dan dengan adanya 2 adik Rizky yang lain, beban Ibunya
makin bertambah. Sampai akhirnya mereka harus terusir dari rumah kontrakannya.
Dan harus tinggal di tempat mereka sekarang.......
Rizky memandang rumah reyotnya dengan hati berat.
Rumah reyot yang berada persis di sebelah kandang
sapi dan kambing yang menjadi tugas Rizky dan adik-adiknya. Rumah milik seorang
kenalan Bapak, pemilik dari kebun kelapa dan semua sapi dan kambing yang di
pelihara oleh Rizky dan adik-adiknya. Mereka mendapat sedikit upah dan juga
bebas menempati rumah itu sebagai imbalannya. Rumah yang kadang mengeluarkan
suara aneh saking reyotnya di malam hari karena terpaan angin. Beberapa bagian
rumah tersebut bahkan suka bocor kala musim hujan.
Kurang dari setahun! Batin Rizky. Hanya kurang dari
beberapa bulan dia akan lulus SMA. Dan dia akan keluar dari rumah itu.
Merantau. Mencari rejeki di kota untuk meringankan beban keluarganya.
Mengentaskan mereka dari kondisi mereka saat ini.
“Sudah pulang Mas?” sapa Agus, adiknya yang duduk di
kelas 2 SMP. Dia muncul dari arah kandang kambing sambil membawa sebilah sabit
dan juga angkringan. Sepertinya dia sudah siap keluar untuk mencari rumput
sebagai pakan kambing, bagian dari tugasnya.
Rizky tersenyum, “Iya Gus. Sudah makan?” tanyanya.
“Sudah Mas. Si Dewi bikin kuah kelor tuh. Ma sambal
terasi pedas,” jawabnya dan membalas senyum Rizky.
“Sepertinya enak. Bapak sudah di suapi?” tanya Rizky
balik yang di jawab dengan anggukan oleh Agus, “Ibu?”
“Belum pulang dari rumah Ibu Muryati,” jawab Agus
singkat. Ibu mereka memang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di tempat Bu
Muryati. Istri dari pemilik lahan dan hewan peliharaan mereka.
“Ya sudah, kamu jalan dulu pergi cari rumput. Bentar
lagi Mas nyusul abis makan siang,” kata Rizky yang kembali di jawab
dengan
anggukan oleh Agus.
Rizky memandang kepergian adiknya itu dengan tatapan
sayu. Dia tahu kalau dia harus bersyukur kepada Allah karena memberi 2 orang
adik yang tidak hanya mampu mengerti keadaan keluarga mereka. Tapi juga mau
bahu membahu meringankan beban keluarga.
Agus dan Dewi yang seharusnya masih senang-senangnya
bermain, dengan rela ikut menyumbangkan tenaga. Agus mau untuk membantu Rizky
memelihara sapi dan kambing. Mencarikan rumput, memandikan dan yang lainnya.
Sementara Dewi yang masih kelas 6 SD, bertugas memelihara rumah. Memasak,
membersihkan rumah, serta menemani ayah mereka yang hanya tergolek di tempat
tidurnya.
Saat memasuki rumah, dia mendapati Dewi sedang duduk
menonton tv di ruang tengah. Satu-satunya benda termewah milik mereka. Itupun
hadiah dari Bu Muryati. Dewi bersisian dengan Bapaknya. Rahmat. Yang tubuhnya
kian hari kian kurus. Tubuh yang entah bagaimana, makin kehilangan cahaya
hidupnya. Rizky tahu kalau bapak sedih. Sedih memikirkan bagaimana kondisi
keluarga mereka. Sedih bagaimana istri dan anak-anaknya harus bertarung
untuk bertahan hidup. Sementara dia, tak
dapat membantu mereka.
“Bagus acaranya Wi?” sapa Rizky setelah bisa
menguasai gumpalan di dadanya.
“Eh, Mas. Film tv Mas. Sudah pernah maen kok,” sahut
Dewi.
Rizky hanya tersenyum mendengarnya. Dia ganti
memandang bapaknya. Dan tiap kali mata mereka bertemu, Rizky bisa
melihat
kesedihan itu disana. Di mata Bapaknya yang kian ringkih tiap harinya dengan
kecepatan yang mengherankan.
“Sudah makan kan Pak?” sapanya ringan, menutupi
perasaannya.
Bapaknya mengeluarkan geraman kecil dari sudut
bibirnya dan membuat gerakan yang mirip dengan mengangguk. Kembali Rizky
mengulas senyum palsunya.
“Kalau gitu Rizky ganti baju dulu ya? Rizky harus
nyusul Agus buat nyari rumput. Dewi jaga Bapak ya?” pamitnya yang hanya Dewi
balas dengan anggukan, sementara kedua tangannya mulai bergerak memijati kaki
Bapak dengan gerakan pelan.
Rizky segera membalikkan badannya. Karena kalau dia
terus berada disana, dia akan kembali merasa sesak. Dan dia takut kalau dia tak
sanggup menahan dirinya. Akan lebih baik kalau dia keluar untuk mengumpulkan
rumput pakan si Bejo dan Poni, sapi peliharaan mereka. Hari ini mungkin dia
akan mencari sekedarnya saja. Toh besok hari minggu. Dia bisa keluar rumah dari
pagi untuk mencari lebih banyak rumput.
ANGGA
Angga mematikan motornya dan segera masuk ke rumah
pamannya. Ruang depannya sepi. Dia tak tahu apakah Anggi sudah pulang atau
tidak. Kalau tidak salah, adiknya itu memiliki jadwal les hari ini. Tapi dia
tak bisa mengingat jadwalnya. Dia bahkan jarang berada di rumah ini. Sebentar
lagi, dia juga harus kembali menuju Denpasar.
“Pulang, Ngga? Sudah makan kamu?” sapa pamannya yang
muncul dari ruang tengah. Mujiono, adik dari Ibunya itu mengenakan kaos singlet
yang sudah tampak lusuh. Juga sarung yang seingat Angga, dia belikan 2 tahun
yang lalu.
“Sudah Paman. Anggi?”
“Ada di belakang. Sedang membantu Bibi dan Asih
menyiapkan dagangannya. Dia....”
“Mas Angga, sudah pulang? Makan Mas?” sapa Anggi
yang tahu-tahu muncul sebelum Angga ke belakang untuk
mencarinya.
“Sudah Nggi. Mas mau berangkat kerja dulu.”
“Mbok ya ganti baju dulu, Ngga,” saran Pamannya
sembari menunjuk baju seragamnya.
“Nanti saja di kantor Paman. Anggi uang jajannya..”
“Nggak usah, Mas. Uang jajan Anggi yang minggu
kemarin masih sisa banyak,” jawab Anggi yang segera masuk ke dalam. Sesaat
kemudian dia kembali dengan membawa sebuah jaket. Dia lalu mengangsurkan jaket
itu pada Angga yang heran karena dia telah memakai jaket sedari tadi.
“Aku sudah pakai jaket Nggi,” ujarnya heran.
“Jaket Mas Angga itu sudah kotor. Sudah 3 hari
dipakai terus. Biar Anggi cuci Mas. Cepet buka,” ujar Anggi dan kembali
mengangsurkan jaket yang dipegangnya. Angga tak mengatakan apa-apa. Dia hanya
membuka jaket yang dia pakai, menuruti adiknya itu.
“Oh ya,” tukas Angga. Dia lalu membuka tasnya dan
membuka bungkusan buku tulis yang dia beli tadi dan menyerahkannya pada Anggi,
“Ini buku tulis kosongnya. Jangan lupa Asih dikasih juga.”
“Iya Mas,” jawab Anggi singkat.
Angga tersenyum dan melangkah keluar. Anggi
mengikutinya dan masih tetap berdiri di sebelahnya sampai Angga naik ke
motornya, “Nanti malam kamu masih membantu Bibi jualan?” tanyanya sembari
menggunakan helmnya.
Pamannya memang membuka sebuah warung tenda kecil,
tak jauh dari rumah mereka. Mereka berjualan nasi goreng, mie goreng dan
beberapa masakan lainnya.
“Iya, Mas. Mumpung malam minggu. Kalau hari sekolah
kan nggak di bolehin sama Paman.”
Angga mengangguk, “Ya sudah. Mas berangkat.”
“Hati-hati Mas,” seru Anggi, mengatasi deru motor
Angga.
Angga hanya mengangguk dan melajukan motornya. Dia
melihat bayangan Anggi dari spion sampai bayangan adiknya itu menghilang. Dan
begitu tak melihatnya lagi, Angga menghela nafas panjang. Kalau saja dia berada
di situasi yang berbeda. Dia pasti akan membawa Anggi untuk bersamanya. Dia tak
akan membiarkan adiknya itu terlibat dalam kehidupan yang dia miliki sekarang.
Hanya Anggi satu-satunya keluarganya yang tersisa.
Memang ada Paman Mujiono dan keluarganya.
Tapi................kalau saja bisa, dia tak ingin melibatkan mereka.
Masih dia ingat saat pertama kali dia sampai di
rumah Paman di Negara ini. Waktu itu, setelah 7 hari meninggalnya orang tua
mereka, Paman memboyong mereka untuk ikut ke Negara, karena tak ada lagi sanak
saudara mereka yang tersisa di pulau Jawa. Malam pertama disana, Angga yang
masih berusia 15 tahun, tak bisa memejamkan mata.
Saat itulah dia mendengar pembicaraan Mujiono
pamannya, dengan sang istri, Bi Asirah.
“Gimana kita bisa menghidupi mereka kalau keadaan
kita begini Pak? Lha wong kita sendiri masih harus memikirkan Asih. Kalau cuma
makan, mungkin masih bisa. Terus sekolah dan lainnya? Dapat darimana kita?!!”
Pamannya tidak langsung bereaksi. Baru beberapa saat
kemudian dia mendengar pamannya itu menghela nafas, “Aku juga ndak tahu, Bu.
Kita serahkan saja semuanya kepada Tuhan. Bapak akan berusaha sekuat mungkin.
Bapak kan ndak bisa membiarkan mereka sendiri disana. Mereka sudah ndak punya
siapa-siapa lagi. Hidup mereka dulu sudah susah. Kamu tau sendiri gimana
kelakuan Mas Ronggo.”
Angga yang waktu hanya terbaring diam di tempat
tidurnya, hanya bisa menarik nafas tertahan pelan. Setiap kali mendengar nama
Bapaknya di sebut, dia selalu merasakan sentakan nyeri di dadanya. Bekas masa
lalu yang di tinggalkan orang yang seharusnya dia hormati itu begitu lekat di
benaknya. Orang yang seharusnya menjadi sosok pelindung dan dia hormati, justru
lebih menjadi mimpi buruk yang memaksanya untuk tumbuh dewasa lebih cepat dari
normal.
Sifat keras dan ringan tangan Bapaknya sudah menjadi
makanan sehari-hari Angga dan Ibunya. Angga babak belur pertama kali ketika dia
berusia 5 tahun. Waktu itu Bapaknya baru pulang dari kerjanya sebagai satpam di
sebuah rumah milik seorang pedagang keturunan yang kaya. Tapi sepertinya,
sebelum pulang, Bapaknya itu mampir untuk bersenang-senang dengan beberapa
orang temannya, karena bau minuman yang menyengat, menguar dari tubuh Bapaknya.
Dan entah karena dia melakukan apa, kemarahan Bapaknya tersulut. Dia mengamuk
dan menempeleng Ibunya. Angga kecil yang melihat bagaimana Bapaknya menghajar
Ibunya hanya bisa menangis keras. Dan hanya dalam waktu beberapa menit kemudian
dia sudah babak belur di hajar.
Sejak itu, Angga berusaha sebisa mungkin untuk
menjauh dari Bapaknya. Meski terkadang dia harus menerima makian, umpatan
kasar, tempelengan dan tendangan dari Bapaknya. Angga belajar untuk menahan
rasa sakitnya. Hingga kemudian ketika dia masuk SMP, dia yang mulai tumbuh,
melihat dengan kepalanya sendiri, betapa Bapaknya berbeda dengan Bapak
teman-temannya yang lain. Angga mencoba memahami dan membandingkannya. Dan
hanya sebuah kesimpulan sederhana yang kemudian dia bisa ambil.
Dia tak bisa berdiam diri lagi!
Dia harus melakukan sesuatu. Bukan hanya untuk
dirinya sendiri. Tapi juga Ibunya yang kian kurus dan adiknya, Anggi yang masih
kecil. Dia tak akan membiarkan tubuh kecil adiknya itu babak belur seperti yang
dia alami dulu.
Hal itu yang mendorong Angga untuk mengikuti klub
karate. Dia belajar dengan keras disana. Karena dalam benaknya, dia harus
menjadi kuat untuk bisa membela anggota keluarganya dari kekejaman Bapaknya.
Dan hanya membutuhkan waktu satu tahun setelah itu
bagi Angga untuk bisa membalas perlakuan Bapaknya. Dan hingga kini, Angga masih
bisa mengingat ekspresi bapaknya itu saat bogem keras Angga mampir di
rahangnya. Campuran antara kaget, heran, marah dan sedikit takut di wajah pria
itu Angga nikmati dan patri di benaknya.
“Bapak nggak boleh memukul Ibu, aku ataupun Anggi
lagi!!” katanya dengan dua tangan terkepal keras.
Itu merupakan awal dari serangkaian pertengkaran
mereka. Entah karena sifat bebal atau kekeras kepalaan dan arogansi orang tua,
Bapaknya masih saja mencoba memukul Angga ataupun keluarganya yang lain. Hingga
beberapa kali mereka terlibat baku hantam. Tak jarang pula, beberapa orang
tetangga mereka ikut melerai. Sebenarnya Angga malu bagaimana terkadang dia
merasa kalau keluarganya lebih mirip semacam sirkus yang menjadi tontonan
menarik para tetangga mereka. Namun sebagian besar dari mereka yang sudah tahu
watak Bapak Angga, memakluminya. Beberapa dari mereka bahkan mendukung
perlawanan Angga dan mengatakan bahwa Bapaknya perlu untuk diberi pelajaran.
Dan Angga jelas saja mengamininya. Karena itu pula
dia makin getol belajar bela diri. Dan dia sudah memegang sabuk hitam ketika
dia hendak lulus SMP. Dan pada saat itu, Bapaknya sudah tak mampu lagi
menyakitinya. Juga anggota keluarganya yang lain. Dia yang dulu terlihat
menakutkan dan mengancam, di mata Angga, dia jadi terlihat menjadi sosok yang
menyedihkan. Sosok pemipin keluarga yang gagal dan menyembunyikan
kepengecutannya dengan meneggak minuman keras ringan dengan bau yang
menjijikkan.
Namun bahkan dengan kondisinya yang seperti itu,
Bapak Angga masih bisa mengacaukan hidupnya!
Suatu hari, pria sialan itu membawa Ibunya ke pasar,
mengantarkan beliau untuk belanja. Dan entah karena dia sedang mabuk, atau karena
sudah takdir, mereka kecelakaan di jalan. Dan meninggal di tempat.
Kejadian itu yang memaksa Angga untuk tinggal
bersama pamannya.
Getaran yang terasa di saku celananya membuat Angga
sedikit tersentak dan merenggut kilas balik hidupnya di masa lalu. Angga
meminggirkan motornya dan berhenti. Kalau ada orang yang tak akan berhenti
menelepon sampai dia mengangkatnya, pasti orang itu, batin Angga.
Dan benar saja. Wajah Andrian muncul pada screen
ponselnya.
“Ya An? Aku sedang di jalan,” katanya langsung.
“Berkas Pak Nyoman Budiarta kau bawa kan?” tanya
Andrian di seberang sana. Dia terdengar sedang mengetik sesuatu
dan meminta
sekretarisnya untuk melanjutkan.
“Ada dalam tas. Aku sudah meminta beliau
menandatangani semua berkas yang di butuhkan. Kau bisa segera memprosesnya,”
sahut Angga dengan nada datar. Meski sudah sekian lama dia bekerja dengannya,
Andrian masih saja suka mengecek. Seakan-akan tak pernah mempercayai
kemampuanya. Meski sebenarnya...
“Sudah sampai mana?” tanyanya dengan nada yang
berbeda. Kalau tadi dia terdengar resmi, kali ini suaranya terdengar lembut,
penuh perhatian. Itu berarti Jessica, sekretarisnya sudah keluar dari
ruangannya.
“Sekitar setengah jam lagi aku sampai,” jawab Angga.
“Hati-hati...” kata Andrian, tak kalah lembutnya
dengan tadi.
Angga hanya mengeluarkan suara dengusan pelan untuk
kemudian memutus sambungan. Dia segera memasukkan kembali ponselnya dan
meneruskan perjalanan menuju Denpasar.
Andrian
adalah..................................pacarnya!
Pertemuan pertama mereka terjadi tatkala Angga
berada dalam titik terendah di hidupnya. Waktu itu, sekitar sebulan setelah dia
dan Anggi mulai hidup bersama pamannya. Semuanya terasa menekan bagi Angga.
Pamannya memang tak pernah mengeluh atau mengatakan hal yang tak mengenakkan. Tapi
suasana rumah mulai terasa panas dan sesak. Pertengkaran-pertengkaran kecil
antara paman dan bibinya mulai terjadi. Dan Angga tahu, semua di awali oleh
kehadirannya dan Anggi disana.
Dan sepertinya, Pamannya juga mengerti. Entah karena
apa atau ide siapa, suatu hari pamannya berkata, “Kamu kok ndak pernah keluar
Ngga? Mumpung lagi di Bali, main-main sana. Ke Kuta atau Tanah Lot atau apa
gitu lho. Pakai saja motor Paman.”
Angga melihatnya sebagai sebuah kesempatan.
Kesempatan untuk melarikan diri sejenak dari suasana rumah yang menekannya.
Meski dia merasa tak enak karena harus meninggalkan Anggi disana. Tapi Angga
butuh sedikit waktu sendiri untuk berpikir dan menenangkan diri. Dan pada sabtu
pagi, Angga meluncur pergi dari sana dengan motor pamannya. Mencoba untuk
menghindari pandangan sengit dari bibinya dan tatapan memelas dari Anggi.
Dan bahkan ketika melaju di jalanan, deru angin yang
menerpa tubuhnya, sedikit memberi tenaga baru yang sudah lama tak di
rasakannya. Sedikit kebebasan. Seakan-akan dia menyatu dengan angin dan bukan
bagian dari dunia yang fana dan fakta yang menyesakkan dalam hidupnya. Dia
punya beberapa jam untuk menjadi pribadi yang bebas. Dan dia ingin
menikmatinya. Karena seperti Cinderella, dia akan kembali pada kehidupan nyata
yang menjeratnya nanti. Untuk saat ini, dia dan angin adalah teman akrab.
Dia tiba di Kuta pada jam makan siang. Udara pantai
yang menyengat menyambutnya tanpa ampun. Tapi dia menyambutnya dengan senang.
Apalagi kini dia berada di tengah keramaian pantai yang membuatnya seakan-akan
berada di bagian negara lain. Berbagai macam orang dengan berbagai warna kulit
tampak berseliweran. Dia menangkap percakapan dalam bahasa Inggri, Prancis dan
entah apa lagi.
Setelah memarkir motornya, Angga segera melangkah
melewati tembok pembatas pantai dan menghirup udara yang berhembus sedikit
kencang.
“Hanya untuk hari ini...” gumamnya pelan dan
kemudian melangkah, membaurkan diri dengan keramaian pengunjung Kuta hari itu.
Siang itu pantai Kuta ramai seperti biasa. Sekali
lagi, dia menangkap samarpercakapan dengan
berbagai macam bahasa terdengar di sekelilingnya. Ada yang sedang
bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, Bali, Inggris, Belanda, dan bahkan Cina.
Pantai yang membentang itu jadi mirip menara babel dengan penghuninya yang
berasal dari berbagai belahan dunia. Semua menyatu dalam aktifitas yang acak.
Angga melihat semuanya itu seperti sebuah lukisan
dengan warna-warna terang. Ada pria kulit hitam yang dengan percaya dirinya
mengenakan celana renang berwarna hijau menyala. Seorang wanita kulit putih
bertubuh subur, dengan santainya berbaring di kursi malas, tidak memperdulikan
sinar matahari yang cukup menyengat. Lalu mereka-mereka dari Asia yang berkulit
coklat, membaur dengan santainya. Ada juga turis-turis lokal yang dengan
konyolnya berlagak seakan-akan mereka tamu-tamu dari luar. Dengan dandanan
ajaib, topi super besar dan kaca mata hitam serta baju yang sebenarnya tidak
layak di gunakan oleh orang-orang ketimuran, berlagak seakan-akan mereka sudah
tahunan berada di tempat ini.
Angga menggelengkan kepalanya.
Cukup lama dia berada di pantai. Berjalan-jalan di
pingirannya. Menikmati hembusan angin yang sedikit kencang dan panasnya
matahari. Hingga kemudian dia berhenti di depan kedai Mc.D yang berdiri
menghadap pantai. Sebenarnya dia agak ragu untuk makan disana.
Tapi..............persetan. hari ini dia akan memanjakan dirinya.
Dia pun menyeberang untuk masuk ke gedung bertingkat
itu. Angga sudah tak ingat, kapan terakhir kali dia berdiri dalam antrian
seperti ini. Rasanya menyenangkan berada dalam sebuah baris kedai yang mungkin,
bagi sebagian orang membosankan. Tapi kali ini, antrian ini membuat Angga
merasa menjadi bagian dari sesuatu. Bagian dari sebuah kenormalan.
Ada sedikit rasa sesal yang kemudian muncul dalam
hatinya, ketika harus membayar pesenannya yang hampir lima puluh ribu rupiah.
Rasa itu muncul setelah mengingat wajah adiknya. Suatu saat aku akan membawanya
ke sini, batin Angga. Dia akan menebus apa yang dia lakukan kali ini nanti,
dengan berlipat ganda.
Angga membawa bakinya dan mencari tempat duduk
kosong. Beruntung baginya karena ada satu meja yang kosong di luar. Dia bisa
makan sambil melihat ke arah pantai. Dengan cepat dia kesana dan duduk. Ada dua
meja lain yang terisi penuh. Di belakang Angga, ada sepasang turis bule yang
asyik makan sambil nyerocos dalam bahasa aneh. Kalau tidak Jerman, pasti
Belanda. Sementara meja lainnya, di isi oleh segerombolan pria yang sepertinya
pekerja kantor sukses.
Empat orang itu ngobrol dengan santai. Semuanya
berpakaian rapi dan jelas mahal. Dua diantaranya bahkan mengenakan dasi dan
terlihat resmi. Dua orang di antara mereka terlihat jelas memiliki darah
TiongHoa. Di lihat dari kulit mereka yang putih dan mata yang sedikit sipit.
Yang satu malah begitu sipit sehingga mengingatkan Angga akan orang yang sedang
mengantuk. Sementara pria keturunan yang satunya................
Dia memiliki ekspresi sok yang biasanya di miliki
oleh orang-orang sombong. Raut wajahnya yang sedikit dingin, dengan bahu dan
dagu terangkat membuatnya terlihat menyebalkan. Apalagi dia memiliki bentuk
mata unik. Orang-orang menyebutnya dengan mata kucing. Dengan rambut terpotong
pendek dan berkilap, baju yang mewah dan jam tangan mahal itu, dia memiliki
aura seorang penguasa. Seakan-akan dia memiliki segalanya. Mungkin dia memang
Bos dari 3 orang lainnya. Tapi melihatnya...............membuat Angga merasa
kesal.
Dua orang lain memiliki wajah lokal. Satu terlihat
sudah berusia matang. Memiliki kumis tebal yang jelas di tata. Berusia mungkin
di atas 40. Jauh lebih tua dari lainnya yang mungkin masih berusia di akhir
20an atau awal 30. Suaranya berat dan terdengar dari meja Angga. Sementara yang
satunya, memiliki perawakan kalem. Penampilannya jelas terawat seperti yang
lain. Kulit bersih, kemeja rapi dan juga mahal. Tapi yang mencuri perhatian
Angga adalah, dia terlihat kalem. Wajahnya memiliki kesan lembut, sabar dan
terpelajar. Wajahnya yang bersih di hiasi senyum simpul yang sesekali terlihat
kala mendengar celotehan teman-temannya. Sepertinya dia tipe-tipe pria yang
memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri.
Dan juga insting yang tajam! Karena tiba-tiba dia
mengangkat muka sehingga pandangan mereka bertemu!
Kepergok sedang memperhatikan membuat Angga sedikit
salah tingkah. Wajahnya memanas dan sepertinya terlihat merah. Yang bisa dia
lakukan hanyalah mengangguk sekilas dan memberikan senyum tipis seraya
cepat-cepat memalingkan wajahya.
“Lucu juga tuh bocah. Deketin aja.”
Celetukan itu terdengar hanya selang beberapa detik
setelah pandangan mereka bertemu. Hal itu membuat Angga secara instingtif
kembali menoleh dan melihat kalau ke empat orang itu kini melihat ke arahnya.
Jelas saja Angga jadi makin salah tingkah. Lelaki kalem tadi memberi sikutan
pelan pada pria keturunan dengan mata kucing tadi. Sepertinya dia yang
mengeluarkan celetukan tadi.
Angga kembali memberi anggukan sekilas pada mereka
dan meneruskan makannya. Dari sudutnya, pria kalem tadi sepertinya menegur
temannya.
“Halaaaaahh!! Semua cowok pantai kek dia bisa di
pake semua. Gak usah takut. Deketin aja dan tanya berapa tarifnya. Tapi lo
inget, kudu safe sex ya? Jangan sampe lo ketularan penyakit. Bocah kek dia udah
pasti sering di pake ma bule-bule yang datang ke sini.”
Kali ini tanpa sadar tubuh Angga menegang mendengar
kalimat yang jelas begitu sinis itu. Otaknya masih berusaha mencerna
kalimat-kalimat tadi. Benarkah semua itu di tujukan padanya? Bukan orang lain?
Pikirnya celingukan memperhatikan sekelilingnya. Tak ada lagi makhluk yang
pantas di sebut bocah selain dirinya di sini. Dengan kata lain, pria brengsek
itu mengira dirinya tipe anak-anak pantai yang menajajakan diri?!
Rasa malu yang dirasakannya tadi berubah menjadi
kemarahan dalam hitungan detik.
“Tanya aja. Paling ga sampe 300 ribu semalem.”
ANJING!!!
Tubuh Angga gemetar menahan diri. Makanan yang
tadinya terasa begitu lezat, tiba-tiba saja kehilangan rasa. Selera makannya
menghilang. Hal yng ingin dia lakukan saat ini adalah mendekati meja mereka dan
menumpahkan semua makanan dan minuman yang ada di bakinya ke kepala pria sipit
edan itu!
“Maaf...........”
Sapaan pelan yang di ucapkan dengan penuh sesal itu
datang dari sebelah kanannya, membuat Angga hampir terlonjak. Pria kalem itu
berdiri di sebelahnya dengan wajah menyesal. Dia langsung duduk tanpa menunggu
di persilahkan oleh Angga.
“Namaku Andrian. Aku kesini mewakili teman-temanku
disana. Tolong maafkan temanku tadi ya? Dia tidak bermaksud...”
“Jadi berapa?”
Kalimat santai dan tanpa tandeng aling-aling di
ucapkan oleh pria mata kucing tadi dengan nada kalem dan tanpa dosa. Dia
berdiri di sebelah meja mereka. Begitu dekat hingga bahkan Angga bisa mencium
harum parfumnya yang nyaman. Jauh berbeda denga aura menyebalkan yang menguar
kuat dari tubuhnya.
Rasa terhina dan marah yang Angga rasakan karena di
anggap sebagai gigolo pantai begitu besarnya hingga membuat Angga terpaku kaku
di tempat. Angga memang mendengar ada fenomena seperti ini. Dimana banyak
bocah-bocah di bawah umur menawarkan diri untuk bisa di gunakan oleh turis-turis
yang datang. Tak di sangka kali ini, dia yang mendapat anggapan seperti itu.
Apa yang membuatnya terlihat seperti gigolo pantai? Seingatnya, dia tak memakai
pakaian macam-macam.
Andrian yang duduk di depan Angga mengeluarkan suara
terkesiap keras dan menegur temannya itu dengan nada marah.
“Andre! Tolong!!” pintanya lagi.
Angga menoleh pada pria yang di panggil Andre tadi.
Dia memang gambaran umum seorang pria kaya. Tubuh tinggi tegap dan terlihat
terawat dengan baik. Angga tidak akan heran kalau ada yang memberitahu bahwa
Andre ini rajin nge-gym. Pakaian rapi dan jelas bisa ratusan kali lebih mahal
dari harga baju yang Angga pakai kali ini. Jam tangan dan semua atribut yang
melekat di tubuhnya meneriakkan kata berkelas dengan begitu jelas.
Tapi siapa sangka. Pria yang terlihat begitu normal
ini ternyata penyuka sesama jenis.
Bahkan Andrian yang tadi memperkenalkan diri dan
duduk di hadapannya juga terlihat normal. Wajahnya yang kalem dan terpelajar
memang terawat bersih. Tubuhnya yang langsing itu juga terbungkus pakaian yang
rapi dan jelas mahal. Kacamata yang dia pakai membuat kesan kalemnya maikn
terlihat. Hidung mancungnya menahan kacamata itu dengan apik. Dan bibirnya yang
kemerahan dan sepertinya tidak pernah tersentuh nikotin itu memberikan senyum
minta maaf. Bahkan matanya yang kini menatap Angga dengan penuh penyesalan itu
tak mengindikasikan bahwa dia penyuka sesama jenis.
Dia lebih tampak seperti seorang eksekutif muda
tampan dengan masa depan cerah. Angga menyukai aura kalem dan terkendali yang
dia pancarkan. Berbeda dengan pria keturunan yang masih berdiri dengan muka
sengaknya di sebelah Angga ini.
“Aku tak tertarik,” jawab Angga akhirnya pelan. Dia
melanjutkan makannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Andre tak langsung menjawab. Dia menarik kursi dan
duduk di sebelah kiri Angga tanpa di persilahkan. Dia juga langsung meraih
gelas minuman Angga yang masih utuh dan meneguknya begitu saja.
“Temanku ini sedang berulang tahun hari ini. Aku
ingin memberinya kado yang berkesan. Dan dia tertarik padamu,” jelasnya santai
dan tak acuh meski Andrean yang duduk di sebelahnya kembali menegurnya dengan
keras.
“ANDRE!!!”
Andre mengangkat tangannya untuk menahan Andrian.
Seperti yang Angga duga. Andre tipe-tipe seorang penguasa. Dia tidak akan heran
kalau nanti Andrian mengatakan bahwa
Adre brengsek ini adalah bos-nya. Kasihan sekali Andrian harus bekerja dengan
orang yang menyebalkan seperti ini.
“Jadi kenapa tidak kita lewati omong kosong ini dan
katakan, berapa yang kau mau?” lanjut Andre, “Sebutkan berapa dan aku akan
melipat gandakannya. Dua kali lipat!” kata Adrian dan kembali meneguk minuman
Angga.
Angga melihatnya dengan kesal. Dia bahkan belum
menikmati kesegaran minuman itu. Dan dia tidak akan sudi minum dari
gelas yang
sama dengan pria ini. Dia mengalihkan matanya pada Andrian yang duduk di depannya
dengan wajah waspada.
“Bisa tolong belikan aku segelas minuman lagi? Aku
tak tertarik pada apapun yang sudah dia pegang,” pintanya pada Andrian kalem.
Andrian mengeluarkan suara tersedak dan terlihat
menahan tawa. Dia berusaha menguasai diri dengan cepat dan memberikan anggukan,
menyanggupi permintaan Angga. Dia sudah bangkit dan meraih tangan Andre untuk
mengikutinya. Tapi Andre menahan dirinya.
“Aku tidak main-main. Katakan berapa?!” katanya
lagi. Kali ini dengan geraham terkatup terkatup, geram.
Angga menoleh kalem padanya. Senang rasanya bisa
membuat pria sok ini sedikit tertampar. Mungkin dia bisa sedikit
bersenang-senang dengan mempermainkannya. Toh kalaupun urusan ini jadi ricuh,
Angga yakin kalau dia bisa menangani mereka semua dengan kemampuan bela
dirinya. Tubuh mereka semua boleh terlihat fit. Tapi semua itu hasil dari gym.
Angga yakin, tak seorangpun dari mereka yang menguasai ilmu bela diri. Bahkan
Andre yang sok ini tak akan mungkin menguasai ilmu kung fu kan?
“10 juta semalam. Jadi kalau kau membuatnya dobel,
kau harus membayarku 20 juta. Kau tak akan sanggup kan?” jawab Angga akhirnya.
Semula Angga kira reaksi Andre adalah marah-marah.
Atau setidaknya mengatakan kalau dia gila. Karena tidak mungkin ada gigolo di
tempat seperti ini bertarif sebanyak itu. Bahkan dia sendiri yang bukan berasal
dari tempat ini, bisa memperkirakan hal itu. Tapi Adrian hanya menatapnya tanpa
berkedip selama beberapa saat.
Hingga kemudian dia bangkit dan kembali ke mejanya
tadi tanpa mengatakan apapun. Angga tak mampu menahan senyum kecilnya dan
kembali memalingkan mukanya pada Andrian di depannya.
“Bagaimana dengan minumanku tadi? Aku haus,” katanya
singkat.
Andrian sedikit tersentak dan memalingkan wajahnya
pada Angga, “Ahhhh... i-iya. Maaf, aku akan...”
Kalimatnya terputus saat sebuah tangan menaruh
selembar kertas di atas meja kami. Andre menatap Angga tajam, “Aku menyewamu
selama dua malam. Kau bisa mencairkannya sekarang kalau mau. Dan Andrian,
setidaknya dalam lima tahun ke depan, kau tak akan mendapat hadiah apapun lagi
dariku. Dan habiskan dia!” katanya pada Andrian dan menunjuk ke arah Angga.
Lalu tanpa mengatakan apapun lagi, Andre pergi. Meninggalkan Angga dan Andrian
yang terpaku di tempatnya. Dia melambai pada 2 orang temannya yang lain. Mereka
bangkit dari mejanya dan mengikuti Andre.
“Kita tinggal dulu, An. Enjoy!!!” ujar salah satu
dari mereka dan melambai pada mereka berdua. Sementara yang satunya
hanya
mengeluarkan tawa kecil. Mereka bertiga masuk ke dalam sebuah sedan mewah yang
di parkir tak jauh dari sana.
Angga benar-benar tak mampu mengeluarkan kata-kata
apapun. Dia hanya meraih selembar cek yang ada di atas meja dan melihatnya. 40
juta!!! Begitu gampangnya?!! Apa Andre itu benar-benar sudah gila?!!!
“Maaf. Biar aku kembalikan cek itu dan....”
“Ini milikku!” sahut Angga cepat. Dengan uang ini
dia dan Anggi bisa bertahan selama beberapa waktu tanpa harus merepotkan
pamannya. Dia memasukkan cek itu ke dalam sakunya. Dia tak memperdulikan
Andrian yang untuk beberapa saat lamanya terperangah menatapnya, “Minuman.
Tolong,” pinta Angga lagi.
Andrian masih diam di tempatnya.
“Kamu takut aku kabur?” decak Angga. Dia lalu bangkit
dari duduknya, “Ayo bareng ke counter. Aku haus,” ajaknya lagi.
Lagi-lagi Andrian tak menjawabnya. Dia hanya
mengangguk patuh dan mengikuti Angga ke dalam.
Seharusnya ini mudah kan? Pikir Angga. Apa susahnya
bercinta? Bahkan jika itu harus dengan sesama pria. Dia sudah beberapa kali
melihat film biru. Dan inti dari semua hubungan seks sepertinya tak akan jauh
beda. Itu yang Angga pikir. Tapi ketika dia berada di dalam sebuah kamar hotel
berdua dengan Andrian, semua hal itu menguap begitu saja dari otaknya. Dia bahkan
terlalu takut untuk menyadari interior kamar hotel yang sebenarnya mewah itu.
“Jadi.........” Andrian tak meneruskan kalimatnya.
Angga sendiri berpaling cepat padanya yang sudah
berdiri di sebelah tempat tidur. Begitu cepatnya hingga sesaat dia merasa
sedikit pusing. Dia melihat pria itu dengan sedikit panik. Dia menelan ludah
sejenak dan berdehem untuk mengumpulkan suara, “Jadi.................?”
tanyanya bingung.
“Kamu mau mandi dulu atau................”
“Ya, mandi!!” sahut Angga cepat, “Aku seharian
berada di pantai. Tubuhku bau,” sambungnya lagi dan melangkah menuju pintu.
Tapi hanya dua langkah saja dia berjalan karena Andrian telah menahan
lengannya. Angga harus menggigit bibir untuk tidak mengibaskan tangan Andrian
darinya.
“Itu pintu balkon. Kamar mandi di sebelah sana,”
kata Andrian dan menunjuk pada pintu yang ada di belakang Angga. Angga
mengeluarkan tawa gugup yan terdengar aneh. Dia hanya menggaruk kepalanya dan
segera berbalik untuk kemudian masuk ke kamar mandi.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, Angga
menghembuskan nafas yang tanpa sadar di tahannya sedari tadi. Dia berjalan
mendekat ke arah wastafel yang memiliki cermin besar di atasnya. Untuk beberapa
waku, dia hanya berdiri disana, memandang bayangannya. Bayangan yang meski
setiap hari dia lihat, namun entah bagaimana, terlihat begitu asing saat ini.
Dia tahu kalau nanti dia harus keluar dari kamar ini, dan menghadapi Andrian
yang berada di luar.
Dia harus membiarkan pria itu menikmati tubuhnya...
Menyetubuhinya.....
Dan tiba-tiba saja Angga merasa mual. Dia muntah
dengan suara tertahan di wastafel itu. Semua makanan yang tadi dia makan,
tiba-tiba saja berbalik arah dan keluar dari perutnya. Dan ketika semua
selesai, kaki Angga nyaris tidak bisa
menyanggah tubuhnya. Tapi dia memaksakan
dirinya untuk berdiri dan membasuh wajahnya.
“Kamu bisa....” gumamnya pada bayangannya di cermin,
“Hanya dua hari. Dan kau bisa tenang selama beberapa bulan.”
Angga memejamkan matanya. Ada perasaan ironis yang
di rasakannya, karena dia tahu uang yang dia dapatkan bukan dari jalan yang
benar. Tapi dia mencoba mengenyahkan perasaan itu dengan cepat. Dia harus mandi
dan membersihkan tubuhnya. Jadi dia segera meloloskan pakaiannya dan melangkah
masuk ke bawah shower yang mengalirkan air dingin ke seluruh tubuhnya.
Sekitar 20 menit Angga membersihkan badannya sembari
berusaha menenangkan diri. Dan begitu dia keluar dari kamar mandi dengan
menggunakan piyama panjang yang membungkus tubuhnya, dia mendapati Andrian
sedang duduk di ranjang sembari menonton tv. Pria itu memberinya senyum ramah.
“Sudah selesai? Aku sudah memesankan makan malam.
Kau bisa menyantapnya kalau mau,” katanya ringan dan menunjuk pada baki yang
ada di meja.
“Tadi kan sudah,” jawab Angga sedikit heran. Kan mereka bisa di bilang makan bareng tadi di Mc.D
“Yeah. Tapi sepertinya perutmu sudah mengeluarkan
isinya di kamar mandi tadi. Yakin tidak lapar lagi?”
Angga harus menunduk malu karenanya, “Kau
mendengarnya? Maaf,” katanya pelan.
“Ini pertama kali bagimu melakukannya bukan?”
Andrian mengucapkan kalimat itu seperti bukan sedang
bertanya. Tapi lebih mengatakan fakta yang sudah jelas di ketahuinya. Angga tak
menjawab. Dia tahu kalau dia harus siap menghadapinya. Jadi dia melangkah
mendekat ke pembaringan.
“Aku siap...” katanya. Tapi suaranya terdengar aneh
dan pelan. Jadi dia berdehem sejenak untuk memebersihkan tenggorokannya, “Maaf.
A-aku siap..” ulangnya lagi.
Lagi-lagi Andrian tersenyum. Dia bangkit dari
duduknya dan mendekat hingga mereka berdua berdiri berhadapan. Dan dia terus mendekat
hingga kedua dada mereka nyaris bersentuhan. Tanpa bisa menahannya, Angga
menelan ludahnya sendiri.
“Benarkah?” tanya Andrian lagi dengan satu alis
terangkat.
Lagi-lagi Angga menelan ludah tanpa di sadarinya.
Tapi dia bisa memaksa kepalanya untuk mengangguk beberapa kali,
“Ta-tapi kau
benar...” katanya cepat.
“Soal?”
“Ini pertama kali bagiku.
Jadi......................” dia kembali menelan ludah, “.................aku
harap kau bisa......” Angga kesulitan untuk menemukan kata yang tepat dan tidak
menurunkan harga dirinya. Dia tak ingin kalau sampai Andrian menganggapnya
merengek seperti cewek. Tapi dia tak dapat menemukan satu katapun yang tidak
membuatnya malu.
Andrian hanya kembali mengangkat sebelah alis dan
menatapnya bingung.
“Aku harap............kau bisa pe-pelan-pelan,”
kataAngga lagi dan kali ini, dia harus menunduk karena malu luar biasa. Wajahya
benar-benar terasa panas. Dia tak sanggup untuk beradu pandang dengan lelaki di
hadapannya. Jadi dia menancapkan pandangannya ke lantai.
“Kau..............belum pernah?”
Angga hanya menggelengkan kepala untuk menjawabnya.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kau saja yang
melakukannya padaku?”
Kalimat itu membuat Angga tertegun. Dan jujur, dia
tak bisa memahaminya dengan benar. Dia bahkan menyangka kalau dia sudah salah
dengar. Jadi, dia mengangkat wajahnya agar bisa melihat Andrian.
Andrian mengangguk, “Benar. Kau
bisa..............menusukku,” kata Andrian dengan senyum. Dia sempat harus
berpikir sebelum akhirnya menggunakan kata tadi, “Beneran kok. Role-ku lebih ke
bottom daripada top. Aku lebih menyukainya dan..................entah kamu
sadar atau tidak, wajahmu semakin terlihat pucat,”
Ada sesuatu yang menggelegak dalam perut Angga.
Sesuatu yang membuatnya mual. Dan sesuatu itu dengan cepat naik ke
tenggorokannya, “Y-ya Tu-tuhaaann..................”
Dia segera berlari menuju kamar mandi dan kembali
muntah dengan hebatnya.
Dan malam itu menjadi bencana. Angga benar-benar tak
bisa mengendalikan tubuhnya yang berontak keras. Pada akhirnya, dia hanya bisa
meminta maaf pada Andrian. Andrian sendiri terlihat seperti tercabik antara
geli, iba dan juga bingung. Dia mencoba mengatakan bahwa Angga, bahwa mereka
tak perlu melakukan apapun. Mereka berdua bisa diam saja di kamar. Ngobrol atau
sekedar makan. Dan dia akan meyakinkan Andre, bahwa mereka telah menuntaskan
malam mereka dengan bercinta.
Tapi Angga menolak ide itu. Dia sudah berhutang pada
Andrian. Dan dia, bertekad akan melunasinya. Sesuai dengan perjanjian. Hanya
saja, malam ini dia tidak siap. Dia meminta nomor ponsel Andrian dan berjanji
akan segera menghubunginya. Angga hanya perlu menata diri dan mentalnya. Dia
berjanji bahwa maksimal dalam satu minggu, akan memberitahu Andrian.
Andrian waktu itu tersenyum. Dan tanpa mengajukan
argumen atau apapun, dia menyetujuinya. Dia menyerahkan kartu namanya pada
Angga, yang kemudian baru tahu kalau Andrian adalah seorang pengacara. Entah
karena dia tahu hukum untuk menjerat Angga atau bagaimana, tapi Angga sempat
dibuat sedikit heran akan ketenangannya. Dia seolah-olah tak takut kalau Angga
akan kabur dan melupakan perjanjian mereka. Apalagi Angga sudah mencairkan
ceknya tadi siang. Seharusnya, Adrian menaruh sedikit kecurigaan. Bisa saja
Angga kabur tanpa kabar. Toh Andrian tak tahu sama sekali tentang kehidupan
Angga.
Tapi pria itu, dengan begitu polosnya, menyetujui
dan mengamini semua kalimat Angga. Dia bahkan melepas Angga pulang keesokan
harinya dengan senyum.
Pria aneh, pikir Angga.
Dan Angga memang berniat untuk melunasi semua
hutangnya. Sehari setelah kembali dari Kuta, Angga menghabiskan beberapa hari
setelahnya di warnet. Dia melakukan beberapa penelitian tentang gay. Dia juga
mendownload beberapa film gay sex yang dia jadikan referensi untuk melayani
Adrian nanti.
Tubuh Angga sempat panas dingin saat pertama kali
melihat beberapa film itu. Sama seperti film biru lainnya, gay sex juga ada
berbagai macam. Ada yang lembut, liar, manis dan bahkan menjijikkan. Angga
mulas saat pertama kali melihatnya. Keringat dingin merembes dari pori-pori
tubuhnya. Namun meski begitu, ada sedikit keingin tahuannya yang muncul ke
permukaan. Kalau di tanya di awal apa yang dia pikirkan pertama kali, satu kata
yang terlintas adalah, sakit. Pasti sakit kan kalau sampai ada sesuatu memasuki
tubuhnya? Apalagi sesuatu yang secara lazim memang bukan pada tempatnya.
Tapi anehnya, semua pemain dalam film yang dia
download, terlihat sangat menikmatinya. Lebih gilanya lagi, ada dari mereka
yang mengerang penuh kenikmatan saat di tembus tangan pasangannya. Film jenis
ini yang membuat Angga super mulas dan mematikan hape-nya. Dia tak sanggup
menonton film itu hingga selesai.
Dan pada akhirnya, dia hanya bisa mengeraskan hati.
Dia harus melunasi hutangnya. Toh dia bukan pihak yang harus menahan saki. Tak
ada ruginya bagi dia. Dengan tekad bulat, hari sabtu berikutnya, dia menelepon
Andrian. Lucunya, Angga bisa mendengar kesan kaget dalam suara Andrian saat
menerima teleponnya. Andrian bahkan dengan polosnya mengaku bahwa dia semula
berpikir kalau mereka tidak akan pernah kontak lagi. Merekapun membuat janji
temu lagi di Mc.D Kuta, tempat pertama kali mereka bertemu.
Yang mengejutkan Angga adalah, selain rasa takut dan
dada yang berdebar-debar keras, Angga juga merasakan sedikit gairah aneh saat
melihat Andrian duduk menunggunya. Sejenis rasa senang yang asing dan sulit dia
jabarkan. Rasa itu yang kemudian membuat ketenangannya sedikit kembali. Andrian
menyambutnya dengan senyum ramahnya. Dia mengajaknya ngobrol dengan santai. Dia
bahkan sengaja menunggu Angga sebelum memesan makanan.
Pembicaraan keduanya berjalan seperti dua teman
lama. Dengan santainya, Andrian menggiring Angga untuk mengobrol tentang
berbagai macam hal. Dari hal-hal umum hingga sedikit pribadi. Dia bahkan
berhasil memancing Angga untuk sedikit bercerita tentag latar belakangnya.
Angga sempat menceritakan tentang situasinya bersama Anggi. Tapi untungnya dia
bisa menguasai diri dan menutup mulut sebelum dia curhat dadakan di tempat itu.
Andrian sendiri tersenyum saat Angga terdiam karena sadar terlalu banyak
bicara, dan dengan luwesnya mengalihkan topik ke hal lain yang lebih umum.
Dan kemudian, Andrian mengajaknya ke rumahnya.
Satu lagi kejutan lain bagi Angga. Semula dia kira,
mereka hanya akan bermalam di hotel. Tapi Andrian mengajaknya ke Denpasar. Dia
meminta Angga untuk mengikuti mobilnya. Mereka memasuki derah tengah kota.
Rumah Andrian berada di kawasan jalan Sudirman. Sebuah jalan besar di tengah
kota yang menjadi pusat kegiatan di Denpasar. Ada beberapa mall besar yang
tersebar tak jauh di daerah itu. Mereka masuk ke sebuah gang besar yang cukup
untuk di lewati dua mobil. Dan mobil Andrian berbelok pada sebuah rumah
berpagar tembok tinggi dengan gerbang besi.
Jelas profesi Andrian menghasilkan uang yang lumayan
banyak. Karena tak mungkin dia bisa memiliki rumah yang cukup besar di tengah
kota seperti ini. Rumah besar itu memiliki halaman yang cukup luas dengan
sebuah garasi terbuka beratap seng yang mungkin bisa menampung 3 mobil. Angga
yang masuk di sambut oleh gonggongan anjing yang berada dalam kandangnya. 2
ekor anjing jenis herder murni dan pasti akan membuat Angga ketakutan, andai
saja keduanya tidak berada dalam kandangnya.
“Takut anjing?” tanya Andrian yang sudah keluar dari
mobilnya dan menunggu Angga.
“Dengan ukuran sebesar itu? Tentu saja,” seloroh
Angga.
Andrian tertawa, “Itu Rambo dan Bella. Mereka ramah
kalau sudah kenal kok. Ayo masuk,” ajaknya kemudian.
“Kau tinggal sendiri?” tanya Angga dan mengikuti
Andrian.
“Ada 3 orang lain yang membantu. Mereka ada di belakang. Dan itu,
Pak Muji,” jelas Andrian singkat dan menunjuk pada seorang pria berusia sekitar
awal tigapuluhan yang muncul dari pintu belakang rumah. Dia menggunakan pakaian
khas petugas keamanan. Angga tak tahu harus menyebutnya satpam atau tidak. Tapi
pria itu hanya mengangguk pada mereka untuk kemudian berjalan ke arah gerbang
untuk menutupnya.
“Ayo..!” ajak Andrian lagi dan melangkah mendahului
Angga untuk masuk.
Dan debaran itu kembali muncul di dadanya.
Jantungnya berdetak dengan keras, hingga Angga nyaris mendengar bunyi di
telinganya. Tapi Angga segera menarik nafas panjang beberapa kali. Dia punya
misi dan dia akan menyelesaikannya. Jadi ketika mereka memasuki pintu rumah,
hal yang dia tanyakan pertama kali adalah...
“Dimana kamarmu?”
Pertanyaan itu bahkan terdengar asing di telinga Angga.
Namun meski dia heran, Andrian tak menunjukkannya di wajahnya. Dia hanya
kembali tersenyum untuk kemudian mengulurkan tangannya pada Angga.Angga
menyambutnya dan membiarkan Andrian membimbingnya.
Kamar itu benar-benar mencerminkan Andrian. Warna
coklatnya memberi kesan membumi dan hangat. Semuanya tertata rapi dan pada
tempatnya. Bahkan sentuhan modern dari tv berukuran besar yang terpasar di satu
dinding beserta peralatan elektronik yang menyambung di bawahnya tidak
meninggalkan kesan dingin. Lemari kayu besar yang ada di sebelah tempat tidur
memiliki kaca seukuran tubuh manusia. Bersambung dengan jendela kaca seukuran
dinding yang di tutupi korden besar. Dan ada dua pintu lain di kamar. Satu di
yakini Angga menuju kamar mandinya. Dan entah satunya.Semuanya menyatu dalam
tema alam yang hangat dan kalem. Dan saat pandangan Angga tertumbuk pada
pemiliknya, mata itu menyiratkan hasrat yang menyala dengan jelasnya.
Angga menelan ludah untuk sejenak. Debaran dadanya
mulai kembali gila-gilaan. Tapi dia tahu kalau tak ada lagi kata mundur
darinya. Dia menghentakkan tangan Andrian sehingga tubuh pria itu menabraknya.
Tangan Angga segera meraih wajahnya, dan mencium bibir Andrian dengan beringas.
Andrian tertawa dan mendorong dada Angga dengan
sedikit tekanan. Angga yang melepas ciumannya jadi heran.
“Apa aku melakukannya dengan salah?” tanyanya heran.
“Biar aku yang menunjukkannya padamu,ok?” ujar
Andrian lagi. Untuk beberapa saat lamanya Angga ragu. Dan akhirnya dia
mengangguk, pasrah. Dan Andrian mengulurkan tangannya pada sisi kanan wajah
Angga, dan menciumnya dengan lembut.
Angga memejamkan mata dan membiarkan Andrian kembali
membimbingnya. Kali ini dia membawa Angga menuju pucak kenikmatan fisik yang
sebelumnya tak pernah dia sadari pernah ada. Dengen kelembutan yang
mencengangkan dia menunjukkan pada Angga titik rahasia yang membuatnya
menggelinjang. Dan tak ada satupun dari aksinya yang membuat Angga merasa kotor
atau jijik. Semuanya terasa wajar dan pada tempatnya. Bahkan saat dia menyatukan
tubuh mereka, saat bagian tubuh Angga memasuki tubuhnya dengan gerakan pelan,
Andrian membuat Angga mengerang keras dengan penuh nikmat dan hampir saja
semuanya selesai disana. Tapi Angga segera menenggelamkan wajahnya pada leher
Andrian dan menahan Andrian untuk diam di tempatnya selama beberapa saat.
Angga mematrikan setiap detik itu dalam benaknya.
Saat dimana kedua tubuh mereka di satukan oleh hasrat dan seonggok daging.
Memberinya sedikit kesempatan untuk mengendalikan diri dan menarik nafas
panjang.
Dan saat berikutnya, mereka kembali memacu diri
menuju puncak tertinggi kenikmatan raga.
Akhir pekan itu Angga habiskan di rumah Andrian.
Mereka nyaris tidak pernah keluar kamar selain untuk makan. Keduanya
menghabiskan waktu dengan bercinta, tidur, ngobrol dengan tubuh menyatu dan
mandi. Ketika hari senin pagi datang, yang kebetulan tanggal merah, Angga tahu,
sudah waktunya dia kembali ke Negara. Kembali ke kehidupan nyatanya. Apapun
yang dia miliki bersama Andrian selama dua hari ini, telah berakhir.
Meski pada ternyata tidak.
Hubungan keduanya di mulai sejak itu.
Andrian yang
kembali menghubungi Angga. Memintanya untuk kembali menemuinya. Tawaran
yang pada mulanya Angga tolak. Karena menjadi gigolo adalah hal terakhir yang
dia inginkan. Kira-kira seperti itu kalimat yang ia sampaikan pada Andrian.
Pada waktu itu Andrian tertawa.
“Tak pernah sekalipun aku berpikir kalau kau adalah
seorang gigolo,” kata Andrian dari seberang saluran. Dia lalu mengajak Angga
ngobrol dengan santainya. Dan tahu-tahu, Angga sudah menceritakan segalanya
pada Andrian.
Dan hubungan merekapun berkembang dari sana.
Boleh dibilang Andrian yang selama ini membantu
Angga untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Dia membantu Angga hampir
dalam setiap hal. Hingga terkadang justru Angga yang harus mengerem usaha
Andrian. Dia nyaris ingin menopang semua kebutuhan Angga. Di satu sisi hal itu
sebenarnya sangat membantu kehidupan Angga. Namun di sisi lain, hal itu justru
membuat Angga kerepotan dan risih. Dia merasa seperti soerang simpanan. Dan
Angga tidak menginginkan hal itu.
Karena itu, dia memilih untuk meminta pekerjaan pada
Andrian. Permintaan yang semula di tolak oleh Andrian, dengan alasan bahwa dia
tak ingin memperlakukan Angga sebagai seorang bawahan. Namun Angga menjelaskan
bahwa apa yang dia lakukan sekarang justru membuat Angga merasa lebih rendah.
Dengan bekerja, setidaknya Angga merasa telah memberi balik sesuatu pada
Andrian. Jadi dia tidak hanya diam dan menerima. Akhirnya, setelah pembicaraan
yang sedikit alot, Andrian menyetujui permintaan Angga dan menerimanya bekerja.
Tapi dia melakukannya sepulang sekolah dan akhir pekan.
Angga menerima itu dengan gembira. Dan dia melakukan
pekerjaannya sepenuh hati. Sedapat mungkin dia berusaha agar pekerjaannya
terselesaikan dengan sebaik mungkin. Meski dia harus bolak-balik
Negara-Denpasar, Angga melakukannya dengan senang hati. Andrian yang pada
masa-masa awal jadi super khawatir. Dia malah menawarkan untuk menawarkan Angga
agar membawa satu mobilnya. Angga jelas menolak. Dengan uang yang dia peroleh
dari Andre dulu, dia sudah membeli sebuah motor matic second yang dia gunakan.
Sisanya sudah dia masukkan ke dalam tabungan untuk
keperluannya dan juga Anggi
nanti.
Andrian memang akhirnya kembali menerima argumen
Angga. Tapi hanya satu minggu kemudian, dia sudah mengganti motor Angga dengan
motor sport keluaran YAMAHA R25. Yang dia katakan hanyalah, “Aku sudah cukup
mengalah dengan semuanya kan? Gantian kamu sekarang yang kudu diam dan
menerimanya,” katanya ringan dan menyerahkan kunci motor itu pada Angga.
Giliran Angga yang mengalah kali ini. Yang bisa dia
lakukan hanyalah melakukan tugas-tugas yang dia bebankan padanya sebaik
mungkin. Dia tahu kalau Andrian hanya memberinya tugas-tugas ringan. Hal-hal
remeh seperti mengantar surat-surat, meminta tanda tangan atau bahkan sekedar mengcopy
berkas-berkas. Tapi dia melakukan semuanya. Terkadang bila tidak ada pekerjaan,
Angga membantu pegawai-pegawai lain atau meminta mereka mengajarinya. Dia sudah
belajar menggunakan berbagai macam applikasi dan program komputer seperti words
ataupun power point pada beberapa pegawai senior lain yang baik hati.terkadang
dia sendiri yang menawarkan untuk membantu mengerjakan tugas mereka. Dia
mencoba membaurkan diri dengan mereka. Menganggap semua yang bekerja di sana
adalah guru. Apapun yang mereka ajarkan coba di serap dan praktekkan dalam
dunia nyata.
Dan sejujurnya, Angga belajar banyak. Dia sudah tahu
bagaimana melakukan atau membuat surat-surat resmi. Prosedur-prosedur penting
yang berhubungan dengan pengurusan tanah, property dan juga hukum. Dia seperti
spons busa yang menyerap semuanya dengan mudah. Kini, sesekali dia bahkan
mendapat tugas menemui klien dan membereskan urusan-urusan penting mereka.
Andrian tak mengatakan apapun. Tapi sinar bangga
yang dia perlihatkan tiap kali Angga menyelesaikan tugasnya dengan baik, sudah
menjadi balasan yang sepadan bagi Angga. Tatapan itu bernilai lebih dari
sekedar kata-kata. Dan Angga berniat agar tatapan itu terus ada untuknya.
Ceritanya sangat bagus
BalasHapusSayang sekali gk dilanjut lagi😢
nice posting
BalasHapushttps://youtu.be/_H4LNgdeQXQ
BalasHapus