BAB 11
Dan pulang sekolah hari inipun terasa aneh.
“TJ!!” panggil Soni dari depan kelasnya.
Aku berdiri kaku di tempatku. Sementara Wina dan yang lain menatapku dengan
ternganga. Aku hanya memberikan cengiran salah tingkah pada mereka tanpa berani
beradu pandang. Mereka menatap bergantian padaku dan Soni yang melangkah
mendekat.
“Ayo cepet ke parkiran,” ajak Soni dan berlalu tanpa menungguku.
Sesaat aku Cuma celingukan ke arah yang lainnya, “Gue duluan ya?” pamitku
pelan.
Hening!
Benar-benar tak ada reaksi dari Wina dan lainnya. Asli! Mereka Cuma diam
cengo melihatku bergantian dengan Soni yang berlalu tadi. Kelihatannya mereka
benar-benar shock sampe gak tau musti ngapain. Mereka tak menyangka kalau Soni
tiba-tiba menyapa dan mengajakku jalan.
Sekali lagi aku hanya nyengir bersalah pada mereka dan pergi menyusul Soni.
“Kamu punya helm di rumahmu?” tanya Soni setelah aku mendekat. Dia sudah
naik dan menghidupkan motor gedenya.
“Ada sih. Kenapa?” tanyaku heran.
“Kita ke rumahmu dulu,” katanya santai.
“Mo ngapain?” tanyaku panik. Gila!! Dia mau ke rumah?!!!
“Ya ambil helm buat kamu. Cepat naik!”
“Kita mau kemana sih?”
“Naik!” kata Soni singkat, agak keras. Aku Cuma bisa bersungut dan
menurutinya. Dan saat kami melewati Wina dan yang lain...
“RESEEE!!! APA-APAAN?!! WOOYYY!!!! GA RELAAAAA!!!!”
Berbagai macam umpatan dan teriakan mereka mengiringiku yang berlalu pelan
dengan motor Soni. Aku tak bisa membayangkan reaksi Soni saat mendengar makian
keras mereka. Tapi meski dia mendengarnya, sepertinya Soni cuek bebek. Gak
ngaruh. Jadi aku hanya melambaikan tanganku yang sayangnya justru menambah
kedongkolan Wina dan yang lain. Aku nyengir kecut. Otakku justru lebih mikir
fakta kalo Soni akan ke rumah.
Aduh emaaakkk!!! Dia mau ke rumah gueee!!! Kira-kira apa reaksinyabntar
coba? Kalo dibandingin ma rumah dia itu.........
Ampun!!! Rumah dia puluhan kali lebih mewah dan gede dibandingkan rumahku.
Aku hanya tinggal berdua dengan Bunda yang Cuma seorang pegawai negeri biasa.
Rumah kami benar-benar biasa dan sedikit kecil. Hanya ada 3 buah kamar, satu
ruang tamu, ruang keluarga, dapur dan kamar mandi. Perabotan yang kami
milikipun tak bisa dikatakan mewah.
Di ruang tamu kami juga Cuma ada seperangkat sofa tua yang usianya mungkin
sudah melebihi usiaku. Ada sebuah vas bunganbesar dari kayu di pojok dengan hiasan
bunga plastik yang Bunda rangkai sendiri. Di ruang keluarga juga Cuma ada tv
ukuran 14 inchi, lantai yang di lapisi karpet murah dan beberapa bantal besar
untuk santai.
Jadi kalo dibandingin rumah Soni..............
Jauh bangeeett!!!
Bego ah!! Terserah deh!!!
“Belok dan masuk ke gang kecil itu Son,” kataku saat kami mendekati jalan
ke rumahku. Motor miring ketika Soni berbelok. Aku menahan tubuhku dengan
berpegang pada belakang motor tanpa berani menyentuh Soni.
Tuhan!! Kalo di pikir, ini kali pertama aku naik motornya. Motor yang
mungkin sudah ratusan kali ku lihat tanpa bisa menyentuhnya. Apalagi naik gini.
Dibonceng yang punya pula. Asli, grogi!
“Brenti!” kataku saat kami tiba di depan rumahku ynag bercat putih. Aku
langsung buru-buru turun dari motor begitu kami berhenti, meski gak rela. Betah
banget buat duduk disana bareng Soni, tapi aku perlu menenangkan diri karena
dengan otakku yang mulai berkreasi, dadaku mulai terasa deg-degan.
Rumah sepi. Sepertinya Bunda masih belum pulang.
“Ini rumahmu?” tanya Soni dan membuka helmnya. Aku hanya mengangguk dan
mengeluarkan kunciku rumahku.
“Yuk, masuk,” kataku mempersilahkan dan cepat-cepat membuka pintu setelah
melepas sepatuku. Ruang tamuku juga di lapisi karpet sederhana yang memang
mengharuskanku membuka sepatu. Bunda bisa ngamuk besar kalau aku memakai sepatu
bututku di dalam. Soni tak berkata apa-apa. Dia hanya diam mengikutiku,
sementara matanya melihat ke sekeliling ruangan yang mungkin hanya membutuhkan
beberapa detik saking kecilnya.
Aku diam menunggu reaksi ataupun komentarnya. Tapi cowok itu Cuma melihat
sekeliling lalu melihatku dan tersenyum tipis.
EMAAAAKKKK!!!! Baru kali ini sikapnya manis ginii!! Senyumnya maaaaakkk!!!!
Pekikku dalam hati dan buru-buru mengalihkan pandangan. DIA SENYUM KE GUEEEEE!!!
Wina dan yang lain bisa histeris kalo tau.
“Duduk dulu. Aku ambilin minuman. Mau yang dingin?” tawarku dan nyelonong
ke belakang. Soni cum mengangguk saat aku meliriknya. Aku masuk ke kamar untuk
menaruh tas. Disana aku duduk sejenak di tempat tidur dan memegang dadaku.
“Demi apaaa coba dia bisa ada disini? Sebenernya gue ngimpi gak sih?”
gumamku pelan.
Soni ada disini! Di rumahku!! Dia beneran sedang duduk di ruang tamuku
sekarang!!! Dan dia tadi juga udah kasih senyum padaku! Senyum tulus yang gak
pernah aku lihat selama ini. Rasanya ingin teriak-teriak sambil jejingkrakan
gak jelas ini!!
“Eh ya, gue belum bikin minuman!” seruku dan cepat-cepat keluar untuk ke
dapur bikin minum.
Aku kembali ke depan dengan membawa sebuah baki dengan segelas orange juice
dingin serta setoples kripik pisang bikinan Bunda beberapa hari kemarin. Dan
sama seperti dikamar tadi, aku masih merasa tak percaya melihat Soni duduk
disana, menungguku.
“Nih....lumayan bikin seger. Keripiknya bikin sendiri lho,” kataku,
berharap semoga terdengar santai dan biasa saja.
“Kamu bikin sendiri?” tanya Soni sangsi dengan tangan terulur untuk
mencicipi.
“Emang aku bilang gitu tadi? Aku kan Cuma bilang bikin sendiri. Maksudnya
Bunda yang bikin, bukan aku. Aku mah cuman bantu nyicip aja.”
“Sama aja bo’ong itu,” gerutu Soni pelan, “Enak kok,” sambungnya setelah
mencicipi keripik tadi.
“Bunda siapa dulu dong..”
“Cuma berdua?” tanya Soni lagi.
Aku mengangguk, “Kami Cuma berdua. Orang tuaku bercerai beberapa tahun yang
lalu. Ayahku sudah menikah lagi dan tinggal di luar kota.”
“Tak punya saudara?”
Aku menggeleng tanpa menatapnya, “Aku Cuma berdua dengan Bunda,” kataku
lagi.
“Beliau.........”
“Bekerja,” sahutku, “Ibuku hanya seorang pegawai negeri biasa, kerja di
kantor kelurahan. Biasanya beliau pulang menjelang sore.”
“Hmmm............jadi kau sendirian sepanjang siang ya? By the way, dari
tadi kamu ngomong sama tembok ya?”
Aku Cuma mesem doang mendengar sindirannya, “Maaf. Sama kamu kok.”
“Ooooohh.... kirain! Oh ya, bawa surat-surat penting kamu. Akte kelahiran.
KTP kalau ada dan.....”
Aku segera menghadap ke arahnya, “Darimana kamu tahu aku udah punya KTP?”
“You are?!”
Aku mengernyit melihat dia juga kaget, “......yeah. sebenarnya aku satu
tahun lebih tua dari teman-teman sekelas karena dulu sempat sakit parah dan
mengulang kelas 1 SD,” jelasku lagi ragu, melihatnya yan tampak benar-benar tak
tahu.
“Well, justru lebih baik. Bawa saja semua. Kartu Keluarga dan lain-lain,”
katanya singkat, membuatku semakin bengong.
“Emang kita mau kemana sebenernya?” tanyaku bego.
“Ntar juga tau. Cepetan!” desaknya tanpa menghiraukanku. Masih dengan benak
yang penuh dengan tanda tanya, aku masuk kembali ke dalam untuk mengambil
surat-surat pentingku. Saat aku kembali ke ruang tamu, Soni telah menandaskan
minumannya dan bangkit. Dia sedang berbicara di telepon dengan seseorang. Aku
melihat kagum pada ponselnya. Kalau gak salah itu ponsel keluaran terbaru dari
luar yang memiliki multi fungsi. Butuh tahunan mungkin bagiku untuk bisa
memilikinya.
Aku sendiri juga memiliki ponsel. Ponsel sederhana yang hanya berwarna
hitam putih dengan bunyi nyaring memekakkan telinga. Hasil patungan tabungan
Bunda dan aku selama 2 tahun. Kami membelinya beberapa bulan yang lalu.
Sepasang. Satu untukku dan satu untuk Bunda. Dan kedua benda mewah itu nyaris
menguras isi tabungan kami berdua. Tapi aku dan Bunda memerlukannya untuk
berkomunikasi karena tak jarang kami memiliki jadwal yang bersebrangan.
Dan kalau dibandingkan ponsel Soni......
Sialnya, ponsel norakku kemudian berbunyi dengan nyaringnya!
Soni yang sepertinya selesai dengan teleponnya melihatku dengan heran,
“Kenapa gak diangkat?”
“Gak perlu kok. Santai,” sahutku.
“Kali aja penting.”
Aku Cuma tersenyum tipis dan buru-buru berbalik untuk kembali masuk ke
kamar. Aku mengeluarkan ponselku dan melihat nomor Wina di layar. Ada apa lagi
nih anak? Batinku dan mengangkatnya.
“Halo? Ada ap...”
“SEMPRUUUULLL!!!”teriak Wina di seberang kenceng, “APA-APAAN TADI HAH?!!
NGAPAIN KAK SONI NGAJAKIN ELU HAH?!!! GIMANA LO BISA JALAN MA DIA?!! GA
RELAAAAAA!!!!!!!!!!”
Aku sudah menjauhkan ponselku dari telinga karena nyaringnya kunyuk satu
itu, “Win, ntar aja gua jelasin ok? Gua harus pergi. Daaaahh!!!” kataku singkat
dan memutus hubungan. Karena tahu Wina gak bakalan ikhlas dan menyerah begitu
saja, aku mematikan ponselku setelah mengirim sms pada Bunda. Memberitahu
beliau bahwa aku keluar untuk mengurus sesuatu. Dan kembali ke ruang depan.
“Rahasia amat? Siapa yang telepon?” tanya Soni ringan.
“Eh? Apa?”
“Pacar?”
“Nggak kok,” jawabku dan menggelengkan kepala.
“Kali aja. Sampe masuk ke dalam segala.”
“Minder tauk!” gerutuku, “Ponselku jadi kebanting kalo dibandingin
punyamu.”
“Eh,emang kamu pake apa?”
“Ga usah dibahas deh. Jadi pergi ga?” kataku cepat.
Soni hanya tersenyum kecil dan mengangkat bahu. Dia berjalan keluar
mendahuluiku. Aku Cuma menghela nafas dan mengikutinya.
“Eh beneran. Aku pengen tau. Kamu pake ponsel apa emang?” tanya Soni yang
sudah naik ke motor dan menghidupkannya, dengan tampang serius.
Aku menggeram kesal karenanya, “Udah dibilang jangan di bahas juga.”
“Cuma pengen tahu,” kata Soni sembari memakai helmnya.
“Pokoknya ga berwarna, ga ada kamera, gak ada apaapanya. Puas?!” jawabku
akhirnya nyolot sabil naik ke boncengannya.
“Emang kudu malu pake gituan?” tanya Soni lagi dengan nada datar.
Eh, kok dia jadi bawel sih? Gerundengku dalam hati, “Ya nggak. Tapi kalo
dijejerin ma ponselmu kan Cuma bikin sakit hati.”
“Tapi.......”
“Aduh ngapain bahas gituan sih?!! Ayo pergi!!” potongku dan menepuk bahunya
keras.
“Fine. Kita ke rumah dulu. Aku harus ganti baju,” katanya dan melaju.
Ku kira, dengan pembawaannya yang kalem, Soni biasa membawa motornya dengan
tenang. Tapi ternyata dia gila-gilaan jalannya. Kami bisa sampi ke rumahnya
kurang dari setengah jam. Dan begitu kami sampai di rumahnya, kami disambut
oleh Bi Atun yang sudah menyiapkan segelas minuman segar untukku.
“Minum dulu, Den. Pasti haus kan?” katanya dan mengangsurkan nampan dengan
gelas di atasnya. Padahal kami masih berdiri di depan pintu masuk.
“Waduhh Bi. Sampe segininya,” decakku agak tak enak hati.
“Kayaknya Bi Atun lebih seneng ke kamu daripada aku. Aku gak di bikinin
minum,” gerutu Soni di sebelahku.
“Tamu kan raja Son,” selorohku, nyengir.
Soni mendengus, “Aku mau mandi dan ganti baju dulu. Kamu mau nunggu di
kamar atau...”
“Gak lama kan? Aku mau sama Bi Atun saja,” sahutku cepat.
“Fine, silahkan. Oh ya Bi, gak usah bikinin TJ makan. Ntar kita makan di
luar aja,” kata Soni dan ngeloyor.
“Cepetan gih. Ayo Bi, kita ngobrol di dapur.”
“Lho? Kok di dapur Den? Di ruang tamu saja.”
“Ga enak Bi. Enak juga di dapur. Banyak camilan,” elakku. Jujur sebenerny
aku agak segan dengan sikap Bi Atun yang begitu menghormatiku, seakan-akan aku
majikannya. Aku bukan Soni dan seumur-umur belum pernah tahu bagaimana rasanya
memiliki pembantu yang selalu siap melayaniku. Aku ingin memperlakkan beliau
seperti aku memperlakukan orang-orang yang usianya lebih tua dariku.
“HEII!!! Aku sudah bilang kita akan makan di luar!” seru Soni yang sudah
sampai di bawah anak tangga.
“IYA TAHUUU!! Ayo Bi,” ajakku cuel dan melangkah mendahului Bi Atun.
“Kok lama gak maen, Den?” tanya Bi Atun dan mengeluarkan beberapa kue dari
kulkas.
“Ya gak pernah di ajak ma Soni, Bi.”
“Den Soni sih emang gitu, Den. Orangnya pendiem. Gak gaul.”
“Masa?” tanyaku ngikik. Geli mendengar istilah itu keluar dari bibir Bi
Atun, “Perasaan Soni gaul deh. Penampilan dia keren terus Bi.”
“Kalo soal penampilan mah gak bisa di omongin Den. Den Soni pake apa aja
juga bagus. Maksud bibi teh gaul ma temen. Rumah segede gini malah lebih sering
sepi kalo di tinggali sendiri.”
“Sendiri?” tanyaku agak kaget, “Rumah segede gini? Emang orang tua Soni
dimana sih Bi?” tanyaku, tak mampu menahan diri.
Bi Atun yang ada di seberangku tersenyum tipis, “Udah nggak ada Den.”
Untuk sesaat aku diam, mencoba mencerna kalimat Bi Atun tadi, “Maksud Bibi
sudah.....”
“Meninggal,” kata Bi Atun pelan dan mengangguk.
Aku menutup mulut kaget. Ya Tuhan!! Jadi karena itu Bi Atun melarangku
bertanya tentang keluarganya ke Soni? Aku masih mengingat dengan jelas
bagaimana reaksi cowok itu saat aku menyinggung perihal keluarganya.
“Berapa orang yang tinggal di sini Bi?” tanyaku lagi.
“Ada Inah, Surya, Satpam tiga dan Harjo, tukang kebun. Jadi delapan orang
sma Den Soni.”
“Jadi yang ngurus rumah segede ini Cuma Bi Atun sama Bi Inah? Ga capek Bi?”
“Waduh! Kalo Cuma berdua ya cape Den. Seminggu sekali ada agen yang ngirim
beberapa pekerjanya buat ngebersihin rumah, kebun dan yang lainnya. Tugas Bibi
mah gak banyak. Paling Cuma ngurus keperluan sehari-hari Den Soni. Kalo yang
lain udah ada yang ngurus.”
“Terus Bi, kalo memang udah sendiri, berarti selama ini Soni menafkahi diri
sendiri dong? Emang udah berapa tahun dia kerja sendiri? Kerjanya apa sih Bi?
Atau barangkali, semua ini warisan dari orang tuanya ya? Tapi sekaya apapun
dia, kalo gak ada yang ngurus, gak bakal lama juga kan? Soni masih sekolah.
Masa dia udah bisa mengatur keuangan dan segalanya? Rumahnya segede ini lagi.
Kalo gak bisa ngurusnya, ntar kan bisa abis.”
“Masih banyak yang belum Aden ketahui tentang Den Soni. Bibi yakin suatu
saat Aden pasti akan tahu. Biar Den Soni yang mengatakannya sendiri,” kata Bi
Atun dan tersenyum misterius.
Aku tergelak dengan nada geli yang tak bisa ku sembunyikan, “Gak mungkin
Bi. Soni kan orangnya tertutup. Bibi tau sendiri kan?”
“Tapi Bibi liat, dia sudah mulai terbuka sama Aden.”
Komentarnya itu membuatku tercenung sejenak, “Masa sih Bi?”
Bi Atun mengangguk mantap, “Buktinya Aden udah beberapa kali kan maen
kesini? Selain den TJ, gak ada lagi temen Den Soni yang pernah ke sini.”
Lagi-lagi aku terdiam. Kalo dipikir-pikir, ya juga sih. Andri saja belum
pernah.
Padahal kalo di ingat awa pertemuan kami, rasanya tak mungkin aku bisa ada
di sini. Dengan semua sikap dinginnya, Soni benar-benar sulit untuk di dekati.
Bahkan kalo aku mau berpikir, kami baru benar-benar bisa dikatakan
berkomunikasi setelah kejadian di gunung Ijen. Biasanya kan aku doang yang
ngajak dia ngomong. Berusaha agar dia menyadari dan mengakui keberadaanku.
Dianya sih masa bodoh aja.
Beberapa hari terakhir, boleh dikatakan kami telah melakkan sebuah lompatan
besar dalam hubungan kami. Kami benar-benar berbicara, ngobrol, berkomunikasi.
Aku berinteraksi dengannya dalam artian yang sebenarnya. Berbincang dan berada
di dekatnya. Menatapnya dalam jarak dekat. Yaaahh.....meski aku masih tetap tak
pernah bisa memandangnya lebih dari 10 detik. Yang jelas, kami sudah cukup
dekat.
Berdiri bersisian dengannya kadang membuatku agak terperangah, menyadari
betapa jangkung dan besar tubuhnya. Masih kingat saat aku harus memapahnya ke
kamarnya waktu dia sakit. Hal itu benar-benar membuatku payah. Tubuhku yang
boleh di bilang kurus, seakan-akan tenggelam dalam bayangannya.
Saat berdekatan dengannya seperti ini juga membuatku menyadari, akan
banyaknya hal yang tidak aku ketahui tentang Soni. Seperti bibirnya, yang
ternyata terlihat jauh lebih menggemaskan dan menggoda kalau di lihat dari
jarak dekat. Aku menyadari hal itu saat dia terbaring di ruang UKS setelah
diberi obat penenang oleh Dokter Iwan. Sumpah!!! Aku nyaris tak mampu menahan
diri untuk menyentuhnya. Terutama bagian bawahnya yang memerah basah. Dan saat
itu juga aku menyadari kalau aku........jatuh hati padanya.
“Den..............?”
Sentuhan ringan tangan Bi Soni di lengan menyadarkanku dari lamunan, “EH...
ya Bi? Kenapa?”
“Tadi Bibi bikin kolak pisang lho. Adem mau?”
“Mau Bi!!” sahutku semangat. Bi Atun tersenyum karenanya. Akhirnya kami
menghabiskan sisa waktu itu dengan mengobrol sembari menikmati kolak pisang Bi
Atun.
“Heii!!! Aku ka sudah bilang kalau kita akan makan di luar!”
Teguran itu berasal dari pintu dapur. Aku segera berbalik. Dan kembali aku
dibuat menahan nafas oleh Soni.
Dia memakai celana warna hitam dan kemeja lengan pendek berwarna putih
dengan garis hitam tipis. Kemeja yang terlihat begitu pas di tubuhnya itu
membuatnya tampak bersih dan menawan. Apalagi dengan rambutnya yang etrlihat
basah dan di sisir rapi, turut membingkai profil wajahnya yang lembut dan
bersinar.
Tuhan!!! Bagaimana aku bisa melarikan diri dari jeratan makhluk satu
ini?!!!
“TJ?!!” tegur Soni lagi.
“Ha-habis.....” jawabku tergagap, “..............ha-habis Bi Atun bikin
kolak pisang Son. Enak lho. Mau?” tawarku, mencoba mengalihkan topik.
"Tapi ntar...”
“Iya, tahu. Kita tetap makan. Jangan khawatir. Daya tampung perutku lumayan
besar,” serobotku cepat dan nyengir saat mendengarnya menggeram jengkel.
“Ok! Awas kalo nanti nggak. Ayo cepat. Kita harus segera pergi,” katanya
dan berbalik mendahuluiku.
Aku cepat-cepat pamitan ke Bi Atun dan menyusulnya, “Kita mo kemana sih
sebenernya?” tanyaku lagi, mencoba memancng informasi.
“Ntar juga tahu,” katanya misterius. Di depan, sedan peugeotnya telah
menunggu kami, “Ayo masuk,” katanya dan membuka pintu penumpang untukku.
“Thanks,” kataku tanpa mampu menahan senyuman. Aku masuk ke mobil sementara
harum floral Soni menyergap hidungku, “Apa harus rapi begitu Son?” tanyaku
setelah dia masuk.
“Apa?” tanya Soni tak paham.
“Kamu rapi banget,’ kataku dan meliriknya.
“Biasa saja kok,” katanya datar dan melajukan mobil, “Tempat yang kita tuju
tidak jauh kok. Jadi begitu selesai ntar, kamu temenin aku makan di tempat
langgananku.”
“Oh.....” komentarku, meski sebenarnya kepalaku penuh dengan pertanyaan.
Aku tak tahu harus berkata apa ataupun bersikap bagaimana. Hanya diam dan
membiarkan berbagai macam tanya itu berkecamuk dalam benakku. Tapi karena tahu
sedikit watak Soni, sepertinya akan lebih baik kalau aku menerutinya saja. Toh
aku gak rugi. Malah untung bisa bareng terus dengannya.
UGH!!!!
Aku mengeluh dalam hati. Semuanya ini berlawanan dengan rencanaku
sebelumnya. Seharusnya aku menjaga jarak. Seharusnya aku menata pikiranku yang
kacau karenanya. Tapi apa yang bisa aku lakukan bila begini sikapnya....
“Kok diam?”
Teguran Soni membuatku mengangkat kepala yang sedari tadi ku sandarkan di
kaca jendela mobil, “Emang harus ngomong apa?”
“Well...............entahlah. Setahuku kau tipe orang yang tak pernah bisa
diam. Hampir setiap saat, aku bisa mendengar suaramu dari kelasku.”
Komentarnya itu membuatku menelan ludah. Kena gue!!!
“Masa sih?” tanyaku nyengir, pura-pura gak nyadar.
Soni melirikku sekilas, “Kau tahu, kau benar-benar aneh beberapa hari
terakhir. Suaramu jarang terdengar, kau juga jarang terlihat, dan kau bahkan
jarang nyambung kalo di ajak ngomong. Kau bahkan tak pernah tanya padaku,
bagaimana nasib Brino dan gerombolannya setelah peristiwa kemarin.”
“Eh iya! Gimana ceritanya mereka?” tanyaku yang baru teringat. Swear! Aku
sepertinya terlalu sibuk menghindar dari Soni, sampai-sampai tak mendengar
kabar lain, “...........tapi kalo di ingat-ingat, aku juga gak pernah denger
anak-anak ribut soal itu...” gumamku kemudian, heran.
“Dia sudah dikeluarkan dari sekolah. Dia juga dapat ultimatum dari pihak
sekolah dan kepolisian. Sekali saja dia buat ulah, dia akan dapat masalah
besar.”
“Dan anak-anak sekolah gak ada yang tahu?”
“Pihak sekolah merahasiakannya. Sampai sekarang belum bocor. Skandal
seperti ini kan tidak baik untuk reputasi sekolah. Plus Brino sudah terlalu
sering membuat ulah. Sedikit banyak, pihak sekolah bisa bernafas lega
sekarang.”
Aku tak tahu harus bereaksi bagaimana. Satu sisi aku merasa lega. Sisi
lain, aku merasa kasihan dengan Brino. Aku tak tahu hal apa yang membuatnya
bersikap seperti itu. Mungkin memang itu keinginannya. Atau mungkin, dia hanya
menjadi seorang remaja pada umumnya. Banyak perilaku negatif anak-anak seusiaku
yang di picu oleh lingkungan ataupun faktor keluarga. Bisa jadi Brino datang
dari keluarga broken home atau...........
Entahlah....
*************
“Kita sampai....” kata Soni mengagetkanku. Dia memasuki areal parkir sebuah
gedung besar.
“Kantor Imigrasi....?”
Aku membaca tulisan besar yang ada di depan tadi. Soni tak mengatakan
apapun. Setelah mematikan mobil, dia keluar. Aku segera mengikutinya.
“Kita mau ngapain di sini, Son?” tanyaku tak mengerti. Aku melangkah
mengikutinya dengan sedikit menjaga jarak. Minder dengan gaya Soni yang jelas
model anak gedongan, sementara aku lusuh begini. Aku ogah di tuduh sebagai
pembokatnya ntar.
Soni melihat ke arahku dan membuka pintu kantor itu dengan senyum tipis,
“Ku pikir, daripada aku repot-repot ngejelasin caranya, mending kamu bikin
pasport sendiri aja sekalian,” jelasnya santai.
Sontan aku berhenti melangkah dan memandangnya dengan terperangah, tak
percaya, “Bikin pasport? Aku?” tanyaku meyakinkan diri.
Soni mengangguk, “Kebetulan aku juga mempunyai kenalan di sini yang bisa
mengurusmu melalui prosedur normal.”
Jadi itu sebabnya dia menyuruhku membawa surat-surat pentingku!!
“Aku pulang!” kataku singkat dan berbalik.
“Heii!! Kita harus kedalam!” cegah Soni dan menyambar lenganku hingga
langkahku tertahan.
“Kamu bercanda?!!” sentakku dengan nada tertahan. Ku kibaskan tanganku,
lepas dari genggamannya, “Aku Cuma diminta buat nyari tahu caranya doang.
Bukannya bikin! Emang aku mau jadi TKI apa?!”
“Lho? Yang nyuruh kamu jadi TKI itu siapa? Menurutku, akan jauh lebih baik
bagi kamu, kalau kamu bikin pasport sendiri saja. Hal itu akan membuat kamu
lebih paham akan prosedur dan prosesnya. Bikin pasport bukan berarti kamu harus
keluar negeri sebagai TKI.”
“Tapi Son....”
“Aku yang tanggung semuanya,” kata Soni lagi, tegas.
“Ogah! Aku..”
“Hei.....,” potong Soni dengan nada halus. Ia melangkah ke samping dan
merangkul bahu kananku. Dengan tubuh yang berdekatan seperti ini, lagi-lagi aku
merasa tenggelam dalam bayangannya. Aku merasa kerdil. Sementara harum
parfumnya memenuhi rongga dadaku yang mulai terasa sakit dengan debaran
kuatnya. Kakiku terasa sedikit lemas.
“Kita masuk dan kamu ikuti prosesnya. Gak sulit kok.”
“Son....” aku mulai terdengar seperti orang yang merengek, memintanya untuk
membatalkan semua dengan tatapanku.
“Ayooo..” ajak Soni dan mendorongku untuk melangkah bersamanya.
“Son, jangan gila doongg!!”
“Look, I just wanna help you,” ujarnya enteng.
“Tapi kan gak harus gini. Aku gak harus bikin pasport beneran kan?”
“Aku ingin kamu tahu dan mengalami sendiri prosesnya dengan jelas. Jadi
kamu bisa menggambarkannya dengan benar. Ayo!” katanya dengan nada final dan
kembali mendorong bahuku. Aku sudah hendak kembali protes saat seorang pria
berusia sekitar tigapuluhan dan berkuis mendekati kami dari dalam. Pakaiannya
yang resmi membuat dia terlihat sedikit menakutkan.
Yang bikin aku heran adalah saat dia menyunggingkan senyum ramah ke arah
kami berdua.
“Pak Soni, anda sudah tiba,” sapanya dengan sedikit formal pada Soni yang
ada di sampingku. Aku jelas bengong saat dia memanggil Soni dengan sebutan Pak.
Gila aja!! Usia dia mungkin dua kali lipat usia Soni. Ngapain panggil Pak coba?
“Pak Andi, belum lama menunggu kan?”
“Belum, Pak. Dan ini.....”
“Perkenalkan, TJ. Teman yang saya ceritakan.”
“Ah ya, tentu saja. Mari Mas TJ. Ikut saya. Saya yang akan mendampingi
anda,” katanya padaku dengan ramah dan mempersilahkan aku untuk mendahuluinya.
Sikap tubuhnya tak jauh beda dengan sikap seorang staff hotel yang
mempersilahkan tamunya. Begitu resmi dan nyaris hormat.
Aku bengong dan melihat Soni dengan tatapan bego. Soni hanya tersenyum dan
mengangguk, memintaku untuk menurut.
Tak ada pilihan. Aku hanya mampu nyengir kecut dan bingung, kemudian
melangkah. Pak Andi mengekor di belakangku.
Akupun menjalani serangkaian proses yang membuatku tak henti-hentinya
berdebar-debar. Dari isi formulir, interview, sampai photo. Aku yang gugup,
seringkali nge-blank. Untungnya ada Pak Andi yang terus mengingatkan dan
menenangkanku. Dan begitu semuanya selesai, aku merasa seakan-akan baru keluar
dari ruang ujian.
Setelah beberapa jam yang menegangkan, akhirnyaaaa... pikirku senang dan
melangkah keluar di iringi Pak Andi. Aku melihat Soni yang duduk santai sembari
membaca sebuah buku di ruang tunggu. Pak Andi menyapa Soni secara singkat dan
berpamitan. Soni mengangguk sementara aku mengucapkan terimakasih yang di balas
dengan tawa ringan oleh Pak Andi sembari menepuk punggungku. Dia juga bilang
kalau pasportnya akan selesai dalam 3 hari dan dia akan mengantarkannya pada
Soni. Setelah itu, beliau berlalu dari hadapan kami.
Saat berada di luar gedung dan melangkah menuju lapangan parkir, aku
menarik nafas sepanjang yang aku mampu.
“Segitu leganya.........” celetuk Soni yang masih berada disampingku,
tersenyum.
Aaaahh.......! jarang sekali aku melihat senyum itu, hingga untuk sesaat,
aku hanya mampu menatapnya, diam. Menikmati momen.
“Hei!!” tegur Soni lagi, membuatku tersadar dan tersenyum membalasnya.
“Thanks...” kataku pelan, “Kau tahu kalau sebenarnya kau tak harus
melakukan semua ini kan? Tak ada gunanya aku memiliki pasport. Lagipula, kau
harus mengeluarkan uang banyak tadi. Dan......”
Soni mengangkat tangan kanannya untuk menghentikanku, “Kita cari makan aja
yuk. Aku laper,” ajaknya singkat dan mendahuluiku masuk ke mobil.
“Kapan kamu mau mendengarkanku?” gerutuku sebal dan mengikutinya masuk.
“Aku denger kok. Hanya saja, aku lebih suka kalau kita tak membahasnya.
Kamu suka makanan apa?” tanyanya lagi.
Aku menghela nafas, kalah, “Apa saja. Asal jangan sea food. Aku tak begitu
suka. Sedikit alergi malah.”
“Yang benar?” sergah Soni dan melajukan mobil.
“Yup! Tiap abis makan sea food, tubuhku gatal-gatal dan kemerahan. Pada
dasarnya, aku tak suka memakan hewan apapun yang hidup di air. Kau sendiri?
Punya alergi?”
“Mungkin,” katanya dan mengangkat bahu, “Kalau steak, kamu suka?”
“Belum pernah makan,” jawabku cepat, “Kenapa kita gak nyari makanan yang
udah umum aja sih?”
“Seperti apa?”
“Fried chicken mungkin,” usulku dengan kening berkerut, heran. Emang dia ga
pernah ke KFC atau yang sejenisnya apa?
“Dimana?”
“Yaahh di mall mungkin?” kataku lagi, makin heran.
“Di mall terdekat pasti ada kan?”
“Pasti!” jawabku singkat dan menyandarkan tubuhku.
Seharusnya aku sudah bisa menduga, pikirku kecut. Sama seperti saat kami
berada di kafe waktu itu. Kali ini juga, aku bisa merasakan banyak sekali
orang-orang di sekitar kami memperhatijan. Memperhatikan Soni lebih tepatnya.
Cowok di depanku ini benar-benar seperti magnet. Dia mampu menarik perhatian
orang-orang di sekelilingnya,tanpa harus mencoba, bergaya atau melakukan suatu
tindakan konyol. Terutama para kaum hawa. Soni sendiri bersikap seakan-akan dia
tak menyadarinya. Atau mungkin dia tak peduli saja. Karena dia terlihat begitu
santai menyantap hidangannya dan sesekali mengajakku bicara.
“Jadi........kapan tugas bahasa Indonesiamu itu harus dikumpukan?” tanya
Soni lagi.
“Abis semester ntar,” jawabku sedikit ngambang dan mengedarkan pandangan.
Mereka masih memperhatikan kami, batinku lagi. Aku berpaling pada Soni yang hanya
mengembalikan tatapan tanyaku dengan tatapan bingung.
“Apa?” tanya dia heran.
“Son, kamu sadar gak, kalo dari tadi orang-orang ngeliatin kita terus?”
“Emang apa yang salah?” tanya dia cuek sembari menyeruput minumannya.
“Salah sih nggak ada. Tapi......mereka ngeliatin kamu.”
“Aku? Ngapain mereka ngeliatin aku?” tanya dia lagi tanpa menghentikan
keasyikannya mengunyah french fries.
Aku mendengus keras mendengar jawabannya, “Bego apa pura-pura bego sih?
Kamu gak nyadar kenapa orang-orang ngeliatin kamu?”
Sesaat Soni menghela nafas, “Dengar TJ. Aku tidak meminta untuk di
perhatikan. Andaikan boleh memilih, aku juga tak ingin diperhatikan secara
berlebih seperti yang terjadi di sekolah kemaren. Aku malah merasa seperti
circus freak yang mengerikan. Sebagai lelucon dan bahan gunjingan orang. Lebih
aparah lagi, seperti obyek pemuas segerombolan maniak sinting. Tapi sudah lama
aku memcoba untuk tidak memperdulikannya. Dan sebaiknya kau juga begitu. Let
them do what they want to. Saat ini, aku hanya ingin makan dengan temanku. Tak
ada yang salah dengan itu kan?”
Kalau dia berkata begitu, rasanya benar juga. Masih ku ingat tatapan
mengerikan dari tante-tante di kafe waktu itu. Tapi otakku kemudian teralihkan
saat sadar akan kalimat terakhir Soni tadi.
“Teman?” alisku terangkat naik sat menyadari implikasi kata tadi,
“Jadi..................kita berteman?” tanyaku lagi.
Sementara batinku tak tahu
harus bersyukur atau menyesal.
Soni tak langsung menjawab. Dia mengangkat wajahnya dan menatapku, diam.
Dan dengan sikapnya itu, aki tak perlu mendengar dia mengatakan jawabannya.
“Ok. I’m sorry,” kataku pelan dan melanjutkan makanku. Mencoba melakukan
seperti yang Soni katakan. Tidak mengacuhkan perhatian orang-orang di sekitar
kami.
Dan kejutan hari ini terus berlanjut. Soni juga mengajakku nonton. Setelah
itu, dia mengajakku jalan-jalan ke sebuah mall mewah di sebuah kawasan, yang
aku tahu, banyak di tinggali para duta-duta negara asing.. di sana dia
mengajakku masuk ke sebuah toko perhiasan, sebuah show room mobil import dan
sebuah toko yang menjual berbagai macam minuman import.
Yang mengherankanku, Soni bukannya membeli. Dia malah mencari manager
tokonya. Dan mereka yang ada disana seakan-akan sudah mengenal Soni, karena dia
disambut dengan ramah. Nyaris dengan hormat. Soni mempersilahkanku untuk
melihat-lihat, sementara dia dan sang manager berbincang-bincang sebentar di
kantor.
Yang bikin aku gondok adalah saat dia menawariku untuk mengambil sebotol
wine yang aku pengen di toko minuman import tadi. Aku melihatnya dengan tatapan
seakan-akan dia menyuruhku terjun dari gedung pencakar langit. Soni tertawa
kecil dengan reaksiku.
Satu hal lagi dari Soni yang tak ku mengerti, muncul ke permukaan. Dia
benar-benar sebuah enigma yang terus memunculkan tanya.
Terakhir, Soni mengajakku masuk ke sebuah toko buku besar. Yang bikin aku
bengong, dia langsung menuju rak-rak buku tentang bisnis, keuangan dan ekonomi.
“Kamu nggak nyari buku?” tanya dia dan mengambil sebuah buku berjudul cash
flow quadrant.
“Nggak tau deh. Aku lihat-lihat dulu,” pamitku dan ngeloyor pergi menuju
tempat buku-buku best seller. Dan mataku langsung tertancap pada buku terakhir
serial Harry Potter yang dipajang.
“The Order Of Phoenix,” gumamku.
Buku itu masih belum diterjemahkan. Dan kembali mataku membesar melihat
harganya. Lebih dari seperempat juta. Seperempat juta lebih hanya untuk sebuah
buku? Bunda pasti akan membunuhku, pikirku kecut.
Di sampingnya aku melihat sebuah buku berjudul Man and Boy karya Tony
Parsons. Sepertinya menarik, pikirku setelah membaca resensinya.
“Sudah dapat?” tanya Soni yang tahu-tahu sudah ada di belakangku.
“Eh? Apa? Oh........engga. Cuma liat-liat doang kok,” jawabku dan
cepat-cepat mengembalikan kedua buku tadi ke tempatnya.
Soni mengangkat sebelah alis dan mengambil kedua buku yang ku letakkan,
“Kau suka Harry Potter?”
“Yeah.. aku punya buku ke dua dan ke empatnya doang,” kataku pelan.
“Koleksi?”
“Pengennya sih. Tapi buku-buku Harry Potter kan mahal. Apalagi edisi
aslinya gini.”
“Tony Parsons?” tanya Soni lagi dan mengangkat buku satunya, “Aku gak tahu
kalau kamu suka buku-uku drama serius dan dewasa.”
Aku nyengir, “Aku sudah suka novel sejak SD. Hampir segala jenis fiksi.
Drama, science fiction, misteri, detektif ataupun petualangan. Yang penting kan
bagus dan menarik ceritanya.”
“Sejak kapan kamu bisa baca buku dalam bahasa Inggris?”
“Sejak temenku ngasih buku Harry Potter yang ke dua. Gak tahu kenapa, saat
aku membaca versi terjemahannya, aku malah lebih suka versi aslinya. Lebih
seru! Mungkin karena ada beberapa frase dalam bahasa inggris yang sulit
diterjemahkan dalam bahasa kita.”
Soni mengangguk, “Good point!” katanya. Dia lalu mencomot buku Harry potter
lain yang ada. Padahal dia sudah memegang beberapa buku tebal tentang bisnis
dan ekonomi. Kemudian segera saja melenggang pergi.
“Eh, kamu beli buku novel-novel itu?” tanyaku heran.
“Iya,” jawab Soni singkat dan menyerahkan semuanya pada kasir, “Untukmu,”
sambungnya lagi.
“HAH?!!” sergahku kaget. Dia gila apa?! Kalau di total, buku-buku itu
nilainya mungkin sejutaan lebih. Soni sendiri cuek dan menyerahkan sebuah kartu
kredit ke kasir, lalu menyerahkan tas yang berisi novel-novel tadi padaku.
“Yuk?” ajaknya padaku yang masih terpaku.
“Son, kamu apa-apaan sih?!” kataku dan memburunya, “Kamu sadar gak sih
kalau harga buku-buku tadi sekitar 1 jutaan lebih?” cerocosku.
“So?” komentarnya santai, “Anggap saja sebagai ucapan terimakasih karena
sudah menemaniku,” lanjutnya lagi.
“Excuse me? Seharian tadi kita sudah ngurusin passportku, yang juga kamu
bayarin by the way. In case you forgot. Kita sudah makan, nonton dan kemudian
buku-buku ini. Berapa total uang yang kau keluarkan untukku hari ini?”
Soni tiba-tiba berhenti melangkah dan berbalik. Dia menatapku dengan tajam,
“Apa kau selalu memperhitungkan uang?” tanya dia datar.
Aku tentu saja kaget dengan pertanyaannya. Hal itu membuatku terpaku dan
tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sementara Soni yang setelah beberapa saat
tak mendapat apapun dariku akhirnya berbalik dan kembali melangkah pergi.
Aku mengikutinya dengan langkah gamang.
Keheningan yang ada diantara kami saat mobil Soni melaju di jalanan,
benar-benar menyesakkanku. Berkali-kali aku meliriknya. Tapi cowok itu masih
juga diam dan mengendarai mobilnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Seolah-olah tak tahu akan kehadiranku.
UGH!!!
Aku mengeluh dalam hati. Padahal kami baru saja dekat. Sungguh! Aku tak
bermaksud perhitungan soal uang. Ataupun terdengar seperti seorang pedagang
pelit yang meributkan sejumlah kecil uang. Tapi bagi orang sekelas aku,
menghabiskan uang yang mungkin berkisar 2-3 jutaan, bukan urusan sepele. Untuk
mendapatkan uang segitu, Bunda harus bekerja keras. Sementara Soni,
membelanjakan uang itu bahkan untuk sesuatu yang bukan bagi dirinya sendiri.
Tapi untukku. Aku mulai merasa seakan-akan aku memanfaatkannya.
AAAKKHH!!! Apa yang sebenarnya dia pikirkan sekarang? Pikirku lagi. Kembali
aku meliriknya sekilas. Dia masih dengan sikapnya semula.
Aku menghela nafas sebentar, “Orang tuaku.................bercerai ketika
aku berusia sembilan tahun,” kataku pelan dengan mata lurus ke depan,
“Ayahku.........selingkuh. belum genap setelah proses perceraian mereka
selesai, ayahku menikah lagi. Aku masih ingat, waktu itu aku di ajak oleh
nenekku dari pihak ayah untuk ikut menghadiri pernikahannya. Karena
bagaimanpun, aku adalah anaknya. Dan saat aku disana.............ayahku
mengusirku.”
Suaraku agak tercekat. Yeaaah.......tiap kali aku teringat akan hal itu,
aku selalu merasakan nyeri di dadaku. Campuran antara sakit hati, marah, sedih
dan mungkin juga dendam yang muncul, sering membuatku tak mampu menahan air
mata. Tak pernah sekalipun aku menceritakan hal ini pada orang lain. Tapi
sekarang, aku ingin Soni mendengarnya. Mungkin dengan hal ini, dia akan
memahami sikapku.
“Aku masih ingat dengan jelas umpatan-umpatan kasar yang dia lontarkan.
Nada-nada keras dan penuh kebenciannya. Dan bagaimana dia mendorong tubuh
kecilku, hingga aku terjatuh dan menangis ketakutan. Aku ingat, salah seorang
pamanku yang tanggap, langsung mengangkatku. Menyelamatkanku dari amukan ayah,
dan cepat-cepat membawaku keluar dari pesta terkutuk itu
Saat kami ada di luar, aku mendapati Bunda disana. Berdiri di dekat pintu
gerbang dengan mata basah.”
Sampai disitu, aku harus berhenti karena nafasku telah tertahan oleh tangis
yang sudah tak mampu lagi ku bendung. Cepat aku mengusap aliran air mata di
pipiku. Aku menarik nafas panjang sejenak.
“Beliau pasti mendengar semua kata-kata yang di lontarkan ayahku. Aku ingat
beliau jatuh terduduk di tanah dengan tangan terbuka dan terisak. Aku berontak
dari pegangan pamanku dan berlari ke arahnya, menangis. Bunda membawaku pergi
setelah mengucapkan terimakasih pada pamanku. Dan sejak itu, aku tak pernah
lagi kembali padanya.
Sejak itu aku tinggal bersama Bunda. Bunda tak pernah menikah lagi.
Sepanjang ingatanku, yang beliau lakukan hanyalah bekerja dan merawatku. Beliau
berusaha keras agar aku tidak kekurangan. Beliau ingin aku mendapatkan semua
hal, sama seperti yang di dapat oleh teman-temanku yang memiliki keluarga
lengkap. Tempat tinggal, baju, makanan, pendidikan dan juga hal lainnya. Bunda
tak ingin aku merasa berbeda, kurang ataupun menderita. Bayangkan, beliau
melakukan semuanya sendiri. Seorang wanita yang lemah. Sendiri. Tanpa
seorangpun yang membantunya. Dan aku bangga karenanya. Menghargai setiap hal
kecil yang kami miliki.
Tapi seperti yang kau lihat, kami tak bisa dikatakan hidup dengan mewah.
Rumah kami kecil. Benda-benda yang kami miliki juga sederhana. Seperti
handphoneku yang ingin kau lihat ini,” kataku dan mengeluarkan ponselku yang
tadi siang ingin di lihat Soni. Ponsel keluaran lama dengan layar berwarna
biru.
“Kau lihat kan? Kami hidup dalam kesederhanaan. Tapi kami cukup bahagia.
Kehidupan seperti inilah yang mampu diberikan oleh Bunda. Jangan salah, aku tak
pernah menyesalinya. Bunda mendidikku untuk selalu bersyukur dan tidak pernah
mengeluh. Bunda juga mendidikku untuk tidak menadahkan tangan pada orang lain.”
Aku menatap Soni yang masih diam dengan mata lurus ke depan.
“Untuk mendapatkan uang 1 juta, Bundaku harus bekerja keras, Son. Hari
ini...........kau menghabiskan uang, yang sepertinya lebih dari sejuta,
untukku. Dengan sikap seakan-akan kau Cuma membelikanku nasi goreng di pinggir
jalan.
Aku..............tak mnegerti.”
Soni tiba-tiba saja meminggirkan mobilnya dan berhenti, sehingga membuatk
sedikit tersentak kaget. Dan untuk beberapa saat lamanya, kami berada dalam
keheningan. Hanya suara derum pelan mobil yang terdengar. Aku tak berani
melihat ke arah Soni. Jadi aku Cuma menatap kegelapan di depan kami. Sesekali
mengikuti arah ekor cahaya kendaraan yang lewat.
“Maaf............” kata Soni akhirnya dengan nada datar, “Aku tak bermaksud
bersikap seperti orang sok dan.....”
“Aku tahu,” potongku cepat menenangkannya, “Aku tahu kau terlalu baik untuk
mampu bersikap seperti itu. Kau melakukan semuanya karena kebaikanmu. Aku
yakin, tak pernah sedikitpun terlintas di benakmu, untuk melakukan semua ini
seakan-akan semuanya semacam sumbangan untuk orang sepertiku.”
Kudengar Soni menghela nafas, “TJ, kau membuatku..”
“I’m serious,” kataku lagi, “Aku sudah menyaksikan dan merasakan sendiri
kebaikanmu. Saat kau membantuku di gunung Ijen. Saat kau membayar biaya rumah
sakitku, dan menyewa mobil waktu itu. Sejak itu, aku tahu. Aku hanya tak ingin
kau merasa bahwa aku................memanfaatkanmu,” ujarku dan menatapnya.
“TJ...”
“Aku tahu kau tak pernah memikirkannya. Aku Cuma takut kau.............you
know,” kataku dan mengangkat bahu tanpa mampu meneruskan kalimatku tadi,
“Intinya adalah, maaf. Aku tak bermaksud perhitungan soal uang atau apapun,”
sambungku kemudian.
“Tidak seharusnya aku marah tadi. Aku........”
“Son, please?” pintaku cepat, memotongnya, “It’s ok. Hanya
saja...........jangan marah seperti tadi lagi ya? Aku jadi inget waktu kau baru
mengenalku. Aku tak tahan kalau kau memperlakukanku seperti itu.”
Dan begitu kalimat tadi terlontar, aku langsung mengumpat dala hati. Aku
terdengar seperti baru saja menyatakan perasaanku secara halus. Bodoh!! Soni
pasti.....
“I’m sorry.”
“Stop it!” cegahku lagi, lega karena sepetinya dia tak menyadari implikasi
lain dari kalimatku tadi. Aku memberinya senyuman tipis, “Kita tak akan
berhenti saling meminta maaf kalau terus begini. Lupakan saja, ok? Aku hanya
ingin kamu tahu sehingga kamu gak marah lagi padaku. Itu sudah cukup. So, let’s
cut it out. Kita mulai hal baru lagi.”
Soni menatapku, kali ini dengan tatapan yang cukup lembut yang tentu saja
membuatku salah tingkah seketika. Cepat aku memalingkan mukaku ke arah depan
setelah memberinya senyuman cepat.
“So...............we’re cool, right?” tanya Soni pelan.
Aku melihatnya sekilas dan mengangguk, “Yeah. Tentu saja.
Dan..........terimakasih. sekarang, antarkan aku pulang, ok?”
“Tidak ingin pergi ke tempat lain?”
“Hah? Enggak kok. Ngapain? Udah malem.”
“Kan bisa nginep di rumah,” seloroh Soni enteng.
Aku bengong dengan reaksi santainya. Sejenak mengira kalau saku salah
dengar, “Gak bisa!” sahutku cepat setelah sadar,
“Aku belum minta izin ke
Bunda.”
“Kalau gitu, kita minta izin aja dulu. Lalu kita bisa...”
“Son, nggak bisa!” potongku sedikit panik. Nginep di rumah dia? Apa dia
bercanda?!! Hari ini, sudah begitu banyak hal terjadi. Kalau harus ditambah
dengan menginap di rumahnya, itu akan jadi terlalu sempurna bagiku. Dan tak ada
kesempurnaan dalam segala hal di dunia ini. Jangan-jangan akan terjadi hal yang
buruk kalau dia membuat hari ini sempurna. Jadi aku ingin nyaris sempurna saja.
“Lain kali saja ya?” sambungku.
“Kapan?”
“Entahlah. Minggu depan mungkin?” sahutku lagi asal.
Soni berpikir sejenak, “Minggu depan? Ehmmmm..............kalau tidak
salah, aku harus ke suatu tempat,” gumamnya pelan.
“Kalo gitu lain waktu saja, pas kamu sempet, ok?” sergahku, tanpa mampu
menyembunyikan kelegaanku.
Sesaat kemudian Soni mengangkat bahunya, “Ok! Minggu depan. Kau emani aku
ke suatu tempat. Kita menginap.”
“Apa?” tanyaku dengan suara tercekat.
“Iya, minggu depan. Kamu ikut aku ke suatu tempat. Ada sedikit urusan yang
harus ku tangani di luar kota. Kau temani aku karena sepertinya aku harus
menginap di sana,” jelas Soni seraya kembali menghidupkan mobilnya.
HAH?!!!!!
DIA BILANG APA TADI?!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar