Translate

Rabu, 23 Oktober 2013

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 3 - What should I do

ZAKI



Aku hampir2 tak bisa menahan diri! Orang didepanku ini benar2 menguras habis kesabaranku. Lihat saja! Bukannya cepat2 minggir atau menjauh, dia malah diam bego ditempatnya berdiri meski beberapa saat tadi nyawanya hampir saja melayang.

"WHAT THE HELL ARE YOU THINKING?!!" bentakku murka. Hal itu membuatnya tersentak, dan aku baru menyadari bahwa tubuhnya gemetar hebat. Tanpa sadar aku mengerang keras. Hebat! Bukannya merasa dirugikan, aku malah merasa bersalah telah membentaknya. Liat saja. Kakinya jd bergerak-gerak aneh. Wajahnya makin memucat dan tiba2 saja dia jatuh terduduk.

"Hei!!" bentakku lagi, sedikit lebih pelan dari yg tadi. "Berdiri!" perintahku ketus. Aku tak ingin orang2 yg mulai berkerumun disekitar kami berpikir kalo aku telah menganiaya anak bego ini.
Dengan perlahan dan masih sedikit gemeteran dia bangkit. Dengan wajah yg sepertinya ketakutan dia melihatku. Bola matanya kemudian membesar beberapa saat kemudian.

"Apa?!" tanyaku heran. Dia tak menjawab, tapi tangannya menunjuk kearahku. Jelas aku hanya bisa menatapnya keheranan. "APA?!!!" bentakku lagi kesal.

Tangannya yg menunjuk pada keningku makin bergetar hebat. Dan saat itulah aku merasakan cairan hangat darah yg mengalir dari lukaku. Aku mengumpat keras tapi menahan diri untuk tidak mengusapnya. Bisa2 aku kena infeksi.

"Ada apa Ki?" tanya seseorang yg mendekat kearahku. Aku tak ingat namanya, tapi yg jelas kami berada di jurusan yg sama. Seingatku kami belum pernah ngobrol sebelumnya.

"Si Goblok itu membuat mobilku ringsek," kataku sedikit ketus.

"Kamu berdarah. Kuantarkan ke rumah sakit. Ayo!" ajaknya dan menggamit lenganku.

"Sebentar," kataku dan mendekat pada anak idiot yg masih berdiri dg begonya itu. "Mana kartu mahasiwa dan ktp mu," pintaku. Bukannya langsung memberikan, dia malah menatapku heran. "CEPAT KELUARKAN!!" bentakku. Heran nih anak! Kecepatan loading otaknya benar2 parah!

Dengan tergesa-gesa dia meraih dompetnya. Kulihat sekilas hanya ada bbrp lembar uang disana. Sepertinya anak yg biasa2 saja. Aku lalu mengambil dua kartu yg dia sodorkan dg edikit kasar. Regha Zulfikar Widhiarya. Majalengka!

Persetan! Aku harus memberinya pelajaran karena dia sudah mencelakakanku 2 kali dalam sehari. Juga membuat mobilku ringsek.

"Kau, ikut kami ke rumah sakit! Kita punya urusan yg harus dibahas!" perintahku dingin yg hanya dia jawab dg anggukan. Aku lalu berpaling pada temanku sejurusanku tadi. "Antar kami!" pintaku singkat.

Sial! Aku harus segera menghubungi Pak Arya agar dia bisa menyelesaikan urusan di panti.





REGHA


Aku hanya mampu diam diruang tunggu Rumah sakit ini dengan perasaan yg tak karuan. Sedari tadi kakiku gemetaran tanpa bisa kutahan. Ingin rasanya aku jatuh bersimpuh dilantai dan berteriak keras untuk melegakan dadaku yg kini terasa sesak. Aku bukan orang yg cengeng, tapi aku benar2 ingin menangis keras skrng. Allah, kenapa sial sekali nasib ku hari ini? Apa yg sebenarnya telah ku lakukan sebelumnya hingga aku harus mengalami hal ini.

Masih kuingat bagaimana kejadian siang tadi, saat mobil Zaki hampir menabrakku. Bagaimana kagetnya aku saat itu. Sempat bersyukur bahwa Allah masih memberiku kesempatan untuk hidup. Tapi beberpa saat selanjutnya Mas Angga justru memberiku tugas untuk mewawancarai Zaki, orang yg hampir menabrakku. Dan sore harinya, sekali lagi krn keteledoranku, aku lagi2 hampir mendapat ciuman mesra dari mobil Zaki. Untungnya dia cukup sigap untuk menginjak rem.

Sialnya hal itu justru mebuat mobilnya menabrak keras pot beton. Moncong mobilnya tampak ringsek. Dan dia harus mendapat perawatan karena kepalanya terantuk keras di kemudi. Ada luka di dahinya yg harus segera dirawat. Menurutku dia tidak terluka parah, krn tadi dia masih sempat memakiku dg keras sebelum bbrp teman kampus kami mengantar kami ke rumah sakit.

Aku ikut bukan krn aku terluka, tp lebih krn tuntutan Zaki. Aku harus bertanggung jawab atas ketelodaranku. Aku bukan hanya membuatnya terluka, tapi jg menyebabkan mobilnya rusak parah. Masih kuingat kalimat Zaki tadi. Intinya adalah dia menuntut pertanggung jawabanku. Tadi dia sudah meminta KTP dan Kartu Mahasiswa ku.

Jadi disinilah aku. Diruang tunggu rumah sakit ini. Sendiri. Sudah hampir satu jam Zaki dibawa kedalam. Dan dia masih belum keluar, smentara aku hanya mampu diam disini dengan kepala berdenyut keras.
Allah. . . Dari mana aku bisa mengganti kerusakan mobil Zaki? Kalau biaya rumah sakit, aku masih bisa menanggungnya. Aku yakin. Tapi biaya perbaikan mobil Zaki?!!
Membayangkannya saja aku ngeri!

"GHA!!!"

Suara panggilan itu membuatku mendongak. Vivi dan Regi berjalan cepat menghampiriku dari pintu masuk.

"Gw denger dari temen2 lo disini. Makanya kita nyusul," kata Vivi cepat dan duduk disebelahku.

"Lo gak apa2 kan Gha?!" tanya Regi penuh simpati. Dia bahkan tak sadar kalau dia menggunakan bahasa normal. Bukan bahasa planet aneh yg biasa dia gunakan. Aku benar2 sedikit terbantu dengan kehadiran mrk. Sedikit terhibur setelah beberapa saat lamanya tertekan

Aku tersenyum kecut dg kepala tertunduk. "Gw baik2 aja. Tapi. . . "

"Nih!!"

Aku terdongak saat kudengar suara Zaki yg tahu-tahu sudah berdiri didepanku. Kulihat ada perban didahinya. Dia menyodorkan beberapa lembar kertas dan juga kwitansi. Tanpa menungguku untuk menerimanya, dia melempar kertas2 itu padaku.

"Biaya rumah sakit dan obat hanya 1 juta. Biaya perbaikan mobil, menurut bengkel gw diperkirakan bisa 30 jutaan. Lo siapin aja 40 juta. Plus uang perawatan gw tadi, jdi sekitar 41 jutaan. Gw tunggu dirumah secepatnya! Liat alamat rumah gw dikartu nama gw itu" katanya cepat dan tanpa menungguku dia berlalu pergi, meninggalkanku yg terpaku dg mulut terbuka kaget.
Tenggorokanku terasa kering mendadak.


Hening. . . .

Lebih dari semenit kemudian aku baru bisa berpaling pada Vivi dan Regi yg memandangku dg tatapan iba.

"Apa . . . ,yg harus gw lakukan?!" tanyaku dengan suara tercekat. Dari sinar mata mereka, aku tahu bahwa mrk jg sama tak tahunya jawaban dari pertanyaanku tadi, hanya mampu kembali menatapku dg iba. Mrk berdua tahu bagaimana usahaku untuk bertahan disini. Dg smua usaha ku itu, aku masih harus hidup dg prihatin. Jd dg mudah mrk bisa menarik kesimpulan kalau harus mendapatkan uang sebesar 41 juta bagiku adalah MUSTAHIL!

Untuk sejenak tak ada dari kami yg bisa mengeluarkan satu katapun. Sampai. . .

BRAKK!!!

"TUYUL BENCONG! EH GUE BENCONG EH ELO TUYUUULL!!!" pekik Regi nyaring saat pintu ruang darurat yg berada tak jauh dari kami terbuka dengan tiba-tiba. Regi yang latahnya kumat karena kaget hanya mampu nyengir tengsin saat dia menjadi pusat perhatian diruang tunggu itu.

"Kita pergi!" ajak Vivi seraya melirik kesal pada Regi.

"Sorry," bisik Regi dan mengikuti kami. "Eh Bo, tp si Zaki tadi tetep cakep ya meski ngamuk gitu?!"

"Dasar bencong sinting! Tahan diri dikit kenapa sih?!" rutuk Vivi dan menyeretnya untuk cepat-cepat keluar. Aku yg meski bisa merasakan cengiran bbrp orang disekitar kami tetap diam tak berkomentar. Otakku masih tak bisa menemukan jalan untuk masalah yg ada didepanku.





 RIZKY



"Bisa kan Ky?" tanya Ibu padaku. "Hari ini Ibu ada keperluan dengan Tante Rina. Beliau akan mengadakan upacara pertunangan putrinya minggu depan. Jadi hari ini Ibu mau rundingan soal masakan apa saja yg beliau ingin sajikan. Jadi Rizky jaga warung ya hari ini?" pinta beliau lg.

Jaga rumah makan sambil ngecengin Regha? Kenapa harus nolak? batinku. "Iya Bu! Tenang saja," jawabku sembari kembali menyendok sarapanku.

"Urusannya sudah selesai Ky? Udah beres semua?" tanya Ayah yg juga menikmati sarapannya.

"Sudah Yah! Kemarin sudah diurus semuanya. Minggu depan tinggal kembali ke kampus sebentar buat kasih surat2 yg sudah beres, trs bisa langsung balik kesini," terangku.

"Mulanya Ayah kira kamu bakal bawa kejutan kemari Ky," gumam Ayah pelan. Aku hampir2 tak dapat menahan diri untuk mengerang. Oh please! Jangan bahas itu lagi.

"Ibu pikir jg gitu Yah! Kmrn jg sudah Ibu tanya. Tapi ya gitu jawabnya," tunjuk Ibu dengan dagu. "Mematung lagi."

"Yaaaaahh. . . , kapanpun kamu siap lah," kata Ayah sedikit mendesah. "Kami sebenarnya sudah ingin menimang cucu. Beberapa tahun lagi juga, ayahmu ini bakal pensiun. Jadi nantinya ada yg bisa jadi teman main ayah diini."

Aku tak menjawab ataupun menoleh. Aku tancapkan mataku pada hidangan didepanku.

"Tuh Yah! Kalo sudah bahas itu, pasti gak ada suaranya," gerutu Ibu.

"Kadang Bapak itu berharap," lanjut Ayah sedikit mendesah, ". . . kalo kamu itu sedikit bandel seperti anak-anak muda yg lain. Pacarnya ganti terus, pulang malem dan yg lainnya. Kamu itu kok ya justru gak pernah bawa satu anak cewekpun kemari. Emang nggak ada yg suka sama kamu ya Ky? Orang cakep begitu masa ga laku?" tanya beliau dengan nada heran yg tak disembunyikannya.

"Bukannya gak laku Yah, Rizky nya aja yg terlalu pemilih. Kemarin saja anaknya Jeung Titik yg juga Dokter Muda itu naksir berat sama Rizky. Kalo ketemu selaluuuu nanyain. Rizky nya dikasih tahu malah lempeng!" lapor Ibu membuatku ngedumel dalam hati. Siapa jg yang mau sama cewek beringas gitu?!!

"Kamu itu maunya yg gimana tho?" tanya Ayah lg. Aku tetap dg aksi andalanku, diam!

"Kentutnya aja gak bakal bunyi Yah!" sahut Ibu sedikit jengkel.

"Kamu itu pendiemnya kok ya kebangeten sih?" gerundeng Ayah. "Ya sudah, sana! Kalo selesai cepet ke warung sana. Siang nanti jemput Ibu kamu ya? Biar berangkatnya sama Ayah," kata beliau akhirnya mengalah.

Dengan cepat aku menyambar kesempatan itu dan berlalu pergi. Sial!! Pagi-pagi sudah dapet awal yg jelek. Apa hari ini bakalan bikin empet seterusnya? pikirku kesal.



Pemikiran itu ternyata terus terbawa sampai ke Rumah Makan. Dan sepertinya, aku bukan satu-satunya orang yg berada di mood yg jelek hari ini.

Regha tampak lebih kacau. Saat aku tiba disana, dia menyapaku dg sedikit linglung. Seperti tak sadar dg siapa dia berbicara. Hal itu terus berulang dan jadi semakin parah. Beberapa kali dia salah membawa pesanan customer dan tersandung. Malah dalam waktu kurang dari dua jam, dia sudah menabrak pintu 3 kali. Meski biasanya dia memang ceroboh, hari ini hal itu sudah keterlaluan.

Sepertinya dia sedang bermasalah, batinku. Lalu aku mendengar suara pekikan keras yg diiringi suara nyaring benda2 yg berjatuhan.

MEMOIRS III (The Triangle) Chapter 2 - The accident

RIZKY



Begitu masuk ke rumah makan, aku melihat sekeliling dg agak sembunyi2. Aku tak melihat sosoknya. Apa mungkin masih dibelakang? tanyaku dalam hati. Aku berharap-harap cemas, hingga sesaat aku benar2 merasa konyol.

"Ky!" panggil Ibu yg duduk ditempat kasir dan melambaikan tangannya padaku.

Aku segera menuju pintu masuk bagian belakang rumah makan dan bergegas menghampirinya. "Bu!" sapaku dan mencium tangannya.

"Udah sarapan tadi?" tanya Ibu dan memberiku tanda untuk mengambil kursi lain agar bisa duduk disebelahnya.

"Sudah. Tadi kan Ibu udah bikinin rendang?" jawabku dan tersenyum. Setiap kali aku pulang beliau selalu memasakkan makanan kesukaanku itu dengan tangannya sendiri. Rasanya tak berubah tiap kali aku memakannya. Tetap rasa yang sama.

"Iya Ibu bikinnya tadi juga banyakan. Soalnya si Regha ternyata punya selera yg sama denganmu," seloroh Ibu sembari mengecek layar komputer didepannya.

"Regha?" gumamku heran.

"Iya! Dia suka banget sama rendang. Kaya kamu. Makanya tadi Ibu bawain dia juga supaya bisa ikut makan," jelas Ibu.

"Udah balik anaknya?" tanyaku berusaha terdengar wajar dan tidak terlalu ingin tahu.

"Sudah. Barusan aja. Dia kan ada kuliah jam 1," jelas Ibu sembari mengetikkan beberapa angka ke komputer. Yang membuatku kaget, setelah itu beliau mencopot kaca matanya dan menoleh padaku dg tatapan serius. "Ada apa?" tanya Ibu dg nada menyelidik.

Karuan saja aku jadi gugup mendadak. Ya Tuhan!! Masa beliau curiga sih? Padahal selama ini aku berusaha mati2an untuk bersikap santai, malah cenderung acuh pada Regha. "A-apanya Bu?" tanyaku agak pelan tanpa mampu menatapnya.

"Kenapa kamu tiba2 mendadak pulang kesini?" tanya Ibu lg.

Sumpah!!! Aku hampir saja menghela nafas panjang saking leganya. Tapi aku cukup bisa menahan diri. Terimakasih pada pengalamanku yg selalu menyembunyikan perasaanku diam2. Jadi aku tak gampang bereaksi gegabah. Kukira tadi beliau bakal menginterogasiku macem2. "Bukan hal yang penting Bu!"

"Terus?"

"Rizky akan Koas didaerah Bandung sini. Jadi perlu mengurus beberapa hal," jelasku.

"Jadi di desa pinggir kota itu?" tanya Ibu.

"Jadi Bu!" jawabku. Aku memang akan melaksanakan koas ku disebuah desa kecil diluar kota Bandung yg jaraknya bisa ditempuh dengan satu jam berkendara(bila lalu lintasnya normal) mobil.

"Ibu senang kamu akhirnya bisa koas didekat sini. Tapi. . . . , Ibu tadi mengira kau punya berita yg lebih menarik dari itu," kata Ibu sedikit mendesah.

"Lebih menarik? Emang Ibu mau Rizky koas diluar pulau?n tanyaku heran.
Dengan gemas beliau menepuk bahuku. "Bukan itu barokoko!"

"Terus?"
"Ibu kira teh tadinya kau mau kasih berita heboh dengan datang tiba2 gitu."

"Berita heboh kumaha Bu?" tanyaku lagi yg jadi ikut2an keselip Sunda.

"Ya kali aja kamu mau bilang kalo kamu sudah menemukan calon mantu buat Ibu," sergah beliau.

Mendengarnya, aku hanya mampu menghela nafas panjang. Kalo Ibu sudah menyinggung hal itu, aku lebih suka memilih untuk diam saja. Ibu dan Ayah berasal dari Jawa Tengah. Sebuah daerah kecil di pinggir kota Semarang yg masyarakatnya banyak melakukan kawin muda. Ayah dan Ibu sendiri menikah di usia 21 tahun. Meski keluarga mereka telah hijrah ke Bandung sejak 20 tahun, namun pandangan mereka tentang pernikahan masih sama.

Dan selama ini senjata ampuhku untuk menghindari pembahasan lebih lanjut tentang hal itu adalah, diam.

"Kapan Ky? Kenapa belum juga ada? Bahkan pacar aja belum pernah ada yg kamu kenalkan ke Ibu," tanya beliau dg suara pelan.

Yg mana yg Ibu mau? Theo? Radit? Jerry atau Kiko? pikirku dalam hati sedikit menggerutu.

Sejenak tak ada reaksi dari beliau. Tapi setelah keheningan yg lumayan lama, akhirnya beliau menghela nafas panjang. Yg bisa kuartikan bahwa aku sudah selamat.

"Ya sudah! Kalo kamu diem gitu, sampe nanti juga gak bakal mau bahas. Kamu tolong lihat kebelakang. Tanya sama mbak Marni, apa saja yg perlu Ibu beli dipasar nanti," kata Ibu akhirnya.

Tanpa menunggu diberitahu 2 kali, aku segera bangkit kebelakang untuk mencari Mbak Murni yg sudah bekerja pada Ibu sejak permulaan rumah makan ini dibuka.

Maaf Bu! batinku sedikit nelangsa karena mengecewakannya. Tapi. . . .




ZAKI



DAMN!!!!!

Aku kembali menyumpah dalam hati. What the hell is swrong with today? Kenapa semua yg ada disekelilingku seakan-akan berkonspirasi untuk menyiksaku hari ini? Setelah semua yg terjadi tadi, aku masih harus mengerjakan quiz dadakan yg bahannya belum pernah kulihat sekalipun.

Belum lagi, soal yg terakhir kami disuruh membuat essay tentang cacat hukum yg ada di Indonesia, menurut pandangan kami sendiri sebanyak 10 paragraf. Minimal. Kalian dengar itu? MINIMAL 10 PARAGRAF!!!!! I mean, what the f*ck should I write anyway? Walhasil aku hanya membuat karangan seenak udel tentang banyaknya berita2 soal korupsi di tv2 nasional. Dan ku beri pendapat2 pribadiku.
Terserah deh! pikirku pasrah. Mungkin saja kalau aku mendapat nilai jelek dalam semester ini, aku akan mendapat dampratan lagi dari Mommy.

Dg cuek aku bangkit dan mengumpulkan kertasku lalu berjalan keluar. Lalu dengan cepat aku menuju area hot spot kampus. Aku harus segera mengirim berkas yg diminta Mommy. Semakin cepat aku menyelesaikan tugasku maka semakin baik. Aku ingi cepat2 santai dan terbebas dari kewajiban. Begitu sampai didekat gedung lab computer, aku mencari tempat duduk yg nyaman dan terlindung dari matahari. Meski speed buat internet disini lumayan lelet, aku harus menerimanya. I parah. I have no other option.

Seperti yg kuduga. . . . . .

Speednya benar2 parah. Tapi tak apalah. Saat aku baru saja menghela nafas panjang setelah melihat tulisan SENT di laptop ku, ponsel ku bordering.

“Pak arya?” gumamku dengan kening berkerut. Tumben kepala Humas panti mengubungiku pada jam seperti ini. “Ya,hallo?”

“Pak Zaki?”

Siapa lagi? Gerundengku dalam hati. “Ya Pak Arya. Ada apa?” tanyaku langsung dengan sedikit khawatir. Jangan2 ada masalah

“Pak Nurcahyo, beberapa menit yang lalu meninggal Pak,” lapor Pak Arya dengan suara pelan.

Tanpa sadar aku mengumpat pelan dg berita yg dia sampaikan. Pak Nurcahyo adalah salah satu penghuni Panti Jompo keluargaku. Beliau sudah menjadi member sejak 3 tahun yg lalu. Dulu beliau adalah salah seorang pejabat teras disini. Jadi kematian beliau pasti akan jadi berita disurat kabar.

"Pihak keluarga sudah dihubungi?" tanyaku cepat. Sial!! Bakalan banyak hal yg harus dibereskan. Kenapa harus hari ini sih?! gerundengku.

"Sudah Pak. Pihak keuarga meminta agar jenazah dikirim kerumah duka. Mereka juga meminta kita membereskan urusan dg pihak pers. Mereka tidak ingin ada berita keluar bahwa almarhum meninggal dipanti."

Aku tersenyum kecut. Tentu saja. Karena kalau berita itu keluar, mereka akan banyak mendapat cercaan dari pihak media. "Ya sudah! Bapak siapkan semuanya. Dokumen2 yg perlu saya tangani taruh saja di meja. Pulang kuliah saya akan segera kesana," putusku.

"Baik Pak! Selamat siang!" jawab Pak Arya dan menutup telepon.

SHIT!!!! It's gonna be another long day! Can it be any worse?! desahku kesal. Dengan meninggalnya member panti, apa lagi orang yg cukup dikenal, pasti akan banyak hal yg harus diurus. Surat2, kendaraan, barang2 peninggalan sampai pengendalian informasi. Seperti yg Pak Arya bilang tadi, pihak keluarga tidak ingin kalau orang tahu bahwa Bpk Nurcahyo meninggal di panti. Jadi pihak panti harus membuatnya tampak seolah-olah beliau meninggal dirumah sakit kami.

Dan itu berarti aku punya lebih banyak pekerjaan yg harus kuselesaikan.

Sial!!




REGHA


"Gw mesti gimana iniii??!" keluhku saat aku, Dhani, Pras, Vivi dan Regi sedang makan dikantin. Regi dengan murah hati mentraktir kami untuk makan nasi goreng krn dia menang taruhan dengan Vivi ma yg lain. 300 ribu! Lumayan!

"Emang kenapa sih Gha?" tanya Vivi seraya melahap nasi gorengnya. Tangannya yg lain sudah hendak meraih kerupuk udang, tp langsung ditepis oleh Regi.

"Jij gak boleh ambil yg lain. Cukup nasi aja ok?!" larang Regi.

"Tapi. . . ,"
"TINTA!!" tegas Regi lalu berpaling padaku. " Emang kenapa sih Gha? Kan endang kali bisa ngobras ma Zaki. Diana kan cucok abis!" lanjutnya.

Dengan muka memelas aku menceritakan pengalamanku pagi tadi ke mereka. Vivi yg biasanya sebodo teuing kalo ada makanan didepannya, kali ini terpaku bengong dg mulut terbuka. Regi yg biasanya selalu menemukan celetukan ngeselin jg hanya mampu menatapku. Pras dan Dhani yg cuman jadi figuran, cuma saling menatap lalu nyengir.

"Dan sekarang gw kudu wawancara dia. Kira2 apa reaksi dia coba?" tanyaku lemas.

"Kali aja dia gak bakal inget lo Gha," ujar Vivi mencoba membesarkanku.

"Setelah dia semprot gw didepan orang banyak gitu?" tanyaku dg nada skeptis.

"Iya juga sih! Dia pasti inget banget dengan insiden kayak gitu kan?" timpal Pras.

"Lagian muka si Regha juga muka yang mudah diinget kok! Siapa lagi coba mahasiswa yg ceking dengan muka pengemis kaya dia disini?" celetuk Dhani.

Aku langsung melempar botol minumanku kearahnya. "Anjrit!!!" makiku kesal. "Kira2 dong kalo mo nyela orang! Muka pengemis! Emang segitu sengsaranya muka gw?!" rutukku dan kembali berpaling pada Vivi dan Regi. Dua orang itu cuma saling menatap dan tersenyum simpul. Jelas sekali mereka mengamini komentar Dhani tadi. Aku langsung mengerang kesal karenanya. "Oh!! Yang bener aja?!! Kalian juga mikir begitu??!!" sentakku tak percaya.

"Regha. . . , tapi emang bener lho! Muka lo itu model2 orang sengsara banget. Apa lg cara lo berpakaian. Terkesan. . . ," Vivi tak sanggup meneruskan kalimatnya, malah menatap Regi mencari bantuan.

"Udik!" rangkum Regi singkat. Kalo mungkin tadi Vivi meminta bantuan Regi untuk memperhalus bahasanya, maka dia gagal. Karena Regi selalu menemukan istilah yg terburuk.

 Aku mengumpat lirih karenanya.

"Sorry Cin! Tapi sebagai fashion director di majalah kita, menurut ikke, jij emang ENGGAK banget! Ivan Gunawan bisa gantung diri kalo liat cara jij berpakaian. Coba dong lo benerin cara berbusana jij. Ini Bandung Cin! Kiblat mode orang2 se Nusantara. Saban hari jij cuma pake jeans belel ma t-shirt doang. Udah gitu warnanya butek pula. Jadi wajar aja jij tinta lakaran(tidak laku). Sebenernya jij cucok kok Cin. Cuman kudu ngerombak busana, gaya rambut, body language ma muka jij doang. Jadi jij musti pake pembersih muka dan. . . ,"

"Stop!" potongku dan mengangkat tangan kananku untuk menghentikannya. "Gw gak ngerti lo ngomong apa! Kalo gw kudu gitu, bisa2 gw gak makan sebulan tau?!" semburku jengkel.

Untuk sejenak tak ada reaksi dari mereka. Vivi dan yg lain yg ada disini sekarang adalah segelintir mahasiswa di kampus ini yg tahu tentang keadaanku sebenarnya. Mereka mengerti perjuanganku untuk bisa survive disini.

"Kalo lo mau, ikke punya lho pembersih muka yg ga kepake lagi. Ga cocok ma kulit ikke," celetuk Regi kemudian.

Aku tersenyum dengan tawarannya. "Ogah banget! Pembersih muka lo paling2 yg sering dipake ma emak2," selorohku.

"Idih! Rumpiiiikk!!!" pekik Regi centil seraya mencoba menabokku. "Jij kira ikke apaan?! Ngapain juga ikke musti pake kosmetik emak2!" omelnya judes. Aku cuma terkekeh dengan reaksinya.

"Terus, lo mau gimana soal wawancara lo itu Gha?" tanya Vivi, menyadarkanku kembali pada tugas yg harus aku lakukan.

"Yaaah. . . ,seperti yg lo bilang, gw mesti banyak berdoa kali ya, supaya dia gak inget muka gw. En semoga dia mau diwawancara," harapku dengan nada skeptis.

Regi dan Vivi tersenyum, mencoba membesarkanku. "Lo bilang aja kalo lo butuh bantuan," kata Vivi.
"Iya cuy! Ikke mau kok ngebantuin. Lumayan kan bisa ngecengin wajah cakep si Zaki. Kali aja dia naksir ikke. Em?" celetuk Regi centil membuat aku dan Vivi langsung menggerutu.

"Ganjen!"

"Gatel!" imbuhku yg Regi balas dg menjulurkan lidahnya.





Aku tak bisa mengenyahkan keresahanku sepanjang hari itu. Berulang kali hanya bisa menghela nafas masygul. Kenapa Mas Angga mesti memberikan tugas itu padaku sih? Berulangkali menyesali kecerobohanku tadi pagi. Penjelasan dosen yg ada didepan kelas sama sekali luput dari perhatianku. Entah apa yg dia katakan. Alvin yg sepertinya cemas bolak-balik mencoba menyadarkanku yg terus2an melamun. Aku cuma nyengir dg kekhawatirannya. Mungkin dia pikir aku masih shock oleh insiden pagi tadi.

Well. . . ,tidak sepenuhnya salah kan?

Hingga kuliah berakhir hari itu, aku tak bisa menenangkan pikiranku. Entah mengapa tugas yg diberikan Mas Angga kali ini benar2 terasa berat. Intuisiku mengatakan kalau aku akan banyak menemui hambatan dalam menyelesaikan tugas ini.


Saat pulang aku hanya mampu berjalan pelan dengan pikiran penuh dan langkah gamang. Sapaan beberapa teman hanya kujawab singkat dan tanpa semangat. Otakku terus berpikir bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau si Zaki itu menolak untuk diwawancara? Bagaimana kalau dia mempersulitku? Bagaimana aku bisa menghadapi Mas Angga?
Mas Angga selalu tegas dalam memimpin kami. Karena itu dia terpilih sebagai kepala editor majalah kami 3 tahun berturut-turut. Tahun ini dia akan lulus. Sudah pasti dia ingin tahun terakhirnya berjalan dengan gemilang. Usul polling cowok cewek terpopuler dikampus juga menjadi idenya. Jelas dia tak akan terima kalau aku mengacaukannya.

Perhatianku sedikit terusik oleh teriakan beberapa orang yg membuatku mengerutkan dahi heran. Lalu ada suara makian keras diikuti decitan ban yg begitu menyakitkan telinga. Dan dari sudut mataku, aku melihat sebuah mobil berwarna silver menuju ke arahku dengan kecepatan yg membuatku terpaku kaku ditempatku berdiri.

Aku hanya mampu melotot kaget! Tahu kalau aku akan langsung hijrah ke alam barzah kalu benda itu menabrakku.
Pengendara itu mengeluarkan suara gerungan keras dan mobil itu meliuk kearah kanan. Dan dengan derakan keras, mocongnya menabrak pot semen besar yg jaraknya hanya sekitar 2 meter dariku. Sementara body mobil itu bergerak miring dan berhenti sekita 10 senti dari tempatku berdiri!!!!!

Nafasku terhenti di tenggorokan.

Pengendara mobil itu, Zaki keluar dan menudingkan jarinya padaku. Wajahnya memerah, murka seakan-akan ingin menelanku. "YOU FUCKIN' MORON!!! MASIH BELOM SADAR JUGA BAGAIMANA CARA MEMAKAI MATA?!! LOOK WHAT YOU'VE DONE TO MY CAR?!!!" teriaknya membahana.

Detik itu juga aku yakin akan dua hal.

1. Aku berada dalam masalah yg SANGAT BESAR.

2. Zaki tak akan pernah lupa wajahku, selamanya!


Kepalaku sontan berdenyut sakit!








NOTE = Kamus Kecil Bahasa Banci Salon
Tinta = Tidak
Diana = Dia (terkadang bahasa gaulnya 'Dia' bisa jg pake Dese)
Cucok = Cakep
Ngobras = ngobrol
Endang = enak
Lakaran = laku
Ganjen = Genit

Selasa, 22 Oktober 2013

ACTORS WHO CAUGHT MY EYES










Okay, after I talked about Alexander Skarsgaard, now this dude is another actor that caught my eyes this days. Liam Hemsworth. I've seen some of his movies. The last Song (where he was in love for real with that skank Miley Cyrus), The Expendables 2, n also that movie with Dwayne Johnson. what was it? The Empire is it? Whatever.
Tapi yang jelas, nih cowok bener-bener penyejuk buat mata ya?
I mean he's young, hot and have so much potential. I like him!









Dan yang bikin iri adalah, He's Chris Hemsworth brother!!
I mean, look at 'em?!!!
Can u imagine being apart of those two lives?
I'll be drooling all over 'em!!
hahaha......
Kidding!
No, seriously!!
who wouldn't!!