BAB 3
Entah
sudah berapa lama aku tertidur, atau pingsan lebih
tepatnya. Aku tak tahu. Saat aku sadar,
tak ada orang disekitarku. Sunyi. Pertama kali yg kurasakan adalah dingin,
meski anehnya, aku juga bisa merasakan tubuhku yang terbungkus rapat ini telah basah oleh keringat. Kepalaku berdenyut
sakit sejak kubuka mata tadi. Mataku sendiri agak berkunang-kunang, dan segalanya tampak berputar. Dengan cepat kupejamkan mata saat mual menyerang.
Tubuhku benar kacau dan lemas luar biasa.
Setelah
agak tenang, aku kembali membuka mata.
Pertama
yang kulihat setelah aku bisa melihat dengan lebih fokus adalah perapian yang menyala diiringi suara derakan kayu yang terbakar. Dan kembali aku merasa aneh, karena tetap saja aku merasa kedinginan. Aku berbaring, berbantal sebuah
kasur lipat dengan tubuh
terselimuti rapat. Dan tubuhku lemas tak bertenaga.
Aku
memalingkan muka, menatap kearah perapian. Dan baru aku sadari, disana, tak
jauh dari perapian ada Soni yang duduk terdiam sambil menatap kobaran api.
Tepat saat aku hampir menutup mataku kembali, dia menoleh.
“Sudah
bangun?” tanya dia
pelan.
“Kenapa
sepi?” tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya tadi.
“Yang
lain sudah naik. Aku tinggal,” jawabnya singkat.
Untuk
menjagaku, sambungku dalam hati. SIAL!! Aku kalah!! Terbuktilah sudah semua
perkirannya tadi siang. Bahwa aku tak akan sanggup sampai puncak. Bahwa aku
hanya akan membuat kesulitan.
SIAL!
SIAL!!!! Rutukku dalam hati kesal. “Sebenernya kamu nggak perlu tinggal,”
kataku datar. Bahkan untuk marahpun, aku seakan-akan tak memiliki tenaga. Aku memalingkan muka
kesal.
“Kenapa?”
Kembali
aku menatapnya dengan marah. “Aku tak perlu kau jaga ok? Seperti tadi siang kau
katakan, aku hanya
akan membuat kesulitan dan tak akan sampai ke puncak. Nah, aku tak punya
keinginan untuk menyulitkanmu. Kau bisa pergi menyusul yang lain. Aku bisa sendiri disini. Aku bukan anak kecil yang perlu kau jaga. Jelas?!” kataku sengit.
Sebenarnya aku ingin meneriakkan kata-kata tadi ke mukanya. Mengguncang
tubuhnya. Atau mungkin menamparmnya, agar ekspresi datar dan dingin di wajahnya
itu hilang. Tapi aku tak bisa! Mengucapkan kalimat-kalimat tadi dengan marah saja sudah begitu
melelahkan dan membuat kepalaku mulai berdenyut sakit lagi,
”Kau
bisa sendiri?” Tanya Soni, masih dengan nada datar yang menyebalkan. “Kalau begitu, coba kau bangun!”
Kalimat
itu terdengar begitu sinis dan meremehkan ditelingaku. Dengan marah aku
bangkit. Namun baru separuh tubuhku terangkat, aku sudah tak sanggup. Mataku
berkunang-kunang dan tubuhku langsung panas dingin tak karuan. Segala sesuatunya
tiba-tiba saja berputar dengan gerakan cepat. Kesal, aku kembali menghempaskan tubuhku. Aku
benar-benar marah, geram dan frustasi. Dia menang dan aku kalah! Aku gagal! Kupejamkan mataku
yang telah berair rapat-rapat.
“Kenapa
kau bisa ada ditempat ini? Kenapa klub ini?”
Aku
membuka mata mendengar pertanyaannya, “Kenapa memangnya?” tanyaku pahit. Aku sudah bisa menebak apa yang
akan dikatakan Soni. Tapi sumpah!! Aku tak ingin kata sialan itu keluar dari
mulutnya. Tapi. . .
AAAAHHHHHH!!!
SIALAN!!!
“Kau pikir. . . ” sambungku dengan suara tertahan, “.
. aku tak pantas disini? Karena aku lemah?
Karena aku terlalu feminim? Karena aku seperti. . . . . banci?” tanyaku getir sembari memejamkan mata.
Nah, katakan itu sekarang! batinku.
Hening!
Untuk beberapa saat lamanya, tak ada suara selain suara derak kayu bakar
dan deru angin yang lumayan kencang.
“Aku tak
pernah mengatakan itu,” kata Soni
"Tapi
kau MAU mengatakannya kan?" potongku dan kembali menatapnya marah, "Lagi pula, kau tak perlu mengatakannya secara verbal. Sikapmu sudah menjelaskan semuanya. Kau sama
saja dengan mereka yang
menganggap orang-orang sepertiku adalah sampah. Meremehkan dan selalu
menghina kami. Menganggapnya sebagai lelucon koypl. Kau bahkan tak tahan untuk duduk disampingku
lebih dari 5 menit. Sepertinya aku benar-benar membuatmu jijik. Aku sama sekali tak punya
penyakit menular kalau kau mau tahu. Jadi duduk bersamaku tak akan membuatmu
sakit apapun," ujarku marah, meski pipiku basah.
"Aku
tak bermaksud begitu."
"Benarkah?
Sayangnya sikapmu menunjukkan sebaliknya. Tapi terserah kau mau apa. Aku tak
perduli. Seperti yg kubilang. Aku baik-baik saja. Jadi jangan
merasa sungkan. Silahkan tinggalkan aku," kataku seraya mengusap air
mataku dengan cepat. SIAL!! Kenapa aku harus menangis didepan cowok ini?! Kenapa aku
harus selalu mempermalukan diri
didepannya?!!
"Aku
tak pernah bermaksud merendahkanmu."
"Dengan menjauh saat aku didekatmu? Dengan
menjawab pertanyaanku cepat-cepat lalu kabur seakan-akan aku pengidap kusta?! Oh yeah! Caramu menunjukkan penghargaanmu padaku sangat jelas!" sindirku . Ku tatap dia tajam-tajam tanpa ampun. Kekesalan yang kupendam beberapa waktu ini terlontar begitu saja. Aku benar-benar tak mau peduli lagi reaksinya bagaimana nanti. Masa bodoh! Toh selama ini dia sudah tak menyukaiku, "Aku capek kalau harus memenuhi keinginan
orang lain yang tak
tahu apa-apa tentangku. Aku sudah malas memberikan kontrol hidupku pada
mereka. Sebodo
amat apa pandanganmu atau orang lain tentangku. I am who I am. Seperti inilah aku.
Aku tidak
berlagak ataupun berpura-pura. Ini caraku bersikap dan
berbicara. Memang apa salahnya untuk bersikap santun? Berbaju dengan rapi ataupun
menyukai kesenian daerah? Kalau indikasi seorang lelaki sejati adalah harus
berbaju awut-awutan, perilaku kasar dan tak sopan serta menyukai hal yang
merusak, maka biar saja aku tak termasuk di dalamnya. Yah, sebagai laki-laki aku mungkin lemah. Karena itu aku bergabung dengan klub ini. Untuk menunjukkan kalau aku bisa kuat seperti yang lain."
Entah
kenapa aku tak bisa menghentikan diriku sendiri. Semua itu keluar begitu saja.
Tak kupedulikan lagi keadaanku yang kacau. Aku bahkan hamper-hampir tak merasakan denyutan sakit dikepalaku.
Tanpa sadar aku juga telah bangkit duduk dari tidurku.
“Cowok
nggak nangis,” tegurnya singkat.
“Aku
memang cengeng, memang kenapa? Toh aku juga gagal seperti ucapanmu. Aku tak bisa mencapai puncak gunung sialan ini! Aku hanya
membuat masalah bagimu dan yang lain. Dan disini memang bukan tempatku. Sudah
terbukti aku cowok lemah kan? Kau menang! Kalimatmu sudah jadi kenyataan!
Puas?!” serangku lagi.
“Kalau memang kamu tak perduli dengan
perkataan orang lain seperti katamu tadi, kamu tak akan ada di tempat ini sekarang. Kamu pasti sudah masuk klub lain.”
“Seharusya
memang begitu kan? Tapi siapa yang tahan
kalau orang-orang selalu
memandang rendah dan meremehkanku?! Mencibir dan mempermainkanku? Seperti yang kau lakukan! Menghindari aku
seakan-akan aku punya penyakit menular. Karena orang-orang seperti mu aku masuk klub ini. Untuk membuka
mata kalian.Bahwa aku sama saja dengan kalian! DAN AKU GAGAL!! KAU MENANG! AKU MEMANG LEMAH!! AKU MEMANG CENGENG!
AKU MEMANG LEBIH COCOK JADI CEWEK! KAMU PUAS??!! SEKARANG PERGI TINGGALKAN AKU
SENDIRI!!!” teriakku keras. Nafasku benar-benar habis. Aku terengah-engah dan kepalaku berdenyut sakit, nyaris tak tertahankan. Sementara mataku telah kabur
dengan air mata.
Soni tak
langsung bereaksi. Untuk beberapa saat dia hanya diam memandangku yang mungkin tampak agak histeris atau mungkin gila. Lalu perlahan, dia
bangkit mengambil tas nya dan pergi.
Begitu
tubuh Soni lenyap dalam kegelapan malam, aku langsung memejamkan mataku rapat-rapat. Kepalaku nyut-nyutan seakan-akan memiliki nyawa sendiri. Segalanya tampak berputar cepat. Kuhempaskan kembali tubuhku ke
kasur daruratku. Aku meringkuk memeluk
perutku dan terisak hebat.
Lalu
semua kembali gelap!
**************************************************************************************************
Aku tak
tahu bagaimana, tapi tiba-tiba saja aku berada disebuah ruangan yg sangat sempit. Benar-benar sempit. Aku bahkan tak bisa menekuk kaki atau mengangkat tanganku. Depan, belakang, kanan, kiri, bahkan atas bawah tubuhku terbentur ke dinding. Ruangan itu
begitu kecil, sesak dan sempit. Seperti. . . . . peti mati!!
TIDAAKK!!!!!
Saat
mataku terbuka, aku telah berada kembali di gedung terlantar yang ada di kaki Gunung Ijen.
Sendiri!!
Aku
mimpi buruk! Tubuhku
basah oleh keringat, sementara kepalaku kembali berdenyut sakit. Aku mencoba
bangkit, namun tak sanggup. Tubuhku lemas, sama sekali tak bertenaga. Aku hanya mampu memejamkan mata. Pusing. Kalau aku membuka mataku, aku pasti mual dan muntah.
“Son. .
. . . . .” rintihku pelan. Namun suasana tetap hening meski telah beberapa saat berlalu. Tak ada jawaban. Ya Tuhan, dia benar-benar pergi!! Aku sendiri disini.
Wajar
saja kan? Sekarang baru aku sadari akan sikapku yang histeris tadi.
Mungkin dia tersinggung. Pasti tersinggung! Meski yang kukatakan sedikit banyak ada benarnya. Tidak semua. Terutama bagian bahwa aku ingin
dia pergi. Aku tak ingin dia pergi! Aku takut! Aku membutuhkannya!
“Jangan
pergi! Kembali. . . . . ” kataku lemah. Aku harus memanggilnya kembali. Aku
mencoba bangkit, namun tak bisa dan jatuh lagi ke tempat tidurku dengan mata berkunang-kunang. Pusing!! Batinku lemah sementara tubuhku kembali
berkeringat deras.
“Son. .
. . ,” panggilku lemah. Aku ingin berteriak memanggilnya, tapi tak bisa mengeluarkan suara yang lebih keras dari sebuah bisikan serak menyedihkan. Aku tak memiliki tenaga, “Jangan. . .
pergi. . . ,” aku memaksa diriku untuk merangkak, menyusulnya. Namun di luar benar-benar tak ada orang. Dia telah pergi menyusul yang lain ke puncak sana.
Dan
semua kembali gelap!
Kemudia
bumi berguncang!
Ada suara yang keras. Sangat bising dan
menakutkan. Perlahan aku membuka mata dan melihat sosok gelap didepanku. Lalu
ada guncangan keras lagi yang membuat pandanganku terlempar kesamping. Aku mimpi buruk lagi,
pikirku.
“TJ!!!”
Panggilan
keras, atau mungkin lebih tepatnya teriakan itu membuatku menggeliat dan
kembali membuka mata. Sesuatu yang keras dan panas menampar pipiku. Aku memaksa diri untuk
membuka mataku. Pandangku kabur. Yang terlihat hanyalah bayangan besar yang
kabur. Terlihat sekilas, untuk kemudian mengabur kembali. Sampai kemudian
pipiku kembali tertampar. Mataku nyalang untuk beberapa detik. Dan kulihat Soni didepanku!
“K-kau.
. . . . .” aku bergumam pelan, “. . . sudah per. . gi. ..”
“TJ!!!”
“Pergi.
. . ,” gumamku lagi untuk kemudian jatuh kembali dalam kegelapan.
Mimpi
burukku terus berlanjut!
Kali ini
aku sepertinya berada dalam sebuah perahu. Perahu yang berlayar dilautan bergelombang keras. Ada suara deru angin dan cipratan air yang mengenai wajahku. Aku membuka mataku, tapi segera memejamkan mata karena ada tetesan air menetes ke mukaku.
Kenapa mimpi ini begitu nyata? pikirku sedikit bingung. Bahkan angin yang berhembus keras dan tetes air sedingin es yang terus membasahi wajahku bisa kurasakan
dengan begitu jelasnya. Satu-satunya kehangatan yang ku rasakan berasal dari selimut disisi kiriku. Aku
menyusupkan wajahku pada selimut
yg entah darimana datangnya. Tubuhku yang kedinginan gemetar dan menggigil dengan hebatnya!
"Dingin.
. . ," gumamku lirih.
Aaaahh.
. . Sepertinya aku akan mati disini. Sendiri, pikirku pasrah. Akhirnya aku
memegang selimut yang ada didepanku dengan erat. Aku tak mau melepasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar