BAB 26
Pagi ini, bahkan saat mataku belum terbuka, kurasakan hawa hangat yang
menyenangkan mengalir dari arah depanku. Hawa yang begitu nyaman dan membuatku
malas untuk membuka mata. Tapi aku memaksa mataku untuk membuka dengan
perlahan. Aku lihat Soni berbaring miring, menatapku dengan senyum lembutnya.
“Morning,” sapanya pelan dan
mendekatkan wajahnya untuk menciumku. Aku mengerang dan buru-buru
menyembunyikan wajahku ke bantal.
“Morning breath,” gumamku sedikit
serak karena kantuk yang masih menggelayut.
Soni tertawa kecil, “Cepat bangun. Mau jalan-jalan keliling Bordeux lagi
kan?” tawarnya sembari mencium kepalaku dan mengusap punggungku sekilas, untuk
kemudian bnagkit, “Dan jangan lupa, malam nanti kita harus ke pesta Chantal.”
“Malam ini?” tanyaku dan mengangkat muka.
“Yup! Nanti sekalian kita ambil tuxedo kita. Aku mandi dulu,” kata Soni dan
berbalik.
“Son!” panggilku sebelum dia benar-benar menghilang dibalik pintu kamar mandi,
”Gimana kalau kamu kasih aku kursus kilat tentang gimana aku harus bersikap
nanti di pesta? I don’t wanna be the
clown of the party.”
Soni tersenyum paham, “You won’t be,”
katanya dan menghilang.
Apa Perancis memang gudangnya desainer dunia? Pikirku sembari mematut diri
didepan cermin. Setelan tuxedo yang kami pesan kemarin benar-benar nyaman
dipakai. Jahitannya rapi tanpa cela. Dan aku harus mengakui kalau aku nyaris
tak mengenali bayanganku di cermin. Aku yang biasanya sudah merasa super kece
denganjeans dan t-shirt, kini kembali merasa begitu berkelas, beradab dan
elegan dengansetelan yang ku kenakan. Dengan kemejanya yang terkanji rapi, dasi
sutra kupu-kupu yang ku pakai, rompi, manset dan jasnya, begitu pas membentuk
satu kesatuan yang utuh dengan celana, sepatu serta aksesoris lainnya yang kini
melekat ditubuhku. Bahkan sapu tangan putih dari sutra yang sedikit tersembul
di saku jasku dalam bentuk segitiga terasa melengkapi dengan pas.
“Kalo Bunda ngeliat, bisa pingsan,” gumamku geli tanpa mampu menahan
cengiranku. Dengan bersenandung kecil aku mengusapkan gel pada rambutku yang
sedikit basah dan menatanya, “And I’m ready to rock,” lanjutku lagi setelah
selesai menyemprotkan parfum.
Soni tadi bilang kalau dia akan menunggu dibawah. Aku tak mendengar suara
apapun saat aku turun dari tangga hingga
jadi sedikit heran.
“Son?!! Soni?!!” panggilku, sedikit keras.
“Here!”
Sahutan itu terdengar dari ruangan di dalam. Kalau tak salah dari
perpustakaan, pikirku sembari melangkah. Yup. There he is! Dia berdiri
disamping perapian sembari menatap sebuah photo berukuran besar. Photo dari
Jean Phillipe Damian Duianne, ayahnya. Lelaki yang memiliki garis wajah yang
mirip dengan Soni. Dengan senyum hangat yang akhir-akhir ini juga sering
kulihat pada Soni. Bukan wajah dingin, muram dan melankolis seperti saat
pertama kali kami bertemu.
Aku tak langsung memanggilnya. Aku diam memandang sosoknya dari samping.
Profil wajahnya yang sempurna, bahu yang lebar, dada bidangnya. Lengan, perut,
hingga kaki panjangnya. Terbungkus dalam setelan resmi yang rapi. Kemeja hitam
tanpa dasi, jas serta celaa senada, membuatnya terlihat lebih langsing dan
tinggi. Rambutnya pun sudah tertata rapi dan berkilat. Dia Adonis hidup yang
membuat perasaanku jungkir balik tak karuan. Orangyang telah 2 kali
meyakinkanku bahwa dia...........mencintaiku.
Soni yang sepertinya sudah menyadari kehadiranku, menoleh dan membalikkan
tubuhnya. Dia menelusuriku dari aas ke bawah dengan seksama. Dan saat mata nya
kembali bertemu dengan mataku, mata itu melebar dengan senangnya. Dia menyukai
penampilanku.
Astaga!! Melihat sinar matanya, aku bahkan bisa berpikir kalau dia
terpesona padaku.
Perlahan dia melangkah, mendekat ke arahku, hingga akhirnya kami berdiri
berhadapan. Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
“So.....?” tanyaku, sedikit salah
tingkah oleh intensitas tatapannya, “Aku sama sekali gak cocok ya pake ginian?”
Soni tergelak kecil sementara satu tangannya terangkat membelai sisi
wajahku, “You look awesome!” bisiknya
dan kemudian menciumku.
“Wait!” cegahku saat dia sudah
menarik pinggangku. Perlahan aku mencoba melepaskan diri.
Bukannya aku tak menginginkan kemesraan ataupun ciuman Soni. Hanya saja,
ciuman Soni benar-benar menggoda dan menawarkan banyak hal. Aku tak ingin
kehilangan kontrol. Aku tahu sendiri kalau aku tak akan puas hanya dengan
ciumannya. Aku menginginkan lebih dari itu. Tapi memikirkan untuk melakukan
‘sesuatu’ yang lebih dengan Soni saja sudah membuatku meringis. Kalau ciumannya
bisa membuatku merinding, aku tak mampu membayangkan akan seperti apa kalau
kami............
Selain bingung harus apa dan bagaimana, aku juga pasti akan takut. Aku takut
kalau sekali saja aku mereguk kenikmatan ragawi darinya, aku tak akan bisa
berhenti. Aku takut kalau aku akan terus menginginkannya. Jangan sampai aku
menjadi seorang maniak dan menjadikan Soni budak seperti yang Erma lakukan. Aku
tak ingin membuat Soni menjadi obyek atau alas pemuas napsu saja.
Tidak!! Soni bernilai lebih dari itu. Sangat jauh dari itu. Dia orang yang
layak disayang, diperhatikan, diidamkan. Aku tak bisa menyangkal kalau Soni
memiliki daya tarik seks yang kuat. Apa yang dilakukan Erma sudah menjadi bukti
konkrit kalau dia memiliki hal itu. Tapi Soni juga adalah orang yang membuat
kita begitu ingin membahagiakannya. Sekali melihatnya dulu, bahkan sebelum aku
mengerti luka masa lalunya, aku sudah ingin memperlakukannya dengan lembut dan
penuh kasih sayang. Soni berhak mendapatkan itu setelah semua yang dia alami.
Karena alasan-alasan itu pula, aku mati-matian menahan diri. Apalagi
beberapa hari terakir ini, saat dia sering kali menciumku. Aku harus susah
payah menahan gejolak dalam hatiku. Bukan hal yang mudah, karena Soni begitu
membuka diri. Entah karena dia tak sadar pesona yang dia miliki, ataukah memang
dia orang yang begitu ekspresif. Tapi aku benar-benar berusaha. Setiap kali
ciuman kami memanas, saat tangan kami sudah ham pir bergerak untuk melepaskan
pakaian yang melekat dalam tubuh kami, aku akan langsung memaksa otakku untuk
memikirkan apa yang telah Erma lakukan pada Soni. Bahwa aku berbeda darinya.
Bahwa aku tak akan boleh menjadi Erma yang lain bagi Soni.
Dengan itu, tubuhku akan langsung kaku. Dan aku akan memiliki sedikit
kekuatan untuk melepaskan diri dan mengakhiri tindakan berbahaya kami.
Untungnya, Soni juga mengerti. Saat tubuhku menegang, dia segera berhenti
dan memberiku ruang. Kurasa dia juga tidak mudah untuk melakukannya setelah apa
yang dia alami itu. Baginya, seks mungkin jadi hal kotor yang mengingatkannya
akan bagaimana dulu dia diperlakukan.
Dan alasan-alasan itu pula yang kini membuatku untuk menahan diri seperti sekarang.
“Ada apa?” tanya Soni pelan.
“Kenapa kita harus siap 2 jam sebelum acara?’ tanyaku, lega karena berhasil
menemukan topik aman.
“Oh, itu. Aku harus mengingatkanmu bahwa pesta yang diadakan Felix
merupakan event yang lumayan dinantikan oleh kalangan elit disini. Semua orang
yang memiliki gelar terhormat di daerah ini akan datang kesana. Mungkin ada
beberapa dari luar daerah. Jadi kita harus mempersiapkan diri kita. Kau akan
diperkenalkan Felix sebagai temanku dari Indonesia.”
Soni berhenti disana dan menatapku dengan khawatir. Aku yang tengah
mendengarnya dengan seksama sempat dibuat bingung. Dia seakan-akan menungguku
untuk melakukan sesuatu atas apa yang dia katakan tadi.
“Apa?” tanyaku heran.
“Are you okay with that?” tanya
Soni balik, masih dengan wajah khawatir.
“With what?” tanyaku, tambah
bingung.
“Aku sudah mengatakan pada Felix bahwa sebenarnya aku ingin
memperkenalkanmu sebagai pacarku. Bukan teman.”
Untuk sesaat aku terpaku diam karena tak percaya sudah mendengarnya. Iya
juga. Boleh dibilang kami sudah berpacaran kan? Dengan semua pengungkapan
perasaan kemarin dan juga ciuman-ciuman itu. Kami sudah resmi menjadi pacar
kan? Aku benar-benar terperangah saat menyadarinya.
“Felix bilang, itu akan menjadi sensasi. Besar kemungkinan kita akan
menjadi pusat perhatian di pesta itu kalau kita mengungkapkan hubungan kita.
I’m okay with that. Tapi Felix bilang, hal itu mungkin akan membuatmu tak
nyaman. Kau belum tahu bagaimana perilaku teman-teman kami disini.”
“Oh....yeah! sepertinya Felix benar,” ujarku. Masuk akal. Meski ada
skenario lain yang tberkelebat di benakku.
Soni menatapku dalam, “Dengar TJ, aku tak peduli kalau mereka
membicarakanku. Sudah bertahun-tahun aku belajar menulikan telingaku. Kalau kau
menginginkannya, aku akan mengumumkannya. Akan kukatakan bahwa kau pacarku
dan..............”
Aku sudah meraih tangan kanannya dan menggenggamnya erat. Aku mengulas
senyum untuk menenangkannya, “I’m
okay
with that. Felix benar. Aku tak mau berada di pesta dimana semua orang
memelototiku seperti alien. Ini event pertamaku. Aku harus bisa menikmatinya.”
“Are you sure?”
“Yeah..” jawabku meyakinkannya.
Soni diam sejenak, “Kau tahu kan kalau aku tak peduli omongan mereka?”
“Stop it! I know. I said I’m okay.
Jangan khawatir. I think it would be the
best for us,” ujarku. Siapa juga yang mau jadi badut dalam pesta? Apalagi
aku yakin, kalau Felix mengatakan itu karena sebuah alasan yang bagus. Dan dia
melakukannya untuk Soni.
Atau mungkin karena dia berpikir bahwa kau tak pantas untuk Soni?
Kelebatan itu melintas degan cepat. Aku mencoba untuk tidak
menmgacuhkannya. Karena bahkan dari awalpun, aku sudah tahu. Soni layak
mendapatkan orang yang jauh lebih baik dariku. Aku memang merasa tak pantas
baginya.
“TJ?” tegur Soni dengan nada khawatirnya. Aku segera menyadarka diri dan
kembali mengulas senyum.
“Believe me, I’m fine.”
“Baiklah. Nah, seperti yang aku bilang tadi, karena tamu-tamu Felix bukan
kalangan biasa. Dan sesuai permintaanmu, aku akan mengajarimu beberapa hal agar
kamu tidak salah sikap. Pertama adalah caramu berdiri dan............”
Soni memberikan arahan singkat tentang bagaimana standart berperilaku dalam
tingkatan teman-teman Felix. Bukan hal yang sulit karena sebagian sudah pernah
aku lihat di Tv. Dan kami berangkat menuju rumah Evelyn menggunakan porsche
Soni. Agak canggung sebetulnya, karena ini pertama kalinya aku menaiki sedan
sport hitam dengan jok kulit, yang seumur-umur hanya aku lihat di majalah dan
film saja.
Seperti yang Soni bilang, tamu-tamu yang datang ke pesta Felix bukanlah
kalangan biasa. Banyak dari mereka yang memiliki gelar kbangsawanan. Panggilan
Sir, Lady, Duchess, Baroness dan entah
apa lagi. Ada juga beberapa orang aktor, aktris, penyanyi dan model yang
menurut Felix gay. Felix membisikkan padaku mana diantara mereka yang memiliki
orientasi seks yang sama. Sebagian besar tak ku kenal karena mereka asli
Perancis, jadi tak ada pengaruhnya bagiku, meski harus aku akui, beberapa
diantaranya memiliki fisik yang menawan.
Semua tamu tampak begitu berkelas, anggun dan jelas-jelas kaya. Gaun-gaun malam karya perancang busana dunia
bisa dilihat di ruangan ini. Kilauan permata dan perhiasan-perhiasan mahal
terlihat kemanapun aku menoleh. Pria-pria yang hadir tampak gagah dalam setelan
resmi mereka. Ballroom rumah Evelyn meriah dengan kumpulan orang-orang luar
biasa ini.
Hingga saat ini, aku sudah memerankan bagianku dengan cukup baik. Felix
memperkenalkan ku sebagai teman Soni dari
Indonesia. Felix juga begitu tanggap
melindungiku saat aku mengalami kesulitan untuk berbaur. Dengan luwes dia bisa
menutupi kebingunganku saat ada topik pembicaraan yang tak ku mengerti.
Misalnya saja tentang Soni. Seumur-umur, aku belum pernah belajar tentang seni
lukis. Yang aku kenal Cuma Leonardo da Vinci dengan Monalisa-nya. Sedangkan
nama-nama seperti Van Gogh, Monet, Renoir, Salvador Dali ataupun Michaelangelo
dan entah siapa lagi, hanya aku tahu sekilas tanpa memahami adi karya mereka.
Felix dengan halus bisa mengubah arah pembicaraan ke topik-topik yang mudah.
Sementara Soni.......
Dia nyaris tak pernah berhenti bergerak. Selalu saja ada orang yang
menyapa, mengenalkannya pada seseorang, atau beberapa cewek yang bergiliran
mengajaknya berdansa. Dia orang tersibuk setelah Chantal, guest of honor dalam
pesta malam ini.
Aku sendiri lebih memilih untuk berbicara, hanya pada saat diperlukan saja.
tak tertarik dan juga tak mengerti, karena pembicaraan lebih banyak terjadi
dalam bahasa Perancis. Kemudian dengan perlahan-lahan, aku menarik diri. Hingga
pada akhirnya, aku bisa keluar ke balkon.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya keras. Ternyata cukup
melelahkan juga beramah tamah dengan orang-orang itu. Aku kembali menyesap
anggur dalam gelas kristal yang kubawa. Kalau aku pikir, akhir-akhir ini aku
sering banget menenggak minuman mahal seperti anggur merah dan champagne. Aku
lebih banyak minum dalam beberapa hari terakhir, dibanding sepanjag hidupku
sebelumnya. Tapi aku tak bisa menyangkal, kalau minuman ini memang bisa
membantu untuk menghangatkan tubuhku yang terbiasa dengan iklim tropis. Dan
Desember di Perancis lumayan menggigit untukku.
Kembali aku menghembuskan kepulan asap, membuatku merasa seperti seekor
naga berapi. Aku lalu berbalik, melihat ke arah keramaian yang ada didalam sana
melalui jendela kaca.
Didalam sana adalah dunia yang tak pernah aku ketahui. Dunia baru yang
begitu asing, yang biasanya hanya aku lihat di Tv. Cara mereka bersikap,
berbicara, berjalan, berpikir, benar-benar berbeda dengan apa yang biasa aku ketahui.
Semua pembicaraan tentang seni, politik, perdagangan ataupun keadaan ekonomi
dunia tidak pernah masuk dalam agenda pembicaraanku bersama Wina dan yang lain.
Remaja seusia kami lebih penting untuk tahu siapa pacaran dengan siapa dalam
dunia selebriti. Kami tak peduli akan topik-topik tadi.
Dan Soni........
Disini, kembali aku melihat sisi lain dirinya. Soni yang berwibawa, elegan,
berkelas, kaya dan asing. Cara dia berbicara, tertawa atau bahkan bergerak,
benar-benar , mencerminkan sosok baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Dia benar-benar perwujudan sosok elit Eropah. Bukan remaja sekolah yang aku
ketahui. Satu-satunya persamaan yang cukup menjengkelkanku adalah, dia sama
larisnya disini.
Entah sudah berapa cewek yang mengajaknya berdansa. Soni menanggapi mereka
semua dengan santun dan halus. Dia menjadi host yang sempurna malam ini.
Bertindak sebagai bagian dari keluarga Evelyn dan Chantal. Lihatlah dia, sedang
bergerak di lantai dansa dengan seorang gadis pirang mengenakan gaun malam yang
bisa bikin penyanyi dangdut Indonesia nangis karena menginginkannya. Gaun
backless yang dia kenakan begitu menggoda dan menawarkan dengan jelas pada
Soni, apa yang bisa dia rasakan malam ini kalau semua berjalan lancar.
“There you are!”
Seruan itu berasal dari pintu balkon sebelah kiriku. Felix tersenyum dan
menhampiriku, “Sudah lelah berada di dalam?” tanyanya dengan senyum simpulnya.
Aku membalasnya dengan cengiran, “Lumayan. Thanks for helping me in there.
Sudah beberapa kali kau menyelamatkanku
agar tak terlihats seperti orang autis. Kalau tidak, aku mungkin hanya akan
menjadi badut.”
Felix tertawa, “Untuk orang yang baru pertama kali melakukannya, kau sudah
sangat baik.”
“Aku banyak nonton film,” ujarku nyengir, membuat Felix kembali tertawa.
Dia juga membawa segelas anggur di tangannya dan bersandar pada pinggiran
balkon, menatap keramaian di dalam.
“Yang kau alami dan lihat malam ini, hanya kulit luarnya saja TJ. Ada
banyak hal tentang orang-orang didalam sana yang tak kau ketahui,” kata Felix
ringan dan menyesap anggurnya.
“Yeah........ aku juga sudah menduganya,” ujarku dan menoleh padanya,
nyengir, “Itu juga ku ketahui dari film.”
“You watch too much!” seloroh
Felix dan terkekeh, “Bagaimana menurutmu Soni?” tanya Felix dan menunjuk dengan
dagunya ke dalam.
Aku tak langsung menjawabnya. Aku lihat Soni sudah berganti pasangan. Kali
ini dengan seorang cewek berambut coklat dengan tubuh yang menakjubkan. Entah
asli ataukah implant. Dan cewek itu jelas sekali sedang menggodanya,
“Dia...........benar-benar lain dengan orang yang selama ini aku kenal,” kataku
pelan.
“Dalam artian bagus?”
Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaan Felix, “Dia tak pernah berhenti
membuatku terkagum-kagum, Felix,” jawabku tanpa memalingkan muka.
“Jangan katakan kalau kau cemburu sekarang, sayang. Kau tahu Soni tak akan
tertarik pada mereka,” seloroh Felix yang terdengar seperti olokan bagiku.
Mendengar itu, aku hanya mampu tertunduk perlahan.
“Maaf......” gumamku lirih.
“Untuk apa?” tanya Felix heran.
”You know.................... me and
him. Soni bilang, kau yang mengusulkan agar aku dikenalkan sebagai
temannya. Supaya aku tak jadi pusat perhatian. Aku tahu, bukan itu saja
alasanmu. Kau ingin melindungi Soni juga kan?”
kataku, sedikit terbawa emosi.
Ganti Felix yang tertegun. Kini dia memandangku dengan tertarik, “Well..............bisa kau jelaskan
maksudmu?”
Aku tertawa,sedikit gugup, “Melihatmu dan Soni, serta semua yang kalian
tunjukkan padaku beberapa hari terakhir, aku tahu bahwa bukan hanya kekayaan
yang kalian miliki. Kalian juga memiliki reputasi dan imej terhormat. Aku
mengerti kalau kau ingin melindunginya. Dengan munculnya aku dalam gambar
kalian, hal itu mungkin akan membuat sedikit...............kekacauan. Am I right?”
“Dengan kata lain, kau mengira bahwa aku menganggapmu tidak pantas untuk
Soni?”
“Untuk hal itu, kita sepakat, Felix. Trust
me. I know it well. Dia layak mendapatkan yang terbaik. An amazing guy like him, berada diluar jangkauanku. Lihat saja
itu,” tunjukku ke dalam, dimana Soni sedang berganti pasangan lain.
“You think so? My dear, don’t be
ridiculous. Aku bahkan tidak peduli kalau kau memiliki dua kepala pada
bahumu. Memang apa yang salah dengan kalian?”
Kalimatnya membuatku mengangkat muka untuk memandangnya,
“Kau................tak keberatan?”
Ganti Felix yang kini tertawa, “Well.............aku memang terkejut. Dan
tidak setiap waktu Soni bisa melakukan itu padaku. Tapi keberatan? Tidak! Aku
tidak keberatan.”
“Tapi kami...................”
“I know, TJ!” potong Felix, “I know it. Jujur saja, kalau boleh memilih,
tentu saja aku ingin Soni menjadi normal seperti cowok kebanyakan. Percayalah. Aku benar-benar tak ingin dia
menempuh jalan yang dulu ku lalui. You
know, semua celaan, hinaan, panggilan-panggilan merendahkan, serta
pelecehan-pelecehan yang dilakukan oleh orang-orang yang melabeli diri mereka
normal, tapi terkadang bisa luar biasa bejadnya.
But he’s not. Dia jatuh cinta padamu.
So what? Aku akan mendukungnya,
sepenuhnya. Aku ingin dia mendapatkan apapun keinginannya TJ. Apapun yang bisa
membuatnya bahagia. Dia layak mendapatkan kebahagiaan setelah apa yang dia
alami selama ini. Sudah terlalu lama dia hidup dalam kepahitan dan
kegetirannya. Kau tahu sejarah anak itu kan?” tanya Felix.
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
“Kalau dia sudah menceritakannya padamu, itu artinya dia sudah sangat
mempercayaimu. Percayalah, tak mudah bai Soni untuk melakukannya. Maka kaupun
pasti bisa mengerti. Sekarang sudah waktunya dia bahagia, TJ. Dan aku
sungguh-sungguh berharap kau bisa memberinya itu.”
Aku hanya mampu kembali tertunduk, memandang gelas anggur yang kupegang, “Can I? I mean, look at him. Or you! Can’t
you see? Kami begitu..............berjauhan.”
“Dasar anak bodoh! Kau hanya perlu melakukan apa yang selama ini sudah kau
lakukan untuk bisa membuatnya bahagia!” sergah Felix gemas.
“Huh? Apa?” tanyaku bingung.
“Menyayanginya. Mencintainya! Hanya itulah yang dia butuhkan,” kata Felix
keras, sedikit mengagetkanku, “Dia punya segalanya TJ. Kecuali itu. Kau pasti
setuju, he has the face, the fame, the
money and everything. Semua itu berlimpah padanya. Meski sebagian dia
dapatkan karena kesialan yang dia dapatkan. Dan semua itu bisa dia dapatkan.
Dan aku yakin, dia juga pasti akan memberikannya padamu. All you have to do is just love him. That’s the only thing he wants or
needs.”
Aku hanya bisa menatap Felix yang kini tersenyum padaku, “Dan hanya itulah
satu-satunya hal yang ingin kulakukan padanya.”
Mata Felix melembut. Dia mengulurkan tangannya untuk mengusap aliran
airmata di wajahku yang tak kusadari ada, “I
think I know that now.,” ujarnya pelan. Dia lalu mengulurkan sapu tangan
sutra putih. Cepat aku mengusap wajahku dan
menyusut hidungku.
“Thanks.”
“Aku tak tahu harus berkata apa pada kalian berdua. Perasaan kalian
benar-benar polos, murni dan begitu naif. Begitu banyak hal yang belum kalian
ketahui dan alami. Terkadang aku ngeri membayangkan, akan jadi seperti apa
kalian kalau mengalami dan tahu apa yang sudah ku lalui di masa lalu.”
“Eh?”
“Sayangku, kau tak berpikir kalau aku terlahir seperti ini bukan? Tampan,
kaya, berkelas dan terhormat?” felix tergelak,
“I’ve been there, dear. Aku pernah berada di posisimu. Ragu,
bingung, takut di tolak, ditindas, dilecehkan, dihina dan
yang lainnya. Hanya
karena aku gay. Bukan hanya oleh teman-temanku dan masyarakat. Tapi juga oleh
keluargaku.
Ayahku menekanku. Memarahiku dan bahkan menghajarku. Ibuku menangisi dan
memakiku. Keluarga yang lainpun
menjauhiku. Hanya Kakaku, Phillipe, ayah Soni
yang membantuku. Memberiku uang saat aku butuh, makan ketika aku kelaparan, dan
support saat kondisiku memprihatinkan. Dia benar-benar orang yang perhatian,
peduli, penuh kasih sayang, hangat dan luar biasa baik. Hanya dia yang ku miliki saat semua orang
menjauh dan tak peduli.
Teman-teman menjauhiku seakan-akan aku penyakit menular. Para orang tua
melarang anak-anaknya bergaul denganku, seakan-akan aku akan memperkosa mereka.
Masyarakat menghina, melecehkanku adn membenciku. Aku terpuruk pada awalnya.
Merasa rendah, hina, bahkan terkutuk. Begitu kotor dan menjijikkan.
Phillipe yang terus adadisampingku. Memberiku dukungan. Meyakinkanku, bahwa
aku adalah orang yang hebat. Bahwa aku berharga dan juga berguna. Aku bukan
Cuma sekedar sampah. Karena dialah aku bangkit. Pada akhirnya aku sadar kalau
aku tak boleh membiarkan orang-orang itu menekanku. Aku tak seharusnya
membiarkanku merasa tertekan, rendah dan hina. Jadi aku bangkit. Belajar dan
terus memperbaiki diri. Aku harus bisa membuka mata mereka. Bukan dengan jalan
kekerasan dan intimidasi seperti yang mereka lakukan padaku, karena itu hanya
akan membuatku sama seperti mereka. Sama brengsek dan arogannya. Aku belajar
banyak hal, membuat prestasi. Menunjukkan pada semua orang bahwa aku mampu.
Bahkan lebih daripada mereka. Pada akhirnya, mereka menoleh padaku.
Dan aku menjadi orang yang kau lihat sekarang. Dihormati, sejajar dengan
mereka, dan cukup kaya. Semua orang yang pernah menghinaku, kini justr
mengerubungiku seperti lalat. Merekameminta, bahkan memohon agar aku menjadi anggota club mereka.
Teman mereka. Keluarga mereka. Beberapa bahkan memintaku menjadi suami mereka. Can you believe that? Mereka tunduk dan
bahkan menjilat sepatuku. “
Felix memberiku senyum sedikit getir, “Terkadang kita memang melihat orang
dari bungkus luarbya saja, TJ. Tak bisa di pungkiri kalau ada sebagian orang
yang cenderung menghargai baju, daripada siapa yang memakainya. Mereka lebih menghormati uang dan
pengaruh.
Aku mengajarkan pengetahuanku itu pada Soni. Saat pertama kali aku
mengambilnya, dia adalah seorang anak yang selalu ketakutan, lemah dan tertekan.
Bisa kau bayangkan bagaimana perasaanku? Dia, anak dari kakakku, satu-satunya
orang yangs selalu mendukung dan membantuku, terlihat begitu mengenaskan karena
ulah seorang perempuan sakit jiwa. Jelas aku tak akan membiarkannya hancur
seperti itu.
Aku berikan semua yang aku bisa padanya. Hal pertama yang ku lakukan adalah
membangun kembali kepercayaan dirinya. Memulihkan kesehatan fisik dan
mentalnya. Kami banyak melakukan terapi bersama. Aku berikan semua
pengetahuanku padanya. Aku juga yang membuatnya belajar semua hal. Seni,
pengetahuan modern, bisnis, bahkan kepribadian. Aku mengajarinya bagaimana
menghadapi ketakutan dan traumanya. Aku buat dia melampiaskan semua emosinya
dengan belajar berbagai ilmu bela diri. Judo, karate, tinju dan lainnya. Aku
mengajarinya bagaimana bersikap dan membentuk citra dirinya di masyarakat. Dia
tak boleh terlihat lemah, karena orang-orang hanya akan memanfaatkannya. Dia
harus menjadi orang yang kuat, bermartabat dan pintar.
Aku yang membentuknya seperti itu. Dengna imej yang seperti itu, aku
membawanya ke lingkungan sosial elit dunia. Dan kini, dia telah belajar
bagaimana mengatur perkebunan dan perusahaan yang menjadi miliknya.
Tapi............ada saat dimanaaku lupa, bahwa dia hanyalah seorang bocah.
Seorang anak yang perlu tumbuh dan berada di lingkungan yang normal. Karena itu
dia tinggal di Indonesia. Karena disanalah sebenarnya setan yang harus dia
taklukkan. Dia harus bisa menghadapi trauma yang Erma bawa padanya di sana. Dan
mengendalikan apa yang sudah menjadi haknya. Kau tahu bahwa dia jadi pewaris
tunggal Erma kan? Wanita iblis itu sudah menjadikannya kaya raya. Ironis.
Karena aku yakin, nenek sihir itu tak akan mengijinkannya, andai saja dia masih
hidup. Dia hanya akan memperlakukan Soni sebagai budak.
Dan........jadilah dia Soni yang kau kenal sekarang.
Tapi aku tahu, jauh di dalam dirinya, semua luka dan trauma yang
ditinggalkan Erma dan Ibunya, tak bisa kusembuhkan sepenuhnya. Semua itu akan
membekas padanya. Dari luar dia memangorang yang tampan, berkelas, percaya
diri, kaya dan berpengaruh. Tapi didalam dirinya, dia msih seorang bocah yang
terus ketakutan, kesepian dan rapuh.
Hingga hari ini.............
Dia menjadi manusia yang utuh, karenamu. Aku tak pernah melihatnya begitu
ceria. Selalu tersenyum dan tertawa seperti sekarang. Dia.............hidup!”
Felix menatapku dengan pandaangan dalam dan tersenyum tulus, “Aku berterima
kasih padamu atas itu.”
Aku hanya mampu menggeleng dan tersenyum tipis seraya kembali mengusap
pipiku yang basah, “Kau salah. Justru karena Soni aku merasa utuh. Aku tak
melakukan apa-apa. Dia yang melakukan banyak hal untukku.”
“Oh dear one, justru itulah letak
keindahan hubungan kalian. Can’t you see?
Semua yang kalian lakukan tidak ada dasar pamrihnya. Semua kalian lakukan
karena kalian saling peduli. Saling menyayangi. Apa yang lebih indah didunia
ini selain mencintai dan dicintai?”
Aku hanya mampu diam. apakah Felix sadar besarnya makna yang terkandung
dalam kalimatnya tadi? Tuhanku! Salahkah aku bila aku berharap? Desahku dalam
hati. Kembali aku hanya bisa mengulas senyum tipisku.
“Felix, kalau boleh aku bertanya, mengapa dulu kau tak mengambil Soni dari
awal? Kenapa justru Erma yang mendapatkannya?
Apa waktu itu, kau................tidak menginginkannya?”
“ARE YOU CRAZY?!! Tentu saja aku
menginginkannya. I wanted him. Always
have. Alaways will! Jangan berpikir kalau aku diam saja. aku sudah
melakukan berbagai cara untuk memperoleh hak asuhnya. Tapi.......pikir saja.
Satu pihak, seorang wanita sukses, single dengan segudang prestasi dan reputasi
tak tercela. Sementara yang lain adalah seorang homoseksual dengan seorang
putri tunggal hasil bayi tabung yang dibesarkan oleh Ibunya. Pengadilan mana
yang akan memenangkanku?” kata Felix dengan nada getir yang nyata. Jelas sekali
dia terluka.
“You must be hurt,” gumamku.
“Hurt? Itu kata yang terlalu
halus untuk menggambarkan perasaankum” kata Felix. Dia tertawa pahit dan
mengusap rambutnya dengan sedikit kalut. Dia menghela napas panjang, “Aku sudah merasa tak suka pada Ibu Soni
sejak pertama kali melihatnya. Ada sesuatu tentangnya yang waktu itu membuatku
membencinya. Aku juga sudah dengan jelas mengungkapkan ketidak sukaanku pada
Phillipe. Tapi tentu saja, Phillipe yang baik hati, polos dan luar biasa naif,
tidak mempercayainya. Mereka menikah. Dan...................kecurigaanku
terbukti. Phillipe menemui ajalnya ditangan wanita sialan itu. Untungnya,
Phillipe cukup cerdas dengan mewariskan bagian perkebunan miliknya ini pada
Soni, dengan aku sebagai pengawasnya. Sebenarnya Ayah tersayangku sudah
mencoretku sebagai ahli waris, but bless Phillipe, dia menyerahkan kembali
hakku ketika Ayah sudah meninggal. Dan kami bekerja sama sejak itu. Jadi ketika
dia meninggal, akulah yang jadi pengawas hak Soni, sesuai dengan wasiatnya.
Menjaga agar perkebunan kami, tetap berada di tangan keluarga.
Lalu Erma datang. Wanita itu.................bahkan lebih mengerikan dari
adiknya, Ibu Soni. Dengan melihatnya saja, aku sudah langsung bertekad bahwa
aku tak akan menyerahkan Soni padanya. Aku juga punya kecurigaan kalau dia
mengincar bagian Soni di perkebunan. I went through all the way untuk
mempertahankan Soni. Tapi.........aku kalah. Dan Soni harus mengalami apa yang
sudah kau ketahui. Dia................hancur,” pungkas Felix dengan suara
bergetar.
Untuk sejenak, kami hanya diam. Memberi kesempatan untuk melegakan dada
kami yang penuh sesak oleh duka. Keheningan yang kemudian menggelayut
benar-benar tak menyenangkan. Masing-masing dari kami seolah-olah memberi waktu
bagi hati kami yang perih untuk membaik dalam hitungan detik. Tapi nyatanya
justru makin menyakitkan. Felix kembali menyesap kembali anggur yang berada dalam gelasnya.
“Kau tak akan bisa membayangkan bagaiamana luluh lantaknya perasaanku saat
pertama kali melihatnya. Saat aku mengambilnya dari rumah Erma. Dia meringkuk
di sudut kamar. Pucat, lemah dan begitu..............ketakutan. mulanya dia tak
mengenaliku. Saat dia tahu aku yang datang, dia memelukku begitu erat. Saking
eratnya hingga dokter harus menyuntiknya dengan obat penenang agar bisa lepas
dariku.
Butuh waktu sekitar setahun bagi
Soni untuk memulihkan mentalnya. Kami bersama-sama menjalani terapi yang sangat
menyakitkan. Chantal dan Evelyn banyak membantu, meski Soni lebih sering
menolak mereka. Aaahhh TJ. Can you imagine what I felt? Satu-satunya anak dari
kakakku, satu-satunya keluarga dekatku yang tersisa, terkoyak seperti itu. Aku
kira apa yang aku alami dulu itu sudah sangat bruk. Tapi
Soni..................dia harus emnerima lebih dari itu di usia yang masih
sangat muda. Dia............begitu menyedihkan.”
Lagi, kami sama-sama terdiam, meresapi rasa perih yang merambati perasaan
kami dengan pelan.
“Felix..” panggilku kemudian saat sesuatu melintas dibenakku,
“.........apakah menurutmu, hal itu yang membuat Soni menjadi.......” aku tak sanggup
meneruskannya.
“Gay?” tanya Felix sembari tersenyum, “I don’t know. Aku tak punya bayangan
sama sekali kalau Soni gay. Soni tak pernah menunjukkan ketertarikan pada orang
lain sebelumnya. Either to a boy or a
girl. Dia cenderung menjadi orang yang dingin, tak acuh dan tertutup.”
Yeah! Aku tahu itu, batinku, “Aku sendiri juga tak pernah memahami kenapa
aku begini. Kau sendiri, pernah bertanya-tanya, kenapa
kau.................berbeda?”
“Maksudmu kenapa aku bisa jadi gay?”
Aku menganggukan kepala.
Felix tertawa, “Ok. Aku bukan seorang ahli atau ilmuwan, tetapi bukankah
normal atau tidaknya sesuatu itu merupakan hal yang relatif dan cenderung
berubah? Poliandri bagi kita mungkin aneh dan gila. Tapi tidak bagi masyarakat
Tibet. Poligami di dunia modern dianggap aneh, padahal nyaris semua Raja di
masa lalu melakukannya. Setiap orang, negara dan juga golongan memiliki
standart normal yang berbeda. Dan itu terus berubah seiring waktu.
I’m gay. Dan bagiku dan juga
teman-temanku yang gay, kami normal. Kami hidup sesuai dengan cara kami. Dan
kami rasa, kami orang-orang yang baik. Kami tidak membunuh, merampok, memaksa
ataupun membebani orang lain. Untuk masalah seks, kami juga tidak memperkosa
partner kami. Kami melakukannya dengan orang yang kami sukai, atau yang mau.
Tanpa paksaan. Kami sama-sama menginginkannya. Tak ada pihak yang dirugikan.
Sama dengan pasangan heteroseksual. “
Aku terdiam sejenak, merenungkan ucapannya, “Lalu.............” aku
melanjutkan tanpa mampu menahan diri, “........pernah berpikir tentang Tuhan
atau..........dosa?” tanyaku pelan.
Felix tersenyum mendengarku, “Aku percaya Tuhan, TJ. Aku percaya ada
kekuatan yang besar di dunia ini. Kekuatan yang
mengatur dan memberkati kita, serta mengendalikan kehidupan kita.
Kekuatan yang menciptakan alam dan mengendalikan nyawa manusia. Dan aku percaya
bahwa kekuatan itu, menginginkan kita untuk hidup denga baik. Saling membantu
dan menghargai, dan juga menyayangi. Itulah yang coba aku lakukan.
Setahuku, itulah inti yang diajarkan oleh semua agama. Dan setahuku juga,
semua agama tidak memaksa para penganutnya untuk mengambil jalan yang mereka
tunjukkan. Agama adalah tuntunan. Mereka memberitahu kita jalan hidup, berikut
semua konsekuensinya. Kita, memiliki kebebasan dalam memilihnya. Bahkan jika kita
memilih untuk tidak mengakui apa yang agama
dan para Nabi mereka itu sampaikan.”
“Tapi agamaku mengajarkan........”
“Aku tidak mengatakan kalau agamamu salah,” potong Felix, masih dengan
senyumnya, “Percayalah pada apa yang kau percayai. Aku tahu betul dan yakin
bahwa Isa, Muhammad, Abraham ataupun Gautama adalah orang-orang hebat. Mereka
telah berhasil mengubah wajah dunia. Mereka adalah orang-orang yang membawa
pesan dari langit. Pesan yang mengatakan bahwa kita harus menjadi makhluk yang
baik, berguna dan tidak merugikan orang lain. And that’s what I’m trying to do.
Aku berusaha untuk menjadi orang baik sesuai kemampuanku. Menghargai orang
lain dan tidak menyakiti mereka. I’m not
gonna steal, hurt or kill anyone. Kenyataan bahwa aku adalah gy adalah sebuah
fakta yang real. Untuk seks dan
pasangan hidup, aku menginginkan pria. Itu benar. Tapi aku tidak memaksa mereka
untuk melakukannya denganku. Kami melakukannya karena itu adalah keinginan kami
bersama.
Jika aku bersalah, maka biarlah. If
I’m cursed, then so be it. Tapi hanya Tuhan sendiri yang berhak memberi
label itu padaku. Hanya Tuhan yang berhak melakukannya. This is my way. This is my life. And this is how I want it to be.
Aku sudah tidak mau ambil peduli apa yang dikatakan orang-orang di
belakangku. Let them say what they want to. Aku tak akan membiarkan apa yang
mereka katakan atau lakukan, membuatku depresi, merasa berdosa atau terkutuk
seperti dulu. No! I’m not gonna let it
happen again. Kalau aku berdosa, maka biarlah itu menjadi urusanku dengan
Tuhan.
Tapi satu hal yang aku percaya. Tuhan Maha Tahu segalanya. Dia Maha Besar
dan Maha Benar. Tuhan tak pernah dan tak akan pernah salah. Dan Dia yang
menciptakan aku. Dia yang membuatku terlahir seperti ini. Maka aku, bukanlah
kesalahan. Yang bisa aku katakan padamu
adalah, sayangi dirimu sendiri. Hargai dirimu. Jangan pernah merasa cacat
ataupun hina sepertiku dulu. Dan jangan pernah membiarkan orang lain membuatmu
merasa begitu. Terimalah dirimu apa adanya. You
are what you are. Kalau kau tak pernah melakukannya, maka tak akan ada
orang lain yang bisa. It’s all in you.”
Ada sedikit kelegaan yang mengalir di dadaku saat mendengar kata-kata
Felix. Aku menarik napas panjang,
“Kau...........sungguh-sungguh tak ingin
menikah dan memiliki keturunan?” tanyaku lagi. Terus mencoba untuk meraih
kelegaan yang lebih besar.
“Kau lupa aku punya Chantal?’ tanya Felix mengingatkanku sembari tetap
tersenyum, “Menikah dengan
wanita................aku belum pernah
menginginkannya. Bahakn meski itu dengan Evelyn,” katanya lagi.
Aku memangkap kesedihan yang dalam dari caranya mengatakan kalimat tadi .
tapi aku juga menangkap campuran rasa sayang ketika dia menyebut nama Evelyn.
Untuk sejenak, dia diam dan hanya menarik napas panjang.
“Aku dan Evelyn berteman akrab. Sangat akrab. Meski dia tahu aku
gay.............hal itu tidak berpengaruh pada Evelyn.
Dia..................jatuh cinta padaku. Sayangnya, aku benar-benar tak bisa
menyayangi Evelyn seperti yang dia inginkan. Jangan salah. Aku sayang padanya. I’d do anything for her. To make her happy.
Tapi untuk mencintainya seperti yang dia inginkan.........I can’t. Yang menyedihkanku, Evelyn dengan lapang dada bisa
menerimanya.
Sama sepertiku yang menutup hidupku untuk wanita, Evelyn menutup hidupnya
untuk pria lain. Sudah berulang kali, dan sudah berbagai cara aku tempuh untuk
meyakinkan Evelyn, agar dia melanjutkan hidupnya. Untuk tidak menyia-nyiakan
hidupnya. Tapi Evelyn, tetap pada pendiriannya. Dia bilang bahwa dia tidak
menuntut apapun dariku, karena dia tahu bagaimana aku. Hanya ada 2 hal yang dia
inginkan dariku. Pertama, dia ingin agar aku tetap membolehkannya untuk berada
dalam kehidupanku. Dan aku tentu saja mengabulkannya dengan mudah. Karena aku
juga tak ingin jauh darinya. Dan yang kedua, agar aku memberinya seorang anak.
Dan.................tentu saja aku kembali tak bisa menolaknya. Maka lahirlah
Chantal. Melalui inseminasi buatan.
Mereka berdua adalah dua orang paling berarti dalah hidupku. Selain Soni
tentu saja. I’d do everything for them
all. Kalau kau bertanya apa aku tak ingin menikah, jawabnya adalah tentu
saja aku ingin. Aku masih mencari orang yang tepat. Yang jelas, aku tak akan
bisa melakukannya dengan wanita. Karena aku tak bisa. I know exactly what and who I am. Dan jangan berpikir kalau aku
melakukannya hanya berdasarkan dorongan napsuku saja. I’ve been thinking a lot. Dengan semua yang terjadi, aku, Evelyn,
Chantal dan juga Soni. Kini aku bisa menerima kenyataan bahwa aku tak bisa.”
“Tak pernah merasa bersalah atau menyesal pada Evelyn dan Chantal?”
“Pada awalnya, selalu. Berulang kali aku bertanya, marah, bahkan mengutuk
diriku sendiri. Dengan adanya wanita seperti Evelyn, kenapa aku masih juga tak
bisa berubah? Tapi dorongan yang kurasakan berasal dari dalam diriku, TJ. Bukan
hanya pemenuhan kebutuhan hasrat belaka. Dan aku akan selamanya begitu.”
Ada kembali sedikit rasa ringan dalam dadaku yang membuatku sedikit lega.
Sadar bahwa aku tidak sendiri. Bahwa aku bukannya manusia dengan pemikiran yang
lain. Selama ini, ada rasa takut, cemas dan juga bingung yang sering bergumul
dalam diriku. Rasa yang semakin jelas kurasakan saat Soni hadir dalam
hari-hariku. Selama ini, oikiran alam bawah sadarku menuntut penjelasan.
Mencari jawaban akan jati diriku. Apa
yang diucapkan Felix adalah apa yang selama ini menjadi bebanku. Aku selalu
merasakannya. Semua ketakutan, keresahan dan kecemasan seta keraguan itu
menggunung dan bertumpuk begitu lama, dan aku hanya memendam dan mencoba untuk
tidak mengacuhkannya. Aku tak pernah memiliki teman untuk membicarakannya. Tak
ada yang bisa ku ajak untuk berdiskusi. Tidak Wina, sahabat terbaikku, atau
anggota gank-ku yang lain. Bahkan juga tidak Bunda, wanita yang melahirkanku.
Aku selalu takut akan penghakiman dan penilaian mereka nantinya. Bahkan dengan
semua dukungan yang selama ini mereka tunjukkan. Aku begitu ngeri kalau
nantinya akan mengecewakan mereka dengan kebenaran yang ada pada diriku. Entah
sudah berapa lama aku merasa kesepian, sendiri. Tanpa ada yang mengerti.
Hingga kini aku bertemu Felix.
Dia begitu yakin dan percaya diri. Berdiri tegak dengan apa adanya dia. Dia
sudah menemukan jalan yang dia yakini. Aku benar-benar iri padanya. Andai saja
aku memiliki sedikit saja keyakinan yang dia punya.
“There you are! Aku sudah
mencarimu kemana-mana!”
teguran itu datang dari Soni yang muncul dari balik pintu yang ada dibelakang
kami. Dengan tersenyum dia melangkah emndekat. Namun ekspresinya berubah dalam
sekejap saat melihatku dengan jelas.
“Ada apa?” tanya Soni cemas. Tangannya terulur mengusap pipiku yang
ternyata sudah kembali basah.
Aku segera mengusap kembali wajahku dengan sapu tangan yang tadi dipinjami
oleh Felix.
“Apa yang Felix katakan padamu?” desak Soni dan dengan segera berpaling
pada Soni dengan wajah yang menggelap, “Felix, I told you..............”
“Son!” potongku cepat, kaget mendengar nada bicaranya yang sedikit naik
karena gusar, “Felix tidak melakukan apa-apa. Dia justru membantuku.”
“Tapi..............”
“He did nothing!” tegasku dan
meraih satu tangannya untuk menenangkan, “I
swear. Dia justru membantuku. Kami hanya berbicara tentang masa lalu
dan.................aku hanya terharu.”
Dia diam sejenak. Memamndangku seksama dengan pandangan menyelidik, “Really?”
“Swear! Cross my heart!” tegasku
meyakinkannya. Soni memandanku untuk beberapa lamanya sebelum menarik napas
panjang.
“Kenapa sih kamu begitu cengeng?” desahnya pelan dan menarikku. Dia
memelukku erat dan mencium ujung kepalaku. Aku memejamkan mata. Menikmati
sepenuhnya dekapan Soni. Bernapas dalam-dalam, memenuhi rongga dadaku dengan
harum wangi floral tubuhnya yang telah akrab. Tuhanku! Aku benar-benar
menyayanginya. Ada kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Hanya
bersama Soni aku merasakannya. Dan kenyamanan itu terasa begitu berlipat ganda
kini, saat aku berada dalam dekapannya seperti ini.
Fakta tentang masa laluna memang membuatku sadar bahwa dia bukan orang yang
sempurna. Namun hal itu ustru membuatku makin menyayanginya. Aku sudah tersenyum saat dia melepasku.
“Lain kali kau harus mengurangi cengengmu.”
Aku tertawa mendengarnya, “Teach me how,” balasku.
Soni berpaling pada Felix yang sedari tadi tak bersuara. Dan kali ini,
giliran aku dan Soni yang jadi tertegun melihat Felix yang berdiri diam dengan
pipi basah, “Felix....”
Felix hanya mengangkat tangannya untuk mencegah Soni berbicara. Pelan dia
mendekat dan memegang wajah Soni, “Are
you happy?”
Soni tersenyum dan mengangguk, “More
than I’ve ever felt before.”
Felix mengembangkan tangannya. Soni tertawa kecil dan menyambutnya. Mereka
berpelukan erat.
“Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu mengatakan itu padaku?’ bisik
Felix pelan. Dan untuk sesaat pandangan Felix bertemu denganku. Ada begitu
bnayak kata-kata terwakili dari sorot matanya. Aku bisa memahaminya. Naluriku
bisa langsung menerjemahkan dalamnya tatapan Felix. Aku hanya tersenyum dan
menganggukan kepalaku untuk menjawabnya.
“Nah, sebelum para tamu bingung karena tidak ada tuan rumah yang muncul,
kita harus kembali ke dalam. Ayo!” ajak Felix setelah melepas pelukannya. Dia
menggandeng kami berdua dikedua sisinya.
Dalam perjalanan pulang, aku tak banyak bicara. Aku lebih banyak berpikir
akan semua yang telah aku bicarakan bersama Felix. Terutama tentang aku dan
Soni. Aku sependapat bahwa Soni berhak bahagia setelah semua yang telah dia
alami. Dia layak untuk dicintai. Sekarang pertanyaannya adalah, apa aku bisa
membahagiakannya?
Aku berpaling pada Soni yang sedang menyetir disampingku. Menelusuri
wajahnya dengan seksama. Ada perasaan hangat yang kurasakan dan hampir-hampir
tak tertahan. Perasaan hangat yang begitu kuat, yang emndorongu untuk meraih
wajah itu, memebelainya, menciumnya dan mengatakan bahwa aku menyayanginya.
Soni menoleh dan tersenyum padaku sekilas.
“Cape ya?” tanyanya pelan sembari memberiku senyuman.
Aku hanya bergumam lirih. Yah, aku benar-benar menyayanginya, desahku dalam
hati. Pikiran itu terus berputar-putar di benakku hingga kami tiba dirumah
Soni. Bahkan saat kami sudah berada dalam kamar.
Soni melepas jas dan melemparnya ke pembaringan. Lalu membuka kancing
rompinya.
“Pheeewww...........cape juga. Dansa kesana kemari. Padahal aku ingin
ngobrol saja denganmu,” gerutunya dab mendekat ke perapian untuk menyalakannya.
Aku hanya mengulas senyum simpul mendengarnya dan melepas jasku, “Ternyata
nggak disini ataupun di Indonesia, kamu tetep saja banyak yang nguber.”
“Nguber apaan,” gerutu Soni lagi. Dia sudah berdiri didepan cermin besar
berukuran 2 meter yang ada disamping
closet, “By the way, kamu tadi
ngomongin apa aja dengan Felix?’ tanya Soni ingin tahu dan melihatku melalui
cermin sembari melepas dasinya.
Aku yang berada tak jauh dibelakang Soni, hanya diam dan menatap
bayangannya. Pandangan kami bertemu. Sekali lagi aku menelusuri wajahnya.
Bnetuk tubuhnya. Bahunya yang lebar. Dadanya yang bidang. Serta lengkungan
mengecil pada pinggangnya. Bahkan saat aku menarik napas panjang, aku kembali
bisa menghirup harum tubuhnya yang biasa. Dan sekali lagi, ada kehangatan yang
kurasakan mengalir di sekujur tubuhku.
Aku kembali menatap wajahnya. Dan pandangan kami kembali bertemu. Dia diam
memperhatikanku.
“I love you,” bisikku lirih.
Kalah oleh desakan dalam dadaku. Kalimat itu adalah satu-satunya yang bisa
mewakili apa yang aku rasakan saat ini. Dan aku mengucapkannya dengan sepenuh
hati.
Soni tampak sedikit tertegun. Dia berbalik dan menatapku. Lalu perlahan,
senyum lebar merekah di wajahnya. Efeknya begitu besar, hingga aku tak sanggup
melakukan apapun. Hanya diam di tempatku bediri. Itu senyum lebar yang pertama
kali ku lihat di wajahnya.
Tanpa dapat ditahan, dia tertawa senang dan mendekat. Begitu berada di
hadapanku, dia mengulurkan tangan kanannya dan mengusap sisi kiri wajahku
dengan lembut, “Kamu sadar nggak, kalau tadi adalah pertama kalinya kau
mengucapkan kalimat itu padaku?”
Aku menarik napas panjang. Mengulurkan kedua tanganku untuk meraih wajahnya.
Aku harus berjinjit untuk bisa mencium bibirnya dengan lembut, “I love you. So much,” gumamku berulang
kali seraya kembali menciumnya.
Soni tertawa kecil dan membalas ciumanku. Dia memeluk pinggangku, untuk
kemudian membawaku ke tempat tidur. Sesaat kemudian dia menarik wajahnya dariku
dengan ekspresi heran, lalu mendecak, “Kok nangis lagi?”
“Tangis bahagia gak kehitung,” elakku.
“Dasar!” gerutu Soni dan mengusap pipiku. Dia lalu kembali menciumku. Kian
lama, ciuamannya jadi kian intens. Lidahnya turut bermain dengan ahlinya.
Sekali lagi, alarm di otakku langsung berbunyi nyaring, membuatku mati-matian
untuk mengembalikan akal sehatku.
“Son...........” desahku dan menahan dadanya begitu ada kesempatan.
Sepertinya Soni mengerti, karena sesaat kemudian dia menarik dirinya dariku
perlahan, “I’m sorry. Kau pasti
lelah. Kalau begitu, kita harus ganti baju dan tidur.”
“Thanks,” kataku atas
pengertiannya. Akupun bangkit dan menuju kamar mandi.
Saat aku sedang menyikat gigi didepan kaca tolet, Soni menyusulku. Dia
sudah mengenakan piyamanya. Sambil tersenyum geli melihatku yang belepotan busa
pasta gigi, dia mengambil sikatnya.
“Masih gak mau kasih tahu apa yang kamu omongin ama Felix tadi?” tanya Soni
dan mulai menyikat giginya di sebelahku.
“Kan udah bilang tadi? Beneran bukan apa-apa kok. Cuma ngobrol bentar dan
saling tukar pendapat. Itu aja.”
“Okay,” sahut Soni, sedikit tidak jelas karena sedang menyikat gigi.tapi
dari nadanya, kentara sekali kalau dia tidak percaya. Aku hanya menggerutu
pelan karenanya.
“Tapi........dia sayang banget sama kamu,” lanjutku pelan dan menatap
bayangannya di cermin.
Soni menatapku juga dari cermin. Sejenak kami hanya beradu pandang. Dia
lalu membasuh mulutnya di wastafel dan berpaling padaku, “Aku tahu. Sebelumnya,
hanya dia satu-satunya orang dekat yang ku punya. Now.............I have you.”
Aku kembali tersenyum mendengarnya, hingga kemudian mataku tertumbuk pada
bibirnya. Setelah menyikat gigi, bibirnya jadi keliahtan lebih merah dan basah.
Aku mendesah dalam hati. Sepertinya aku tak akan pernah puas dengan dirinya.
Siapa yang akan tahan dengan cobaan seperti ini? Perlahan, didorong oleh
keinginan hati yang kuat, aku mendekat. Kulingkarkan kedua tanganku di lehernya
dan berjinjit untuk menciumnya. Bibirnya basah dan manis.
Soni mengerang lirih, membuatku sadar untuk menahan diri. Aku menjauhkan
diriku.
“Kamu sedang mengujiku ya?” gerutu Soni sedikit kesal.
Aku hanya nyengir iseng, “That’s it
fot tonight. Karena kita harus beristirahat,” kataku. Aku meraih bahunya
dan membalikkan badannya, “Sekarang bawa aku ke tempat tidur,” kataku lagi dan
dengan cepat melompat ke punggungnya dengan kedua tangan berpegang pada
lehernya.
Soni tertawa dan kemudian dengan setengah berlari memanggulku ke kamar. Dia
menjatuhkan tubuhku ke kasur, membuatku sedikit terpekik kecil.
“Besok gimana?” tanyaku dan membetulkan selimut.
“Kita kembali ke Paris. Besok malam tahun baru kan? Tanggal 1 kita harus
kembali ke Indonesia,” jelas Soni dan ikut naik.
“Already?”
“Kamu gak inget? kita udah disini hampir seminggu.”
Aku menggeleng, “Engga. Cepet juga ya? Gak kerasa,” gumamku setengah
melamun.
“Karena besok hari terakhir di Paris, ada yang ingin kamu lakukan?”
“Let’s not waste it. Bawa aku ke
tempat-empat yang belum kita kunjungi.”
“Deal! Aku akan membawamu keliing
Paris lagi. Kita besok pergi pagi-pagi. Felix sepertinya harus mengurus
sesuatu. Jadi kita tak mungkin bisa menemuinya,” kata Soni.
“Kita tidak berpamitan?”
“Kita bisa meneleponnya nanti,” sahut Soni lagi. Aku mengangguk
menyetujuinya. Felix mungkin memang memiliki urusan penting yang harus dia
bereskan. Soni lalu mendekat untuk mengecup bibir dan keningku sekilas.
“Good night,” katanya pelan dan
mematikan lampu.
Aku tak menyahut. Kata-kata Soni tadi kembali terngiang di benakku. Hari
terakhir di Paris. Ugh!! Aku pengen hari-hari seperti ini terus berlanjut. Aku
ingin tetap disini bersama Soni. Aku belum ingin kembali ke Indonesia. Pelan
aku beringsut mendekat ke tubuh Soni.
“Son............” panggilku pelan dan menyurukkan kepalaku di lehernya.
“Ada apa?” tanya Soni yang jadi sedikit kaget.
“Hmmm...........aku Cuma pengen tidur gini aja,” sahutku pelan dan
melingkarkan lenganku ke dadanya dan semakin menenggelamkan wajahku diantara
rahang dan lehernya. Aku mencium lehernya lembut.
“Dasar.....” gerutu Soni. Dia menyelipkan lengannya ke bawah leherku dan
memelukku, “Kadang aku piir kamu tuh sengaja menggodaku ya?”
Aku tertawa kecil, “Aku suka harum tubuhmu. Seperti wangi pinus yangs
segar. Mengingtakanku pada harum segar daerah dataran tinggi. Beli dimana? Merknya?”
“Di Paris. Sebenarnya bukan parfum kebanyakan. Ini hasil ramuan seorang
ahli aroma therapy yang menggabungkan berberapa essence floral. Karena suka,
aku selalu memesan racikan yang sama.
I’ll buy you tomorrow if you want. For now, tidurlah. Besok kita harus
kembali bermotor ke Paris.”
Aku Cuma bergumam tak jelas dan menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma
Soni yang aku suka.