Translate

Selasa, 16 Mei 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle BAB 18





BAB 18


Kami tiba di bandara Charles de Gaulle pada jam 8 pagi waktu setempat. Sama seperti keberangkatan, kami turun di jalur khusus. Aku tak tahu bagaimana Soni berurusan dengan birokrasinya. Seingatku, banyak hal yang harus diurus ketika kita berkunjung ke luar negeri. Visa, pemeriksaan di bandara, petugas pabean dan lain-lain. Setidaknya itu yang aku lihat di Tv. Tapi Soni membawaku dengan santai turun dari pesawat menuju sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari sebuah hanggar.

Udara Paris di bulan Desember benar-benar dingin menusuk. Bumi tampak berkilat basah. Aku merapatkan jaket yang Soni pinjamkan kepadaku dan cepat-cepat mengikutinya. Ada seorang pria yang menunggu kami di dekat mobil berwarna hitam itu. Dia membuka pintu untuk Soni, lalu buru-buru kembali masuk ke tempat sopir.

“Mobil siapa?” tanyaku heran.

“Agen. Asistenku yang menyewanya untuk kita,” ujar Soni yang menahan pintu untukku. Dia mempersilahkan aku masuk dengan gerakan kepalanya. Aku hanya mendengus dan menurutinya masuk ke mobil.

Good morning gentlemen. Where should I take you?” tanya sopir itu dengan aksen Perancis-nya yang kental.

Hôtel de Caeza, s’il vous plait!” kata Soni membuatku bengong.

Dia tadi ngomong pake bahasa Perancis? Gak salah denger kan gue? pikirku takjub. Dia melakukannya dengan santai seolah-olah dia sudah biasa menggunakan bahasa itu.

Oui monsieur,” jawab sopir kami langsung dan  segera menjalankan mobil, “Est-ce que c’est la première fois vous visitez Paris?” taya sopir itu lagi.

Pas pour moi. Mais c’est le premier temps lui arrivé ici.

Aaaahhh okay. Vous devez montre la belle de Paris.

Bien Sûr.

Vous allez aimer cette ambiance. Tout le monde aimer Paris.” kata sopir itu dengan mata yang menatap padaku. Aku kembali cuma bengng cengo.

Dia ngomong ma gue? Pikirku bingung.

Tu as raison!” kata Soni dam tertawa kecil.

Vous parler bien français, monsieur.

Merci beaucoup.

Dan kembali aku bengong sebengong-bengongnya, menatap Soni dan sopir itu bergantian. GILA!!!! Soni bahasa Perancisnya ngeces abis! Bahasanya benar-benar bagus dan halus.

“Ada apa?” tanya Soni yang melihatku masih keukeuh bengong dengan mulut nganga gak jelas.

“Kamu..............bisa bahasa Perancis?” tanyaku takjub.

“Lho? Emang kenapa? Aneh?” tanya Soni balik dengan senyum terkulum.

“Eng-engga juga sih,” sahutku pelan, “Tadi ngomong apa sama dia?”

“Bukan hal yang penting kok. Dia tadi cuma nanya, apakah ini pertama kalinya kita ke Paris. Aku jawab iya untukmu. Dia juga bilang kalau aku harus menunjukkan keindahan kota ini padamu. Dia bilang semua orang akan suka Paris.”

“Terus tadi bilang makasih buat apa? Merci artinya terimakasih kan?”

Soni tersenyum dan mengangguk, “Tadi dia bilang bahasa Perancisku bagus.”

“Yeah. And he’s right. Aku nggak tahu kalau kamu bisa bahasa Perancis dengan bagus begitu. Bisa ajari aku? Dari dulu aku pengen banget bisa ngomong pake Bahasa Perancis.”

Assurez-vous,” jawab Soni dengan senyumnya.

What?

Sure...” jawabnya lagi dan terkekeh pelan.

Merci,” kataku lagi membuat Soni kembali tertawa kecil dan mengacak rambutku dengan gemas.


Mobil yang kami naiki kemudian berhenti didepan lobby sebuah hotel bernama Ceazar. Sebuah bangunan megah berarsitektur Romawi kuno, meski lobby hotelnya jelas bernuansa Eropah dengan warna-warna pastel hangat.

 Bienvenue à Paris, Messieurs! Je vous souhaite tout le bonheur ici! Bonne Journée!!” teriak si sopir yang kemudian meninggalkan kami.

Merci!” jawab Soni dan melambaikan tangan untuk membalasnya. Dan begitu kmai berbalik, kami sudah disambut oleh seorang pria berusia empat puluhan dengan setelan jas resmi yang tampak rapi dan resmi. Kehadirannya yang hampir tak terdengar sedikit mengagetkanku. Tapi Soni sepertinya sudah mengenalnya, karena lagi-lagi dia menampilkan senyumnya pada pria asing di depan kami.

Aah monsieur Duainne. C’est un plaisir de vous rencontrer encore.

Monsieur Bennet. Est-ce que ma chambre déjà prête?

Bien sûr. Vas-y..” jawab pria itu dengan senyum ramahnya. Dia melambai pada dua orang bellboy yang segera menghampiri kami.

“Ayo TJ!” kata Soni mengajakku yang sedikit terpana dengan keakraban mereka berdua.

“Kamu sering menginap disini ya?” tanyaku langsung dan mengikutinya. Kami lalu masuk ke sebuah lift bersama dua orang bellboy tadi.

Soni mengangguk, “Hotel ini memang tidak sebesar Ritz. Tapi hotel ini tenang dan nyaman. Dan juga berada di daerah yang aman dan bersih. Aku suka disini. Aku selalu menginap disini tiap kali pergi ke Paris.”

Aku diam. Tiap kali. Dan pasti itu lumayan sering, pikirku. Sampai-sampai dia bisa begitu akrabnya dengan pria tadi, yang menurut perkiraanku adalam manager hotel ini.

Sesaat kemudian lift terbuka. Kami mneyusuri sebuah lorong yang lantainya dilapisi oleh karpet tebal yang empuk hingga langkah kami tidak menimbulkan suara. Dinding-dinding hotel diwarnai dengan warna pastel dan ada beberapa lukisan jaman Renaissance yang tergantung. Entah asli atau replika. Kami melewati beberapa pintu yang hanya diberi tanda dengan nomor yang tercetak dalam tinta emas timbul.

Kami berhenti di ujung lorong, di depan sebuah pintu bernomor 72. Kami masuk setelah pintu dibuka oleh bellboy dengan sebuah kartu.

Soni benar!!

Aku bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari dalam kamar hotel yang berwarna peach ini. Karpet tebalnya, cat dindingnya, lukisan-lukisannya dan juga furnitur-nya. Semua memancarkan warna-warna hangat musim gugur. Diruang tengah ada seperangkat sova besar berwarna gading yang tampak empuk dan lembut, berhadapan dengan satu set lengkap home theatre. Aku pergi meninggalkan Soni yang sedang berbicara dengan bellboy itu dalam bahasa Perancis. Aku ingin melihat tempat tidurnya. Dan saat aku mencapai tempat tidurnya, aku tak bisa menahan desahanku. Tempat tidurnya terbuat dari kayu berukir jaman pertengahan dengan kasur empuk besar dan terlihat nyaman. Bantal-bantal yang tersusun rapi dan menggoda itu rasa-rasanya mengeluarkan suara membujuk, memintaku untuk membaringkanku di atas mereka setelah perjalanan panjang dalam pesawat.

Hingga kemudian aku menyadari sesuatu.

Hanya ada satu ranjang disini. Ranjang besar dengan 4 tiang penyangga, kelambu tebal mewah serta bantal-bantal empuk menggoda. Tak ada ranjang lain. Meski ranjang itu besar dan mungkin cukup bila ditiduri oleh 4 orang dengan ukuran tubuh kami, tapi tetap saja. Begitu Soni mengikutiku, aku langsung melotot padanya dengan 2 tangan di pinggang.

What?” tanya Soni bingung.

“Satu ranjang?” tanyaku balik dengan nada menuntut. 

“Ooh itu. Aku ingat perkataanmu. Kamu sendiri kan yang bilang, kalo kamu jarang bisa tidur ditempat asing. Waktu di perkebunan teh, ingat? Jadi aku pikir, akan lebih baik kalau kita tidur bareng aja. At least, kalau kamu gak bisa tidur, aku bisa nemenin kamu.”

Ide yang menarik.dan sangat menggoda. Tapi aku sadar akan besarnya bahaya yang ada disana. Soni yang tak menyadarinya bisa saja santai. Tapi aku?!!

“Son...a-aku ra-rasa...”

“Sudahlah. Kenapa sik? Kasurnya gede juga kan? Hitung-hitung irit. Kan lumayan, daripada menyewa dua kamar,” cengirnya. Argumen yang tak akan bisa aku sangkal. Aku tak bisa menemukan sanggahan yang tepat untuk melawannya. Lagipula, aku tak bisa membayangkan mahalnya sewa kamar di hotel ini. Kita berada di Paris. Bukan puncak Bogor. Aku tahu kalau aku tak punya pilihan lain seain menurutinya. Duh! Andai saja dia bisa paham kenapa aku mengangkat topik tadi, pikirku sedikit muram. Aku mulai mengkhawatirkan kewarasanku.

“Kita harus membeli beberapa baju untuk kita pakai dan beberapa keperluan lain. Aku sudah meminta Bennet menyediakan mobil sewa untuk kita. Tapi kita sarapan dulu ya? Atau kau ingin mandi dulu? Lagipula toko-tokonya juga masih belum buka,” tawar Soni.

“Mandi!” jawabku cepat.

“Baiklah. Kamu mandi dulu. Aku akan kebawah sebentar, ok?” katanya dan berlalu dengan senyumnya.

Mandi dengan air hangat sedikit menenangkanku. Dan aku tak tahu apa merk yang diginakan oleh toiletries hotel ini, tapi shampoo dan sabunnya memiliki harum yang aku suka. Hingga tanpa sadar, aku sudah menghabiskan 20 menit lebih di kamar mandi. Dan begitu keluar, aku mendapati Soni yang telah menunggu sembari nonton tv.

Having fun in the bathroom?” godanya dengan senyum simpul.

Aku hanya tersenyum malu mendengarnya. Dia pasti berpikir kalau aku tipe-tipe yang lelet kalau mandi. Tapi karena tak bisa menyangkal, aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.

Glad you could have fun in there. Kau tidak menghabiskan sabunnya kan?” tanya dia lagi masih dengan senyum simpul yang mulai membuatku berpikir.

“Masih kok.lagipula.............”

Tunggu sebentar!! Maksud dia ‘fun’ di kamar mandi tadi jangan-jangan dia mikir kalau aku masturba...

“HEI!!!!! AKU CUMA MANDI!!!!” teriakku pada Soni yang menghilang di balik pintu kamar mandi, menyisakan tawanya. Sial!!! rutukku dalam hati, dongkol. Harusnya tadi aku paham apa yang dia maksud. Senyum simpulnya itu jarang sekali terlihat. Jadi aku tak berpikir aneh.

Dan ketika dia keluar dari kamar mandi, aku masih dongkol dengan tuduhannya. Tapi Soni pura-pura tak melihatku yang manyun berat. Dia malah langsung mengajakku untuk turun ke restoran di bawah. Bennet sudah menyiapkan meja kami untuk sarapan.

Kurang dari 1 jam kemudian, kami sudah melaju di jalan raya. Aku tak henti-hentinya memperhatikan sekeliling kami. Kagum akan gabungan antara gedung-gedung tua zaman Renaissance dan modern. Kedongkolanku pada Soni kontan menguap. Dan sebelum aku menyadarinya, Soni sudah menghentikan mobil sewaan kami.

Dia membawaku ke sebuah butik bernama Jean La Mode. Sebuah butik yang tampak sederhana dari luar namun toh tertata dengan begitu bagusnya di dalam. Butik ini memiliki koleksi pakaian yang ternyata sangat lengkap. Baju-baju musim dingin yang dipajang sangat spektakuler menurutku. Juga berkelas dan mencakup berbagai usia. Baju-baju anak mudanya mencerminkan spirit muda yang elegan dan elit, namun tetap casual dan sporty. Di bagian lain, aku bisa melihat baju-baju yang terlihat lebih resmi dan lebih pantas dipilih oleh kalangan eksekutif.

“Pilih mana yang kamu suka, ok?” kata Soni sembari melihat-lihat. Aku tak menjawa. Hanya diam dan mengikuti dibelakangnya. Beberapa saat kemudian dia baru ngeh padaku yang menguntitnya dalam diam, “Kenapa?” tanya Soni sedikit bingung.

Aku menggeleng rikuh, “A-aku gak beli. Harganya pasti gila-gilaan dan....”

“Hei!! Aku tak suka bicara soal uang, ingat? Kamu pikir kamu akn menggunakan jaket itu sepanjang waktu? Baju-baju yang kamu bawa dari Indonesia bukan diperuntukkan bagi musim dingin di Eropah. Kau akan kedinginan.”

“Son, ini Paris! Kalo sampe keabisan uang kita...”

“TJ!!!” potong Soni dengan nada final. Aku diam tak membantahnya. Tapi aku benar-benar tak mampu bergerak. Akhirnya dengan gemas Soni meraih bahuku dan sedikit meremasnya, “Dengar! Kamu disini bersamaku. Jangan memikirkan apapun. Aku yang akan membereskan semuanya.”

“Son...”

Soni menggeleng kuat, “Trust me!

Untuk sejenak aku tertegun. Bukan saja karena nada lembutnya, tapi juga karena keintiman sikapnya. Matanya yang menatapku dengan sinar yakin dan dekatnya tubuh kami berdua saat ini, “Kalau begitu, kamu saja yang  pilihin buatku. Seleramu jelas lebih baik dariku kan?” kataku mencoba memberi jalan tengah.

Soni melipat tangannya ke dada dan menatapku dengan sebelah alis terangkat, “Yakin? Gak nyesel? Kamu bisa memilih sesuai dengan seleramu sendiri lho.”

“Percaya deh. Aku lebih suka caramu berpakaian. Kau selalu terlihat sesuai dan.............mengagumkan,” jawabku jujur.

Well...........thank you. Meski sebenarnya itu juga karena jasa personal shopper-ku,” jawab Soni dengan sedikit tersipu. Tuh kan! Aku kembali membatin. Duhh! Dia kok ngegemesin banget siihhh!!!

“Baiklah........ Let’s see....”gumam Soni dengan mata melihat ke sekeliling. Dan sesaat kemudian, dia sudah melangkah dengan pasti.

Beberapa menit kemudian, aku tak tahu harus merasa senang ataukah menyesal dengan keputusanku tadi. Soni belanja gila-gilaan! Semula aku pikir kami hanya akan membeli beberapa baju saja. hanya cukup untuk liburan kami. Mungkin 4 atau 5 stel maksimal. Tapi ternyata tidak. Aku sudha dapat 10 t-shirt tebal, selusin celana, 7 kemeja dan 5 buah jaket. Itu masih belum barang-barang yang Soni beli untuk dirinya sendiri. Ada 3 orang pelayan toko yang membantu kami membawa barang-barang tadi.

“Son, udahan yok. Ini udah banyak banget. Gimana bawanya ntar?!” cegahku saat dia mau melangkah ke bagian yang memajang beberapa syal.

“Eh tapi kamu kan belum dapat underwear. Kamu gak perlu CD atau boxer gitu? Atau kamu mau aku yang...” Soni menggantungkan kalimatnya dengan nada menggoda.

“Aku saja!” sahutku cepat dengan wajah sedikit memanas. Gila saja kalau aku biarin dia memilih underwearku.

“Sebelah sana! Kamu ambil saja,” kata Soni sedikit geli dan menunjuk ke arah pojok kanan.

Aku langsung saja ngacir ke arah yang dia tunjuk. Aku memilihnya dengan cepat. Aku cari harganya yang paling rendah, meski aku ragu mereka bisa dibilang murah dengan ukuran Indonesia. Bahan-bahannya begitu lembut dan nyaman ditanganku. Aku ambil beberapa yang menurut perkiraanku cukup untuk beberapa hari ke depan. Hanya sebagai tambahan, karena aku juga sudah membawa beberap dari rumah.

Saat aku kembali, Soni sudah mendapatkan 4 pasang sepatu dan 4 buah syal hangat untukku. Satu syal dia ambil dan ia lingkarkan ke leherku. Syal berwarna hitam yang lembut dan  hangat. Bahannya terbuat dari kashmir yang nyaman.

“Paris dingin,” katanya singkat, sementara aku hanya diam sedikit rikuh. Apalagi dengan hadirnya 3 orang pelayan toko yang ada di sebelah kami, “Kamu tunggu disini. Aku juga membutuhkan underwear,” katanya santai dan pergi.
Akupun diam ditempat menunggunya. Duh!! Kira-kira berapa uang yang dia habiskan kali ini? Pikirku masygul memandang ke arah belanjaan kami yang naudzubillah. Padahal dia bisa hanya mengambil seperlunya saja. gak perlu juga beli sebanyak ini kan?

Perhatianku sedikit terpecah saat kudengar dentingan pintu butik yang terbuka. 2 orang wanita masuk.

Seorang wanita paruh baya dengan rambut pirang dan seorang lagi, seorang gadis awal duapuluhan yang juga berwarna pirang rambutnya. Sepertinya keduanya bukan dari kalangan biasa sepertiku. Penampilan keduanya begitu anggun. Semerbak harum parfum yang lembut tercium oleh hidungku saat mereka melangkah dan mengedarkan pandangannya. Ada rasa ingin tahu yang besar terpancar dari sorot mata mereka saat melihatku berdiri diam dengan semua belanjaanku.
Yang membuatku kaget adalah saat mata  mereka melebar ketika melihat Soni. Keduanya memekik kecil. Yang lebih muda memanggil nama Soni dengan suara keras. Dan tanpa ragu sedikitpun dia melangkah cepat ke arahnya dengan kedua tangan terkembang lebar.

Aku hanya melihat dari kejauhan saat mereka saling berpelukan dan mencium pipi dengan raut gembira. Wanita yang lebih tua menyusul dan memeluk Soni. Soni juga mencium oioinya dengan hangat. Mereka ngobrol begitu akrabnya hingga makin mengherankanku. Sesaat kemudian Soni berpaling dan menunjuk ke arahku. Aku Cuma mampu diam menatap mereka yang melangkah ke arahku.

“TJ, this is Madam Evelyn dan putrinya, Chantal. Butik ini milik Evelyn. This is my friend TJ.”

Evelyn mengulurkan tangannya yang segera kusambut, “How do you do, TJ. Panggil aku Evelyn,” katanya ramah dalam bahasa Inggris dengan aksen Perancis kental. Dan kembali aku menangkap rasa ingin tahu yang besar dari sorot matanya.

Hi....I’m Chantal. Jarang sekali Soni membawa temannya kesini. We should hang out sometimes,” kata Chantal dengan sorot yang sama. Bahasa Inggrisnya begitu halus dan nyaris tanpa aksen.

Aku tersenyum sedikit kikuk pada mereka, “Aku harap begitu. Well.............I’m just lucky he bring me here, I guess.

“Sepertinya kalian sudah berbelanja banyak” ujar Evelyn dengan senyumnya melihat belanjaan kami.

Well Soni did. I just follow hima round. But I must admit, anda punya koleksi yang sangat mengagumkan. This place is amazing!

Evelyn tertawa kecil, “How kind of you. Thank you ma cherrie. Kau punya teman ynag menyenangkan Soni.”

Thank you,” jawab Soni singkat dan mengerlingkan matanya padaku yang Cuma bengong.

“Bagaimana kalau nanti malam kita dinner bareng sebagai pesta selaat datang Soni, Mum? Kamu mau kan?” tanya Chantal antusias.

No! Don’t!” cegah Soni cepat, “Kunjunganku kali ini mendadak. Aku akan menghargai sekali kalau kalian 
merahasiakannya dulu.”

“Oh? Jadi Felix tidak tahu?’ tanya Evelyn tertarik.

“Tidak. Dan aku pasti akan kesana, tapi dalam beberapa hari. Ini pertama kalinya TJ kesini. Aku ingin mengajaknya berkeliling dulu.”

Oooh honey, tentu saja. Tapi berjanjilah kalau kita akan melewatkan waktu bersama. Ada pesta tanggal 29 ini di rumah. Kalian harus datang,” ujar Evelyn.

Yes, benar sekali. Kalian harus datang! Wajib datang!”

Something important?” tanya Soni dengan sebelah alis naik.

Really important!” tegas Chantal.

Ok. Don’t worry. We’ll be there!

Perfect! Now let me take care of those!” kata Evelyn dan melambaikan tangan. Dua orang pegawai datang menjawabnya dan segera mengurus belanjaan kami. Soni segera mengulurkan kartu kreditnya, “No, dear. I said I’ll take care of them.

“Evelyn, tidakkah kau lihat.”

You are family, dear. Kau sudah tahu pasti dan akan melakukan yang sama untukku. Anggap saja itu hadiah untuk kalian,” kata Evelyn dan mengibaskan tangannya, “Jadi apa rencana kalian selanjutnya?”

Well...kami masih perlu mencari beberapa barang lain, lalu kami akan ke hotel untuk beristirahat. Kami baru saja tiba pagi tadi. Jadi............agak sedikit lelah.”

“Kalau begitu kami tidak akan mengganggu kalian lagi. Aku akan mengirimkan barang-barangnya ke hotel. Ceazar?” tanya Evelyn yang di jawab dengan anggukan oleh Soni.

“Soni, aku ada perlu. Bisa bicara sebentar?” tanya Chantal.

I’ll wait in the car,” kataku cepat, sadar kalau kehadiranku mungkin mengganggu, “Senang bertemu denganmu Evelyn. And thank you so much.”

My pleasure, dear,” jawab Evelyn ringan dan menyambut tanganku.

Cepat aku mendahului mereka keluar dari butik dan langsung masuk ke dalam mobil yang kuncinya tadi sempat aku minta dari Soni. Evelyn mengantarku sampai ke depan butik dengan senyum ramahnya.  Aku menunggu di mobil dengan sedikit rasa ingin tahu sementara Soni, evelyn dan Chantal ngobrol, sembari menunggu pegawai-pegawai Evelyn mengangkut belanjaan kami ke mobil angkut.

Ok. Byee!!

Kudengar Soni berpamitan. Aku berpaling dan melihat mereka saling berpelukan dan mencium pipi. Tak lama dia masuk ke mobil dan segera menghidupkannya. Sebelum melaju, kami sempat melambai pada Evelyn dan Chantal yang membalasnya.

“Kalian kenal lama?” tanyaku igin tahu setelah butik evelyn menghilang dari pandangan.

“Kamu sudah dengar Evelyn kan tadi. We’re family!” ujarnya singkat.

“Kalian terlihat sangat................akrab,” pancingku lagi. Dan membuatku sedikit bertanya-tanya, sudah berapa kali sebenarnya Soni ke Paris.

“Yeah.........” jawab Soni cuek.

Nah..........kuat deh! Pikirku agak kesal

“Kami memang dekat,” sambung Soni lagi tanpa memalingkan wajah dari jalan yang kami lalui, “Kita ke Hartnell. Kita masih membutuhkan setelan resmi.”

“Belanja lagi?”

We need tux. Hanya untuk berjaga-jaga,” kata Soni.

Sambutan di Hartnell ternyata tak kalah ramahnya. Manager butik, Mr Olsen, secara pribadi menyambut kami dan memperlakukan kami dengan spesial. Belanja disana tak memerlukan waktu yang lama. Kami Cuma melihat ke dalam katalog. Soni memilihkanku 3 setelan resmi, lengkap dengan kasesorisnya. Sepatu, ikat pinggang, manset, dompet, dasi dan yang lainnya. Setelan yang menurutku terlalu elegan dan resmi. Aku terbiasa dengan busana casual yang simpel. T-shirt dan jeans boleh dibilang seragam keseharianku. Sementara setelan yang dipesan Soni benar-benar busana yang match dari ujung kaki sampai kepala. Karena sadar bahwa tak ada yang bisa aku lakukan untuk menolaknya, akku menutup mulutku rapat-rapat, dan membiarka beberapa pegawai butik mengukur tubuh kami. Monsieur Olsen menjamin bahwa baju-baju kami akan siap besok dan akan diantarkan langsung ke hotel.


Kami kembali ke hotel saat hari sudah melewati tengah hari. Entah kemana waktu, hingga kami membutuhkan nyaris setengah hari penuh bagi kami untuk membeli keperluan-keperluan kami selama disini. Meski judulnya belanja, aku tetap saja menganggapnya berwisata, karena dengan berjalan kesana kemari, aku mendapatkan pengalaman dan melihat-lihat kota Paris yang luar biasa dan lain dari Jakarta. Beberapa kali kami juga berfoto bersama dengan bantuan beberapa orang yang kami lewati. Kami juga sempet makan di Mc D di sebuah Mall.

Perlu sekitar 2 orang pegawai hotel untuk membantu kami membawa semua belanjaan ke dalam kamar. Aku sendiri lebih memilih untuk langsung mandi dengan air hangat. Sepertinya tubuhku masih belum menyesuaikan diri dengan waktu Perancis. Hari baru saja hendak beranjak sore, tapi aku sudah ingin tidur. Begitu keluar, aku mendapati Soni sedang  membereskan belanjaan kami.

“Aku sudah memesan travelling bag. Mereka akan membawanya kesini nanti,” katanya, “Kamu mau tidur atau....”

“Iya,” sahutku langsung dan nyengir, “Aku capek.”

“Gak mau makan dulu?” tanya Soni yang kemudian aku jawab dengan gelengan kepala. Soni tersenyum dan mengulurkan sebuah tas padaku, “Ini piyama. Pakai saja kalau mau tidur. Aku sudah beli beberapa untukmu. Aku mandi dulu, ok?” pamit Soni dan pergi.

Aku sudah berbaring di tempat tidur saat Soni selesai mandi dan mengganti baju. Aku yang tadinya memunggunginya segera berbalik saat mendengar suara pintu terbuka, “Habis............”

Kalimatku menggantung disana saat aku melihatnya. Soni mengenakan piyama hitam dengan garuis putih seperti yang aku pakai. Persis sama. Jelas dia membelinya sepasang. Dan pemikiran itu membuatku tak mampu berkata apa-apa untuk sejenak.

“Lucu ga?” tanya Soni dan mengembangkan dua tangannya, meminta pendapatku.

“Kamu........sengaja beli sepasang?” tanyaku sedikit geli melihatnya yang bisa bertindak konyol dan kekanakan seperti ini. Dia yang biasanya terlihat dewasa, tenang dan bahkan dingin, bisa terlihat girang dengan antusias seorang bocah.

Soni mengnagguk dan tersenyum, “Aku pikir lucu juga kalo kita kembaran,” kata Soni. Dia menutup semua korden kamar sehingga kamar menjadi gelap dan kemudian  naik ke tempat tidur.

Tapi tetap aja keliatan beda, pikirku dalam hati. Kalo Soni yang pake, piyama itu terlihat WAH! Dia lebih cocokjadi model yang memperagakannya di catwalk. Kalau aku.................jadi kelihatan biasa saja dan bahkan konyol kalau disandingkan dengannya. Kalau di rumah, paling aku Cuma pakai t-shirt butut buat tidur. Gimanapun juga, kami berdua emang beda.

Aku hanya bisa menghela nafas.

“Habis berapa tadi?” tanyaku sembari memeluk guling yang memisahkan kami berdua.

“Kamu tidur aja. Istirahat. Nanti malam kita bisa jalan-jalan ke menara Eiffel dan Champs Elysees,” kata Soni tanpa menghiraukan pertanyaanku tadi.

“Sepertinya akan sulit tidur,” gumamku.

“Kenapa? Bukannya tadi bilang cape?”

“Cape sih. Cuman...............udah hampir 24 jam aku gak liat Bunda. Jadi kangen.”

What?!” sergah Soni heran dan berpaling padaku, “Kita disini baru beberapa jam. Dasar anak mami. Manja!” gerutunya, lebih karena geli daripada marah.

“Heii!!! Ini bukan masalah manja atau engga!,” rungutku kesal, “Asal tau saja, Bunda biasanya selalu mencium keningku dulu sebelum tidur dan..........” aku berhenti saat Soni tiba-tiba memajukan tubuhnya. Dia membungkuk dan kemudian mencium keningku.

“Nah, sudah. Bisa tidur sekarang?”

Aku tak menjawab, hanya bisa diam terpaku dengan mulut terbuka. GUE DICIUM?!! LAGI?!!!! Ini beneran gak seeeeeehh?!! Teriakku dalam hati. Aku benar-benar tak tahu harus bereaksi bagaimana. Hanya mampu bengong melihat ke arah Soni yang Cuma tersenyum simpul dan kemudian mematikan lampu kamar.

“Selamat tidur,” kata Soni dan membaringkan tubuhnya.

Dan kembali aku tak bisa manjawabnya.

Lebih dari setengah jam kemudian aku baru bisa tertidur. Aku hapir-hampir tak bisa mencerna akan apa yang sedang terjadi. Otakku benar-benar tumpul. Perasaanku begitu datar dan nyaris mustahil memahami. Baru sekitar satu jam kemudian aku merasakan suatu kedamaian asing yang begitu menenangkan. Aku merasa nyaman dan tenang karena bisa melihat serta tau Soni ada di sebelahku. Tertidur dengan tenangnya.

Dan beberapa menit kemudian aku mengikutinya, tenggelam ke dalam alam mimpi.

Selasa, 02 Mei 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle Bab 17


BAB 17





Perasaan menyenangkan yang aku rasakan itu terus bertahan hingga aku melangkah masuk ke gerbang sekolah pagi ini. Semua terasa begitu indah. Warna-warna alam entah bagaimana, terlihat tajam dan mengesankan. Aku tak bisa menahan senyumku.

“WINAAAAAAAAA!!!!!” teriakku keras saat kulihat sosok cewek slebor itu duduk tenang di mejanya, “Ada PR ga?”
Wina yang semula bengong dengna kehadiranku segera sadar dan mengedipkan matanya, “Eh? Apa? Oh ya.....ada. nih!” katanya dan menyerahkan bukunya dengan gerakan sedikit gugup yang membuat alisku terangkat sebelah.

“Lo kenapa sik? Kok aneh gitu?” tanyaku heran dengan kegugupannya. Belum sempat dia menjawab, derum sepeda motor Soni yang sudah sangat kukenal, terdengar. Aku mendekat ke jendela untuk melihatnya. Ku lihat dia memarkir motornya dengan tenang untuk kemudian melangkah menuju kelasnya. Dia yang kemudian mengangkat wajahnya, melihatku dan berhenti.

“Pagi!” sapaku dengan senyum lebar.

“Baikan?” tanyanya dan membalasku dengan senyumnya yang jarang sekali terlihat. Aku menjawabnya dengan anggukan, terlalu senang menikmati ekspresinya. Soni kembali tersenyum kemudian melangkah pergi.

“Kalian udah baikan?’ tanya Wina saat aku kembali ke bangkuku. Aku hanya mengangguk dengan senyum lebar padanya. Aku tak berniat memberitahu Wina tentang kejadian kemarin. Selain malas dengan kehebohan yang akan terjadi, aku juga tak ingin Wina tahu tentang perasaanku pada Soni. Biarlah itu menjadi rahasiaku sendiri. Aku tak ingin seorangpun tahu. Tidak Wina, sahabat-sahabatku yang lain, atau bahkan Soni.

Akan lebih baik kalau semua aku simpan sendiri, pikirku muram. Semua orang berhak memiliki rahasia kecil sendiri kan? Sambungku dalam hati dan mengambil  koran lokal yang tadi aku beli.

“Tumben lo beli koran? Mau jadi pengusaha?” seloroh Wina.

“Gue nyari lowongan kerja part time, Nek. Kali-kali aja ada yang oke. Biar cepet gue bayar utangnya ke lo,” sahutku tanpa mengangkat wajahku dari koran. PR Wina yang tadi hendak aku salin batal, karena jam pelajarannya ternyata sehabis istirahat nanti.

“Sebaiknya gak usah,” ujar Wina pelan setelah beberapa saat. Nada suaranya membuatku berpaling padanya. Saat pandangan kami bertemu, ada pemahaman yang kemudian muncul tanpa harus kami lafalkan.

“Dia mendengar semuanya?” tanyaku dengan suara lebih pelan dari Wina tadi.

“Sepertinya sih gitu,” ujar Wina dan mengangkat bahunya, “Dia ke rumah siang itu. Sepertinya abis dari rumah lo langsung.”

“Dia bayar semua kan?” tanyaku dengan bibir yang terasa kering. Wina mengangguk untuk menjawabku.

“Dia juga minta buat gue ngerahasiain ke lo. Minta gue buat ngomong ke lo buat gak usah bayar hutang lo ke gue. Tapi mana bisa sih gue ke lo diem?” sergah Wina lagi.

Aku tersenyum tipis mendengarnya, “Thanks, Win.”

Aku memutuskan untuk menemui Soni sepulang sekolah. Aku harus bicara dengannya. Menjelaskan semuanya. Tapi aku terlambat. Karena saat aku keluar dari kelas, kulihat sepeda Soni telah hilang. Sepertinya dia sudah buru-buru.

Yang kemudian membuatku heran, kejadian itu terus berlanjut hingga menjelang ujian. Nyaris aku tak melihatnya sepanjang minggu. Dia datang ke sekolah saat bel sekolah hampir berbunyi, dan hilang saat aku baru saja keluar dari kelas. Aku selalu telat. Satu-satunya kesempatan dimana aku bisa melihatnya adalah saat aku keluar kelas ketika pelajaran berlangsung. Misal saja saat aku harus ke toilet atau ke kantin. Itupun hanya sekilas. Sementara pada saat istirahat, entah bagaimana, dia selalu menghilang.

Menurut Wina, Soni pasti sibuk dengan persiapan ujiannya. Dia sudah kelas 3. Jadi ujian pada saat-saat ini sangat penting baginya. Itu satu-satunya penjelasan masuk akal bagiku.

Masalahnya adalah aku selalu merasa kalau hariku belum lengkap tanpa melihatnya. Jadi aku sering sekali mencari alasan untuk bisa keluar ketika pelajaran berlangsung, hanya untuk melihatnya sekilas. Memang konyol, tapi aku tak bisa menahan diri.

Apalagi kini Emmy, Enny dan Rika akhir-akhir ini deket dengan teman cowok satu klub mereka. Pulang sekolah dijemput, berangkatpun diantar. Udah gitu, Wina juga sibuk dengan klubnya. Sementara klup PA yang aku ikuti sedang kosong.

Aku jadi merasa agak kesepian.



Hari ini ujian terakhir. Satu minggu ke depan kami libur. Satu minggu penuh. Serunya lagi, liburan kali ini bertepatan dengan akhir tahun. Sekolah masuk pada tanggal 4 Januari. Jadi pada pergantian tahun nanti, kami bisa menikmati sepuasnya.

“NEEEEEEEEEKKKKK!!!! Kita liburaaaann!!!” teriak Enny dan Emmy yang muncul didepan ruang ujianku. Mereka ada di kelas sebelah. Sementara aku, Wina dan Rika ada dikelas yang sama.

Aku, Wina dan Rika segera saja menghambur ke arah mereka sembari larut dalam kehebohan.

“Eh taon baru ntar kita keluar bareng yuk?” usul Enny saat kami melangkah pulang.

“Emang lo gak taon baruan ama........siapa tuh? Dono?” tanyaku asal. Enny langsung menepuk bahuku kesal.

“Doni, kampret!! Sirik lo! Lagian dia kan gak jelek-jelek amat,” semburnya keki, “Dia emang ngajak keluar. Tapi gak mungkin dong gue seneng-seneng ama dia, sementara lo ama Wina manyun bego di rumah.”

“Gue ama TJ?” gumam Wina heran. Kami saling berpandangan sejenak,  “Emangnya.......”

“Rico juga ngajak gue keluar,” tukas Rika.

“Andre juga,” sambung Emmy.

“ANJIIIIIRRR!!! Jadi yang jomblo Cuma gue ama Wina doang?” sergahku keras.

“Makanya cepet nyari pacar mbaaaakk!!” seloroh Enny, membuatku dan Wina misuh-misuh. Enak aja dia ngomong.

“Andre bilang dia mo bawa mobil en ngajak taon baruan di Ancol,” kata Emmy.

“Doni juga. Jadi kita semua bisa pergi bareng,” sambung Enny, “Jadi buat sementara, kalian berdua pacaran aja dulu,” sarannya asal padaku dan Wina.

“Yeeeeeeeee...... Emang gue lesbong!” sergah Wina keras membuatku sontan ngamuk. Yang lain hanya ngakak seru dengan kelakuan kami.

“Sutralah Nek. Pokoknya taon baru ntar, kita ngerayain bareng. Kita beneran gak mungkin seneng-seneng tanpa lo berdua,” kata Enny. Rika dan Emmy sudha hendak menimpali, namun urung saat sebuah sepeda motor melesat dari arah belakang kami dan berhenti persis di depanku.

Semua terdiam karena tahu itu Soni. Dengan tenang dia membuak helmnya.

“Naik,” katanya singkat dengan mata yang tertuju padaku.

Untuk sejenak aku hanya saling berpandangan dengan yang lain. Lalu dengan pelan dan sedikit ragu, serta wajah pasrah, aku naik ke boncengannya.

“Eh Kak, bentar!” cegah Enny saat Soni sudah hendak melajukan motornya.. ia urung dan membuka visor helmnya dan memandangnya heran, “Sorry, Kak. Jadi gini, kita semua punya rencana buat ngerayain taon baru ntar bareng di Ancol. Kakak mau gabung?”

“Maaf. Tapi aku dan TJ sudah punya acara lain. Lain kali aja, ok?” jawabnya singkat.

“HUH?!!”

Enny dan yang lain, bahkan aku sendiri, melongo. Tanpa menunggu reaksi kami selanjutnya,  Soni melaju dengan kecepatan tinggi. Aku sendiri memilih diam meski luar biasa heran dengannya. Baru saat aku turun didepan rumah aku menatapnya dengan keheranan yang tak aku sembunyikan.

”Aku haus,” katanya singkat tanpa memperdulikanku dan melangkah untuk kemudian berhenti di sebelah pintu. 
Menungguku untuk membukanya.

“Emang kita punya acara apa?” tanyaku tak tahan lagi sembari membuka pintu rumah.

“Ntar juga tahu,” jawabnya tak acuh dan masuk. Dia langsung saja merebahkan diri diruang tengah.

Aku hanya mampu menghela napas dengan ketidak peduliannya. Aku mungkin akan selalu dibuat heran dengan tingkah ajaib cowok satu ini. Sikapnya yang tak terduga sering membuatku mengernyitkan dahi dalam. Aku tahu, ada saat-saat dimana aku harsu diam menghadapina. Dan sepertinya, sekarang adalah salah satu dari saat-saat itu.

“Ayo diminum,” kataku saat aku telah kembali dengan segelas orange juice dingin. Dia masih berbaring diam, tapi kemudian bangkit dab mengahbiskan isi gelas yang aku berikan dalam sekali minum.

“Lagi?” tanyaku melihatnya menandaskannya dengan cepat.

Soni menggelengkan kepalanya, “Kamu ganti baju cepat. Kita harus segera pergi,” katanya.

“Emang kita mau kemana?” tanyaku heran.

“Ntar juga tau. Cepetan!!: serunya dan mendorongku untuk masuk ke kamarku. Aku hanya mampu menurut dengan keheranan yang terus bertambah oleh tingkahnya, “Kamu telpon Bunda juga gih. Bilang kalo liburan ini kamu nemenin aku,” katanya saat aku sudah keluar dengan uniform favoritku, celana jeans dan t-shirt. Dia mengulurkan ponselnya padaku.

“Pake punyaku aja,” kataku pelan dan menelepon Bunda. Bunda langsung menjawabku pada deringan kedua, “Bunda, hari ini TJ diajak Soni buat nemenin dia liburan kali ini.

“Nemenin Soni? Ke perkebunan lagi? Berapa lama?” tanya Bunda dari seberang.

“Berapa lama, Son?” tanyaku pada Soni yang duduk santai disebelahku.

“Satu minggu,” jawab Soni enteng, membuatku langsung mendelik sewot.

“Agak lama, Bun. Mungkin sehari dua hari,” kataku. Namun aku yang kemudian melihat mata Soni yang merajuk pada akhornya tak tahan juga. Aku menghela napas. Harusnya aku tahu kalau aku tak akan bisa menang darinya, 
“...........mungkin lebih, Bun,” putusku pelan.

Soni nyengir senang dan langsung bangkit menyambar ponselku sebelum aku sempat mencegahnya.

“Bunda, ini Soni. Liburan Bunda. Mungkin bisa satu minggu. Jangan khawatir. Bunda minta oleh-oleh apa?”

Aku cuma bisa pasrah melihatnya ngobrol santai dengan Bunda di telepon. Beberapa saat kemudian dia menutupnya dengan senyum riang.

“Beres! Ambil helm! Kita berangkat!” katanya dan mendahuluiku ngeloyor pergi setelah mengembalikan ponselku. Tak lama kemudian kami sudah melaju di jalanan yang aku tahu menuju rumahnya. dan begitu tiba disana, dia langsung menyeretku untuk mengikutinya ke kamar setelah terlebih dahulu meminta Bi Atun untuk membuatkan minuman untukku. Aku yang sebenernya ingin ngobrol dengan Bi Atun sudah hendak protes,tapi dia menangkisku dengan mengatakan kalo aku bakalan lama ngobrolnya dengan Bi Atun. Tangkisan yang memang tak bisa lagi aku sangkal.

“Kamu nonton TV aja disini,” ujar Soni saat kami memasuki kamarnya. Dia segera meraih remote TV super gedenya, dan mempersilahkanku untuk duduk, “Aku mau mandi dulu sebentar. Atau............kamu mau mandi juga?” tawarnya.

Jelas saja aku jadi gelagapan. Apalagi dia menwarkan hal tadi dengan santai saja, “Gi-gila!!! Ngapain aku mandi ma kamu coba?!!” sergahku dengan wajah yang mulai terasa panas tanpa bisa aku tahan.

“Maksudku, kalau kamu mau mandi juga, kamu bisa mandi di kamar sebelah. Aku kan gak bilang kalau aku memintamu mandi bareng,” jawabnya dengan senyum simpul.

Mulutku terkatup rapat dan mengumpat dalam hati atas kebodohanku tadi. ANYEEEEEEEEEENNGGGGGGG!!!!

“Jadi...............kamu mau mandi?’ tawar Soni lagi pelan.

Kali ini aku memutuskan untuk menjawabnya dengan gelengan dan menancapkan mataku pada layar TV. Aku tak ingin mempermalukan diriku lebih dari tadi.

“Ya udah. Tunggu bentar ok?” pamitnya dan tersenyum.

Aku hanya melihatnya pergi dan kemudian menghela napas.

Aaaaahhhhhhhhhh .......... Soni! Begitu banyak hal darinya yang tak aku pahami. Dan begitu besar keinginanku untuk memahaminya. Betapapun buruknya efek hal itu padaku.

Bukan sekali atau dua kali aku berpikir bahwa keputusanku untuk tetap berteman dengannya adalah sebuah kesalahan besar yang pada akhirnya akan membuatku menyesalinya. Dan berulang kali pula aku merasa bahwa alasanku untuk berteman dengannya hanyalah sebuah dalih menyedihkan. Alasan yang aku buat hanya agar aku bisa bersamanya. Disisinya. Aku tak akan bisa berbohong dan menipu hatiku. Jauh disana, aku tahu kalau aku jatuh hati padanya. Hal yang pada awalnya tak pernah aku duga. Hal yang dari awal seharusnya sudah aku sadari. Karena sejak pertama permuan kami, dia sudah menyita perhatian dan waktuku. Hal yang terus menerus aku ingkari dengan berbagai macam alasan konyol dan di buat buat olehku sendiri.

Aku tak bisa mengendalikan hati dan perasaanku. Aku tahu bahwa selama ini aku selalu meyakinkan diri bahwa aku bukan orang ini. Bahwa aku bukan orang yang bisa tertarik pada sesama jenis. Aku hanya........berbeda. namun toh aku benar-benar tak bisa menahannya. Satu hari tanpa melihat Soni, adalah hari yang terasa begitu hambar dan kurang lengkap. Bayangannya mengikutiku dengan konstan. Apapun yang aku lakukan, dimanapun aku, bayangan Soni selalu mengikuti.

Konyol!!

Aku sadar iru. Tapi memeng seperti itulah adanya. Bahkan lagu-lagu cinta yang dulu bagiku terasa begitu menyedihkan dan juga menggelikan pada waktu yang sama, kini mulaiterasa pas bagiku. Apa yang sebaiknya aku lakukan untuk keluar dari semua ini? Apa yang bisa aku lakukan untuk bisa lepas dari Soni?

Untuk beberapa saat lamanya aku duduk terpaku disana. Membeku.  Tak mampu menjawab pertanyaan sederhana yang tadi tiba-tiba muncul. Hampir-hampir tak kusadari Bi Atun yang kemudian muncul dengan membawa segelas orange juice untukku.

“Ayo kita berangkat! Surya sudah siap dibawah untuk nganter kita. Kamu abisin dulu deh minumannya. Dan kamu bisa pakai jaket ini!” cerocos Soni yang muncul dari arah walk in closetnya. Dan kembali, aku terpaku dengan penampilannya.
Dia mengenakan kaus turtle neck dari bahan kashmir berwarna hitam polos dengan jaket kulit warna senada dengan jahitan rapi. Kaos dan jaket itu membuat kulitnya tampak lebih bersinar. Ditambah lagi dia baru selesai mandi. Aku bisa melihat kaos turtlenecknya membungkus tubuhnya dengan sempurna. Aku bahkan bisa melihat lekuk pada garis dada bidangnya yang dulu pernah kulihat sekilas dirumahku. Celana yang berbentuk pipa yang dia gunakan juga berwarna hitam. bahkan sepatunya hitam. secara keseluruhan, warna hitam yang melekat ditubuhnya justru mempertegas sosoknya. Membuatnya tampak semakin tinggi, tegap dan bersinar. Rambutnya yang hitam tampak berkilat, tersisir rapi dan terlihat basah. Aku bhakan bisa mencium aroma segar yang menguar dari tubuhnya.

Katakan! Bagaimana aku bisa melepaskan diri darinya?!!!

“TJ?!!”

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk menyadarkan diri dari pesonanya. Aku berdehem untuk mengumpulkan suara, “Kita.......akan pergi ke pekamakaman siapa?” tanyaku mencoba melucu.

Soni memutar bola matanya, “Funny! But no! Ayo cepat!” katanya lagi, membuatku langsung bangkit dan menerima jaket yang berwarna hitam itu darinya.

“Sebenarnya kita mau kemana sih Son?” tanyaku, entah untuk keberapa kalinya. Aku melirik pada travelling bag berukuran sedang yang dia bawa. Padahal aku Cuma menenteng ranselku.

“Ntar juga tau,” jawabnya singkat saat kami sudah berada dibawah dan menyerahkan tarvelling bag-nya pada Pak Surya yang menunggu kami, “Biar Pak Surya yang bawa ranselmu,” katanya lagi dan tan menunggu persetujuanku, ia menyambar dan menyerahkannya pada Pak Surya. Dia lalu menyeretku masuk ke mobil.

Sepanjang perjalanan aku tak bisa mengatakan apapun karena aku benar-benar bingung luar biasa.

Dan kebingunganku makin bertambah saat akhirnya kami memasuki area bandara.  Soni yang jelas-jelas tahu akan kebingunganku, tak mengatakan apapun. Dia malah bersiul santai. Membiarkanku yang terus melayangkan pandanganku ke sekeliling dengan sedikit panik. Aku belum pernah ke Bandara, jadi meski sedikit panik, aku terus melihat ke sekeliling kami. Kami terus melaju melewati lapangan parkir, kemudian masuk melewati gerbang yang dijaga oleh 
beberapa orang.

Lha tempat heck in sama boarding pass-nya mana? Pikirku saat kami memasuki lapangan udara yang luas. Aku bahkan bisa melihat beberapa pesawat yang parkir di kejauhan.

“Ayo turun,” ajak Soni kalem saat mobil berhenti didekat sebuah pesawat yang ukurannya lebih kecil dari pesawat-pesawat lain yang aku lihat.

Aku mengikutinya dengan ragu.suhu tubuhku tiba-tiba saja menjadi kacau balau. Panas dingin tak jelas. Untuk sesaat lamanya aku hanya terpaku diam sembari memandang pesawat di depanku. Jangan pingsan! Jangan pingsan! Jangan pingsan!!

Aku terus menggumamkan kalimat tadi dalam hati, nyaris tak menyadari tangan Soni yang menyeretku untuk langsung naik ke pesawat.

Baru dalam pesawat aku mulai mengumpulkan kesadaranku yang seakan-akan tercecer. Aku mengedarkan pandanganku. Tak ada orang lain dalam pesawat ini. Hanya ada beberapa kursi dalam ruangan ini. Ruang duduk yang leluasa, nyaman dan pelayanan pramugari-pramugari cantik dan ramah luar biasa. Dan kesemuanya kulit putih. Bule! Tak ada satupun dari mereka yang berasal dari Asia.

“S-Son............ki-kita mau kemana?’ tanyaku, yang sudah kembali gugup, dengan nada pelan ketika pramugari yang membantuku tadi menghilang.

“Paris!” jawab Soni kalem.

Hening!

Aku pasti salah dengar, pikirku. Aku menatap Soni, sementara dia memandangku dengan tersenyum lebar. Matanya bersinar, begitu antusias menantikan reaksiku.

“A-ap......”

Surprise!!!!

“KAMU SINTING?!!!!!” bentakku keras begitu sadar kalau dia tidak sedang bercanda. Dia serius! Dan aku baru menyadari alasan kenapa kemarin dia mengambil passportku. Dia akan benar-benar membawaku ke Paris. Dan dia sudah menyewa jet pribadi ini!!! Dasar manusia sarap!!

“TJ..”

“Maaf. Aku harus pulang!” kataku cepat dan bangkit!

“Hei!!!” Soni mendahuluiku bangkit dari kursinya dan mendekatiku. Dia menahanku sehingga aku terpaksa duduk kembali di kursiku, “Aku kira kau ingin sekali pergi ke Paris?” tanyanya dengan kening sedikit berkerut.

“Tentu saja masih. Tapi sekarang? Tanpa persiapan? Uang?! Aku bahkan tak membawa jaket. Dan ini bulan Desember!!! Kamu pikir pergi ke Paris sama dengan jalan-jalan ke Ancol?” omelku dongkol.

“Hei.....! Aku yang akan mengurus semuanya. Jangan khawatir, ok? Kamu tenang saja!”

“Son..”

“Aku janji kamu nggak akan menyesal. Duduklah!”

“Tapi........” argumenu terputus karena ada pengumuman dari pilot untuk mengenakan sabuk pengaman. Pesawat akan berangkat, “NO!!”

“Telat!!” ujar Soni dan segera memakaikan sabuk pengamanku, lalu buru-buru kembali ke kursinya. Dan aku masih berontak untuk melepaskan sabukku ketika pesawat mulai bergerak. Panikku mulai muncul kembali. Tapi sia-sia. Tanpa Soni mengatakannya pun aku sudah tahu kalau aku terlambat.

Aku menatap Soni. Ya Tuhan! Dia serius! Dia akan membawaku ke Paris dengan pesawat ini! Matanya menunjukkan itu. Matanya yang kini memintaku untuk mempercayainya. Mencoba menenangkanku.

Aaaaaaaaahhhhh..................!!!

Sekali lagi aku kalah. Aku tak akan pernah menang kalau harus beradu pandang dengannya. Aku menghembuskan nafas kesal.

“Baiklah! Kita akan menggelandang di Paris!!” gerutuku padanya kesal, diantara deru suara mesin pesawat yang nyaring.

Soni tertawa, “Tidak akan!” jawabnya dengan cengiran.


Selama beberapa waktu berikutnya, bahkan ketika pesawat sudah terbang dengan tenang, aku hanya mampu diam dengan berbagai macam hal berkecamuk dalam benakku.

Paris!! Hanya Tuhan yang tahu betapa ingin aku pergi kesana. Menginjakkan kakiku di tanah yang tersohor dengan kota cinta itu. Dan sekarang, hari ini, dalam pesawat mewah ini, aku sedang menuju kesana. Ke Paris! Dan bersama Soni! Cowok yang selama beberapa bulan belakangan ini membuat perasaanku jungkir balik tak karuan. Semua terasa tak nyata. Seperti khayalan! Aku tak tahu harus merasakan apa saat ini. Senang? Kaget? Khawatir?

Entahlah!

Aku benar-benar tak tahu bagaimana menjabarkan perasaanku sekarang.

Paris!!

Kota yang terkenal dengan keromantisannya. Gedung-gedung dari zaman berbeda yang berkumpul jadi satu. Kota yang merupakan perpaduan antara gedung-gedung kuno dan modern. Kota yang mahsyur akan keromantisannya. Juga keromantisan orang-orangnya. Serta bahasanya. Aku selalu menyukai bahasa Perancis. Menurutju bahasanya indah dan juga sulit. Aku tak pernah memiliki kesulitan dalam mempelajari bahasa Inggris, tapi bahasa Perancis masih menjadi tantangan bagiku. Pokokny aku harus angkat tangan. Pelafalan huruf R dalam bahasa itu membuat lidahku keriting. Belum lagi kosa kata yang terkadang dibaca berbeda dengan tulisannya. Aku masih belum bisa paham bagaimana kata ‘moi’ yang artinya aku dalam bahasa Perancis, harus dibaca ‘moa’. Darimana pelafalan huruf ‘a’ itu berasal coba?

“Hei..! kamu nggak apa-apa?”

Teguran Soni yang diikuti oleh tangannya yang mengacak rambutku itu menyentakkanku dari lamunan.  Aku hanya mampu memandangnya sekilas, “Yeah....” sahutku singkat untuk kemudian menancapkan pandanganku pada layar kecil didepanku.

“Dari kita take off tadi kamu tak mengatakan apapun. Gugup? Ini penerbangan pertamamu?”

Aku tak perlu memikirka dalih untuk tingkahku sedari tadi. Dia sudah memberikan alasan yang bagus. Jadi aku menganggukkan kepalaku, “Sedikit,” jawabku pelan.

Diam sejenak. Lalu ku dengar dia menghela napas panjang, “Ya sudahlah. Nanti kita bisa langsung balik arah begitu kita transit,” putusnya.

“Apa? Balik? Kemana?” tanyaku sedikit kaget dan kontan berpaling melihatnya.

“Ke Indonesia. Berhubung kamu nggak suka, nanti kita bisa langsung balik lagi ke Indonesia begitu pesawat sudha mendarat dan isi bahan bakar.”

“JANGAN!!!” sergahku langsung. Alis kiri Soni terangkat dan pandangannya beralih pada tanganku yang sedikit mencengkeram lengan kanannya. Aku cepat-cepat melepas peganganku dengan sedikit tersipu.

“Jadi terus lanjut ke Paris nih?” tanya Soni lagi yang aku jawab dengan anggukan, “Terus kenapa dari tadi cemberut?”

“Siapa yang cemberut? Cuma sedikit gugup kok. Ini kan pertama kalinya aku naik pesawat. Lagipula wajar kan kalo aku 
kaget tiba-tiba diculik buat maen ke Eropah. Udah kayak jalan-jalan ke Ancol aja ngajaknya,” gerundengku pelan tanpa berani melihatnya.

“Beneran seneng? Gak ngambek?”

“Iya!! Bawel amat!” sahutku sedikit dongkol.

“Kalo gitu senyum dong! Tuh mulut dari tadi manyun mulu” pinta Soni dan menowel bahuku.

“Dih! Apaan coba?!”

Oh come on! Give me a smile!” goda Soni dan memainkan alisnya.

“OGAH!!!” sahutku keras kepala.

Come on! Say Pariiiss!!!!” goda Soni. Kali ini malah diikuti dengan gelitikan di pinggangku, membuatku sedikit terpekik dan belingsatan. Dan tanpa dapat kutahan, tawaku terdengar dengan memalukan. Untunglah hanya ada kami berdua disini. Jadi rasa maluku tidak perlu bertambah karena jadi perhatian penumpang lain.

Okay! Stop!!” sahutku kalah. Heran! Sejak kapan sih dia jadi ngocol gini? Aku lalu menarik bibirku dan mencoba memberikan seulas senyum padanya, “Puas?”

“Eeeuuuhh...........itu senyum atau kamu lagi sakit gigi?”

Dengan kesal aku menabok tangannya. Soni tertawa kecil dan menghindarinya, “Gitu dong. Pokoknya kita akan bersenang-senang di Paris. Aku janji kamu gak akan menyesal. Aku akan urus semuanya, ok?” kata Soni dan meraih kepalaku. Dan sebelum aku menyadari apa yang hendak dia lakukan, dia menarikku dan mencium kepalaku sekilas.
WHOOAAAAHH!!!!!

Apa itu tadi?!!!

Dadaku sontan berdebar tak karuan!!

Tenang TJ! Dia tak bermaksud apa-apa. Dia hanya seorang teman!

Aku berkemik dalam hati. Mencoba mengendalikan diri dan menunduk. Pura-pura membetulkan tali sepatuku untuk menyembunyikan wajahku yang mungkin sudah merah padam. Sementara Soni bangkit setelah mengacak-acak sedikit rambutku, kembali ke tempat duduknya.