BAB 23
Aku tak bisa menutup mulutku saat kami berdua melangkah beriringan dijalan
masuk istana Versailles yang terletak 17 Km dari kota Paris. Aku benar-benar
dibuat terkagum-kagum dengan tata taman didepan istana megah ini. Rumputnya
terpotong rapi dan hijau, pepohonan yang dibentuk dengan bentuk-bentuk unik,
hingga pagar tanaman yang berjejer rapi di sepanjang jalan masuk ditata dengan
begitu indahnya.
“Sebenarnya istana ini adalah bekas pondok berburu. Dibangun oleh Raja
Louis XIII. Dia suka mampir kesini setelah sibuk mengurus pemerintahan. Setela
dia mati, putranya Louis XIV membangun tempat ini untuk mengenangnya.
Pembangunan dimulai sekitar tahun 1661. Yang memimpin proyek ini adalah arsitek
ternama Perancis waktu itu, Louis La Vau. Dan 17 tahun kemudian, arsitek lain
Jules Hardouin Mansart membantu desain arsitekturnya,” jelas Soni.
“Oohh.......” gumamku pelan.
“Istana ini mempunyai total ruangan sebanyak 1.300 buah. Dibangun selama 40
tahun dengan puluhan ribu pekerja paksa dari wilayah jajahan.”
“Dan aku yakin, pada saat itu, negara kita sendiri juga sedang dijajah,”
gerutuku pelan saat kami menaiki tangga masuk istana. Kami berpapasan dengan
banyak kelompok wisatawan dengan guide mereka, berjalan keluar dari istana.
“Sepertinya sih begitu,” ujar Soni dan tersenyum.
“Oh, aku benci penjajah,’ rungutku kesal.
Kekesalan itu tidak berlangsung lama, karena ruangan-ruangan dalam istana
ini benar-benar menakjubkan. Interiornya penuh dengan dekorasi-dekorasi dan
lukisan-lukisan megah. Kami bergantian masuk ke ruangan-ruangan yang terkenal
itu dengan wisatawan-wisatawan lain yang datang. Ruangan-ruangan seperti ruang
pribadi Raja dan Ratu, Ruang Hercules dan aula kaca atau Hall of Mirrors. Dalam
bahasa Perancisnya, Galerie des Glasses, kata Soni. Sebuah hall yang penuh
dengan benda-benda kaca seperti chandelier kristal yang banyak dan megah.
Aku benar-benar terpesona dengan ruang satu ini. Ruangannya terdiri dari
lorong panjang, dihiasi dengan sejumlah besar cermin dibagian depan plafonnya,
dan didekor khusus dengan lukisan yang menggambarkan kebesaran Raja Louis XIV.
Soni bilang desain aslinya dikerjakan oleh Charles Le Braun, seniman kesayangan
Louis XV.
Terakhir Soni membawaku ke tempat pembibitan jeruk impor yang berupa sebuah
rumah kaca besar. Tempat itu juga dilengkapi dengan kebun mini yang di disain
khusus untuk Ratu Marie Antoinette.
“Khusus untuk kebun ini J.H Mansard pada tahun 1984 mendisainnya dengan
tanaman jeruk import yang didatangkan dalam bentuk tanaman jadi,” kata Soni
menjelaskan.
“Benarkah? Darimana kau tahu semua informasi itu?” tanyaku salut setelah
lama terdiam mendengarkan penjelasannya.
Dia bisa begitu detil menyampaikan
informasi-informasi itu.
“I read a lot,” jawab Soni nyengir.
“Yeah for sure. Kamu pasti sudah
memenangkan guide of the month bulan kemarin. Oh ya, kalau tidak salah, Ratu
Marie Antoinette mati tragis kan?”
Soni mengangguk, “Dia di eksekusi mati dengan guillotine di Place de la
Concorde tepatnya. Waktu itu rakyat Perancis benar-benar marah pada keluarga
kerajaan. Semangat rakyat yang berkobar-kobar waktu itu di kenal dengan Liberte
Egalite Fraternite.”
“Mau jadi ahli sejarah juga?” godaku. Soni kembali nyengir. Dia tertawa
kecil dan mengusap kepalaku pelan. Dengan santai kemudian dia melingkarkan satu
lengannya di pundakku.
“Sekarang hari sudah siang, dan aku lapar.”
“Kan baru jam 12?”
“Orang Perancis kalau makan siang memang antara jam 12 sampai jam 2 siang.
Dan ini sangat penting.”
“Yeah right,” selorohku.
“I’m serious. Orang-orang
Perancis benar-benar menganggap penting. Apa kau tahu juga kalau rata-rata cuti
mereka adalah 40 hari pertahun? Dan rata-rata mereka kerja hanya 35 jam per
minggu? Pemerintah disini juga terus memastikan orang yang sakit akan dapat
perawatan langsung di rumah sakit. Mencium pipi juga jadi bagian kehidupan
orang Perancis. Terutama Perancis selatan. Saat bertemu, mereka biasa memberi
pelukan hangat dan mencium pipi lebih dari 2 kali.”
Penjelasan itu membuatku merasa seakan-akan disiram dengan seember air
beku. Dengan kanta lain, ciuman-ciuman yang pernah dia lakukan selama ini tidak
memiliki makna khusus, batinku. Ada sedikit sesak yang kemudian kurasakan di
dadaku, dan aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengacuhkannya. Seharusnya
kau sudah bisa menduganya kan? Aku membatin lagi, dan tanpa suara, mengikuti
Soni.
Hari sudah sore saat kami makan di sebuah restoran terbuka ditepi sungai
Seine. Soni tadi pamitan ke belakang, sementara aku duduk diam di tempatku.
Memandang ke arah sungai yang beriak dan lalu lalang perahu serta kapal yang
sesekali melintas.
Apa yang kau harapkan TJ? Aku bertanya pada diriku sendiri. Tak bisa
kupungkiri kalau penjelasan Soni tentang ciuman di Versailles tadi membuatku
merasa sedikit.................nelangsa.
Well............bukannya aku tak melihatnya datang. But at least, setelah
semua keakraban yang kami bagi bersama dalam beberapa hari ini, ada setitik
harapan konyol di hatiku. Bahwa ciuman-ciuman kecil yang ia lakukan itu,
memiliki arti khusus. Bukan hanya hal casual yang tidak bermakna. Bukan pula
basa basi. Yeah................memang sebuah harapan konyol. Tapi aku tak bisa
menghalangi hatiku.
Aku menghela napas, sedikit berat.
Mungkin aku orang yang tamak. Harusnya kau bersyukur. Bahkan dalam mimpiku
yang paling gila sekalipun, aku tak pernah menyangka kalau aku bisa berada
disini. Di Paris!! Bersama Soni pula. Bersenang-senang. Tertawa bersama, makan
bersama, bahkan tidur bareng. Taruhan! Wina dan yang lain pasti akan
misuh-misuh gak terima dan mengutukku habis-habisan, kalau saja mereka tahu
dimana aku sekarang dan apa yang sedang aku lakukan.
Aku harus kembali sadar diri. Mencoba sekuat tenaga untuk menata hati dan
pikiranku. Mencoba untuk mensyukuri apa yang sudah aku terima.
Sungguh! Aku benar-benar akan menjadi orang yang tak tahu diri kalau aku
masih meminta lebih dari ini. Aku sudah berada di Paris bersama Soni. Aku harus
bisa menikmati dan memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknnya.
“Ada masalah?” tanya Soni yang tiba-tiba muncul. Tahu-tahu dia sudah duduk
di kursinya.
“Apa?” tanyaku sedikit gugup karena benar-benar tak menyadari
kedatangannya.
Soni tak menjawab, tapi tangannya terulur untuk kemudian mengusap sudut
mataku, “Kamu................nangis?”
Untuk sesaat lamanya aku bengong, lalu cepat-cepat mengusap sudut mataku.
Sial!! Benar-benar ada sedikit air mata disana.
“Ada apa? Sakit atau...”
“No! I’m okay!” sergahku cepat
dan buru-buru tersenyum, mencegahnya bangkit dari kursi, “Hanya saja........aku
merasa begitu tamak dan tak tahu diri.”
“Apa?” tanya Soni, luar biasa heran mendengarku.
Aku tertawa kecil, “Sudahlah! Kau tak akan bisa mengerti. The point is, aku benar-benar bersyukur
bisa berada disini bersamamu sekarang. Dan....suasana sore hari di restoran ini
begitu romantis dan................sendu. aku tiba-tiba saja
terharu.”
Sejenak Soni mengedarkan pandangannya. Ada beberapa orang yang juga makan
tak jauh dari kami. Mereka larut dalam pembicaraan mereka sendiri, dan terlihat
seru, “Aku kok gak merasa begitu?”
“Oh forget it. Aku bilang juga
kamu gak bakalan ngerti,” gerutuku dan kembali menyantap hidanganku.
“Terkadang kamu aneh,” tukas Soni singkat yang kutanggapi dengan mengangkat
bahu tanpa sedikitpun mendongakkan mukaku, “Tapi.................kau benar. Aku
juga bersyukur bisa berada disini sekarang. Bersamamu,” katanya dengan nada
lembut.
Perlahan aku mengangkat wajahku dan melihatnya. Itu dia!! Ya Tuhan! Itu
yang belum pernah aku lihat diwajahnya. Sebuah senyum lembut dengan tatapan
mata yang tak kalah teduhnya. Sedikit rambutnya yang jatuh ke dahi dan melambai
saat angin berhembus. Dan dimataku, pemandangan didepanku ini seakan-akan
bergerak dalam slow motion.
My God! Can’t
you freeze this moment now?
“Aku sudah sering bepergian. Tapi aku tak pernah sesenang ini. Aku lebih
sering melakukannya sendiri. Paris sudah sering kali ku kunjungi. Tapi tak
pernah sekalipun aku merasa sebahagia ini
bisa berada disini. Aku baru sadar makna dari kata-kata bijak yang
mengatakan bahwa kebahagiaan akan terasa lebih indah, saat kita memiliki
seseorang untuk berbagi. Betapapun besarnya sebuah kebahagiaan, tapi bila kita
hanya sendiri, kebahagiaan itu akan berlalu begitu saja dengan cepat. Tak
berarti dalam waktu singkat.”
“Soni....”
“I’m seroius! Sebelum ini, Paris
hanya sebuah kota yang besar dan indah bagiku. Hanya itu. Tapi sekarang,
bersamamu.............aku baru sadar kenapa orang-orang menyebutnya sebagai
kota yang paling romantis di dunia. Thanks
to you.”
Gila! Siapa yang mampu bertahan kalau dia mengatakan hal itu dengan
wajahnya yang seperti itu. Nadanya saja sudah cukup membuat leherku tercekat.
“Oh stop it!” kataku dan menepuk
tangan kanannya yang ada diatas meja, “Kau sengaja mengatakan itu untuk
menggodaku kan? Supaya aku nangis lagi!!”
Karena sumpah, aku nyaris saja mewek menyedihkan sekarang! Sial!
Soni tertawa kecil, “Dasar cengeng!” ledeknya geli dna memberiku sedikit
remasan ditangan. Aku yang jadi sedikit kaget dengan gerakannya yang begitu
inti, segera menarik tanganku dan melanjutkan makan dengan susah payah.
“Kalau sudah tahu, jangan bikin aku mempermalukan diri lagi,” gerutuku
pelan. Dia hanya kembali tertawa mendengarku, “Jadi........ada rencana apa
selanjutnya?”
“Kita kembali ke hotel untuk istirahat sebentar. Setelah itu, aku mau
membawamu ke luar kota.”
“Kemana?”
“You’ll see,” kata Soni dan
tersenyum menggoda. Membuatku kembali menggerutu pelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar