Translate

Selasa, 08 Agustus 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle Bab 23




BAB 23


Aku tak bisa menutup mulutku saat kami berdua melangkah beriringan dijalan masuk istana Versailles yang terletak 17 Km dari kota Paris. Aku benar-benar dibuat terkagum-kagum dengan tata taman didepan istana megah ini. Rumputnya terpotong rapi dan hijau, pepohonan yang dibentuk dengan bentuk-bentuk unik, hingga pagar tanaman yang berjejer rapi di sepanjang jalan masuk ditata dengan begitu indahnya.

“Sebenarnya istana ini adalah bekas pondok berburu. Dibangun oleh Raja Louis XIII. Dia suka mampir kesini setelah sibuk mengurus pemerintahan. Setela dia mati, putranya Louis XIV membangun tempat ini untuk mengenangnya. Pembangunan dimulai sekitar tahun 1661. Yang memimpin proyek ini adalah arsitek ternama Perancis waktu itu, Louis La Vau. Dan 17 tahun kemudian, arsitek lain Jules Hardouin Mansart membantu desain arsitekturnya,” jelas Soni.

“Oohh.......” gumamku pelan.

“Istana ini mempunyai total ruangan sebanyak 1.300 buah. Dibangun selama 40 tahun dengan puluhan ribu pekerja paksa dari wilayah jajahan.”

“Dan aku yakin, pada saat itu, negara kita sendiri juga sedang dijajah,” gerutuku pelan saat kami menaiki tangga masuk istana. Kami berpapasan dengan banyak kelompok wisatawan dengan guide mereka, berjalan keluar dari istana.

“Sepertinya sih begitu,” ujar Soni dan tersenyum.

“Oh, aku benci penjajah,’ rungutku kesal.

Kekesalan itu tidak berlangsung lama, karena ruangan-ruangan dalam istana ini benar-benar menakjubkan. Interiornya penuh dengan dekorasi-dekorasi dan lukisan-lukisan megah. Kami bergantian masuk ke ruangan-ruangan yang terkenal itu dengan wisatawan-wisatawan lain yang datang. Ruangan-ruangan seperti ruang pribadi Raja dan Ratu, Ruang Hercules dan aula kaca atau Hall of Mirrors. Dalam bahasa Perancisnya, Galerie des Glasses, kata Soni. Sebuah hall yang penuh dengan benda-benda kaca seperti chandelier kristal yang banyak dan megah.

Aku benar-benar terpesona dengan ruang satu ini. Ruangannya terdiri dari lorong panjang, dihiasi dengan sejumlah besar cermin dibagian depan plafonnya, dan didekor khusus dengan lukisan yang menggambarkan kebesaran Raja Louis XIV. Soni bilang desain aslinya dikerjakan oleh Charles Le Braun, seniman kesayangan Louis XV.

Terakhir Soni membawaku ke tempat pembibitan jeruk impor yang berupa sebuah rumah kaca besar. Tempat itu juga dilengkapi dengan kebun mini yang di disain khusus untuk Ratu Marie Antoinette.

“Khusus untuk kebun ini J.H Mansard pada tahun 1984 mendisainnya dengan tanaman jeruk import yang didatangkan dalam bentuk tanaman jadi,” kata Soni menjelaskan.

“Benarkah? Darimana kau tahu semua informasi itu?” tanyaku salut setelah lama terdiam mendengarkan penjelasannya. 
 Dia bisa begitu detil menyampaikan informasi-informasi itu.

I read a lot,” jawab Soni nyengir.

Yeah for sure. Kamu pasti sudah memenangkan guide of the month bulan kemarin. Oh ya, kalau tidak salah, Ratu Marie Antoinette mati tragis kan?”

Soni mengangguk, “Dia di eksekusi mati dengan guillotine di Place de la Concorde tepatnya. Waktu itu rakyat Perancis benar-benar marah pada keluarga kerajaan. Semangat rakyat yang berkobar-kobar waktu itu di kenal dengan Liberte Egalite Fraternite.”

“Mau jadi ahli sejarah juga?” godaku. Soni kembali nyengir. Dia tertawa kecil dan mengusap kepalaku pelan. Dengan santai kemudian dia melingkarkan satu lengannya di pundakku.

“Sekarang hari sudah siang, dan aku lapar.”

“Kan baru jam 12?”

“Orang Perancis kalau makan siang memang antara jam 12 sampai jam 2 siang. Dan ini sangat penting.”

Yeah right,” selorohku.

I’m serious. Orang-orang Perancis benar-benar menganggap penting. Apa kau tahu juga kalau rata-rata cuti mereka adalah 40 hari pertahun? Dan rata-rata mereka kerja hanya 35 jam per minggu? Pemerintah disini juga terus memastikan orang yang sakit akan dapat perawatan langsung di rumah sakit. Mencium pipi juga jadi bagian kehidupan orang Perancis. Terutama Perancis selatan. Saat bertemu, mereka biasa memberi pelukan hangat dan mencium pipi lebih dari 2 kali.”
Penjelasan itu membuatku merasa seakan-akan disiram dengan seember air beku. Dengan kanta lain, ciuman-ciuman yang pernah dia lakukan selama ini tidak memiliki makna khusus, batinku. Ada sedikit sesak yang kemudian kurasakan di dadaku, dan aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengacuhkannya. Seharusnya kau sudah bisa menduganya kan? Aku membatin lagi, dan tanpa suara, mengikuti Soni.




Hari sudah sore saat kami makan di sebuah restoran terbuka ditepi sungai Seine. Soni tadi pamitan ke belakang, sementara aku duduk diam di tempatku. Memandang ke arah sungai yang beriak dan lalu lalang perahu serta kapal yang sesekali melintas.

Apa yang kau harapkan TJ? Aku bertanya pada diriku sendiri. Tak bisa kupungkiri kalau penjelasan Soni tentang ciuman di Versailles tadi membuatku merasa sedikit.................nelangsa.

Well............bukannya aku tak melihatnya datang. But at least, setelah semua keakraban yang kami bagi bersama dalam beberapa hari ini, ada setitik harapan konyol di hatiku. Bahwa ciuman-ciuman kecil yang ia lakukan itu, memiliki arti khusus. Bukan hanya hal casual yang tidak bermakna. Bukan pula basa basi. Yeah................memang sebuah harapan konyol. Tapi aku tak bisa menghalangi hatiku.

Aku menghela napas, sedikit berat.

Mungkin aku orang yang tamak. Harusnya kau bersyukur. Bahkan dalam mimpiku yang paling gila sekalipun, aku tak pernah menyangka kalau aku bisa berada disini. Di Paris!! Bersama Soni pula. Bersenang-senang. Tertawa bersama, makan bersama, bahkan tidur bareng. Taruhan! Wina dan yang lain pasti akan misuh-misuh gak terima dan mengutukku habis-habisan, kalau saja mereka tahu dimana aku sekarang dan apa yang sedang aku lakukan.

Aku harus kembali sadar diri. Mencoba sekuat tenaga untuk menata hati dan pikiranku. Mencoba untuk mensyukuri apa yang sudah aku terima.

Sungguh! Aku benar-benar akan menjadi orang yang tak tahu diri kalau aku masih meminta lebih dari ini. Aku sudah berada di Paris bersama Soni. Aku harus bisa menikmati dan memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknnya.

“Ada masalah?” tanya Soni yang tiba-tiba muncul. Tahu-tahu dia sudah duduk di kursinya.

“Apa?” tanyaku sedikit gugup karena benar-benar tak menyadari kedatangannya.

Soni tak menjawab, tapi tangannya terulur untuk kemudian mengusap sudut mataku, “Kamu................nangis?”
Untuk sesaat lamanya aku bengong, lalu cepat-cepat mengusap sudut mataku. Sial!! Benar-benar ada sedikit air mata disana.

“Ada apa? Sakit atau...”

No! I’m okay!” sergahku cepat dan buru-buru tersenyum, mencegahnya bangkit dari kursi, “Hanya saja........aku merasa begitu tamak dan tak tahu diri.”

“Apa?” tanya Soni, luar biasa heran mendengarku.

Aku tertawa kecil, “Sudahlah! Kau tak akan bisa mengerti. The point is, aku benar-benar bersyukur bisa berada disini bersamamu sekarang. Dan....suasana sore hari di restoran ini begitu romantis dan................sendu. aku tiba-tiba saja 
terharu.”

Sejenak Soni mengedarkan pandangannya. Ada beberapa orang yang juga makan tak jauh dari kami. Mereka larut dalam pembicaraan mereka sendiri, dan terlihat seru, “Aku kok gak merasa begitu?”

Oh forget it. Aku bilang juga kamu gak bakalan ngerti,” gerutuku dan kembali menyantap hidanganku.

“Terkadang kamu aneh,” tukas Soni singkat yang kutanggapi dengan mengangkat bahu tanpa sedikitpun mendongakkan mukaku, “Tapi.................kau benar. Aku juga bersyukur bisa berada disini sekarang. Bersamamu,” katanya dengan nada lembut.

Perlahan aku mengangkat wajahku dan melihatnya. Itu dia!! Ya Tuhan! Itu yang belum pernah aku lihat diwajahnya. Sebuah senyum lembut dengan tatapan mata yang tak kalah teduhnya. Sedikit rambutnya yang jatuh ke dahi dan melambai saat angin berhembus. Dan dimataku, pemandangan didepanku ini seakan-akan bergerak dalam slow motion. 

My God! Can’t you freeze this moment now?

“Aku sudah sering bepergian. Tapi aku tak pernah sesenang ini. Aku lebih sering melakukannya sendiri. Paris sudah sering kali ku kunjungi. Tapi tak pernah sekalipun aku merasa sebahagia ini  bisa berada disini. Aku baru sadar makna dari kata-kata bijak yang mengatakan bahwa kebahagiaan akan terasa lebih indah, saat kita memiliki seseorang untuk berbagi. Betapapun besarnya sebuah kebahagiaan, tapi bila kita hanya sendiri, kebahagiaan itu akan berlalu begitu saja dengan cepat. Tak berarti dalam waktu singkat.”

“Soni....”

I’m seroius! Sebelum ini, Paris hanya sebuah kota yang besar dan indah bagiku. Hanya itu. Tapi sekarang, bersamamu.............aku baru sadar kenapa orang-orang menyebutnya sebagai kota yang paling romantis di dunia. Thanks to you.”

Gila! Siapa yang mampu bertahan kalau dia mengatakan hal itu dengan wajahnya yang seperti itu. Nadanya saja sudah cukup membuat leherku tercekat.

Oh stop it!” kataku dan menepuk tangan kanannya yang ada diatas meja, “Kau sengaja mengatakan itu untuk menggodaku kan? Supaya aku nangis lagi!!”

Karena sumpah, aku nyaris saja mewek menyedihkan sekarang! Sial!

Soni tertawa kecil, “Dasar cengeng!” ledeknya geli dna memberiku sedikit remasan ditangan. Aku yang jadi sedikit kaget dengan gerakannya yang begitu inti, segera menarik tanganku dan melanjutkan makan dengan susah payah.

“Kalau sudah tahu, jangan bikin aku mempermalukan diri lagi,” gerutuku pelan. Dia hanya kembali tertawa mendengarku, “Jadi........ada rencana apa selanjutnya?”

“Kita kembali ke hotel untuk istirahat sebentar. Setelah itu, aku mau membawamu ke luar kota.”

“Kemana?”

You’ll see,” kata Soni dan tersenyum menggoda. Membuatku kembali menggerutu pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar