BAB 18
Kami tiba di bandara Charles de Gaulle pada jam 8 pagi waktu setempat. Sama
seperti keberangkatan, kami turun di jalur khusus. Aku tak tahu bagaimana Soni
berurusan dengan birokrasinya. Seingatku, banyak hal yang harus diurus ketika
kita berkunjung ke luar negeri. Visa, pemeriksaan di bandara, petugas pabean
dan lain-lain. Setidaknya itu yang aku lihat di Tv. Tapi Soni membawaku dengan
santai turun dari pesawat menuju sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari
sebuah hanggar.
Udara Paris di bulan Desember benar-benar dingin menusuk. Bumi tampak
berkilat basah. Aku merapatkan jaket yang Soni pinjamkan kepadaku dan
cepat-cepat mengikutinya. Ada seorang pria yang menunggu kami di dekat mobil
berwarna hitam itu. Dia membuka pintu untuk Soni, lalu buru-buru kembali masuk
ke tempat sopir.
“Mobil siapa?” tanyaku heran.
“Agen. Asistenku yang menyewanya untuk kita,” ujar Soni yang menahan pintu
untukku. Dia mempersilahkan aku masuk dengan gerakan kepalanya. Aku hanya
mendengus dan menurutinya masuk ke mobil.
“Good morning gentlemen. Where should
I take you?” tanya sopir itu dengan aksen Perancis-nya yang kental.
“Hôtel de Caeza, s’il vous plait!”
kata Soni membuatku bengong.
Dia tadi ngomong pake
bahasa Perancis? Gak salah denger kan gue? pikirku takjub. Dia melakukannya dengan santai
seolah-olah dia sudah biasa menggunakan bahasa itu.
“Oui monsieur,” jawab sopir kami
langsung dan segera menjalankan mobil, “Est-ce que c’est la première fois vous
visitez Paris?” taya sopir itu lagi.
“Pas pour moi. Mais c’est le premier
temps lui arrivé ici.”
“Aaaahhh okay. Vous devez montre la
belle de Paris.”
“Bien Sûr.”
“Vous allez aimer cette ambiance.
Tout le monde aimer Paris.” kata sopir itu dengan mata yang menatap padaku.
Aku kembali cuma bengng cengo.
Dia ngomong ma gue? Pikirku bingung.
“Tu as raison!” kata Soni dam
tertawa kecil.
“Vous parler bien français, monsieur.”
“Merci beaucoup.”
Dan kembali aku bengong sebengong-bengongnya, menatap Soni dan sopir itu
bergantian. GILA!!!! Soni bahasa
Perancisnya ngeces abis! Bahasanya benar-benar bagus dan halus.
“Ada apa?” tanya Soni yang melihatku masih keukeuh bengong dengan mulut nganga
gak jelas.
“Kamu..............bisa bahasa Perancis?” tanyaku takjub.
“Lho? Emang kenapa? Aneh?” tanya Soni balik dengan senyum terkulum.
“Eng-engga juga sih,” sahutku pelan, “Tadi ngomong apa sama dia?”
“Bukan hal yang penting kok. Dia tadi cuma nanya, apakah ini pertama
kalinya kita ke Paris. Aku jawab iya untukmu. Dia juga bilang kalau aku harus
menunjukkan keindahan kota ini padamu. Dia bilang semua orang akan suka Paris.”
“Terus tadi bilang makasih buat apa? Merci artinya terimakasih kan?”
Soni tersenyum dan mengangguk, “Tadi dia bilang bahasa Perancisku bagus.”
“Yeah. And he’s right. Aku nggak
tahu kalau kamu bisa bahasa Perancis dengan bagus begitu. Bisa ajari aku? Dari
dulu aku pengen banget bisa ngomong pake Bahasa Perancis.”
“Assurez-vous,” jawab Soni dengan
senyumnya.
“What?”
“Sure...” jawabnya lagi dan
terkekeh pelan.
“Merci,” kataku lagi membuat Soni
kembali tertawa kecil dan mengacak rambutku dengan gemas.
Mobil yang kami naiki kemudian berhenti didepan lobby sebuah hotel bernama
Ceazar. Sebuah bangunan megah berarsitektur Romawi kuno, meski lobby hotelnya
jelas bernuansa Eropah dengan warna-warna pastel hangat.
“Bienvenue
à Paris, Messieurs! Je vous souhaite tout le bonheur ici! Bonne Journée!!”
teriak si sopir yang kemudian meninggalkan kami.
“Merci!” jawab Soni dan
melambaikan tangan untuk membalasnya. Dan begitu kmai berbalik, kami sudah
disambut oleh seorang pria berusia empat puluhan dengan setelan jas resmi yang
tampak rapi dan resmi. Kehadirannya yang hampir tak terdengar sedikit mengagetkanku.
Tapi Soni sepertinya sudah mengenalnya, karena lagi-lagi dia menampilkan
senyumnya pada pria asing di depan kami.
“Aah monsieur Duainne. C’est un
plaisir de vous rencontrer encore.”
“Monsieur Bennet. Est-ce que ma
chambre déjà prête?”
“Bien sûr. Vas-y..” jawab pria
itu dengan senyum ramahnya. Dia melambai pada dua orang bellboy yang segera
menghampiri kami.
“Ayo TJ!” kata Soni mengajakku yang sedikit terpana dengan keakraban mereka
berdua.
“Kamu sering menginap disini ya?” tanyaku langsung dan mengikutinya. Kami
lalu masuk ke sebuah lift bersama dua orang bellboy tadi.
Soni mengangguk, “Hotel ini memang tidak sebesar Ritz. Tapi hotel ini
tenang dan nyaman. Dan juga berada di daerah yang aman dan bersih. Aku suka
disini. Aku selalu menginap disini tiap kali pergi ke Paris.”
Aku diam. Tiap kali. Dan pasti itu
lumayan sering, pikirku. Sampai-sampai dia bisa begitu akrabnya dengan pria
tadi, yang menurut perkiraanku adalam manager hotel ini.
Sesaat kemudian lift terbuka. Kami mneyusuri sebuah lorong yang lantainya
dilapisi oleh karpet tebal yang empuk hingga langkah kami tidak menimbulkan
suara. Dinding-dinding hotel diwarnai dengan warna pastel dan ada beberapa
lukisan jaman Renaissance yang tergantung. Entah asli atau replika. Kami
melewati beberapa pintu yang hanya diberi tanda dengan nomor yang tercetak
dalam tinta emas timbul.
Kami berhenti di ujung lorong, di depan sebuah pintu bernomor 72. Kami
masuk setelah pintu dibuka oleh bellboy dengan sebuah kartu.
Soni benar!!
Aku bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari dalam kamar hotel yang
berwarna peach ini. Karpet tebalnya,
cat dindingnya, lukisan-lukisannya dan juga furnitur-nya. Semua memancarkan
warna-warna hangat musim gugur. Diruang tengah ada seperangkat sova besar
berwarna gading yang tampak empuk dan lembut, berhadapan dengan satu set
lengkap home theatre. Aku pergi
meninggalkan Soni yang sedang berbicara dengan bellboy itu dalam bahasa
Perancis. Aku ingin melihat tempat tidurnya. Dan saat aku mencapai tempat
tidurnya, aku tak bisa menahan desahanku. Tempat tidurnya terbuat dari kayu
berukir jaman pertengahan dengan kasur empuk besar dan terlihat nyaman.
Bantal-bantal yang tersusun rapi dan menggoda itu rasa-rasanya mengeluarkan
suara membujuk, memintaku untuk membaringkanku di atas mereka setelah
perjalanan panjang dalam pesawat.
Hingga kemudian aku menyadari sesuatu.
Hanya ada satu ranjang disini. Ranjang besar dengan 4 tiang penyangga,
kelambu tebal mewah serta bantal-bantal empuk menggoda. Tak ada ranjang lain.
Meski ranjang itu besar dan mungkin cukup bila ditiduri oleh 4 orang dengan
ukuran tubuh kami, tapi tetap saja. Begitu Soni mengikutiku, aku langsung
melotot padanya dengan 2 tangan di pinggang.
“What?” tanya Soni bingung.
“Satu ranjang?” tanyaku balik dengan nada menuntut.
“Ooh itu. Aku ingat perkataanmu. Kamu sendiri kan yang bilang, kalo kamu
jarang bisa tidur ditempat asing. Waktu di perkebunan teh, ingat? Jadi aku
pikir, akan lebih baik kalau kita tidur bareng aja. At least, kalau kamu gak bisa tidur, aku bisa nemenin kamu.”
Ide yang menarik.dan sangat menggoda. Tapi aku sadar akan besarnya bahaya
yang ada disana. Soni yang tak menyadarinya bisa saja santai. Tapi aku?!!
“Son...a-aku ra-rasa...”
“Sudahlah. Kenapa sik? Kasurnya gede juga kan? Hitung-hitung irit. Kan
lumayan, daripada menyewa dua kamar,” cengirnya. Argumen yang tak akan bisa aku
sangkal. Aku tak bisa menemukan sanggahan yang tepat untuk melawannya.
Lagipula, aku tak bisa membayangkan mahalnya sewa kamar di hotel ini. Kita
berada di Paris. Bukan puncak Bogor. Aku tahu kalau aku tak punya pilihan lain
seain menurutinya. Duh! Andai saja dia
bisa paham kenapa aku mengangkat topik tadi, pikirku sedikit muram. Aku
mulai mengkhawatirkan kewarasanku.
“Kita harus membeli beberapa baju untuk kita pakai dan beberapa keperluan
lain. Aku sudah meminta Bennet menyediakan mobil sewa untuk kita. Tapi kita
sarapan dulu ya? Atau kau ingin mandi dulu? Lagipula toko-tokonya juga masih
belum buka,” tawar Soni.
“Mandi!” jawabku cepat.
“Baiklah. Kamu mandi dulu. Aku akan kebawah sebentar, ok?” katanya dan
berlalu dengan senyumnya.
Mandi dengan air hangat sedikit menenangkanku. Dan aku tak tahu apa merk
yang diginakan oleh toiletries hotel ini, tapi shampoo dan sabunnya memiliki harum yang aku suka. Hingga tanpa
sadar, aku sudah menghabiskan 20 menit lebih di kamar mandi. Dan begitu keluar,
aku mendapati Soni yang telah menunggu sembari nonton tv.
“Having fun in the bathroom?”
godanya dengan senyum simpul.
Aku hanya tersenyum malu mendengarnya. Dia pasti berpikir kalau aku
tipe-tipe yang lelet kalau mandi. Tapi karena tak bisa menyangkal, aku hanya
mengangguk untuk menjawabnya.
“Glad you could have fun in there.
Kau tidak menghabiskan sabunnya kan?” tanya dia lagi masih dengan senyum simpul
yang mulai membuatku berpikir.
“Masih kok.lagipula.............”
Tunggu sebentar!! Maksud dia ‘fun’
di kamar mandi tadi jangan-jangan dia mikir kalau aku masturba...
“HEI!!!!! AKU CUMA MANDI!!!!” teriakku pada Soni yang menghilang di balik
pintu kamar mandi, menyisakan tawanya. Sial!!!
rutukku dalam hati, dongkol. Harusnya tadi aku paham apa yang dia maksud.
Senyum simpulnya itu jarang sekali terlihat. Jadi aku tak berpikir aneh.
Dan ketika dia keluar dari kamar mandi, aku masih dongkol dengan
tuduhannya. Tapi Soni pura-pura tak melihatku yang manyun berat. Dia malah
langsung mengajakku untuk turun ke restoran di bawah. Bennet sudah menyiapkan
meja kami untuk sarapan.
Kurang dari 1 jam kemudian, kami sudah melaju di jalan raya. Aku tak
henti-hentinya memperhatikan sekeliling kami. Kagum akan gabungan antara gedung-gedung
tua zaman Renaissance dan modern.
Kedongkolanku pada Soni kontan menguap. Dan sebelum aku menyadarinya, Soni
sudah menghentikan mobil sewaan kami.
Dia membawaku ke sebuah butik bernama Jean
La Mode. Sebuah butik yang tampak sederhana dari luar namun toh tertata
dengan begitu bagusnya di dalam. Butik ini memiliki koleksi pakaian yang
ternyata sangat lengkap. Baju-baju musim dingin yang dipajang sangat
spektakuler menurutku. Juga berkelas dan mencakup berbagai usia. Baju-baju anak
mudanya mencerminkan spirit muda yang elegan dan elit, namun tetap casual dan
sporty. Di bagian lain, aku bisa melihat baju-baju yang terlihat lebih resmi
dan lebih pantas dipilih oleh kalangan eksekutif.
“Pilih mana yang kamu suka, ok?” kata Soni sembari melihat-lihat. Aku tak
menjawa. Hanya diam dan mengikuti dibelakangnya. Beberapa saat kemudian dia
baru ngeh padaku yang menguntitnya dalam diam, “Kenapa?” tanya Soni sedikit
bingung.
Aku menggeleng rikuh, “A-aku gak beli. Harganya pasti gila-gilaan dan....”
“Hei!! Aku tak suka bicara soal uang, ingat? Kamu pikir kamu akn
menggunakan jaket itu sepanjang waktu? Baju-baju yang kamu bawa dari Indonesia
bukan diperuntukkan bagi musim dingin di Eropah. Kau akan kedinginan.”
“Son, ini Paris! Kalo sampe keabisan uang kita...”
“TJ!!!” potong Soni dengan nada final. Aku diam tak membantahnya. Tapi aku
benar-benar tak mampu bergerak. Akhirnya dengan gemas Soni meraih bahuku dan
sedikit meremasnya, “Dengar! Kamu disini bersamaku. Jangan memikirkan apapun.
Aku yang akan membereskan semuanya.”
“Son...”
Soni menggeleng kuat, “Trust me!”
Untuk sejenak aku tertegun. Bukan saja karena nada lembutnya, tapi juga
karena keintiman sikapnya. Matanya yang menatapku dengan sinar yakin dan
dekatnya tubuh kami berdua saat ini, “Kalau begitu, kamu saja yang pilihin buatku. Seleramu jelas lebih baik
dariku kan?” kataku mencoba memberi jalan tengah.
Soni melipat tangannya ke dada dan menatapku dengan sebelah alis terangkat,
“Yakin? Gak nyesel? Kamu bisa memilih sesuai dengan seleramu sendiri lho.”
“Percaya deh. Aku lebih suka caramu berpakaian. Kau selalu terlihat sesuai
dan.............mengagumkan,” jawabku jujur.
“Well...........thank you. Meski
sebenarnya itu juga karena jasa personal
shopper-ku,” jawab Soni dengan sedikit tersipu. Tuh kan! Aku kembali
membatin. Duhh! Dia kok ngegemesin banget
siihhh!!!
“Baiklah........ Let’s see....”gumam
Soni dengan mata melihat ke sekeliling. Dan sesaat kemudian, dia sudah
melangkah dengan pasti.
Beberapa menit kemudian, aku tak tahu harus merasa senang ataukah menyesal
dengan keputusanku tadi. Soni belanja gila-gilaan! Semula aku pikir kami hanya
akan membeli beberapa baju saja. hanya cukup untuk liburan kami. Mungkin 4 atau
5 stel maksimal. Tapi ternyata tidak. Aku sudha dapat 10 t-shirt tebal, selusin celana, 7 kemeja dan 5 buah jaket. Itu
masih belum barang-barang yang Soni beli untuk dirinya sendiri. Ada 3 orang
pelayan toko yang membantu kami membawa barang-barang tadi.
“Son, udahan yok. Ini udah banyak banget. Gimana bawanya ntar?!” cegahku
saat dia mau melangkah ke bagian yang memajang beberapa syal.
“Eh tapi kamu kan belum dapat underwear.
Kamu gak perlu CD atau boxer gitu?
Atau kamu mau aku yang...” Soni menggantungkan kalimatnya dengan nada menggoda.
“Aku saja!” sahutku cepat dengan wajah sedikit memanas. Gila saja kalau aku
biarin dia memilih underwearku.
“Sebelah sana! Kamu ambil saja,” kata Soni sedikit geli dan menunjuk ke
arah pojok kanan.
Aku langsung saja ngacir ke arah yang dia tunjuk. Aku memilihnya dengan
cepat. Aku cari harganya yang paling rendah, meski aku ragu mereka bisa
dibilang murah dengan ukuran Indonesia. Bahan-bahannya begitu lembut dan nyaman
ditanganku. Aku ambil beberapa yang menurut perkiraanku cukup untuk beberapa
hari ke depan. Hanya sebagai tambahan, karena aku juga sudah membawa beberap
dari rumah.
Saat aku kembali, Soni sudah mendapatkan 4 pasang sepatu dan 4 buah syal
hangat untukku. Satu syal dia ambil dan ia lingkarkan ke leherku. Syal berwarna
hitam yang lembut dan hangat. Bahannya
terbuat dari kashmir yang nyaman.
“Paris dingin,” katanya singkat, sementara aku hanya diam sedikit rikuh.
Apalagi dengan hadirnya 3 orang pelayan toko yang ada di sebelah kami, “Kamu
tunggu disini. Aku juga membutuhkan underwear,”
katanya santai dan pergi.
Akupun diam ditempat menunggunya. Duh!! Kira-kira berapa uang yang dia
habiskan kali ini? Pikirku masygul memandang ke arah belanjaan kami yang
naudzubillah. Padahal dia bisa hanya mengambil seperlunya saja. gak perlu juga
beli sebanyak ini kan?
Perhatianku sedikit terpecah saat kudengar dentingan pintu butik yang
terbuka. 2 orang wanita masuk.
Seorang wanita paruh baya dengan rambut pirang dan seorang lagi, seorang
gadis awal duapuluhan yang juga berwarna pirang rambutnya. Sepertinya keduanya
bukan dari kalangan biasa sepertiku. Penampilan keduanya begitu anggun.
Semerbak harum parfum yang lembut tercium oleh hidungku saat mereka melangkah
dan mengedarkan pandangannya. Ada rasa ingin tahu yang besar terpancar dari
sorot mata mereka saat melihatku berdiri diam dengan semua belanjaanku.
Yang membuatku kaget adalah saat mata
mereka melebar ketika melihat Soni. Keduanya memekik kecil. Yang lebih
muda memanggil nama Soni dengan suara keras. Dan tanpa ragu sedikitpun dia
melangkah cepat ke arahnya dengan kedua tangan terkembang lebar.
Aku hanya melihat dari kejauhan saat mereka saling berpelukan dan mencium
pipi dengan raut gembira. Wanita yang lebih tua menyusul dan memeluk Soni. Soni
juga mencium oioinya dengan hangat. Mereka ngobrol begitu akrabnya hingga makin
mengherankanku. Sesaat kemudian Soni berpaling dan menunjuk ke arahku. Aku Cuma
mampu diam menatap mereka yang melangkah ke arahku.
“TJ, this is Madam Evelyn dan
putrinya, Chantal. Butik ini milik Evelyn. This
is my friend TJ.”
Evelyn mengulurkan tangannya yang segera kusambut, “How do you do, TJ. Panggil aku Evelyn,” katanya ramah dalam bahasa
Inggris dengan aksen Perancis kental. Dan kembali aku menangkap rasa ingin tahu
yang besar dari sorot matanya.
“Hi....I’m Chantal. Jarang sekali
Soni membawa temannya kesini. We should
hang out sometimes,” kata Chantal dengan sorot yang sama. Bahasa Inggrisnya
begitu halus dan nyaris tanpa aksen.
Aku tersenyum sedikit kikuk pada mereka, “Aku harap begitu. Well.............I’m just lucky he bring me
here, I guess.”
“Sepertinya kalian sudah berbelanja banyak” ujar Evelyn dengan senyumnya
melihat belanjaan kami.
“Well Soni did. I just follow hima
round. But I must admit, anda punya koleksi yang sangat mengagumkan. This place is amazing!”
Evelyn tertawa kecil, “How kind of
you. Thank you ma cherrie. Kau punya teman ynag menyenangkan Soni.”
“Thank you,” jawab Soni singkat
dan mengerlingkan matanya padaku yang Cuma bengong.
“Bagaimana kalau nanti malam kita dinner bareng sebagai pesta selaat datang
Soni, Mum? Kamu mau kan?” tanya Chantal antusias.
“No! Don’t!” cegah Soni cepat,
“Kunjunganku kali ini mendadak. Aku akan menghargai sekali kalau kalian
merahasiakannya dulu.”
“Oh? Jadi Felix tidak tahu?’ tanya Evelyn tertarik.
“Tidak. Dan aku pasti akan kesana, tapi dalam beberapa hari. Ini pertama
kalinya TJ kesini. Aku ingin mengajaknya berkeliling dulu.”
“Oooh honey, tentu saja. Tapi
berjanjilah kalau kita akan melewatkan waktu bersama. Ada pesta tanggal 29 ini
di rumah. Kalian harus datang,” ujar Evelyn.
“Yes, benar sekali. Kalian harus
datang! Wajib datang!”
“Something important?” tanya Soni
dengan sebelah alis naik.
“Really important!” tegas
Chantal.
“Ok. Don’t worry. We’ll be there!”
“Perfect! Now let me take care of
those!” kata Evelyn dan melambaikan tangan. Dua orang pegawai datang
menjawabnya dan segera mengurus belanjaan kami. Soni segera mengulurkan kartu
kreditnya, “No, dear. I said I’ll take
care of them.”
“Evelyn, tidakkah kau lihat.”
“You are family, dear. Kau sudah
tahu pasti dan akan melakukan yang sama untukku. Anggap saja itu hadiah untuk
kalian,” kata Evelyn dan mengibaskan tangannya, “Jadi apa rencana kalian
selanjutnya?”
“Well...kami masih perlu mencari
beberapa barang lain, lalu kami akan ke hotel untuk beristirahat. Kami baru
saja tiba pagi tadi. Jadi............agak sedikit lelah.”
“Kalau begitu kami tidak akan mengganggu kalian lagi. Aku akan mengirimkan
barang-barangnya ke hotel. Ceazar?” tanya Evelyn yang di jawab dengan anggukan
oleh Soni.
“Soni, aku ada perlu. Bisa bicara sebentar?” tanya Chantal.
“I’ll wait in the car,” kataku cepat,
sadar kalau kehadiranku mungkin mengganggu, “Senang bertemu denganmu Evelyn.
And thank you so much.”
“My pleasure, dear,” jawab Evelyn
ringan dan menyambut tanganku.
Cepat aku mendahului mereka keluar dari butik dan langsung masuk ke dalam
mobil yang kuncinya tadi sempat aku minta dari Soni. Evelyn mengantarku sampai
ke depan butik dengan senyum ramahnya.
Aku menunggu di mobil dengan sedikit rasa ingin tahu sementara Soni,
evelyn dan Chantal ngobrol, sembari menunggu pegawai-pegawai Evelyn mengangkut
belanjaan kami ke mobil angkut.
“Ok. Byee!!”
Kudengar Soni berpamitan. Aku berpaling dan melihat mereka saling
berpelukan dan mencium pipi. Tak lama dia masuk ke mobil dan segera
menghidupkannya. Sebelum melaju, kami sempat melambai pada Evelyn dan Chantal
yang membalasnya.
“Kalian kenal lama?” tanyaku igin tahu setelah butik evelyn menghilang dari
pandangan.
“Kamu sudah dengar Evelyn kan tadi. We’re
family!” ujarnya singkat.
“Kalian terlihat sangat................akrab,” pancingku lagi. Dan membuatku
sedikit bertanya-tanya, sudah berapa kali sebenarnya Soni ke Paris.
“Yeah.........” jawab Soni cuek.
Nah..........kuat deh! Pikirku agak kesal
“Kami memang dekat,” sambung Soni lagi tanpa memalingkan wajah dari jalan
yang kami lalui, “Kita ke Hartnell. Kita masih membutuhkan setelan resmi.”
“Belanja lagi?”
“We need tux. Hanya untuk
berjaga-jaga,” kata Soni.
Sambutan di Hartnell ternyata tak kalah ramahnya. Manager butik, Mr Olsen,
secara pribadi menyambut kami dan memperlakukan kami dengan spesial. Belanja
disana tak memerlukan waktu yang lama. Kami Cuma melihat ke dalam katalog. Soni
memilihkanku 3 setelan resmi, lengkap dengan kasesorisnya. Sepatu, ikat
pinggang, manset, dompet, dasi dan yang lainnya. Setelan yang menurutku terlalu
elegan dan resmi. Aku terbiasa dengan busana casual yang simpel. T-shirt dan
jeans boleh dibilang seragam keseharianku. Sementara setelan yang dipesan Soni
benar-benar busana yang match dari ujung kaki sampai kepala. Karena sadar bahwa
tak ada yang bisa aku lakukan untuk menolaknya, akku menutup mulutku
rapat-rapat, dan membiarka beberapa pegawai butik mengukur tubuh kami. Monsieur
Olsen menjamin bahwa baju-baju kami akan siap besok dan akan diantarkan
langsung ke hotel.
Kami kembali ke hotel saat hari sudah melewati tengah hari. Entah kemana
waktu, hingga kami membutuhkan nyaris setengah hari penuh bagi kami untuk
membeli keperluan-keperluan kami selama disini. Meski judulnya belanja, aku
tetap saja menganggapnya berwisata, karena dengan berjalan kesana kemari, aku
mendapatkan pengalaman dan melihat-lihat kota Paris yang luar biasa dan lain
dari Jakarta. Beberapa kali kami juga berfoto bersama dengan bantuan beberapa
orang yang kami lewati. Kami juga sempet makan di Mc D di sebuah Mall.
Perlu sekitar 2 orang pegawai hotel untuk membantu kami membawa semua
belanjaan ke dalam kamar. Aku sendiri lebih memilih untuk langsung mandi dengan
air hangat. Sepertinya tubuhku masih belum menyesuaikan diri dengan waktu
Perancis. Hari baru saja hendak beranjak sore, tapi aku sudah ingin tidur.
Begitu keluar, aku mendapati Soni sedang
membereskan belanjaan kami.
“Aku sudah memesan travelling bag.
Mereka akan membawanya kesini nanti,” katanya, “Kamu mau tidur atau....”
“Iya,” sahutku langsung dan nyengir, “Aku capek.”
“Gak mau makan dulu?” tanya Soni yang kemudian aku jawab dengan gelengan
kepala. Soni tersenyum dan mengulurkan sebuah tas padaku, “Ini piyama. Pakai
saja kalau mau tidur. Aku sudah beli beberapa untukmu. Aku mandi dulu, ok?”
pamit Soni dan pergi.
Aku sudah berbaring di tempat tidur saat Soni selesai mandi dan mengganti
baju. Aku yang tadinya memunggunginya segera berbalik saat mendengar suara
pintu terbuka, “Habis............”
Kalimatku menggantung disana saat aku melihatnya. Soni mengenakan piyama
hitam dengan garuis putih seperti yang aku pakai. Persis sama. Jelas dia
membelinya sepasang. Dan pemikiran itu membuatku tak mampu berkata apa-apa
untuk sejenak.
“Lucu ga?” tanya Soni dan mengembangkan dua tangannya, meminta pendapatku.
“Kamu........sengaja beli sepasang?” tanyaku sedikit geli melihatnya yang
bisa bertindak konyol dan kekanakan seperti ini. Dia yang biasanya terlihat
dewasa, tenang dan bahkan dingin, bisa terlihat girang dengan antusias seorang
bocah.
Soni mengnagguk dan tersenyum, “Aku pikir lucu juga kalo kita kembaran,”
kata Soni. Dia menutup semua korden kamar sehingga kamar menjadi gelap dan
kemudian naik ke tempat tidur.
Tapi tetap aja keliatan beda, pikirku dalam hati. Kalo Soni yang pake,
piyama itu terlihat WAH! Dia lebih cocokjadi model yang memperagakannya di
catwalk. Kalau aku.................jadi kelihatan biasa saja dan bahkan konyol
kalau disandingkan dengannya. Kalau di rumah, paling aku Cuma pakai t-shirt
butut buat tidur. Gimanapun juga, kami berdua emang beda.
Aku hanya bisa menghela nafas.
“Habis berapa tadi?” tanyaku sembari memeluk guling yang memisahkan kami
berdua.
“Kamu tidur aja. Istirahat. Nanti malam kita bisa jalan-jalan ke menara
Eiffel dan Champs Elysees,” kata Soni tanpa menghiraukan pertanyaanku tadi.
“Sepertinya akan sulit tidur,” gumamku.
“Kenapa? Bukannya tadi bilang cape?”
“Cape sih. Cuman...............udah hampir 24 jam aku gak liat Bunda. Jadi
kangen.”
“What?!” sergah Soni heran dan
berpaling padaku, “Kita disini baru beberapa jam. Dasar anak mami. Manja!”
gerutunya, lebih karena geli daripada marah.
“Heii!!! Ini bukan masalah manja atau engga!,” rungutku kesal, “Asal tau
saja, Bunda biasanya selalu mencium keningku dulu sebelum tidur dan..........”
aku berhenti saat Soni tiba-tiba memajukan tubuhnya. Dia membungkuk dan
kemudian mencium keningku.
“Nah, sudah. Bisa tidur sekarang?”
Aku tak menjawab, hanya bisa diam terpaku dengan mulut terbuka. GUE DICIUM?!! LAGI?!!!! Ini beneran gak
seeeeeehh?!! Teriakku dalam hati. Aku benar-benar tak tahu harus bereaksi
bagaimana. Hanya mampu bengong melihat ke arah Soni yang Cuma tersenyum simpul
dan kemudian mematikan lampu kamar.
“Selamat tidur,” kata Soni dan membaringkan tubuhnya.
Dan kembali aku tak bisa manjawabnya.
Lebih dari setengah jam kemudian aku baru bisa tertidur. Aku hapir-hampir
tak bisa mencerna akan apa yang sedang terjadi. Otakku benar-benar tumpul.
Perasaanku begitu datar dan nyaris mustahil memahami. Baru sekitar satu jam
kemudian aku merasakan suatu kedamaian asing yang begitu menenangkan. Aku
merasa nyaman dan tenang karena bisa melihat serta tau Soni ada di sebelahku.
Tertidur dengan tenangnya.
Dan beberapa menit kemudian aku mengikutinya, tenggelam ke dalam alam
mimpi.