Translate

Rabu, 23 Oktober 2013

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 2 - The accident

RIZKY



Begitu masuk ke rumah makan, aku melihat sekeliling dg agak sembunyi2. Aku tak melihat sosoknya. Apa mungkin masih dibelakang? tanyaku dalam hati. Aku berharap-harap cemas, hingga sesaat aku benar2 merasa konyol.

"Ky!" panggil Ibu yg duduk ditempat kasir dan melambaikan tangannya padaku.

Aku segera menuju pintu masuk bagian belakang rumah makan dan bergegas menghampirinya. "Bu!" sapaku dan mencium tangannya.

"Udah sarapan tadi?" tanya Ibu dan memberiku tanda untuk mengambil kursi lain agar bisa duduk disebelahnya.

"Sudah. Tadi kan Ibu udah bikinin rendang?" jawabku dan tersenyum. Setiap kali aku pulang beliau selalu memasakkan makanan kesukaanku itu dengan tangannya sendiri. Rasanya tak berubah tiap kali aku memakannya. Tetap rasa yang sama.

"Iya Ibu bikinnya tadi juga banyakan. Soalnya si Regha ternyata punya selera yg sama denganmu," seloroh Ibu sembari mengecek layar komputer didepannya.

"Regha?" gumamku heran.

"Iya! Dia suka banget sama rendang. Kaya kamu. Makanya tadi Ibu bawain dia juga supaya bisa ikut makan," jelas Ibu.

"Udah balik anaknya?" tanyaku berusaha terdengar wajar dan tidak terlalu ingin tahu.

"Sudah. Barusan aja. Dia kan ada kuliah jam 1," jelas Ibu sembari mengetikkan beberapa angka ke komputer. Yang membuatku kaget, setelah itu beliau mencopot kaca matanya dan menoleh padaku dg tatapan serius. "Ada apa?" tanya Ibu dg nada menyelidik.

Karuan saja aku jadi gugup mendadak. Ya Tuhan!! Masa beliau curiga sih? Padahal selama ini aku berusaha mati2an untuk bersikap santai, malah cenderung acuh pada Regha. "A-apanya Bu?" tanyaku agak pelan tanpa mampu menatapnya.

"Kenapa kamu tiba2 mendadak pulang kesini?" tanya Ibu lg.

Sumpah!!! Aku hampir saja menghela nafas panjang saking leganya. Tapi aku cukup bisa menahan diri. Terimakasih pada pengalamanku yg selalu menyembunyikan perasaanku diam2. Jadi aku tak gampang bereaksi gegabah. Kukira tadi beliau bakal menginterogasiku macem2. "Bukan hal yang penting Bu!"

"Terus?"

"Rizky akan Koas didaerah Bandung sini. Jadi perlu mengurus beberapa hal," jelasku.

"Jadi di desa pinggir kota itu?" tanya Ibu.

"Jadi Bu!" jawabku. Aku memang akan melaksanakan koas ku disebuah desa kecil diluar kota Bandung yg jaraknya bisa ditempuh dengan satu jam berkendara(bila lalu lintasnya normal) mobil.

"Ibu senang kamu akhirnya bisa koas didekat sini. Tapi. . . . , Ibu tadi mengira kau punya berita yg lebih menarik dari itu," kata Ibu sedikit mendesah.

"Lebih menarik? Emang Ibu mau Rizky koas diluar pulau?n tanyaku heran.
Dengan gemas beliau menepuk bahuku. "Bukan itu barokoko!"

"Terus?"
"Ibu kira teh tadinya kau mau kasih berita heboh dengan datang tiba2 gitu."

"Berita heboh kumaha Bu?" tanyaku lagi yg jadi ikut2an keselip Sunda.

"Ya kali aja kamu mau bilang kalo kamu sudah menemukan calon mantu buat Ibu," sergah beliau.

Mendengarnya, aku hanya mampu menghela nafas panjang. Kalo Ibu sudah menyinggung hal itu, aku lebih suka memilih untuk diam saja. Ibu dan Ayah berasal dari Jawa Tengah. Sebuah daerah kecil di pinggir kota Semarang yg masyarakatnya banyak melakukan kawin muda. Ayah dan Ibu sendiri menikah di usia 21 tahun. Meski keluarga mereka telah hijrah ke Bandung sejak 20 tahun, namun pandangan mereka tentang pernikahan masih sama.

Dan selama ini senjata ampuhku untuk menghindari pembahasan lebih lanjut tentang hal itu adalah, diam.

"Kapan Ky? Kenapa belum juga ada? Bahkan pacar aja belum pernah ada yg kamu kenalkan ke Ibu," tanya beliau dg suara pelan.

Yg mana yg Ibu mau? Theo? Radit? Jerry atau Kiko? pikirku dalam hati sedikit menggerutu.

Sejenak tak ada reaksi dari beliau. Tapi setelah keheningan yg lumayan lama, akhirnya beliau menghela nafas panjang. Yg bisa kuartikan bahwa aku sudah selamat.

"Ya sudah! Kalo kamu diem gitu, sampe nanti juga gak bakal mau bahas. Kamu tolong lihat kebelakang. Tanya sama mbak Marni, apa saja yg perlu Ibu beli dipasar nanti," kata Ibu akhirnya.

Tanpa menunggu diberitahu 2 kali, aku segera bangkit kebelakang untuk mencari Mbak Murni yg sudah bekerja pada Ibu sejak permulaan rumah makan ini dibuka.

Maaf Bu! batinku sedikit nelangsa karena mengecewakannya. Tapi. . . .




ZAKI



DAMN!!!!!

Aku kembali menyumpah dalam hati. What the hell is swrong with today? Kenapa semua yg ada disekelilingku seakan-akan berkonspirasi untuk menyiksaku hari ini? Setelah semua yg terjadi tadi, aku masih harus mengerjakan quiz dadakan yg bahannya belum pernah kulihat sekalipun.

Belum lagi, soal yg terakhir kami disuruh membuat essay tentang cacat hukum yg ada di Indonesia, menurut pandangan kami sendiri sebanyak 10 paragraf. Minimal. Kalian dengar itu? MINIMAL 10 PARAGRAF!!!!! I mean, what the f*ck should I write anyway? Walhasil aku hanya membuat karangan seenak udel tentang banyaknya berita2 soal korupsi di tv2 nasional. Dan ku beri pendapat2 pribadiku.
Terserah deh! pikirku pasrah. Mungkin saja kalau aku mendapat nilai jelek dalam semester ini, aku akan mendapat dampratan lagi dari Mommy.

Dg cuek aku bangkit dan mengumpulkan kertasku lalu berjalan keluar. Lalu dengan cepat aku menuju area hot spot kampus. Aku harus segera mengirim berkas yg diminta Mommy. Semakin cepat aku menyelesaikan tugasku maka semakin baik. Aku ingi cepat2 santai dan terbebas dari kewajiban. Begitu sampai didekat gedung lab computer, aku mencari tempat duduk yg nyaman dan terlindung dari matahari. Meski speed buat internet disini lumayan lelet, aku harus menerimanya. I parah. I have no other option.

Seperti yg kuduga. . . . . .

Speednya benar2 parah. Tapi tak apalah. Saat aku baru saja menghela nafas panjang setelah melihat tulisan SENT di laptop ku, ponsel ku bordering.

“Pak arya?” gumamku dengan kening berkerut. Tumben kepala Humas panti mengubungiku pada jam seperti ini. “Ya,hallo?”

“Pak Zaki?”

Siapa lagi? Gerundengku dalam hati. “Ya Pak Arya. Ada apa?” tanyaku langsung dengan sedikit khawatir. Jangan2 ada masalah

“Pak Nurcahyo, beberapa menit yang lalu meninggal Pak,” lapor Pak Arya dengan suara pelan.

Tanpa sadar aku mengumpat pelan dg berita yg dia sampaikan. Pak Nurcahyo adalah salah satu penghuni Panti Jompo keluargaku. Beliau sudah menjadi member sejak 3 tahun yg lalu. Dulu beliau adalah salah seorang pejabat teras disini. Jadi kematian beliau pasti akan jadi berita disurat kabar.

"Pihak keluarga sudah dihubungi?" tanyaku cepat. Sial!! Bakalan banyak hal yg harus dibereskan. Kenapa harus hari ini sih?! gerundengku.

"Sudah Pak. Pihak keuarga meminta agar jenazah dikirim kerumah duka. Mereka juga meminta kita membereskan urusan dg pihak pers. Mereka tidak ingin ada berita keluar bahwa almarhum meninggal dipanti."

Aku tersenyum kecut. Tentu saja. Karena kalau berita itu keluar, mereka akan banyak mendapat cercaan dari pihak media. "Ya sudah! Bapak siapkan semuanya. Dokumen2 yg perlu saya tangani taruh saja di meja. Pulang kuliah saya akan segera kesana," putusku.

"Baik Pak! Selamat siang!" jawab Pak Arya dan menutup telepon.

SHIT!!!! It's gonna be another long day! Can it be any worse?! desahku kesal. Dengan meninggalnya member panti, apa lagi orang yg cukup dikenal, pasti akan banyak hal yg harus diurus. Surat2, kendaraan, barang2 peninggalan sampai pengendalian informasi. Seperti yg Pak Arya bilang tadi, pihak keluarga tidak ingin kalau orang tahu bahwa Bpk Nurcahyo meninggal di panti. Jadi pihak panti harus membuatnya tampak seolah-olah beliau meninggal dirumah sakit kami.

Dan itu berarti aku punya lebih banyak pekerjaan yg harus kuselesaikan.

Sial!!




REGHA


"Gw mesti gimana iniii??!" keluhku saat aku, Dhani, Pras, Vivi dan Regi sedang makan dikantin. Regi dengan murah hati mentraktir kami untuk makan nasi goreng krn dia menang taruhan dengan Vivi ma yg lain. 300 ribu! Lumayan!

"Emang kenapa sih Gha?" tanya Vivi seraya melahap nasi gorengnya. Tangannya yg lain sudah hendak meraih kerupuk udang, tp langsung ditepis oleh Regi.

"Jij gak boleh ambil yg lain. Cukup nasi aja ok?!" larang Regi.

"Tapi. . . ,"
"TINTA!!" tegas Regi lalu berpaling padaku. " Emang kenapa sih Gha? Kan endang kali bisa ngobras ma Zaki. Diana kan cucok abis!" lanjutnya.

Dengan muka memelas aku menceritakan pengalamanku pagi tadi ke mereka. Vivi yg biasanya sebodo teuing kalo ada makanan didepannya, kali ini terpaku bengong dg mulut terbuka. Regi yg biasanya selalu menemukan celetukan ngeselin jg hanya mampu menatapku. Pras dan Dhani yg cuman jadi figuran, cuma saling menatap lalu nyengir.

"Dan sekarang gw kudu wawancara dia. Kira2 apa reaksi dia coba?" tanyaku lemas.

"Kali aja dia gak bakal inget lo Gha," ujar Vivi mencoba membesarkanku.

"Setelah dia semprot gw didepan orang banyak gitu?" tanyaku dg nada skeptis.

"Iya juga sih! Dia pasti inget banget dengan insiden kayak gitu kan?" timpal Pras.

"Lagian muka si Regha juga muka yang mudah diinget kok! Siapa lagi coba mahasiswa yg ceking dengan muka pengemis kaya dia disini?" celetuk Dhani.

Aku langsung melempar botol minumanku kearahnya. "Anjrit!!!" makiku kesal. "Kira2 dong kalo mo nyela orang! Muka pengemis! Emang segitu sengsaranya muka gw?!" rutukku dan kembali berpaling pada Vivi dan Regi. Dua orang itu cuma saling menatap dan tersenyum simpul. Jelas sekali mereka mengamini komentar Dhani tadi. Aku langsung mengerang kesal karenanya. "Oh!! Yang bener aja?!! Kalian juga mikir begitu??!!" sentakku tak percaya.

"Regha. . . , tapi emang bener lho! Muka lo itu model2 orang sengsara banget. Apa lg cara lo berpakaian. Terkesan. . . ," Vivi tak sanggup meneruskan kalimatnya, malah menatap Regi mencari bantuan.

"Udik!" rangkum Regi singkat. Kalo mungkin tadi Vivi meminta bantuan Regi untuk memperhalus bahasanya, maka dia gagal. Karena Regi selalu menemukan istilah yg terburuk.

 Aku mengumpat lirih karenanya.

"Sorry Cin! Tapi sebagai fashion director di majalah kita, menurut ikke, jij emang ENGGAK banget! Ivan Gunawan bisa gantung diri kalo liat cara jij berpakaian. Coba dong lo benerin cara berbusana jij. Ini Bandung Cin! Kiblat mode orang2 se Nusantara. Saban hari jij cuma pake jeans belel ma t-shirt doang. Udah gitu warnanya butek pula. Jadi wajar aja jij tinta lakaran(tidak laku). Sebenernya jij cucok kok Cin. Cuman kudu ngerombak busana, gaya rambut, body language ma muka jij doang. Jadi jij musti pake pembersih muka dan. . . ,"

"Stop!" potongku dan mengangkat tangan kananku untuk menghentikannya. "Gw gak ngerti lo ngomong apa! Kalo gw kudu gitu, bisa2 gw gak makan sebulan tau?!" semburku jengkel.

Untuk sejenak tak ada reaksi dari mereka. Vivi dan yg lain yg ada disini sekarang adalah segelintir mahasiswa di kampus ini yg tahu tentang keadaanku sebenarnya. Mereka mengerti perjuanganku untuk bisa survive disini.

"Kalo lo mau, ikke punya lho pembersih muka yg ga kepake lagi. Ga cocok ma kulit ikke," celetuk Regi kemudian.

Aku tersenyum dengan tawarannya. "Ogah banget! Pembersih muka lo paling2 yg sering dipake ma emak2," selorohku.

"Idih! Rumpiiiikk!!!" pekik Regi centil seraya mencoba menabokku. "Jij kira ikke apaan?! Ngapain juga ikke musti pake kosmetik emak2!" omelnya judes. Aku cuma terkekeh dengan reaksinya.

"Terus, lo mau gimana soal wawancara lo itu Gha?" tanya Vivi, menyadarkanku kembali pada tugas yg harus aku lakukan.

"Yaaah. . . ,seperti yg lo bilang, gw mesti banyak berdoa kali ya, supaya dia gak inget muka gw. En semoga dia mau diwawancara," harapku dengan nada skeptis.

Regi dan Vivi tersenyum, mencoba membesarkanku. "Lo bilang aja kalo lo butuh bantuan," kata Vivi.
"Iya cuy! Ikke mau kok ngebantuin. Lumayan kan bisa ngecengin wajah cakep si Zaki. Kali aja dia naksir ikke. Em?" celetuk Regi centil membuat aku dan Vivi langsung menggerutu.

"Ganjen!"

"Gatel!" imbuhku yg Regi balas dg menjulurkan lidahnya.





Aku tak bisa mengenyahkan keresahanku sepanjang hari itu. Berulang kali hanya bisa menghela nafas masygul. Kenapa Mas Angga mesti memberikan tugas itu padaku sih? Berulangkali menyesali kecerobohanku tadi pagi. Penjelasan dosen yg ada didepan kelas sama sekali luput dari perhatianku. Entah apa yg dia katakan. Alvin yg sepertinya cemas bolak-balik mencoba menyadarkanku yg terus2an melamun. Aku cuma nyengir dg kekhawatirannya. Mungkin dia pikir aku masih shock oleh insiden pagi tadi.

Well. . . ,tidak sepenuhnya salah kan?

Hingga kuliah berakhir hari itu, aku tak bisa menenangkan pikiranku. Entah mengapa tugas yg diberikan Mas Angga kali ini benar2 terasa berat. Intuisiku mengatakan kalau aku akan banyak menemui hambatan dalam menyelesaikan tugas ini.


Saat pulang aku hanya mampu berjalan pelan dengan pikiran penuh dan langkah gamang. Sapaan beberapa teman hanya kujawab singkat dan tanpa semangat. Otakku terus berpikir bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau si Zaki itu menolak untuk diwawancara? Bagaimana kalau dia mempersulitku? Bagaimana aku bisa menghadapi Mas Angga?
Mas Angga selalu tegas dalam memimpin kami. Karena itu dia terpilih sebagai kepala editor majalah kami 3 tahun berturut-turut. Tahun ini dia akan lulus. Sudah pasti dia ingin tahun terakhirnya berjalan dengan gemilang. Usul polling cowok cewek terpopuler dikampus juga menjadi idenya. Jelas dia tak akan terima kalau aku mengacaukannya.

Perhatianku sedikit terusik oleh teriakan beberapa orang yg membuatku mengerutkan dahi heran. Lalu ada suara makian keras diikuti decitan ban yg begitu menyakitkan telinga. Dan dari sudut mataku, aku melihat sebuah mobil berwarna silver menuju ke arahku dengan kecepatan yg membuatku terpaku kaku ditempatku berdiri.

Aku hanya mampu melotot kaget! Tahu kalau aku akan langsung hijrah ke alam barzah kalu benda itu menabrakku.
Pengendara itu mengeluarkan suara gerungan keras dan mobil itu meliuk kearah kanan. Dan dengan derakan keras, mocongnya menabrak pot semen besar yg jaraknya hanya sekitar 2 meter dariku. Sementara body mobil itu bergerak miring dan berhenti sekita 10 senti dari tempatku berdiri!!!!!

Nafasku terhenti di tenggorokan.

Pengendara mobil itu, Zaki keluar dan menudingkan jarinya padaku. Wajahnya memerah, murka seakan-akan ingin menelanku. "YOU FUCKIN' MORON!!! MASIH BELOM SADAR JUGA BAGAIMANA CARA MEMAKAI MATA?!! LOOK WHAT YOU'VE DONE TO MY CAR?!!!" teriaknya membahana.

Detik itu juga aku yakin akan dua hal.

1. Aku berada dalam masalah yg SANGAT BESAR.

2. Zaki tak akan pernah lupa wajahku, selamanya!


Kepalaku sontan berdenyut sakit!








NOTE = Kamus Kecil Bahasa Banci Salon
Tinta = Tidak
Diana = Dia (terkadang bahasa gaulnya 'Dia' bisa jg pake Dese)
Cucok = Cakep
Ngobras = ngobrol
Endang = enak
Lakaran = laku
Ganjen = Genit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar