BAB 24
Entah karena lelah atau apa, aku ternyata bisa tidur untuk beberapa jam
lamanya. Ketika aku terbangun, jam sudah menunjukkan jam 8 malam. Dan aku kembali tidak mendapati Soni
didalam kamar. Dia baru datang 1 jam kemudian dengan penampilan yang lain dan
ajaib, meski entah bagaimana, masih aja terlihat keren. Dalam hati aku hanya
bisa bertanya, kok bisa ya? Dia datang dengan celana jeans hitam, sepatu boat
dengan warna yang sama, t-shirt putih polos dan di balut dengan jaket kulit.
Kesemuanya membungkus tubuhnya dengan apik.
“Are we gonna watch a rock and roll
concert?” godaku dan sedikit tersenyum.
“Sort of,” sahutnya nyengir,
“Kita dinner ditempat tujuan kita
nanti. Kamu siap?”
“Aku harus pake apa?”
“Yang jelas bukan jas resmi. Pake yang kasual saja. Cari yang paling tebal
dan jangan lupa syal. Sepertinya cuaca kurang bagus malam ini. Dan kau bisa
memakai jaket ini,” kata Soni dan mengangsurkan sebuah tas tangan dengan
tulisan Hugo Boss. Tas itu berisi jaket kulit tebal yang berpotongan kasual
dengan kerah pendek. Super keren!
“It’s Hugo!” seruku girang dan
langsung memakainya.
“Jangan lupa syal,” saran Soni lagi. Aku menurut saja karena tahu kalau dia
lebih paham akan situasi di Paris. Kalau dia bilang aku memerlukan syal, sudah
bisa dipastikan aku akan benar-benar memerlukannya.
Keherananku bertambah saat kami sampai di depan lobby hotel, aku mendapati
sebuah sepeda motor besar terparkir untuk kami. Motor yang jauh lebih keren
dengan model racing yang aku jamin
bisa membuat teman-teman di sekolah kami ngiler melihatnya. Aku tak bisa
membaca merk-nya karena Soni segera saja naik setelah mengenakan helm racing-nya dan menghidupkan motor.
“Ayo naik,” katanya dan mengulurkan sebuah helm padaku.
“Kita naik motor?” tanyaku heran, memastikan.
“Lebih cepat dan simpel. Cepet deh,” serunya lagi, mendesakku untuk segera
mengikutinya naik. Sebentar kemudian, kami telah melaju di jalanan.
Soni benar tentang cuaca malam ini. Paris entah kenapa, terasa lebih dingin
daripada malam-malam sebelumnya. Ditambah angin kencang yang menerpa tubuh
ketika kami melaju, aku dibuat cukup menggigil. Aku memasukkan tanganku ke
dalam saku jaket untuk menahan dinginnya udara. Dan sialnya, cuaca makin
menusuk ketika kami sampai di luar Paris. Dan Soni juga makin menambah
kecepatan karena tidak lagi banyak kendaraan di sekeliling kami. Kami melaju di
jalanan yang sepi. Lampu-lampu jalan di pasang di jarak yang lumayan berjauhan.
“Kamu gak papa? Dari tadi kamu gak pegangan. Nyaman?”
Teriakan Soni sedikit mengagetkanku, “APAA?!!” sahutku tak kalah kenceng.
Soni tak menyahut tapi memelankan laju motornya dan minggir, “Kamu pegangan
aja di pinggangku. Atau masukin saja tanganmu ke dalam saku jaketku.”
“Apa?” tanyaku lagi, masih dengan nada sedikit kaget. Sejenak aku mengira
kalau aku salah dengar. Enak aja dia
ngomong. Kan risih! Aku menggerutu dalam
hati.
“Udara makin dingin,” kata Soni lagi, “Mungkin aku akan sedikit ngebut
nanti supaya kita lebih cepat sampai. Kamu gak pengen jatuh kan?”
“Gak papa kok Son. Gak usah. Beneran,” sahutku sedikit gelagapan.
“Aku yang apa-apa. Kamu pikir kamu doang yang kedinginan?” gerutu Soni.
Lalu dengan cepat meraih kedua tanganku dan memasukkannya ke dalam saku
jaketnya. Menekankan keduanya pada pinggangnya, “Pegangan yang kuat, ok?”
katanya tanpa memperdulikanku yang jadi sedikit panik.
“Son......”
Protesku langsung lenyap saat kami kembali melaju. Kali ini lebih cepat
daripada tadi. Mau tak mau, aku harus mengakui kebenaran saran Soni. Aku
mungkin akan jatuh kalau tidak berpegangan padanya. Selain merasakan sedikit
kehangatn, aku juga merasa lebih tenang dengan memeluk Soni seperti ini. Dan
tanpa sadar, aku memajukan tubuhku, semkain mendekatkan tubuh kami. Memeluknya
lebih erat. Aku sedikit menyandarkan kepalaku di punggungnya.
Aku tak tahu sudah berapa lama kami melaju. Melewati beberapa daerha hunian
yang ramai, sepi, ramai dan kemudian sepi lagi. Jalan-jalan yang sunyi dan
gelap di daerah pinggiran kota, beberapa daerah memiliki bagian yang naik. Dan
kini kami melaju di area yang sepertinya daerah perkebunan. Entah perkebunan
apa. Aku tak bisa melihatnya karena keadaan yang gelap. Ada beberapa rumah di
kejauhan yang lampunya tampak menyala. Hanya ada satu dua rumah di pinggir
jalan yang kami lewati.
Aku mengedarkan pandanganku dengan penasaran. Daerah ini benar-benar area
perkebunan. Aku tidak salah. Ada beberapa gerbang yang tertulis dalam bahasa
Perancis lewat dalam kelebatan cepat. Aku tak bisa membaca ataupun mengerti
arti tulisan-tulisan itu dengan jelas. Yang membuat aku makin penasaran adalah
tanaman yang tampak berjejeran. Tanaman-tanaman yang menjalar yang sepertinya
hanya terdiri dari batang-batang tanpa daun, terjalin ruwet dan ak jelas
bentuknya. Sorot lampu sepeda juga tidak banyak membantu. Yang aku lihat
hanyalah bonggolan-bonggolan kayu yang berkelebat di kanan dan kiri kami.
Kami adalah satu-satunya yang melaju di jalanan yang sepi ini. Hingga
kemudian Soni memelankan laju motor dan berbelok, melewati jalanan yang dibuat
dari batu-batuan alam. Ada sebuah bangunanyang tampak seperti rumah di
kejauhan. Bangunannya yang besar dan gelap tampak sedikit menyeramkan. Dan
sepertinya kami menuju kesana.
Setelah dekat, aku tahu kalau dugaanku salah. Bangunan ini lebih tepat di
sebut kastil kecil. Terlalu besar untuk ukuran rumah. Hanya bagian depannya
yang lebih pantas di sebut rumah. Bagian depannya bertingkat tiga dan dibangun
seperti rumah-rumah di daerah perkebunan Eropah pada umumnya. Rumah yang
dibangun dari komponen-komponen alam.
Sebagian temboknya ditumbuhi semacam
tanaman menjalar. Balkon dari besi mengitari lantai dua dantiga juga di
selubungi tanaan menjalar. Jendela-jendelanya tinggi dan sempit seperti umumnya
bangunan Perancis lama. Rumah ini memancarkan aura anggun sekaligus dingin,
khas perkebunan. Mungkin karena tak ada lampu yang menyala saat ini. Melihatnya
membuatku teringat akan sebuah telenovela yang pernah tayang di salah satu Tv
swasta di Indonesia. Hanya saja rumah ini terkesan lebih anggun, khas Perancis.
Sementara bagian belakangnya lebih tampak seperti sebuah kastil kuno.
Dan tubuhku benar-benar menggigil kedinginan. Bahkan nyaris mati rasa saat
Soni menghentikan motornya di jalanan berbatu didepan rumah ini. Udara sungguh
menusuk. Aku cepat-cepat melepas peganganku pada Soni dan turun saat Soni
mematikan motornya. Aku jadi sedikit terhenyak saat Soni yang telah turun dan
membuka helm serta sarung tangannya, meraih jemariku yang kukepalkan di dada.
“Kau benar-benar kedinginan. Jari-jarimu seperti es. Ayo cepat masuk,”
katanya dan mendahuluiku. Dia mengambil kunci dari sebuah kotak kecil yang ada
didepan pintu, “Ayo cepat,” panggil Soni padaku yang kemudian dengan langkah
ragu mengikutinya. Dia cept membuka pintu dan menyalakan lampu didalam rumah.
Aku ternganga saat memasukii hall yang kini dibanjiri cahaya lampu. Aku
berdiri di tengah-tengah ruangan, menatap ke sekeliling. Di kiriku ada tangga
yang terbuat dari kayu tanpa karpet yang entah bagaimana, terlihat begitu
halus. Di samping pintu masuk tadi ada gantungan baju dan cermin besar. Di
sampingnya ada rak sepatu. Ada beberapa sepatu dan sandal rumah tebal yang
tampak lembut. Interior ruangan itu ditata dengan rapi dengan sentuhan country
yang kental.
Tapi ruang dalamnya terlihat mewah dan anggun. Jauh dari kesan
macho yang terlihat dari ruang depan.
“Ngapain sih? Ayo naik. Nanti kamu sakit,” ujar Soni yang tiba-tiba saja
muncul dari tengah tangga kayu.
“Rumah siapa Son?” tanyaku heran dan mengikutinya naik.
“Rumahku. Kenapa?” tanyanya balik dengan senyum geli.
“Yeah, right!” gerutuku dongkol.
“Kenapa?” tanya Soni heran.
“Siapa coba yang bakal percaya kalo kamu punya rumah ditengah-tengah
perkebunan di daerah Perancis, sementara kamu orang Indonesia. I might be a bit
slow, but I ain’t a complete moron,” gerutuku, setengah ngomel setengah gemetar
karena kedinginan.
Soni tertawa, “Apa begitu sulit dipercaya?”
“Untuk orang yang waras? Lumayan” sahutku cuek.
Soni hanya kembali tertawa kecil dan membuka sebuah pintu kayu besar. Pintu
itu menuju sebuah kamar yang luas dengan nuansa klasik. Ada tempat tidur besar
bertiang 4 dengan kelambu tebal berwarna coklat gelap serta bantal-bantal besar
yang terlihat empuk di atasnya. Ada sebuah sofa panjang tanpa lengan di kaki
ranjang, di alasi oleh permadani tebal dan berhadapan langsung dengan perapian
yang terbuat dari marmer putih dengan tempat kayu di sampingnya. Penuh berisi
kayu-kayu kering yang siap dibakar untuk menghangatkan kamar.
Busyet!! Perapian
beneran! Pikirku.
Di atas perapian aku melihat beberapa vas kecil dan pigura. Ada juga sebuah
rak buku kecil di sebelah kiri ranjang dengan sebuah sofa besar empuk untuk
membaca, bersebelahan dengan jendela. Sebuah meja rias ada di sebelah kanan
ranjang. Aku juga melihat sebuah pintu closet di sebelahnya.
“Kamu mandi pake air hangat dulu,” kata Soni yang muncul dari sebuah pintu,
mengagetkanku yang sedang megagumi kamar bernuansa klasik ini. Mengingatkanku
akan kamar-kamar di istana Versailles.
“Lalu kamu?”
“Aku mau mandi dibawah. Cepetan gih, ntar masuk angin lagi,” kata Soni dan
sedikit mendorongku.
“Iyaaa....” jawabku dan langsug nyelonong ke kamar mandi yang dia tunjuk.
Mandi air hangat benar-benar membuatku nyaman. Apalagi harum sabun cair
yang ada disini begitu menenangkan. Sampai-sampai aku merasa tak ingin keluar.
Tapi kulitku sudah tampak mengerut, membuatku sadar kalau aku harus mengakhiri
mandiku.
Saat keluar dari kamar mandi, kulihat Soni sedang duduk diatas permadani
empuk di depan perapian yang menyala, bersandar pada sofa besar yang ada dikaki
ranjang. Dia memakai piyama hangat. Rambutnya yang masih basah, tampak jatuh
sebagian ke dahinya. Dia tampak begitu segar dan...............menawan. aku
benar-benar ingin mendekatinya dan mengusap rambut basahnya itu. Aku bahkan
bisa mencium harum segar kulitnya.
“Hei........” sapa Soni yang kemudian sadar akan kehadiranku, “Lapar bukan?
Makan malam sudah disiapkan di bawah,” katanya dan menunjuk pada 2 nampan di
depan perapian.
“Piknik nih?” ujarku tak mampu menahan senyum.
“A little. Daripada kita makan di
meja makan bawah. Oh ya, kalau kamu, kamu pakai ini saja,” kata Soni dan
menyerahkan sebuah piyama hangat yang tadi dia letakkan di atas sofa, “Kamu gak
mungkin makan malam dengan piyama mandi kan? Dan mungkin.........akan sedikit
kebesaran untukmu. It’s my size.”
“It’s okay,” sahutku dan
tersenyum. Aku kembali masuk ke kamar mandi untuk ganti baju dengan cepat, tak
sabar untuk bergabung dengannya di depan perapian yang hangat.
God! It’s too good to be
true! Setting seperti ini hanya aku baca di novel dan film-film roman. Dua orang
yang kedinginan, menghangatkan diri di depan perapian dalam sebuah rumah
kosong. Biasanya yang akan terjadi selanjutnya adalah sebuah permainan cinta
yang panas dan bergelora.
“Dasar ngeres!!” aku mengumpat pelan seraya menepuk kepalaku dan
cepat-cepat keluar. Fantasiku mungkin akan semakin liar kalau aku diam di kamar
mandi, Dingin banget ya?” gumamku saat aku duduk di samping Soni.
“Wajar. Salju turun,” kata Soni dan menunjuk keluar.
“Masa sih?’ aku langsung bangun dan melihat keluar. Benar! Ada benda putih
ringan dan lembut melayang turun di luar sana. Tanpa dapat ku tahan, aku
langsung menghambur, membuka pintu balkon. Aku berputar-putar kecil, mendongak
dan tertawa sembari mnegembangkan tanganku seperti orang gila. Ini pertama
kalinya aku melihat dan merasakan salju. Entah kenapa, aku merasakan suatu
nuansa sendu dan sedikit menyedihkan setiap kali melihat hujan salju di film.
Tapi sekarang, aku merasa begitu gembira saat berada langsung di antara hujan
salju. Memang ada sedikit rasa sentimentil.
Tapi................bbbbrrrrrrrr!!
Dingin banget!!!
“Dingin?’ tanya Soni yang menyusulku dengan membawa 2 gelas minuman berisi
cairan berwarna merah. Dia juga memegang kamera digital, “Kamu tadi terlihat
ayik, dan aku gak tahan buat ambil gambarmu,” katanya menjelaskan saat melihat
tatapanku tertancap pada kamera yang ada ditangannya.
Aku tertawa kecil dan mengambilkamera itu darinya, “Kalo gitu, gantian.
Smile!” kataku dan mengambil gambarnya.
Soni hanya tertawa kecil menanggapiku, “Nih. Minum dulu. Ini akan membantu
menghangatkan tubuhmu,” kata Soni dan mengangsurkan sebuah gelas padaku.
“Apaan nih?”
“Anggur,” sahutnya enteng.
“Oh no! Terakhir kali aku minum
anggur, aku bertingkah seperti orang idiot. I won’t do that again.”
Soni tertawa, “Kau hanya akan mabuk kalau kamu minum berlebihan seperti
waktu itu,” jelasnya dan kembali mengulurkan gelas tadi. Sedikit ragu, aku
menerimanya, “Cheers,” kata Soni dan
minum.
Aku mengikutinya dan mengernyit saat cairan itu mengalir ke dalam tubuhku.
Tapi Soni benar, aku merasasedikit lebih hangat.
“Mungkin ini salju terakhir tahun ini,” gumam Soni pelan.
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Ramalan cuaca sebenarnya mengatakan kalau hari ini cerah. Tapi...........namanya
saja ramalan.”
Aku ngikik mendengar nada Soni yang sedikit menggerutu, “Aku tidak
mengeluh. Untung malah. Sudah lama aku ingin melihat langsung hujan salju,”
kataku sedikit riang dan berbalik menatap malam yang jadi sedikit ke abu-abuan
dengan salju yang melayang turun pelan, “It’s
beautiful. Tapi.................entah kenapa, aku selalu merasakan
kesenduan dalam keindahannya. Aneh kan? Mana ada sih perasaan sendu yang
indah,” kataku pelan, sedikit melamun.
“Mungkin yang kau maksud adalah romantis.”
Untuk sejenak aku diam berpikir, “Yeah............
may be you’re right. Sendu yang romantis,” gumamku pelan dan meliriknya
yang sekarang berdiri tepat di sampingku, “...............and I like it.”
Soni kembali tertawa kecil, “Yeah.
Sure. Ayo ke dalam. Dingin! Lagipula, ntar makanannya keburu beku,” kata
Soni dan menarik tanganku pelan.
Aku diam dan mengikutinya dengan mata yang tertancap pada tangan kami yang
menyatu. Andai saja ada percikan indah diantara kami, semuanya akan jadi
sempurna, batinku.
“Tadi orang rumah sudah menyiapkan masakan Perancis. Coq au Vin dan Soupe a l’oignon.”
“Apaan tuh?”
“Kaki ayam dan sup bawang. Coba saja. kamu pasti suka,” kata Soni dengan
senyum gelinya melihatku mengernyit.
And he’s right again. Masakan ini benar-benar
nikmat. Coq au Vin sangat lezat.tekstur daging kaki ayamnya jadi lembut. Di
tambahi saus yang enak dan jamur, membuat rasanya sempurna. Yang mengejutkan,
Soni bilang kalau masakan ini juga menggunakan anggur. Sup bawangnya juga enak.
Soni bilang masakan itu memiliki gizi bagus. Saat aku tanya bahan-bahannya dari
apa, dia menjelaskan bahwa intinya adalah kaldu sapi kental yang ditambahi
bawang putih, disajikan dengan suiran daging ayam dan parutan keju di atasnya.
Dia bilang masakan itu baru di kenal didunia internasional sejak tahun 1960an.
“Ugh.............masakan yang lezat dan ditambah suasan yang mendukung
begini.......” aku mendesah tanpa mampu menahan diri.
“Suasana?” ulang Soni dengan kening berkerut.
“You know, makan malam, anggur,
salju, di atas karpet ini dengan perapian yang menyala hangat. All these. Semua
hal seperti ini hanya akan ada dalam imajinasiku dan novel-novel roman yang aku
baca. Kau benar-benar penuh dengan kejutan.”
“Kejutan?”
“Yep!” sahutku cepat.
“Dalam artian bagus atau jelek nih?”
“Keduanya!” sahutku nyengir sembari menyesap anggur dalam gelas yang
kembali aku isi.
“Kok?”
Aku tertawa melihat keheranan Soni yang makin bertambah, “That’s true! Semakin aku mengenalmu,
semakin banyak hal-hal baru yang muncul ke permukaan.. hal-hal yang tak pernah
aku tahu ada. Aku jadi semakin sadar kalau aku sangat sedikit tahu tentang
kamu,” jelasku dan meminggirkan nampanku yang sudah kosong. Aku lalu beringsut
mundur, duduk bersandar pada sofa dengan kaki yang terjulur menghadap ke
perapian yang menyala hangat. Meski perapian itu hanyalah satu-satunya
penerangan, tapi cahayanya cukup bagiku. Bias cahaya dan keberadaannya
benar-benar menciptakan suasana romantis yang manis.
“Benarkah?” tanya Soni yang kemudian mengikutiku.
“Kamu nggak sadar ya?” tanyaku balik, sedikit menggerutu lalu kembali
menyesap anggurku, “Aku nyaris tak tahu apapun tentangmu. Hanya biodata singkat
yang aku baca pada sebuah file di perkebunan teh dulu.”
“Kau membacanya? Jadi itu yang membuatmu tahu soal ulang tahunku?”
Aduh!! Batinku. Aku menggigit lidah saat sadar kalau Soni tak pernah tahu
fakta bahwa aku sempat mengintip berkasnya di perkebunan waktu itu, “I’m sorry. Waktu itu aku cuma
membereskan file-file seperti yang kau minta. Buka-buka sedikit dan aku
menemukan berkasmu. Hanya sedikit data tentangmu kok. Nggak banyak,” ujarku,
mencoba membela diri.
“Oh really? What do you know?”
tanya Soni sembari menyandarkan kepalanya di sofa. Sikapnya yang santai
membuatku sedikit lega.
“Cuma nama lengkap dan tanggal lahir.”
“Hmm.........wajar saja kau bisa membuat suprise party waktu itu,” gumamnya kemudian.
Aku nyengir dan ikut bersandar seperti dia, setengah berbaring, menatap
lidah apai yang menyala-nyala, menyalurkan kehangatan melalui kaki kami.
“I swear! Aku cuma tahu namamu
Soni Prabowo Damian Duainne dan lahir pada tanggal 29 November. Eh tapi namamu
unik ya. Duainne? Bagaimana melafalkannya? Bukan nama Indonesia kan?”
“Unik gimana? Biasa aja. Melafalkannya sama dengan nama Dwayne.”
Aku tertawa mendengar gerutuannya, “Aneh lagi. Selama ini yang aku tahu
namamu hanyalah Soni Prabowo. Kalau Prabowo sih jelas-jelas nama dari Jawa
Tengah.”
“Duainne itu nama dari ayahku,” kata Soni pelan, membuatku langsung
terdiam.
Aku ingat bahwa segala hal yang berhubungan dengan orang tuanya, bersifat sangat
private bagi Soni. Jadi aku tak
berani untuk berkomentar.
“Aku memang jarang memakai nama itu. Karena nama Duainne selalu
membuatku.............sedih,” kata Soni dan melihatku sekilas, untuk kemudian
kembali berpaling ke perapian.
Dan saat inilah aku melihatnya kembali. Sorot mata itu. Sorot mata Soni
yang begitu sedih, rapuh dan seakan-akan berteriak minta tolong tanpa kata.
Sorot mata yang sanggup membuatku tercekat dan sesak. Membuatku ingin sekali
memeluknya. Mendekap kepalanya di dadaku dan mengatakan bahwa semua akan
baik-baik saja. Sorot mata yang membuatku tertarik padanya. Padahal sudah
beberapa waktu ini aku tak melihat sorotnya itu. Tapi kini..........dia telah
kembali.
“Perkebunan ini miliknya. Milik keluarga kami selama 5 generasi. Ayahku
seorang lelaki biasa. Bahkan sangat biasa dan tak suka menonjolkan diri.
Ambisinya adalah menjadikan perkebunan ini sebagai penghasil anggur terbaik di
negeri ini. Meneruskan bisnis dan cita-cita keluarga. Tinggal di tempat ini.
Semua itu berubah ketika dia bertemu ibuku. Mereka bertemu dalam sebuah pesta
yang diadakan oleh salah satu pengusaha terkenal di Asia. Ibuku juga seorang
pengusaha. Pengusaha muda yang ambisius. Dia seorang perempuan jalangs ejati.”
Kalimat itu membuatku sedikit terlengak kaget. Namun karena tak ingin dan
juga takut untuk memberi komentar, aku hanya kembali menenggak anggur dalam
gelasku, lalu kembali mengisinya penuh. Itu satu-satunya hal yang bisa aku
lakukan untuk membuat mulutku tertutup rapat.
“Secara ekonomi, kami sekeluarga lebih dari cukup. Tapi tidak bagi standart
ibuku. Dia menggunakan segala cara agar terus mendulang uang dan keuntungan.
Benar-benar dengan cara apapun. Waktu kecil, aku tak tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Aku baru sadar saat aku kelas 6. Mungkin terdengar kasar dan tidak
sopan, tapi Ibuku benar-benar wanita jalang tulen. Demi tender, uang dan
kekuasaan, Ibuku mnegumbar tubuhnya untuk semua orang.
“Suatu hari, ayahku mengalami kecelakaan. Beliau harus di operasi di bagian
kepala untuk mengeluarkan sesuatu. Entah apa. Hampir satu bulan beliau ada di
rumah sakit. Sementara akku di rumah, menjadi saksi dari banyak perselingkuhan
Ibuku.
Siang itu, ayahku pulang dari Rumah Sakit tanpa mengabari kami karena dia
ingin memberi kejutan untuk keluarganya. Tapi apa yang dia temukan di kamarnya
adalah bukti tak terbantahkan akan kebejadan moral dari wanita yang ia nikahi.
Waktu itu aku ada dikamarku., di larang keluar oleh ibuku. Aku mendengar suara
ribut-ribut mereka, jadi aku mengintip dari pintu. Aku lihat ayahku menyeret
keluar tubuh bugil seorang laki-laki. Sesaat kemudian, aku mendengar Ibuku
berteriak keras. Dia lari keluar dari kamar hanya memakai piyama. Dia membawa
sebuah guci besar dan dia menghantamkannya pada kepala Ayah yang baru beberapa
hari di operasi.
Beliau jatuh dan...................mati seketika.”
Hening mencekam.
Aku tak berani menoleh padanya. Bahkan untuk melirikpun aku tak sanggup.
Aku hanya mampu kembali menenggak habis gelas yang aku pegang, mencoba mengisi
kecanggungan dan keheningan yang mencekam dengan meminum anggurku. Berharap
agar perhatianku teralih. Tapi aku nyaris tak bisa merasakan anggur yang ku
telan.
“Setelah itu yang aku ingat adalah serangkaian sidang di pengadilan,”
lanjut Soni, “Aku saksi kunci dari sidang itu. Bisa kau bayangkan, aku
bersaksi! Aku bersaksi untuk menghukum Ibuku. Dia dinyatakan bersalah dan di
vonis 10 tahun penjara. Ibuku tak bisa menerimanya. 3 bulan kemudian, dia
ditemukan gnatung diri di selnya.”
Kembali hening.
Aku merasakan tenggorokanku menjadi kering, pahit dan sedikit tersumbat.
Kembali aku mengisi gelasku penuh dan menenggak isinya sebagian. Mataku
kemudian kembali aku tancapkan pada perapian. Aku menahan diri untuk tidak
berkedip, meski mataku sudah terasa perih sedari tadi. Entah bagaiamana,
mengedipkan mata menjadi sebuah konsep abstrak yang sulit bagi mataku. Kepalaku
juga mulai berdenyut.
“Semua aku pikir semua tragedi itu adalah hal terpahit yang pernah aku
alami. Tapi semua itu hanya permulaan dari serangkaian kejadian mengerikan yang
lain. Setelah persidangan, hak asuhku diserahkan pada Erma, kakak Ibuku. Salah
seorang pengusaha wanita yang berpengaruh di Indonesia. Seorang wanita lajang,
paruh baya, kaya dan sukses luar biasa.
Dia punya kemahiran dalam menambah
kekayaan tanpa harus melakukan apa-apa.
Sekilas tampak menyenangkan dan sempurna bukan? Memiliki seorang tante
seperti dia? Sebuah figur yang mungkin bisa jadi contoh diriku yang waktu itu
begitu rapuh. But she was, and is still my worst nightmare. Dia seorang wanita
jalang sakit jiwa. Gila luar biasa. Seorang phedofili sejati. Selama 2 tahun
aku menjadi budak napsunya.
Jangan pikir aku melakukannya dengan suka rela dan tanpa perlawanan. Sudah
jelas aku menolak mentah-mentah rayuan halusnya ketika dia mencoba pertama
kali. Jd dia mulai melakukannya dengan paksaan. Dari mengikat tubuhku di
ranjang lalu mencumbuku, menyuntikku dengan berbagai macam obat-obatan dan
perangsang, membuatku mabuk, memaksaku menonton film biru dan lainnya.
Terkadang dia juga merekam kejadian saat dia memperkosaku kemudian
memaksaku untuk menontonnya. Dia juga mengambil fotoku saat aku tak sadar dan
tanpa busana. Bukan satu dua kali dia mengancam akan menyebarkan foto-foto itu.
Dia memperlakukanku tak ubahnya seperti hewan peliharaan.
Tak ada orang yang tahu ataupun mengira akan apa yang aku alami di rumah
Erma. Dari luar, orang akan melihat dia sebagai sosok pengganti orang tua yang
sempurna. Dia merawatku dengan sempurna. Makananku sangat diperhatikan dan di
pantau oleh ahli gizi, perawatan lengkap kesehatan, check up bulanan. Guru-guru
privat dia datangkan. Mulai dari guru-guru pelajaran sekolah sampai guru les
lainnya. Guru kepribadian, seni, musik, piano dan juga guru bahasa asing. Dia
juga mendatangkan instruktur kebugaran khusus untukku. Perancang busana khusus.
Bahkan membuat salon di rumah untukku. Aku dirawat dengan sempurna dari ujung
kaki sampai ujung rambut layaknya anjing pudel milik para milyuner. Tapi semua
itu bukan untukku.
Dia melakukan semua itu untuk dirinya sendiri. Agar aku sempurna untuk dia
nikmati. Sempat aku mencoba untuk bunuh diri, tapi dia berhasil mencegahnya.
Hasilnya, aku diawasi oleh bodyguard dan perawat 24 jam penuh. Dan berita yang
didengungkan di luar adalah aku trauma atas apa yang terjadi pada orang tuaku.
Can you believe that?
Yang paling aku ingat adalah saat aku sakit dan
dia.................memaksaku untuk bersetubuh dengannya. Aku ingat bagaimana
aku memohon sambil menangis padanya untuk tidak melakukan itu. Aku
berteriak.................ketakutan,” Soni berhenti sejenak untuk menenangkan
diri. Dia tampak menelan ludah, sementara matanya masih lurus menatap perapian,
“Tapi...............tentu saja semua percuma. Tak akan ada orang yang datang.
Dia sudah mengaturnya seperti biasa. I kept on screaming and crying dengan sisa
tenaga yang aku miliki. Terus memohon. Tapi dia........tak mau mendengarrnya.
Masih ku ingat bagaimana dia mengusapkan............tubuh telanjangnya
padaku. Waktu itu, aku benar-benar kacau. Sedari pagi, entah mengapa, tubuhku
terasa tak karuan. Panas dingin dan ngilu. Dan tubuhku tidak mampu bereaksi
seperti yang Erma inginkan. Meski dia sudah melakukan berbagai cara dan rayuan
untuk merangsangku, tubuhku benar-benar tak bereaksi. Tubuhku sama sekali
menolak. Kesal, dia menyuntikkan obat padaku.
Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Karena efek dari obat yang dia
suntikkan, aku tak sadar selama 3 hari. Yang aku tahu, aku kritis setelah
kejadian itu dan dilarikan ke Rumah Sakit. Dan wanita sialan itu...........mati.
kecelakaan mobil. Dia mati tanpa sempat melakukan apa-apa. Dan semua hartanya,
mutlak menjadi milikku yang sudah dia daftarkan sebagai anaknya.
Sisi bagusnya, aku kaya. Tapi..................sengsara. ingatan akan apa
yang dia lakukan, tak bisa lepas dari benakku. Satu tahun lebih aku menjalani
terapi untuk memulihkan kewarasanku. Ingatan ayah yang dihantam guci oleh
Ibuku, jatuh terkelepar tak berdaya bersimbah darah. Persidangan-persidangan
yang mencekam dan melelahkan. Juga ingatan akan Erma yang mencumbuku, mencium
dan menjilati setiap senti tubuhku, mengusapkan tubuh telanjangnya dan
menyatukan tubuh kami. Semua itu...............terlalu banyak bagiku.”
Aku dengan cepat meletakkan gelas anggur yang aku pegang dan meraih tubuh
Soni yang bergetar hebat. Kuraih kepalanya, kudekap erat di dada dan ku usap
lembut, berulang-ulang sembari membisikkan kalimat bahwa semua baik-baik saja.
Dan bahwa semua telah berlalu. Tapi dia masih meringkuk dengan kepala yang dia
dekap erat dengan kedua tangannya.
“Aku...........tak tahan,” kata Soni kemudian bergetar. Aku bisa melihat
wajahnya berkernyit dalam, seakan-akan merasakan sakit yang hebat. Tak tahan,
dia menyurukkan wajahnya dalam-dalam ke pelukanku.
“Sering kali aku terbangun tengah malam, berteriak ketakutan karena mimpi
buruk yang terasa begitu nyata. Kejadian-kejadian jahanam itu terus menerus
berulang di alam bawah sadarku. Terkadang aku merasa seolah-olah Erma berada
dikamarku. Menggerayangi tubuhku dengan tangannya yang menjijikkan.
Aku............tak tahan.”
Aku hanya mampu mengeluarkan satu keluhan pelan. Sudah sejak tadi aku
kehilangan suaraku. Dadaku luar biasa sesak. Tenggorokanku kering dan begitu
pahitnya. Seakan-akan ada gumpalan yang tak mampu ku enyahkan. Susah payah aku
mencba menelan ludah, menghirup udara, mengisi paru-paruku yang berontak keras.
“Karena itu.............” desahku terputus, “..............jadi karena itu
aku selalu melihat kesedihan di matamu.”
Itu bukan pertanyaan. Bahkan ketika baru pertama kali aku melihat wajahnya
dengan jelas, hari pertama kami bertemu. Ingatanku melayang pada hari itu,
ketika aku melihatnya berjalan menuju lapangan parkir di sekolah. Matanya yang
sarat akan kesedihan menarikku. Memerangkapku! Membuatku tak bisa mengalihkan
perhatianku darinya. Sepasang mata yang berteriak minta tolong itu, baru kali
ini aku tahu mengapa. Tidak adil! Apa yang terjadi padanya sungguh tidak adil!!
“Kau.................tahu?” tanya Soni tercekat dengan suara sedikit
teredam.
“Sudah lama aku merasakannya. Soni................” aku kembali mengusap
kepalanya, “Sejak pertama kali aku melihatmu, aku sudah merasakannya. Ada beban
berat yang terpancar dari kedua matamu. Matamu, entah mengapa selalu membuatku
merasa iba dan sedih. Mereka seakan-akan berteriak minta tolong. Aku tak pernah
tahu mengapa. I’m so sorry....” aku
harus menarik nafas untuk bisa meneruskan kalimatku, “...........so sorry kau
harus melewati semua itu. I really am.”
Aku menggumamkan kalimat terakhir itu beberapa kali dan mengecup ujung
kepalanya yang ku peluk.
“Kau pasti begitu tertekan dan sendirian. I’m sorry kau harus mengalaminya.
Kau tak layak menerimanya,” kataku lagi dan mencium kepalanya berulang kali,
berharap bahwa aku bisa mengikis sedikit luka yang dia punya.
“It was not fair. It is not fair,”
gumam Soni pelan.
“It’s not and never will. Tak
seorangpun layak mendapatkan perlakuan seperti itu. Tapi semua sudah berakhir. Listen to me, “ aku melepas pelukanku,
merangkum wajahnya. Mengangkatnya dan menatap matanya dalam-dalam. Kuusap
wajahnya, membersihkan aliran air mata disana, “Terima kasih.”
“Ehm?” gumam Soni tak mengerti dan kemudian menunduk, menolak untuk
menatapku, membuatku semakin merasa iba. Aku mencoba tersenyum dan kembali
mengusap sisa air mata di wajahnya dengan kedua tanganku,.
“Terima kasih sudah menceritakannya. Terima kasih sudah membaginya
denganku. It means a lot to me.”
“Justru seharusnya aku yang........”
Aku menggeleng ceoat mendengarnya yang mencoba menyanggah, “No. I thank you. Lama aku mencari dan
mencoba memahami apa yang ada dalam mata ini,” bisikku dna mengusap ujung kedua
matanya, “Sudah lama aku ingin membuang jauh-jauh sorot sedih dimatamu.
Sungguh! Kadang aku merasa begitu kesal karena tak mampu memahami teriakan
minta tolong mereka yang kurasakan. Aku ingin membantu, melakukan sesuatu. Tapi
aku tak tahu harus bagaimana. Sekarang, entah bagaimana, aku akan mencobanya.
Kau sudah tak perlu melaluinya sendiri. Sekarang, tenanglah. Boys don’t cry remember? You told me so.”
“Lalu kamu?” tanya Soni pelan. Dia mengangkat tangan kanannya dan mengusap
ujung mataku dengan ibu jarinya.
“I’m happy to finally understand it
all. Happy tears don’t count,” kataku mencoba meringankan bercanda dengan
menyedihkan.
Soni tergelak kecil dengan hidungnya yang sedikit memerah, “Entah
bagaimana, aku memang selalu merasa kau terus mengawasiku. Membuatku begitu
takut pada awalnya. Takut kau akan melihat dan tahu siapa sesungguhnya aku.
Tahu bagaimana menjijikannya masa laluku. Luka-luka yang telah berhasil aku
sembunyikan dari orang lain. Berulang kali aku mencoba menghindarimu.
Tapi.............kau terus mengikutiku. Terkadang menakutkan kau tahu....?”
Ganti aku yang tergelak kecil, “Matamu tak pernah berhenti
memanggilku........”
“I’m okay, now. Aku punya kau
sekarang,” katanya pelan. Matanya kembali tertancap padaku. Memandangku dengan
tatapan lembut dan dalam, “I love you,”
bisiknya pelan.
Aku tercenung lama.
Hanya mampu diam memandangnya. Kucoba mencerna apa yang barusan dia
ucapkan. Dan denyutan di kepalaku tiba-tiba saja menghebat. Sontan aku memejamkan
mataku rapat-rapat. Sepertinya anggur itu mulai mempengaruhiku lagi. Aku
tertawa kecil, gugup.
“Sepertinya aku mabuk,” kataku . Saat aku kembali membuka mata dan melihat
Soni, wajah kami hanya terpaut beberapa senti saja, “Maaf. Aku pikir tadi aku
mendengarmu mengatakan...”
“I did,” potong Soni pelan dan
tersenyum, “Aku serius. I think I love
you. Sejak kau bergelung di pelukanku, saat aku membawamu turun di gunung
Ijen, ingat? Sepertinya mulai waktu itu kau mulai memasuki benakku. Sebelumnya,
kau hanya anak konyol yang sok akrab. Aneh dan luar biasa heboh. Aku bukan
orang yang gampang akrab ataupun dekat dengan orang lain. Kurasa itu
berhubungan dengan apa yang telah aku alami. Tapi waktu itu, saat aku
menggendongmu, kau meringkuk begitu dalam di pelukanku. Menahan bajuku dengan
erat dan berkali-kali memanggil namaku............
Untuk pertama kalinya aku merasa begitu dibutuhkan. Aku merasa bahwa aku
harus kuat untuk bisa melindungimu. Aku bahkan tak bisa meninggalkanmu saat
dokter dan perawat menanganimu. Bukan hanya karena aku tak ingin, tapi juga
karena kau terus memegangi bajuku dengan erat. Dokter sampai harus menyuntikkan
obat penenang untukmu. Kau ingat?”
Aku tak bisa menjawab. Hanya bisa diam dan menelan ludah.
“Lalu saat kau ke rumah waktu aku sakit. Kau menyuapiku. Juga saat Brino
mengeroyokku. Ingat bagaimana kau melindungikusehingga kepalamu terluka? Bisa
kau bayangkan bagaimana perasaanku?”
Aku ingat kejadian itu. Juga reaksi Soni yang begitu..........
“Waktu itu.......kau sangat panik. Hampir-hampir histeris sehingga Dokter
Irwan harus memberimu obat penenang dosis tinggi. Waktu aku
tayakan..............Dokter Irwan Cuma memastikan bahwa apakah aku tadi
terpukul di bagian kepala. Waktu aku jawab iya, beliau berkata bahwa pantas
saja kamu panik. Waktu itu aku sama sekali tak mnegerti apa maksudnya,” gumamku
pelan, lebih ku tujukan pada diriku sendiri.
Soni mengusap wajahnya dengan gundah dan menarik nafas panjang. Dia lalu
mengangkat tangannya, mengusap sisi wajahku dengan lembut. Dia kemudian meraih
tanganku. Di ciumnya telapak tanganku dan ditempelkannya ke pipinya, “Aku sudah
melihat ayahku dipukul, tepat di kepalanya. Aku lihat bagaimana dia jatuh dan..........mati
berlumuran darah. Melihatmu yang terpukul waktu itu, aku seperti melihat
kembali kejadian itu di depan mata. Bagaimana aku bisa kehilangan 2 orang yang
aku cintai dengan cara yang sama? Aku benar-benar takut kau akan berakhir sama
seperti ayahku.”
“Dokter Irwan juga menyebut nama Roni.”
“Psikiaterku,” tukas Soni, “Dia yang merawatku di Indonesia.”
Aku hanya mampu tersenyum sedih melihatnya. Tuhanku! Nasib apa yang sudah
kau timpakan padanya?
“Son...” aku hanya mampu membisikkan namanya.
Soni membalasku dengan senyuman tipis, “Kau tak akan bisa membayangkan
ketakutan seperti apa yang kurasakan saat itu. Hanya saja, waktu itu aku masih
belum yakin ataupun paham kalau aku jatuh hati padamu. Aku merasa dekat
denganmu. Kukira itu hanya kedekatan yang sama seperti yang kurasakan pada
Andri dan yang lain. Aku selalu teringat kamu. Aku nyaman bersamamu. Aku merasa
dibutuhkan dan diperhatikan. Seperti saat kita di perkebunan dan surprise
party. Waktu itu............waktu itu aku mulai sadar.
Aku sadar bahwa ada yang lain. Aku membutuhkanmu bukan hanya sebagai teman.
Kau sudah................menjeratku. kau sudah..........menguasaiku. dan saat
aku sadar, reaksi pertamaku adalah marah dan menyangkalnya. Ingat bagaimana
reaksiku keesokan harinya? Aku tak pernah merasa jatuh cinta pada siapapun. Aku
tak pernah merasa butuh akan orang lain. Jadi aku tak pernah merasa dekat dna
memiliki ikatan. Tapi...........aku membutuhkanmu. Apa yang dilakukan oleh
Ibuku dan Erm, memberikan bekas yang tak pernah hilang padaku. Tapi aku tak
pernah membayangkan, kalau aku.............bisa jatuh cinta padamu. Tak pernah
sekalipun. Aku marah saat tahu kau membuatku lemah dan tergantung padamu. Aku
benar-benar ingin menjauh darimu.
Tapi tindakanku itu justru memperjelas kebutuhanku akan dirimu. Apalagi
saat melihatmu sakit hanya karena kemeja konyolku itu.”
Soni kembali merangkum wajahku dengan kedua tangannya, “I care about you. I need you. Aku sudah
tak peduli lagi akan yang lainnya. Aku ingin kita mencobanya. Aku ingin kita........jalani
hubungan ini.”
Demi Tuhan!!!
Otakku benar-benar lumpuh. Aku hanya mampu diam mendengarnya tanpa tahu
harus bereaksi seperti bagaimana. Hanya ada kesadaran samar yang mengatakan
bahwa ini adalah sebuah pernyataan cinta. Hal yang sebelumnya hanya bisa
kubayangkan, tanpa ada keyakinan akan terjadi. Tapi lihat sekarang. Aku malah
berharap kalau Soni hanya bercanda sekarang. Tapi tak ada canda dalam wajahnya.
Matanya bersinar penuh keyakinan. Pandanganku tertancap pada wajahnya yang
tersenyum lembut.
Lalu perlahan, wajah Soni mendekat sehingga pandanganku sepenuhnya
terhalang olehnya. Hembusan napasnya terasa lembut di wajahku. Dan sesaat
kemudian, kulit kami bersentuhan. Aku terkesiap dan tanpa sadar menahan napas dengan suara yag sedikit keras,
tatkala kurasakan bibirnya menyentuh bibirku.
Mataku seketika itu juga terpejam!
Bibir Soni terasa masnis karena anggur. Namun juga lembut seperti es krim.
Dan untuk sesaat kemudian, darahku seakan-akan ikut tersedot bersamaan dengan
kuluman lembutnya. Begitu nyaman.
Berikutnya, ciuman Soni yang semula lembut dna nyaris mengambang, emnjadi
semakin intens. Bibirnya makin mendesak, memaksa bibirku untuk membuka. Aku
makin merasa seakan-akan tubuhku melayang. Ingatanku kembali pada mimpi erotis
yang pernah aku alami dengannya. Lalu, tepat saat lidah kami bertemu, kesadaran
serta merta menghantamku.
Aku tersentak, seolah-olah direnggut secara tiba-tiba dari tidur. Kutarik
wajahku dengan cepat dan beringust mundur. Aku menatap Soni yang juga terpaku
diam, tak percaya. Tanganku terangkat, mengusap bibirku sementara napasku mulai
tersengal hebat. Tubuhku gemetaran dan lemas tak karuan.
Dan saat aku merasa tak sanggup lagi berhadapan dengannya, aku bangkit
untuk segera lari keluar.
“TJ!!!”
Tubuhku tersentak keras sebelum aku sempat mencapai pintu, dan tahu-tahu
Soni sudah mendekapku dengan erat. Membuatku gelagapan.
“Son.........”
“Jangan!”
“Son, ak............”
Soni sudah mendorongku ke dinding. Dia merangkum dan menutup bibirku dengan bibirnya. Sekali lagi aku terpaku
kaku, tak mampu bergerak dalam himpitan tubuhnya. Aku sudah mencoba untuk
melepaskan diri, namun percuma saja. tubuhku kembali gemetaran. Debaran
jantungku menggila, saling mendahului dengan napasku yang tersengal.
“Son..........”
Soni telah menciumku dengan ciuman ganas dan panas. Ciumannya menuntut dan
menguasai, seolah-olah hendak menaklukanku. Aku kaget dan mulai ketakutan. Tapi
aku tak mampu bereaksi. TIDAK SEDIKITPUN!!
Hingga kemudian ciumannya kembali berubah lembut. Bibirnya yang basah mengusap
bibirku dengan begitu halusnya. Lembut dan hangat, membujuk. Jika tubuhku tadi
merinding, gemetar karena ketakutan, kali ini tubuhku merinding dan gemetaran
karena sensasi yang lain. Bulu kudukku meremang bersamaan dengan
kuluman-kuluman lembut Soni. Dan begitu Soni melepaskan kulumannya, napasku
seakan-akan ikut terenggut. Aku mendesah pelan.
Aku menarik napas dalam-dalam dengan mata terpejam rapat. Tersengal dan
tertunduk. Aku diam. bingung, jengah dan entah apa lagi yang bergejolak di
dadaku yang berdebar keras. Detakan jantungku bisa kurasakan gemanya di
telingaku. Dan bisa kurasakan hembusan napas Soni yang sedikit keras disisi
wajahku.
“Kau...............tak akan pergi kan?” bisik Soni pelan. Aku tak
menjawabnya. Perlahan pula, Soni melepaskan himpitannya pada tubuhku. Begitu
tubuh kami terpisah,tanpa sadar aku mendesah dan tubuhku limbung. Kakiku lemas
dan tak mampu menahanku.
Soni yang tanggap, dengan cepat menangkapku sebelaum aku menghantam lantai.
Dia membopongku ke tempat tidur dan membaringkanku dengan perlahan, “Tidurlah.
Kita akan lanjutkan besok,” bisiknya pelan di telingaku. Dia kemudian naik ke
sampingku. Menarik selimut untuk menutupi kami berdua. Dia melingkarkan
tangannya ke perutku dan menarikku untuk lebih mendekat, hingga punggungku
menempel di dadanya.
“Good night,” katanya dan mencium
sisi wajahku.
Aku tak menjawab, hanya bergumam lirih dan meringkuk semakin dalam
pelukannya. Kupejamkan mataku rapat-rapat. Menikmati setiap denyutan nyeri yang
kembali menyerang pelipisku. Denyutan yang semakin lama semakin samar
kurasakan. Hingga kemudian aku jatuh dalam belaian tidur.