Translate

Rabu, 20 Desember 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle BAB 28





BAB 28


Aku baru masuk sekolah tanggal 5, karena butuh 1 hari penuh bagiku untuk beristirahat. Bukan hanya karena capek. Tapi juga karena perubahan suhu yang drastis. Dan juga untuk menenangkan Bunda yang jadi agak-agak histeris. Pertama kali pulang ke rumah, di antar oleh Soni, Bunda sudah menunggu dengan wajah sedikit kesal dan tak percaya di depan pintu. Begitu aku mencium tangannya, tangan beliau yang satu malah dengan cepat menepuk bahuku dengan keras.

“Keterlaluan!! Kenapa gak pernah telepon? Ga tau Bunda khawatir apa, heh?!!” omel beliau memulai dengan wajah kaku antara marah dan khawatir.

“Sibuk, Bun.”

“Maaf Bunda. Soni yang salah.,” potong Soni cepat dan meraih tangan Bunda untuk menciumnya juga, membuat keningku berkerut karena Bunda tidak memukulnya sepertiku tadi, “Kami harus pergi ke beberapa tempat untuk menyelsaikan urusan Soni. Biasanya sudah capek banget pulangnya. Jadi gak kepikiran buat telepon.”

Bunda hanya mampu mendengus dan menggelengkan kepalanya, “Kalian ini gak tau bingungnya orang tua. Lalu itu semua apa?” tanya Bunda sembari menunjuk pada 4 buah koper besar yang kami bawa.

“Oleh-oleh buat Bunda, Wina dan yang lain,” sahutku cepat, “Kita udah beliin oleh-oleh bagus lho buat Bunda. Bunda pasti suka. Iya kan, Son?” kataku meminta dukungannya dan memberinya tanda dengan kerlingan mata .

“Iya, Bun!” jawab Soni yang tanggap.

Bunda merengut, “Memang kalian pikir, kalian bisa menyuap Bunda dengan oleh-oleh?” gerutu beliau sembari membnatu kami memasukkan koper ke dalam, “Kalian sudah makan?”

“Tadi...........”

“Belom Bun!” potongku cepat dan melirik Soni, memberinya isyarat lagi dengan kerlingan mata, “Kan kangen masakan Bunda. Jadi kita mau makan disini.”

“Ya sudah. Ini barang-barangnya ditaruh ke akmarmu saja dulu. Terus kalian amkan.”

Malam itu kami menceritakan pada Bunda karangan yang sudah kami persiapkan sebelumnya. Bahwa kami ke perkebunan Soni untuk mengurus beberapa masalah. Semua hal dan oleh-oleh yang bertuliskan kalau kami berada di Paris, sudah kami singkirkan sebelumnya.

Jujur aku merasa kalau beberapa hari yang kami lewatkan di Paris adalah mimpi. Bahkan saat aku mengantar Soni kembali ke mobilnya, pikiranku masih melayang.

“Aku benci kembali ke rumah,” gerutu Soni pelan saat kami tiba di dekat mobilnya, membuatku sedikit kaget.

“Heh? Apa? Kenapa?”

“Nggak ada kamu disana,” kata Soni dengan wajah kesalnya, hingga aku tak sanggup menahan senyumku.

“Aku juga merasa begitu kok,” kataku dan membukakan pintu mobil untuknya.

Soni menghela napas dan masuk, “Oh ya. Ada yang kelupaan,” kata Soni ketika dia hendak memasukkan kunci  kontak mobilnya. Dia memberiku isyarat untuk mendekat. Terheran, aku menunduk. Sedikit kaget karena tiba-tiba Soni menarik kerah leher bajuku dan memberiku sebuah ciuman cepat.

Aku segera melepaskan diri dan melihat ke sekeliling kami yang untungnya, sepi.

“Ada yang liat ntar,” bisikku.

Soni tersenyum jahil, “Who cares? Aku pulang,” katanya.

Aku mengangguk dan diam disana hingga mobilnya hilang.

********

 
Pagi harinya, Soni menjemputku dengan mobilnya untuk berangkat ke sekolah, karena kami harus membawa oleh-oleh untuk Wina dan yang lainnya. Jadi tak mungkin kalau kami bawa motor. Dan sesampainya di sekolah, kembali aku merasakannya. Atmosfir lama yang hampir kulupakan. Banyak mata yang memperhatikan kami. Memperhatikan Soni lebih tepatnya. Beberapa malah tak canggung-canggung untuk berbisik, kasak kusuk, dan menunjuk ke arah kami. Tapi seperti biasanya, Soni tak acuh. Aku hanya bisa meniru sikapnya.

“Aku ke kelas dulu ya? Ntar sepulang sekolah aja kita kasih oleh-olehnya ke Wina dan yang lainnya,” kataku pada Soni yang telah keluar dan menutup  pintu mobil. Soni memberiku senyumannya dan mengangguk. Aku yang jadi sedikit tak tahan dengan pandangan anak-anak yang lain, segera pergi menuju kelasku.

“REESSEEEEEEEEEEE!!!!!!!!!!!”

Teriakan keras Wina dan lainnya menyambutku saat aku kakiku baru saja masuk ke dalam kelas. Disusul timpukan berbagai macam benda asing, seperti kertas, pulpen, buku atau penghapus.

“WOOIII!!!! Terus gini dan GA ADA OLEH-OLEH BUAT KALIAAAAN!!!”teriakku kesal sembari menunduk untuk 
melindungi diri.

“MANAAA?!!!!” teriak Enny dan Emmy yang kemudian menyeretku ke bangku mereka.

“Denger oleh-oleh aja, langsung baik. Dasar penjilat!” gerutuku dongkol.

PLOKK!!!

Sebuah kotak kado melayang pas ke mukaku. Aku kembali misuh-misuh keras karena tak sempat menghindar. Mukaku langsung terasa panas. Tapi Wina yang sukses menimpukku berkacak pinggang dengan wajah marah.

“Ngelayap kemana aja lu, kunyuk?!! Hape gak aktif. Ga ada sms. Apalagi telpon. Kita bahkan gak bisa ngucapin met taun baru. Makan tuh kado ultah lo!!” semburnya kayak emak-emak kena ayan.

Aku nyengir mendengarnya, “Sorry, Win. Tapi kemaren gue bener-bener gak ada waktu. Kita berdua sibuk banget.”

“Lagak lo! Sekarang mana oleh-oleh buat gue?” todongnya sadis dengan tangan menadah.

“Ada di mobil Soni. Ntar aja kita pulang bareng. Biar sekalian dianter ma Soni, ok?”

“Beneran?!!” serobot Rika, Emmy dan Enny hampir berbarengan.

“Di mobil kak Soni?” tanya Wina yang aku jawab dengan anggukan.

“Iya. Thanks ya kadonya, Win. Eh, kalian mana kadonya?!” tagihku pada Rika dan yang lainnya. Tanpa bersuara, masing-masing dari mereka melemparkan kadonya ke mukaku, membuatku kembali misuh-misuh karen kesakitan.

Wina dan yang lainnya cuma cekikikan seneng.

“Dari kemaren kita emang berencana buat nimpukin ke lo,” cengir Wina, membuatku menggerutu. Namun ucapan Wina disambut hangat oleh yang lain. Malah dengan semangatnya mereka nodong untuk ditraktir makan. Karuan saja aku mencak-mencak. Sayangnya, sebelum aku sempat memberikan argumen, bel masuk berdering.

Sebenarnya aku berharap kalau Wina dan yang lain melupakan tuntutan mereka setelah 2 jam pelajaran Matematika dan Kimia yang membosankan. Tapi harapanku tak terkabul. Karena begitu bel istirahat berbunyi, dengan semangat Rika menabok punggungku dari belakang.

“Gue mau KFC, pizza ma salad buah,” cuapnya asal.

“Gue sushi dong! Pasta atau spaghetti juga boleh,” sambung Enny.

“Gue ayam kalasan aja ya?” timpal Emmy.

“Kalian pikir gue restoran apa?” sungutku sembari mengelus punggungku yang kena tabok Rika tadi, “Lagian kalian kan udah gue beliin oleh-oleh. Masa kurang?”

“Itu kan beda urusan, Nek!” serobot Wina, “Oleh-oleh itu kan lo beliin sebagai souvenir jalan-jalan lo. Sementara traktiran kan buat ultah lo. Gak bisa dijadiin satu dong!”

Aku mendecak sinis dengan argumen Wina, “Lo bakat jadi lintah darat Win,” cibirku dongkol.

“TJ!”

Panggilan itu terdengar dari pintu kelas. Soni melambai ke arahku tanpa memperdulikan godaan beberapa teman cewek sekelasku yang tiba-tiba saja jadi kecentilan. Aku segera bangkit meski batinku menggerutu. Sepertinya aku harus belajar nguatin batin nih, pikirku kecut.

“DAN JUGA KARENA ITUU!!!” teriak Wina kenceng saat aku mencapai pintu. Aku kembali menggerutu karenanya.  
Coba aja dia tahu gue udah jadian ma Soni. Bisa digantung gue, ringisku dalam hati.

“Kenapa?” tanya Soni yang heran dengan kelakuan Wina dan yang lainnya.

“Mereka  nodong minta traktiran ultah karena kemaren aku gak ada di rumah,” jelasku nyengir.

“Ya udah. Ntar kita bawa aja mereka makan.”

“Hah?!” aku jadi sedikit bengong dengan sahutan entengnya, “Nggak usah deh. Ngapain coba. Kita udah bawain oleh-oleh dari Paris sebanyak itu. Biarin aja.”

“Lho? Kenapa? Kan hitung-hitung ngerayain ulang tahunmu.”

“Gak usah di bahas. Biarin aja mereka nyap-nyap,” sahutku cepat dan mengibaskan tangan, “Ada apa?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatiannya.

“Kangen...”

Aku sontan gelagapan dan hanya bisa menelan ludah, jengah dengan jawaban jujurnya. Meski senang, aku hanya mampu menunduk dan menggerutu tak jelas.

“Gak boleh?” goda Soni dengan senyum gelinya melihatku.

“Baru juga beberapa jam,” gerundengku, masih belum mampu beradu pandang dengannya.

“Emang kamu nggak kangen ya?”

“Udah deeeehh. Kan malu...” gerundengku tak tahan.

Soni tertawa kecil melihatku yang makin belingsatan, “Cuma mau kasih tahu, kalau rekaman video kita kemaren sudah aku transfer ke dalam dvd. Tapi aku lupa bawa. Ntar aja ambil di rumah. Sekalian ama foto-fotonya kalau mau cetak.”

“Sip!” sahutku semangat.

“Kita ke kantin,” ajak Soni dan menarikku untuk mengikutinya.



Seperti yang aku duga, Wina dan yang lain langsung histeris dengan oleh-oleh yang kubawa. Mobil Soni langsung berisik dengan pekikan girang mereka.

“Keren bangeeett!!! T-shirt-nya kece!! Beli dimana siikk?!!” seru Rika.

“Oke banget neeekk!! Makasih!” timpal Enny.

“Eh tapi lo masih tetep kudu traktir kita lho TJ!” serobot Wina meski matanya berbinar dengan oleh-oleh bagiannya yang dia pegang.

“Maruk amat sik?! Masih aja kurang?” umpatku dongkol.

“Tenang aja. Kalian mau ditraktir apa?” timpal Soni sembari melirik dari kaca spion. Aku yang duduk disebelahnya langsung nyureng dan menggeram marah.

“Aku bilang gak perlu!!” protesku padanya.

Karuan saja Wina dan yang lain protes berat dan ngomel hampir berbarengan. Soni mengangkat tangannya untuk menenangkan trio bebek itu.

“Sekarang putusin mau makan dimana?” tanya Soni.

“Eh, gimana kalo kita nonton dulu, terus makan-makan di KFC?!” usul Wina.

“Boleh juga tuh,” sahut Enny cepat.

“Hei!! Kalian tadi cuma minta makan doang kan?” potongku.

“Iya, gue setuju! Kita nonton terus makan-makan di KFC aja. Tapi jangan sekarang. Ntar malem aja!” sahut Rika seolah-olah tak mendengar protesku.

“Kok malem Ka?” tanya Emmy heran. Rika cuma nyengir dan membisikkan sesuatu pada Emmy yang kemudian diteruskan ke yang lainnya. Minus aku tentu saja.

“Sip deh!! Jadi Kak Soni! Kita nonton terus makan di KFC aja ya?” ujar Enny dengan mata berbinar. Sepertinya mereka berempat telah sepakat akan satu hal.

“Tunggu!” potongku, “Kalian ngerencanain apa tadi?” tanyaku dengan pandangan penuh selidik.

“Mo tau aja deh. Lo diem aja dulu ih!” serobot Rika.

“Ya udah. Ntar malem kita pergi. Jam 7 ya?” putus Soni.


Grup bebek yang ada dibelakang langsung bersorak kegirangan. Aku hanya mampu mneggeram kesal. Dan aku tetap konsisten dengan manyunku sampai kami menurunkan penumpang terakhir kami, Wina. Soni Cuma nyengir.

“Kenapa sih?” godanya.

“Aku kan udah bilang gak perlu,” gerutuku, “Aku nggak............” kalimatku terpotong oleh suara sms yang masuk ke ponsel lamaku. Mataku kembali nyureng membaca sms Rika yang intinya adalah, mereka sengaja minta acaranya ntar malem supaya mereka bisa dandan abis. Mereka udah janjian buat ke salon bareng ntar sore. Siapa tahu Soni naksir salah satu dari mereka.

“Sarap!” gerundengku dongkol.

“Sekarang kenapa lagi?”

“Kamu tahu kenapa mereka minta acaranya ntar malem aja? Mereka mau dandan heboh untuk memikatmu.”

Soni tergelak kecil, “Kalo gitu bagus kan? Mungkin kita juga harus dandan heboh juga.”

“Justru itu yang gak aku suka,” gerutuku, membuat sbelah alis Soni terangkat, “Mereka pasti akan makin heboh kalo kamu gitu. Emang suka ngeliat mereka histeris?”

“Kenapa? Cemburu?” goda Soni lagi. Aku diam tak menjawab. Hanya saja mulutku makin maju, manyun, “Baiklah. Terus kamu mau aku gimana?”

“Justru itulah masalahnya. Kamu tetap akan keliatan bagus pake apa aja. Dan aku ragu koleksi busanamu ada dalam kategori yang biasa. Kenapa kamu gak punya jeans robek-robek aja sik? Yang belel gitu. Ama t-shirt butut gitu sebiji,” gerutuku.

Soni tertawa dan mengacak-acak rambutku dengan sayang, “Gak usah jealous lah. You know I love you,” katanya lembut.
Aku hanya tersenyum dan kembali tertunduk malu karenanya.


*************

Malamnya aku sedikit kaget karena yang muncul di rumahku justru Pak Surya.

“Maaf, Mas. Den Soni minta saya mengantar Mas TJ. Dan meminta saya menyerahkan ini.”

Pak Surya mengangsurkan sebuah amplop padaku. Aku menerimanya dengan tatapan tanya.

“Den Soni minta mas pegang.”

Aku yang masih setengah bengong menerima amplop itu dalam diam, jadi makin tak mengerti. Ponselku berbunyi sebelum aku membukanya.

“Soni,” gumamku dan mengangkatnya, “Ya Son?”

“Sorry, aku mungkin gak bisa ikut nonton bareng kalian. Tapi nanti aku bakal nyusul ke KFC langsung. I have something to do.”

“Ya udah, gak papa. Beneran nanti bisa nyusul ke KFC?”

“Iya. Kalian ntar nonton di XXX Mall kan? KFC ada di lantai 1 kan? Terus yang ada di amplop itu kamu pake ya?”

“Emang isinya ap..” kalimatku terpotong saat kulihat isi amplop itu adalah lembaran-lembaran uang yang jumlahnya jelas lebih dari 1 juta, “SON!”
 
saluran telah diputuskan. Aku menggerutu pelan tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Kita berangkat, pak!” kataku pada Pak Surya, lalu berpamitan pada Bunda.

Waktu aku kasih tahu situasinya, Wina dan yang lain jadi sedikit kecewa. Apalagi Emmy, Enny dan Rika yang sudha dandan heboh kayak orang mau ngelnong. Mereka udah bela-belain ke salon tadi. Wajah di dempul abis. Rambut mereka ditata dengan dramatis. Baju gaul, dan sepatu sudah high heels. Hanya aku dan Wina yang menggunakan celana jeans dan t-shirt. Aku hanya mampu menggelengkan kepalaku. Tapi mereka langsung semangat  lagi saat aku bilang kalau Soni akan menyusul ke KFC. Apalagi saat tahu kalau dia mengirim sopirnya untuk mengantar kami.

Kami nonton film animasi terbaru keluaran Pixar. Selesai nonton, Wina langsung menyeretku ke KFC. Tapi Rikan dan yang lain pamit untuk ke toilet dulu. Mereka hendak merapikan make up mereka. Hampir 2o menit penuh mereka di dalam. Aku dan Wina yang menunggu di depan KFC jelas jadi uring-uringan dengan ulah mereka yang kecentilan.

“RESEE!!” semburku kesal ketika mereka muncul dengan langkah melambai tenang, “Kalian lupa kalo kalian udah punya pacar semua? Ganjen banget deh.”

“Eh, kalo emang ada prospek yang lebih bagus, kenapa harus ditolak? Iya nggak?” kilah Emmy.

“Sial banget si Dono dapet pacar kek elu,” gerundengku.

“DONI, kunyuk!!!” bnatah Emmy dan menepuk bahuku keras.

Wina ngakak dan segera menyeret kami msuk, “Nah sekarang, lo mau traktir kita apaan nih? Jangan sampe duit lo gak cukup en kita kudu ninggalin lo disini buat jaminan,” katanya dan nyengir licik.

Aku mendengus mendengarnya, “Kalian boleh makan apa aja sampe perut kalian meledak. Puas-puasin deh ka...”

Aku belum menyelesaikan kalimatku, tapi Wina dan yang lain langsung teriak kegirangan dan menyerbu counter kosong, memesan berbagai macam makanan. Aku hanya kembali merutuk dengan tingkah mereka.


“Jarang-jarangan lho kita bisa ada kesemparan ngebajak elo kayak gini,” ujar Rika kalem dan melahap makanan di bakinya yang penuh sesak.

“Iya nih,” timpal Enny dan menyedot pepsi ukuran XL-nya, “Tumben-tumbenan lo kaya nek.”

“Atau lo sekarang miara tuyul ya? Muja?’ sambung Emmy antusias.

“Ngepet kali!” imbuh Wina.

“Atau...................jangan-jangan sekarang lo jadi simpenan Oom-Oom kaya ya?” serobot Rika asal cuap.

Aku mendecak keras, “Dasar cewek-cewek sableng!” makiku sengit, “Otak kalian pada error semua. Kalian gak bisa mikir lurus apa?!!”

Wina tergelak, “Tapi beneran deh. Kemaren lo udah kasih kita banyak oleh-oleh. Lalu sekarang lo bisa traktir kita kayak gini. Gak biasa banget kan?”

“Gue...............”

Kalimatku terpotong saat Rika mengeluarkan suara tersedak keras. Lalu sembari mengusap bibirnya dengan tissue, dia memberi isyarat heboh pada kami untuk menoleh ke pintu masuk.

Disana, Soni tersenyum ke arah kami dan melambaikan tangannya sekilas. Aku, Wina dan yang lain ternganga melihatnya. Dia memakai kaos dalam singlet warna hitam tanpa lengan yang mencetak sempurna tubuhnya. Dari lekukan dada bidangnya, perut hingga pinggang. Dia mebalutnya dengan kemeja yang tak dikancingkan. Di padu dengan celana jeans belel robek-robek serta sepatu kets. Ada sebuah antai di pinggangnya, yang kurasa berhubungan dengan dompet yang ada di sakunya.

Meski penampilannya ala bad boy begitu, tetap saja dia terlihat bergaya dan berbeda. Penampilannya lebih terlihat sebagai model yang memperagakan gaya street wear. Aku curiga celana jeans yang dia pake bukan merk sembarangan. Karena meski robek-robek, celana itu terlalu bergaya dan pas membungkus kakinya. Out fit-nya menyatu dengan rambutnya yang kali ini tidak terminyaki rapi. Dia membiarkannya sedikit acak.

Bahkan saat seperti ini, dia masih menjadi magnet, pikirku saat menyadari banyaknya mata yang berpaling ke arahnya. Bahkan mereka yang menjaga counter terpana dan berhenti sejenak.

“Sorry telat. Tadi aku ada urusan,” kata Soni seolah-olah dia tidak membuat lingkungan di sekitarnya berhenti dari aktifitasnya. Dia duduk di sebelahku, “Udah makannya?” tanya Soni lagi.

Aku menoleh pada Wina dan yang lain. Hebatnya, mereka masih diam dengan pose cengo bego. Aku berdehem keras, membuat mereka tersadar dan langsung nyengir. Sedikit salah tingkah, meski mata mereka masih menelusuri Soni.

“Be-belum Kak,” jawab Rika grogi.

“Kamu gak pesen?” tanyaku tanpa melihatnya. Aku lebih memilih konsen dengan makananku, sementara kakiku yang di bawah meja, menendang kaki Wina dan yang lain, supaya mereka sadar dan lebih fokus. Tidak bengong terus melihat Soni.

“Bareng aja,” jawab Soni dan mencomot french ries dari bakiku.

Aku hanya menggerutu sambil melirik ke sekeliling kami. Mereka semua masih melihatnyam pikirku kesal.

“Kenapa?” tanya Soni. Mungkin dia mendengar gerutuanku.

“Nggak papa,” sahutku singkat dan sedikit ketus, lalu kembali menendang Wina didepanku yang kulihat kembali bengong dengan mulut nganga, menatap Soni. Wina mengerang pelan dan melotot padaku, membuat Soni makin heran.

“Kok gitu?”

“Mau bikin sensasi baru?” sindirku akhirnya, tak tahan untuk nyolot, “Kenapa gak lepas kemejanya sekalian? Nanggung.”

“Oh ya?” komen Soni santai. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia membuka kemejanya dan mengikatkannya dengan tak acuh ke pinggangnya.

Ku dengar Wina dan yang lain menahan napas keras, terkesiap. Aku sendiri hanya mampu menggigit lidah untuk menahan diri yang hampir mengeluarkan umpatan pelan. Soni Cuma tersenyum, melirikku geli. Tak pedulli kalau tindakannya tadi justru membuatnya jadi makin diperhatikan dengan orang-orang disini. Sekarang mereka jadi lebih jelas melihat bentuk tubuhnya dibalik kaos singletnya yang ngepas ditubuhnya. Dadanya yang penuh dengan sedikit bulunya yang menyembul di bagian atas singletnya. Lengannya yang putih berbulu dengan otot-otot bicep gagahnya yang menggoda. Dia benar-benar definisi iblis yang menyuguhkan kenikmatan dunia dan pada akhirnya menyeret manusia ke neraka. Dan aku adalah salah satu korbannya.

“WOII!! Cepetan makannya!” bentakku pada Wina dan yang lainnya, yang lagi-lagi bengong hebat. Mereka hanya kembali nyengir dan melanjutkan makannya sambil seekali masih melirik Soni.

“Nonton apa tadi?” tanya Soni, masih dengan kecuekannya.

“Film animasi, Kak. Bagus lho. Sayang, kakak gak bisa ikut,” sahut Enny, sedikit terlalu bersemangat.

Soni tersenyum tipis menanggapinya dan melirikku. Aku yang sadar dengan lirikannya, cuek dan masih konsisten cemberut. Malas untuk menanggapi, karena yakin kalau aku membuka mulut, yang ada hanya omelan keluarnya.

“Oh ya, Wina. Bisa ikut aku sebentar?” pinta Soni mendadak.

Bukan hanya Rika, Enny dan Emmy serta aku saja yang terlengak kaget. Wina sendiri bengong hebat dan melihat ke arah Soni yang bangkit dari duduknya, dengan tatapan bego.

“S-sa-saya Kak?” tanya dia gugup.

“Iya. Ayo! Sebentar kok,” tegas Soni dan melangkah mendahuluinya. Wina cuma menatapku dan yang lain dengan bego, lalu bangkit mengikuti Soni setelah mengangkat bahu pasrah. Aku jadi makin uring-uringan tak jelas.

Mau ngapain lagi sih tuh orang? Pikirku dalam hati, mangkel. Sepanjang sejarah pengetahuanku dengan Soni, aku gak pernah liat dia bicara berdua saja dnegan seorang cewek. Apalagi ini dia yang ngajak duluan. There must be something wrong, pikirku lagi dan memperhatikan mereka yang ngobrol di luar. Sesekali mereka melihat ke arah kami. Terakhir kulihat, dia membisikkan sesuatu di telinga Wina.

Sesaat kemudian mereka kembali. Ekspresi Soni masih datar dan cuek seperti biasa. Sementara Wina tampak nyengir senang. Begitu dia duduk, Emmy dan yang lain langsung aja mencolek karena ingin tahu. Tapi Wina hanya tersenyum tanpa menjawabnya. Aku sendiri lebih memilih untuk melirik Soni dengan sengit.

What?” tanya Soni dengan wajah tanpa dosa, lalu kembali mencomot french fries punyaku. Aku tak menjawab, hanya 
kebali menggerutu. Jelas sekali kalau dia tak akan mengatakn apapun meski aku memaksanya. Sial!

“Kalian udah kelar? Kita balik!” ajakku kemudian pada yang lain.

“Eh, ntar dong. Gue belom kelar!” sergah Rika.

“Iya nih. Makanannya juga masih banyak ini!” tukas Wina.

Aku ganti melotot sengit padanya. Tapi Wina Cuma nyengir dan melanjutkan makannya dengan tenang. Aku yang sudah tidak berselera akhirnya memilih untuk mendengarkan koleksi mp3ku dan tidak mengacuhkan mereka, termasuk Soni. Begitu mereka selesai, aku segera bangkit mendahului .

Sesampainya di lapangan parkir aku tak mendapati Pak Surya dan mobilnya. Tapi malah mendapati peugeot yang biasa di pakai Soni.

“Aku sudah menyuruh Pak Surya pulang tadi,” jelas Soni yang muncul dibelakangku dan langsung mematikan alarm mobil denga remote-nya. Dia membuka pintu depan untukku. Tanpa berkata apapun, aku masuk. Soni hanya tersenyum dan mengikutiku. Aku berniat untuk tidak mengacuhkannya hingga nanti aku merasa baikan. Untuk sekarang, aku tak ada niatan untuk baik padanya. Aku lalu duduk bersandar sembari memejamkan mata. Mendengarkan sebuah lagu dari Craig David dari ponselku.

Sesaat kemudian, aku dibuat sedikit kaget saat Soni menarik lepas earphone-ku pelan, “Manyun amat. Kenapa sik?” 
tanyanya heran.

Aku hanya mendengus dan mencoba merebut earphone-ku yang dia pegang. Tapi Soni menahannya, “Nggak ada apa-apa!” sergahku dan akhirnya memilih untuk mematikan mp3 playerku. Tahu kalau percuma melawannya.

“Masa? Dengan muka gitu?” tanya Soni lagi.  

“Wina lelet banget siik?!!” gerundengku tanpa menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian aku mendengar tawa Wina dan yang lain. Mereka baru muncul dari arah lift, “WOOOII!!! CEPETAANN!!”

“IYAAA!!” sahut mereka dan berlari menekat.

“Lama banget sik?!!” gerutuku dan membuang muka ke depan tanpa menoleh lagi pada mereka yang masuk ke bagian belakang mobil.

“Soalnya kita mau kasih ini ke lo!” ujar Wina yang kemudian menepuk bahuku. Saat aku menoleh, dia sedang memegang sebuah kue tart dengan beberapa lilin yang menyala. Wajahnya dan yang lain terlihat girang karena berhasil mengerjaiku.

SURPRISE!!!” seru mereka kompak dan ngikik.

“Met ultah ya? Lo udah resmi 17 taon sekarang. Udah boleh liat bokep!” lanjut Wina nyengir.

“Udah tua ya?! Rasain! Suruh siapa ultah di awal taon,” imbuh Enny

Aku bengong, terlalu kaget untuk bereaksi. Bahkan untuk membalas ledekan mereka. Dengan cepat aku berpaling pada Soni yang tertawa kecil di sebelahku.

“Ulang tahun belum lengkap tanpa kue tart dan lilin kan?” selorohnya, “And by the way, kalau kamu manyun? Priceless! Seharusya tadi aku mengambil foto!”

Aku menggeram dan memukul bahunya keras. Sadar kalau sedang dikerjai sedari tadi, “RESE!!” umpatku kesal membuat Soni dan yang lain tertawa.

“Ayo TJ, tiup lilinnya!” kata Rika.

Make a wish!” potong Soni.

Aku memejamkan mata dan memanjatkan doa pada Tuhan agar kebahagiaan ini bisa terus aku rasakan, kemudian ku tipu lilinya. Wina dan yang lain bersorak.

“Ayo potong kuenya! Gue mau yang ada cherry-nya ya?” pinta Emmy bersemangat.

“Gila!! Emang perut lo masih nampung, Em?” tanyaku kaget.

“Penuh sih. Tapi kan lumayan buat besok. Emang kenapa? Lo mau ngabisin kuenya sendiri? Enak aja!” serobotnya, membuat kami tergelak.




Soni menghentikan mobilnya di depan gang yang menuju rumahku. Aku tidak langsung turun, tapi menoleh padanya dengan senyuman senang.

“Thanks! Kamu sudah memberiku banyak sekali,” kataku pelan.

Soni membalas senyumanku, “Anything for you,” katanya dan mematikan mesin mobil, sehingga kami tenggelam dalam kegelapan. Dia mengulurkan tangannya dan menarik wajahku. Untungnya jalanan sepi dan malam sudah larut, jadi tak ada yang melihat kami.

Aku mendesah, melepas napas yang tertahan saat Soni melepas ciumannya. Aku mungkin tak akan pernah bisa menenangkan jantungku yang mneggelepar hebat tiap kali dia menciumku, pikirku.

“Mau ikut ke rumah?” tawarnya kemudian pelan, membuatku yang mendengarnya tertawa kecil.

Not tonight. Aku mau tidur. Cape.”

Soni menghela naps, “Sudah beberapa hari ini aku tidur sendiri. I hate it!” grutunya.a

Aku hanya mampu kembali tertawa kecil dan menunduk jengah, “Yeah...... I do too,” sahutku jujur, karena memang itu yang kurasakan. Aku membuka pintu mobil untuk turun, namun urung karena teringat sesuatu, “Son...?”

“Apa?” tanya Soni yang melihatku dengan hern.

“Jangan pernah pake out fit seperti ini lagi! Promise me! Aku tak suka orang-orang ngeliatin kamu terus!” pintaku dengan wajah serius.

Soni tersenyum geli, “It was your idea. But.......ok,” katanya dan mengangguk.

Aku tersenyum membalasnya dan turun dari mobil, “Good nigt!” kataku dan tetap berdiri di sana. Melihatnya pergi, hingga akhirnya mobilnya menghilang di tikungan. Sesaat kemudian, saat hendak melangkah untuk pulang, ponselku berbunyi. Nomor Soni? Pikirku heran ketika melihat screen ponselku.

“Iya Son. Ada yang ketinggalan?” tanyaku.

“Ada satu yang kelupaan,” jawab Soni dari seberang, “Aku lupa bilang...I love you.”

Aku tertawa mendengarnya, “Love you too,” balasku dengan perasaan ringan dan berbunga. Saat Soni menutup telepon, hanya satu hal yang melintas di benakku.


Semuanya akan berbeda dari sekarang, batinku bahagia.


 

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle Bab 27




BAB 27


Kami benar-benar berusaha dan memanfaatkan hari-hari terakhir kami di Paris dengan sebaik-baiknya. Soni memenuhi janjinya untuk membawaku ke tempat-tempat yang belum kami kunjungi sebelumnya. Disneyland salah satunya. Disana kami berfoto bersama dengan para karakter Disney yang terkenal, seperti Mickey, Minnie, Donald, Chip and Dale, Beauty and The Beast juga Ariel, The Little Mermaid. Kami juga sempat melihat parade karakter Disney dan mencoba berbagai permainan seru, seperti Jet Coaster (Sumpah ngeri banget ama yang satu ini! Aku teriak kenceng dan mencengkeram lengan Soni begitu kerasnya hingga menibulkan handprint  di lengan putihnya!), Tornado, Komidi Putar (yang ditertawakan oleh Soni!) dan lain-lainnya.

Soni juga membawaku ikut Tour di Seine Cruise River, dan kali ini dalam keadaan sadar dan terang benderang. Tur yang pertama tidak begitu ku ingat karena mabuk. Jadi dia menebusnya kali ini dengan membawaku dalam keadaan sadar. 

Sial!!

Saat hampir  melewati jembatan Alexander III, Soni mengatakan orang-orang percaya kalau kita berdoa di bawahnya, doa kita akan terkabul. Jadi jelas saja, saja aku cepat-cepat memejamkan mata begitu kami lewat dibawahnya.
Aku hanya menjulurkan lidah saat Soni bertanya doa apa yang aku panjatkan. Dia sendiri membalasnya dengan melakukan yang sama saat aku bertanya apa yang dia doakan.

Kami juga mengunjungi  Notredame yang megah dan menawan. Membeli beberapa oleh-oleh untuk Wina and the gank. Taruhan, mereka pasti suka dengan berbagai souvenir yang kami beli. T-shirt gaul, hiasan-hiasan kecil dan juga beberapa pernak-pernik khas cewek yang lucu. Dan bisa aku jamin mereka tidak akan menemukannya di Indonesia. Made in France! Selesai mendapatkan oleh-oleh untuk mereka, Soni mangajakku masu ke sebuah toko jam tangan besar.

Sepertinya toko ini bukan toko sembarangan, pikirku. Selain tempatnya yang mewah, barang-barang yang di display juga jelas bukan barang murahan atau palsu. Ada satu rak khusus yang menarik perhatianku karena dislay-nya yang begitu mewah dan catchy. Rak display berlapis plexy glass dengan tulisan Rolex. Salah satu merk jam tangan terkenal yang aku tahu harganya selangit.

Aku tak bisa menahan decakan kagumku melihat beberapa produk yang diapajng. Ada sebuah jam tangan silver yang tertangkap mataku. Jam tangan berbentuk persegi dengan bingkai berhias batu permata putih. Tampak begitu mewah dan berkelas, namun toh masih mewakili energi muda yang sporty dan casual.

Ugh!! Pengeeeennnn!! Batinku ngiler. Aku tahu harganya gila-gilaan. Mau minta sampe mampus juga Bunda gak bakalan mungkin beliin aku jam tangan beginian. Coba ada yang kasih begituan tanggal 2 ntar, batinku lagi.

Wina pernah mengolok-olokku karena tanggal ulang tahunku yang jatuh sehari setelah tahun baru. Dia bilang aku anak telat sehari. Kalau saja ultahku jatuh tanggal 1, orang-orang sedunia pasti ikutan merayakan. Kira-kira apa reaksi Wina ya kalo gue minta hadiah ultah jam tangan Rolex gini? Pikirku geli. Yang pasti dia bakal nyap-nyap. Aku masih ingat waktu Wina ultah kemarin. Aku ngasih dia sandal jepit warna pink yang harganya cuma 10 ribu.

Meski menerima dengan senyum, Wina nyindir halus, “Kenapa lo gak beliin gue jepit rambut pink juga jeung? Ada tuh yang harganya cuma lima rebu. Kan bisa matching,” katanya waktu itu.

Aku sih cuma nyengir membalasnya dan dengan jujur mengatakan kalau waktu itu aku lagi krisis. Wina tahu dan mengerti.

Aku asyik ngelamun tanpa melepas pandanganku dari display jam Rolex sampai akhirnya Soni memanggil dan melangkah mendekatiku.

“Sampai segitunya liat jam. Gak denger berapa kali aku manggil?” gerutunya sedikit sewot.

“Eh? Apa?!” tanyaku, tak mengerti maksudnya.

“Jadi bener-bener gak denger pertanyaanku tadi?”

Aku yengir, “Maap. Tadi aku ngelamun. Inget pas ulang tahun kemaren.”

“Kamu dapat hadiah Rolex?” tanya Soni dengan alis terangkat, “Dari siapa?”

Aku tertawa mendengarnya, “Engga. Bukan kok. Siapa juga yang kasih jam tangan Rolex. Ngibul ah. Cuma inget 
kejadian lucu. Ada apa tadi manggil?”

“Menurutmu jam tangan ini gimana?” tanay Soni akhirnya setelah mendengus keras karena jawabanku tadi. Dia mengangsurkan sebuah jam tangan wanita berwarna gold yang tampak mewah.

“Bagus kok dan........” aku melotot membaca harga yang tertera pada price tag-nya.kalo dirupiahkan bisa delapan digit angka tuh, “Gila!! Mahal bener, Son. Merk...............Cartier,” bacaku pada merk yang tergrafir dan maklum dengan harga yang aku lihat tadi.

“Pertanyaannya, oke nggak nih? Aku tak begitu paham  selera wanita.”

“Bagus kok. Buat siapa sih? Chantal?” tanyaku.

Soni tergelak, “Chantal sudah aku belikan. Dia sudah dengan spesifik meminta merk dan seri tertentu. Dan jam tangannya sudah berada ditangannya kemarin. Trust me, that girl sudah akan memberiku list hadiah yang dia inginkan satu bulan  sebelum dia menginginkannya. Ini buat Bunda,” jawab Soni dengan santai dan berlalu. Aku yang kembali dibuatnya kaget segera memburunya.

“Hei, tunggu! Kamu mau beli itu buat Bunda?”

“Iya. Memangnya kenapa? Siapa tahu kan ibu mertua bisa langsung merestui kita dengan sogokan ini,” ujarnya.

Untuk sejenak aku kembali bengong. Apalagi mendengar sebutan Ibu mertua yang dia pakai tadi.

“Rese!! Bukannya gitu!”sergahku cepat dengan wajah  merona parah karena luar biasa jengah, “Bunda bukan orang yang mudah menerima pemberian orang. Apalagi benda semahal itu. Itu emas kan?”

“Memang. Dan karena itu kamu harus membantuku meyakinkan Bunda untuk menerima hadiah ini,” kata Soni dan mengerling padaku, “ Aku ingin mengambil hati Ibu Mertuaku. I’ll take this,” kata Soni pada pelayan toko.

“Son............”

“Pokoknya kamu harus bantu aku. Kamu ke mobil dulu gih. Bantuin aku buka bagasi. Biar barang-barangnya aku yang bawa,” kata Soni dan mengangsurkan kunci mobil padaku. Aku hanya mampu menggerutu saat Soni mendorongku pergi. 

Aku yang tak mampu protes akhirnya cuma menurut dan menunggu Soni di samping mobil dengan bagasi yang ku buka. Sepuluh menit kemudian dia muncul dengan menenteng beberapa bungkusan. Dia bahkan menolak membicarakan soal protesku di mobil dan mengalihkan pembicaraan pada hal lain.

Setelah istirahat di hotel, malamnya kami merayakan tahun baru, tak jauh dari menara Eiffel.  Berbaur dengan ratusan orang yang ikut menikmati malam pergantian tahun di Paris. Ada pesta kembang api dan juga pentas musik yang di gelar. Menara Eiffel juga terlihat lebih semarak dengan hiasan lampu-lampunya. Tahun baru ini benar-benar yang terbaik sepanjang ingatanku, batinku saat kami berdiri menikmati indahnya warna-warna kembang api yang meledak di angkasa pada jam 12 tepat.

Luapan rasa di dadaku nyaris tak tertahankan. Aku menatap Soni yang berdiri diam disampingku. Dia tersenyum sambil memandang ke atas. Dia.................Soni ku. Yang selama ini hanya bisa aku lihat dari jauh. Dia sekarang disini. Bersamaku. Dan dia............milikku.

Soni yang akhirnya sadar kalau aku perhatikan, berpaling padaku dan tersenyum.

“Apa?” tanya dia pelan dengan tatapan bertanya meski ada senyum di bibirnya.

 Aku maju tanpa menjawabnya, berjinjit dan kemudian mencium pipinya.

Happy new year!” bisikku pelan di tengah keriuhan.

Soni hanya tertawa dan melingkarkan lengannya di bahuku, “Happy New Year to you too. Are you happy now?” tanya dia senang.

Aku mengangguk, “Tentu saja. ngomong-ngomong, jam berapa besok kita pulang?” tanyaku.

“Jam sepuluh pagi.”

“Ooh....” sahutku singkat, berusaha menyembunyikan kekecewaanku.

“Tanggal 3,” sambung Soni lagi. Mulanya aku mengira kalau aku salah dengar. Aku hanya menatapnya, tak percaya, 

“Kau sudah memberiku ciuman tahun baru. Untuk itu, aku akan memberimu 2 hari ekstra di Paris. Well, satu hari ekstra. Karena  sekarnag sudah tanggal 1.”

Aku mengerang kesal dengan keisengannya meski aku tak mampu menyembunyikan cengiran senangku. Soni kembali tertawa melihat reaksiku.

Let’s get something to eat.” Ajaknya dan menggandengku pergi.

***

 
Meski malam tahun baru telah berakhir, namun kami masih bisa merasakan sisa-sisanya di atmosfir Paris. Kami masih sering berpapasan dengan turis dari berbagai negara. Soni bahkan sempat mengajakku melihat sebuah pertunjukan opera dalam bahasa Itali yang sama sekali tak ku mengerti, selain kemampuan mengagumkan para aktornya dalam bernyanyi, aku tak bisa berkomentar lain. Saat aku mengeluh karena tak mengerti jalan ceritanya, Soni hanya tertawa. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku hanya ingin menghabiskan sisa waktu kami di Paris ini berdua saja. Tapi Soni begitu bersemangat tentang opera ini yang dia bilang hanya mengadakan pertunjukan tanggal 1 Januari ini, karena besok, mereka sudah harus meneruskan show-nya ke Jerman. Dalam hati aku hanya menanamkan dalam ingatanku untuk belajar tentang opera supaya bisa mengikutinya.

Seusai nonton opera, Soni membawaku menonton pertunjukan band indie di kafe-kafe kecil yang banyak tersebar. Kami kembali larut malam di hotel.

“Kau lapar?” tanya Soni saat kami memasuki lobi hotel.

Aku tak perlu menjawabnya karena suara dari perutnya berkeriuk dengan kerasnya. Kami berdua tertawa karenanya. Sedari tadi kami memang lebih banyak minum daripada makan. Dan sekarang sudah hampir tengah malam. Perutku sudah kembali menagih jatah.

“Bagaimana kalau kita makan di restoran sini saja?” tawar Soni.

“Jam segini? Apa nggak tutup?” tanyaku khawatir.

“Biar ku atur,” ujar Soni dan mendekati resepsionis. Aku diam di tempatku, menunggu. Hanya beberapa menit mereka berbicara, dan Soni pun kembali mendekatiku.

“Beres. Kita bisa mandi sebentar di atas selagi mereka menyiapkan makan malam. Ayo,” ajaknya dan menuju lift.

Ide yang hebat karena bauku sudah tak karuan. Bau campuran bir, rokok dan entah apa lagi memang menempel pada baju dan tubuh kami. Kafe-kafe kecil yang kami kunjungi tadi memang cukup ramai. Jadi mandi sepertinya wajib untuk kami malam ini sebelum turun ke restoran.

Begitu keluar dari kamar mandi dalam keadan segar, aku mendapati Soni yang lebih dulu tadi, sudah berganti baju. Kali ini dia menggunakan kemeja hitam polos dengan kerah lebar, di balut dengan jaket keluaran D&G berpotongan rapi dan celana senada. Aku baru menyadari kalau aku sering dan suka melihatnya menggunakan warna hitam itu. Membuatnya tampak lebih cerah, kontras dengan kulit putihnya.

Aku sendiri lebih memilih kemeja putih dengan garis hitam vertikal dari DKNY, jaket kulit Hugo dan celana hitam Ralph Laurent. Selera Soni memang tak tercela. Sejak aku tiba di paris, busana yang aku kenakan tak bisa dikategorikan busana biasa karena jasanya.

Kamipun langsung turun ke bawah. Restoran yang ada di Ceazar ini memang mewah, meski tidak terlalu besar. Ruangannya bernuansa klasik Romans dengan lampu-lampu kristal yang indah. Perpaduan antara klasik dan modern membaur dengan apiknya di ruangan ini. Restoran ini juga memiliki sebuah grand piano tempat artis tampil untuk menghibur para pengunjung.

Satu-satunya meja yang tertata dan siap adalah meja kami, berada persis di depan grand piano tadi. Sementara meja-meja lainnya kosong dan gelap.

“Enak juga ya kalo sepi gini,” gumamku.

“Benarkah? Mungkin besok kita harus makan malam larut lagi.”

 Aku tertawa, “Besok kita harus tidur lebih awal. Kita pulang paginya, ingat?’ selorohku. Soni hanya tersenyum, “Oh ya, Felix benar-benar tak bisa bergabung dengan kita?”

“Sepertinya ada acara dengan orang-orang penting di Monaco,” sahut Soni singkat.

“Kenapa kamu gak ikut gabung kalau memang kemarin ada pertemuan penting?”

“Emang kamu mau ngerayain taon baru dengan orang-orang berusia 40 tahun ke atas?” tanya Soni balik.

Aku nyengir mendengarnya, “Iya juga. Ogah ah. Ntar yang ada aku bengong doang selagi kalian ngomongin bisnis.”

“Lebih enak berdua kan?” goda Soni yang ku jawab dengan cengiran setuju.

“Eh, aku ke kamar kecil dulu ya? Sebentar..........” pamitku yang tiba-tiba mendapat panggilan alam.

Soni hanya tersenyum menanggapinya. Dia menunjukkan arah kamar kecilnya padaku.   


Saat aku kembali, sekitar 5 menit kemudian, meja kami kosong. Aku mendapati Soni sedang berada di depan grand piano, memainkan sebuah musik klasik yang lembut. Musik yang entah bagaimana, terasa begitu pas dengan makan malam kami yang terasa pribadi ini. Tak ada seorangpun yang ada di restoran ini selain kami, jadi aku bisa tersenyum dan merasa kalau dia memang memainkannya untukku. Mata Soni terpejam, larut dalam permainannya. aku memiliki pengetahuan yang minim tentang musik klasik, jadi aku tak mengerti karya siapa yang dia mainkan. Entah itu Vivaldi, Mozart ataupun Chopin. Yang jelas, aku menyukainya.

Aku duduk di meja kami dengan pelan, tak ingin mengganggu Soni yang sedang menikmati waktunya. Aku hanya meraih gelas minumanku, dan hampir saja memuntahkannya lagi saat ku dengar musik yang Soni mainkan, berubah. Aku ingat nada ini. Hardly a Hero-nya Levi Kreiss.

Dan......................Soni membuka mulutnya!

Dia bernyanyi!!

Suara Soni terdengar lebih berat daripada Levi. Namun toh dia bisa sukses menyanyikan lagu itu, tepat pada nadanya. Bahkan pada nada tinggi yang membutuhkan head voice. Dan permainan pianonya, mulus. Mungkin pendapatku subyektif, tapi kurasa Soni layak menjadi seorang performer. Dia memiliki wajah, tubuh serta kemampuan.

Apa yang tidak bisa dia lakukan? Pikirku. Dia benar-benar penuh dengan kejutan.

Dan saat lagu itu selesai, aku tak bisa menahan diri untuk bangkit dan bertepuk tangan.

MORE!! MOREE!! MOOORREEEE!!!!” kataku keras. Aku bisa mendengarnya menggeram, tapi aku hanya nyengir dengan tatapan memohon. Kukira dia benar-benar tidak akan memenuhi permintaanku, namun sesaat kemudian, intro lagu Right here Waiting-nya Richard Mark mulai terdengar.

Sepanjang lagu itu, mataku tak bisa lepas dari Soni. Soni yang juga memandangku, sambil sesekali melihat ke tuts pianonya, seakan-akan menjadi sosok lain di mataku. Aku hanya mampu endesah. Dia sempurna bagiku. 
Dia................sangat sempurna. Jangan salahkan aku kalau aku tak pernah merasa pantas untuknya.

Kembali aku bertepuk tangan keras saat dia menyelesaikan lagu itu. Soni bangkit untuk membungkuk sejenak untuk kemudian menghampiriku.

“Terimakasih sudah membuatku tampil dua kali,” katanya dengan nada menggerutu.

“Suruh siapa mainnya bagus,” cengirku, “That was beautiful. Aku tak menyangka kalau kau bisa........melakukannya.”

“Sudah lama aku tak melakukannya. And that was for you,” katanya pelan dan meraih tanganku. Soni meremasnya pelan. Aku membalasnya.

Thank you. Aku tak tahu harus bagaimana membalasnya.”

“Kau disini bersamaku. Itu sudah cukup.”

Aku menghela napas panjang, “Bagaimana kau bisa ..........begini?” gumamku dan menggelengkan kepala.

“Kenapa memangnya?” tanya Soni balik, sedikit bingung.

You’re just................too perfect. Semua ini................ It’s all too good to be true! Kadang aku khawatir kalau beberapa saat lagi ada seorang pria pendek botak yang akan keluar dari belakang pintu dan berteriak, CUT!”

Soni tergelak mendengarnya, “Ok. Baiklah, aku ngaku. Sebenarnya..............semua ini ide Felix.”

“Felix?”

Well..................yeah. Beberapa waktu yang lalu, aku bertanya padanya,  bagaimana membuat sebuah makan malam yang romantis dan berkesan. Dia memberiku beberapa ide. Dan ini salah satunya.”

What? Makan di restoran yang sudah tutup dan memainkan piano?”

“Begitulah. Dia juga menganjurkan aku untuk melihat beberapa film drama. But to be honest, I don’t have e nough time. Sempat bingung juga ketika harus memilih lagu yang tepat. Lalu aku ingat kalau kau menyukai lagu tadi ketika pertama kali mendengarnya. Jadi.........kupikir kau akan suka kalau aku memainkannya.”

Aku tertawa mendengarnya, “Apa kau pernah berpikir kalau aku suka semua tentangmu? Caramu berbicara, berjalan, bersikap atau bahkan saat kau diam tak melakukan apa-apa? You don’t have to do a thing to impress me. I already am impresed!

Is that so? Kalau begitu, aku juga tak perlu memberi ini padamu sebagai hadiah ulang tahun?” katanya dan mengulurkan sebuah kotak dari saku celananya. Untuk sesaat aku hanya bisa bengong.

“Ulang tahunku masih besok,” gumamku.

Soni tersenyum dan melirik jam tangannya, “Sekarang sudah jam 12 lebih beberapa detik. Jadi kau sudah resmi bertambah umur. Congratulation! Sweet seventeen, right?” katanya geli melihatku yang benar-benar hanya mampu terdiam, “Happy birthday,” bisiknya lagi dan mengulurkan kotak hadiah itu.

Aku tak mampu menyahut. Hanya menerima kotak yang dia berikan. Benar-benar kejutan yang tak terduga. Apa karena ini dia menunda kepulangan kami?

May I?” tanyaku, meminta ijin untuk membukanya. Soni hanya menjawabku dengan anggukan.

Dan aku kembali ternganga saat menemukan sebuah jam tangan Rolex yang pernah menyita perhatianku ada di dalamnya.

“Son, i-ini....”

Don’t say it. Itu hadiah. Terimalah!” katanya pelan, paham apa yang hendak aku katakan.

Thanks,” kataku akhirnya setelah terdiam agak lama.

That’s it? You don’t wanna give me a kiss?” tuntut Soni, sedikit manyun.

I would love to. But not here. Kita simpan saja untuk nanti,” sahutku sembari menjulurkan lidah, “Bisakah...” pintaku dan mengulurkan tangan supaya Soni memakaikan jam itu padaku.

“Awas. Ntar aku tagih lho,” ancam Soni dan membantuku.

Aku kembali menjulurkan lidah untuk membalasnya.

Yang tak aku sangka adalah, Soni serius dengan perkataannya. Malam  ini, setelah kami makan malam terakhir di Paris karena besok kami akan kembali ke Indonesia, dia mengajakku ke sebuah restoran Itali, Soni terkesan sedikit tergesa-gesa ketika membuka pintu kamar dengan kartu yang dipegangnya. Begitu pintu terbuka, dia langsung menyeruak masuk dan menarikku. Dia memojokkanku di balik pintu, memerangkapku dengan tubuhnya.

Untuk beberapa saat lamanya, kami terdiam dengan nada bergerak cepat dan napas yang memburu. Aku dengan kekagetanku. Dan Soni dengan..............apapun yang dia rasakan. Sepertinya insiden singkat tadi mempengaruhi kami berdua.

Pelan Soni merapatkan tubuhnya padaku. Dan sebelum aku sempat bereaksi, dia sudah menutup bibirku dengan miliknya. Tanpa dapat kutahan, tanganku terangkat  mengusap kepalanya. Jemariku menyusup diantara lebatnya rambut Soni, meremasnya, mendorongnya untuk lebih  memperdalam ciumannya. Sesaat kemudian, tanganku bergerak membuka jas Soni, membiarkannya jatuh. Lalu rompi dan dasinya. Kemudian beralih ke kancing kemejanya. Dan saat tanganku mengusap dadanya, bersentuhan dengan kulitnya yang berbulu, sedikit kesadaran menggeliat di otakku. Kesadaran yang kemudian, dengan  sekuat tenaga, ku pertahankan dan ku perbesar.

Tubuhku mulai menegang. Dengan lembut aku mendorong tubuh Soni untuk menjauh dariku. Aku terengah dan dengan cepat menundukkan wajah saat Soni yang juga terengah-engah, menatapku bingung.

“Kita harus beristirahat. Besok kita pulang kan?” bisikku, mencoba terdengar biasa-biasa saja. perlahan aku melepaskan diri dari himpitannya yang mengendor. Cepat aku melangkah masuk ke kamar mandi setelah menyambar piyamaku.
Disana aku menarik napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri.

Bagaiamana aku bisa terus-terusan mempertahankan diri seperti ini? Pikirku. Rasanya tak akan lama aku bisa bertahan. Aku benar-benar takut dan juga bingung. Bukan hanya takut kalau aku akan menjadi seorang maniak, tapi juga takutkarena aku tak tahu harus bagaimana melakukannya. Kami sama-sama lelaki, sementara untuk bercinta, selalu ada dua peran yang berbeda. Dan itu membingungkanku........

Aku harus bagaimana? Aku harus melakukan apa? Bagaimana posisinya? Pertanyaan-pertanyaan yang bahkan aku sendiri merasa malu, jengah, bingung dan sekaligus takut memikirkannya.

Saat keluar dari kamar mandi, aku mendapati Soni sedang duduk di kaki ranjang, menonton Tv. Dia tak bergerak ataupun berkomentar saat aku duduk dibelakangnya.

“Ga ganti baju?” tanyaku.

“Ehmmm..................bentar,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari layar Tv. Aku langsung merasa tak enak dengan reaksinya.

“Kamu gak marah kan?” tanyaku lagi, lebih pelan dari tadi.

“Marah?” soni bangkit dan berbalik melihatku, “Untuk apa?” tanya dia heran. Reaksinya justru membuatku bingung dan tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Soni tersenyum menenangkan, “I’m fine. Don’t worry,” katanya dan melangkah masuk ke kamar mandi.

Sikap Soni bukannya membuatku lega, malah membuatku gelisah dan merasa harus melakukan sesuatu. Tapi tak tahu apa dan bagaimana. Soni sendiri terkesan santai. Setelah keluar dari kamar mandi dengan piyama lengkap, dia langsung naik ke tempat tidur dan mematikan lampu kamar.

Good night,” katanya dan mencium keningku. Dia lalu berbaring memunggungiku. Membiarkanku tercabik antara bingung dan bersalah. Dalam kegelapan, mataku nyalang terbuka, sementara pikiranku kosong. Akhirnya, setelah lima menitdalam kebisuan yang tak tertahankan, dengan perlahan aku menggeser tubuhkan setelah menyingkirkan guling yang memisahkan kami.

“Son.................” panggilku pelan dan menyentuh punggungnya.

“Ehhmm...............?” sahut Soni tanpa berbalik.

I’m sorry,” bisikku lagi. Sejenak, dia tak bereaksi. Aku hanya mendengarnya menarik napas panjang. Dia lalu menelantangkan tubuhnya, “For what?” tanya Soni seraya menelengkan kepalanya, melihatku.

Aku hanya mampu mengalihkan pandanganku. Karena bingung, aku hanya menyusupkan wajahku ke lehernya, melingkarkan tanganku ke dadanya, “I don’t know. Sepertinya kamu marah,” gumamku lagi, dan semakin merapatkan tubuhku padanya.

Soni jadi menggerutu kecil karenanya, “Kalau saja kamu tahu. Sudahlah. I’m fine. Tidur saja. besok kita harus terbang kembali ke Indonesia,” kata Soni dan mengangkat kepalaku sedikit untuk meletakkan satu lengannya di bawahku.

I don’t wanna go home,” gumamku lirih.

“Aku juga. Tapi kamu kan gak mungkin tinggal disini selamanya. Emang kamu mau, gak ketemu ama Bunda dan Wina lagi?”

“Hmm.............asal bareng kamu,” sahutku.

“Really?”

“No!”

Soni tertawa, “Dasar! Tapi aku tahu. Aku tahu kenapa kamu ngerasa begitu. Aku juga pengen gini terus.”

Kini ganti aku yang menarik napas panjang. Aaahhhh..........Soni. bukan hanya karena itu. Disini, di tempat asing ini, dimana tak ada seorangpun yang mengenalku, aku merasa aman bersamamu. Disini aku memiliki dunia sendiri. Dunia yang aku miliki bersamamu. Tapi jika aku kembali ke rumah, aku takut apa yang aku miliki disini akan hilang. 

Karena.............

Soni sepertinya tahu akan keresahnku. Dia mencium ujung kepalaku dan mengusapnya, “Aku janji akan melakukan apapun yang aku bisa untuk membuatmu bahagia. Apapun yang ada di depan kita nantinya, kita akan hadapi bersama, ok?”

“Bersama?” ulangku.

“Bersama,” tegas Soni meyakinkanku.

Dengan ucapan itu aku menarik napas panjang, mengenyahkan semua pikiran kacau di otakku, dan memejamkan mata. Dan ketenanganpun menyambutku.