Translate

Kamis, 11 Agustus 2016

THE MEMOIRS, a gay chronicle Bab : 4



 Bab 4






Saat aku kembali membuka mata, aku berada didebuah ruangan bercat putih yg mirip kamar rumah sakit. Apa aku masih bermimpi? pikirku bingung. Tapi ruangan ini begitu nyata. Penuh dengan aroma obat yang menusuk hidung. Khas rumah sakit. Dan. . . . ada infus di lengan kananku. Suara pintu terbuka membuatku berpaling.

Andri tersenyum melihatku terjaga dan segera masuk.

"Halo TJ. Sudah siap untuk bergabung kembali dengan dunia?" tanyanya dengan suara yg terdengar lega, "TEMAN-TEMAN!! DIA SUDAH BANGUN!" katanya keras. Dalam sekejap, kamar itupun segera penuh oleh teman-teman yang lain. Kecuali Soni tentunya.

"Halo biang heboh! Kau sudah membuat kami cemas dengan tidur 2 hari," sapa Sari yang langsung menghampiriku ke pembaringan.

"Ini dimana?" tanyaku masih bingung.

"Rumah sakit kota Banyuwangi."

"Rumah sakit?"

"Yep! Keadaanmu payah. Menurut dokter kamu shock, kekurangan cairan lalu entah apa lagi. Aku lupa. Yang jelas, kamu kudu istirahat. Nggak ada yang perlu dicemaskan. Kakimu juga nggak apa-apa. Cukup istirahat saja bbrp waktu," jelas Andri.

"Pendakian?" tanyaku lagi.

"Sukses! Kami tinggal selama 2 hari disana. Makanya kami kaget waktu kembali kalian ngilang. Untung kami menemukan pesan Soni dipondok itu."

"2 hari? Soni? Maksudmu yang membawaku kesini. . . . . . . " aku menggantungkan kalimatku.

"Iya Soni. Nggak inget?" tanya Sari. "Mungkin gara-gara pingsan kamu nggak inget."

Aku termangu mendengar penjelasan mereka. Jadi Soni tidak pergi? Dia tidak menyusul yang lain kepuncak? Dia kembali dan membawa aku yang tak sadarkan diri ke rumah sakit kota. Tapi bagaimana . . . . . .

"Lho?! Kok ada didalam semua?" seorang perawat yang muncul didepan pintu membuat lamunanku terputu,  "Pasien butuh istirahat. Silahkan lainnya menunggu diluar," tegurnya sedikit marah. Teman-temanku segera mengeluarkan protesnya.

"Ayo keluar!!" usir suster itu cuek sambil mendorong mereka untuk pergi.

"Iya Sus! Duh! Cantik-cantik kok galak sih?" gerutu Adi.

"Nanti kami akan kembali," pamit Andri dan keluar menyusul yang lain.

"Bagaimana keadaannya?" tanya susuter itu dan mendekat dengan membawa baki berisi peralatan medis dan obat.
"Baik Sus. Cuma lemas," sahutku pelan. Aku membaca name tag nya yang tersemat didada. Ani. Usianya masih muda. Mungkin pertengahan 20. Dia memeriksa suhu tubuhku.

"Semuanya baik. Kamu hanya perlu istirahat untuk pulih. Nah, ini obatnya diminum," katanya sembari mengangsurkan sebutir obat padaku, "Kakaknya sudah datang?" sambungnya lagi seraya memeriksa selang infusku.

Aku yang baru saja menelan obat jadi sedikit bingung dan hampir tersedak, "Kakak?"

"Lho? Yang bawa kamu kesini? Putih, ganteng? Namanya . . . . . . . . Soni kalo gak salah?" tanya suster Ani. Tapi kulihat dia segera tampak menyesali antusiasmenya yang berlebihan saat menyebut nama itu. Wajahnya bersemu merah. Jelas dia juga terpesona oleh Soni. Hebat! Fans baru,  pikirku kecut.

"Dia bukan kakakku sus," jawabku pelan.

"Suster  kira dia kakakmu lho! Waktu dia datang menggendongmu, kebetulan suster yang jaga. Kamu nggak inget ya?Dia tiba-tiba datang menerobos dari luar, padahal hujan yang deras, dan mengatakan butuh bantuan. Kalian berdua basah kuyup. Kamu meringkuk dengan kepala ditutupi jaketnya. Tanganmu menggengam jaketnya sangat erat, kaku tak bisa dilepas. Kami harus menyuntikmu dengan obat penenang. Kamu berulangkali memanggil namanya. Dia menungguimu disini lho. Sampai temen-temenmu dateng. Dia gak mau pergi sampai dokter memastikan kalau kamu sudah stabil. Suster pikir saudaramu. Khawatir banget sih. Dan. . ."

Aku sudah tak mendengar ocehannya. Ya Tuhan! Soni melakukan semua itu untukku? Jadi saat kukira aku berada dalam perahu yang berlayar dikautan bergelombang itu . . . . . . . gendongan Soni? Selimut hangat yang kupegang itu jaket Soni? Kehangatan yang kurasakan itu kehangatan tubuh Soni? Ya ampun!!! Setelah apa yang kukatakan malam itu, bagaimana aku harus menghadapinya?!

"Aduh! Suster lupa bawa alat pengukur tensi. Kita harus memeriksa tekanan darahmu. Tunggu ya?"

Aku hanya mengangguk pada suster Ani yang tersenyum dan melangkah pergi. Dan baru beberapa detik kemudian, aku mendengarnya menyapa seseorang.

"Siang, Soni! Mau lihat keadaan TJ?"

Mampus!!! Aku harus gimanaaaaa?!!!

Aku jelas langsung panik. Soni datang! Aku celingukan bingung harus bagaimana. Karena tak tahu harus berbuat apa, aku langsung memejamkan mata dan berbaring miring agar ekspresi wajahku tersamar. Pura-pura tidur.

Aku bisa mendengar pintu yang terbuka dan suara langkah Soni yg mendekat. Tiap langkah yang dia ambil membuat debaran jantungku semakin keras dan cepat. Seakan akan berlomba dg sesuatu sehingga dadaku terasa sakit. Hingga dia berhenti. Aku tak berani bergerak. Bahkan bernafaspun jadi terasa susah.

Ranjang yang kutiduri berderit pelan.

TUHAN TOLONG!!! DIA DUDUK DISAMPINGKU!

Debaran jantungku makin tak karuan. Bisa kurasakan tubuhku mulai berkeringat. Saat aku mulai berpikir bahwa aku tak mampu menahan diri lagi, kurasakan tangan Soni mengusap keringat didahiku dengan lembutnya. Amat perlahan dan hamper-hampir penuh kasih. Tangan itu terus bergerak membelai rambutku.

Nafasku yang semula agak memburu, secara ajaib berangsur-angsur mulai teratur. Belaian tangan Soni justru menenangkanku?

Kemudian terdengar suara pintu terbuka pelan.

"Keadaannya sudah baik kok. Dia hanya perlu istirahat," ujar suster Ani yang sudahkembali. "Itu akan memulihkan kondisi tubuhnya dan. . .  lho?! Kok sudah tertidur?" tukasnya heran.

"Apa sus?" tanya Soni dengan nada yang sama.

"Tadi waktu suster keluar dia masih bangun kok! Temen-teman yang lain juga sudah ketemu dengannya."

MATI GUE!!!! batinku mencelos.

"Bangun sus?" tanya Soni lagi.

"Iya bangun! Dan sangat sadar. Kurang dari 5 menit tadi!" tegas suster Ani ngocol.

TUHAN! TOLONG SURUH SUSTER ANI UNTUK TUTUP MULUT!!!!!

"Ya sudah! Biar nanti saja suster ukur tensinya," kata Suster Ani dan pergi.

Untuk sesaat tak ada reaksi dari Soni. Dia hanya diam. Tapi aku bisa merasakan, kalau dia tengah memperhatikanku dengan pandangan seksama. Jantungku yang tadinya sudah tenang, kembali berdebar keras. Duh!! Apa yang dia pikirkan ya?!

Ranjangku kembali berderit saat Soni bangkit dan melangkah pergi. Kudengar suara pintu yang dibuka, lalu menutup kembali. Aku tak berani membuka mata hingga 5 menit berlalu. Setelah 5 menit yang terasa begitu lama, aku akhirnya melek!

Kamar itu kosong!

Aduh!!! batinku gundah.


*************************************************************************************************

 
Sore harinya teman-teman kembali. Soni ikut diantara mereka. Dan dia memasang wajah hariannya yang selalu ia tampilkan. Tak acuh dan cenderung dingin. Bahkan sejak masuk, dia tak sedikitpun melirikku. Ketika Andri dan lainnya asyik ngobrol soal pendakian kemarin, dia malah mojok didepan pintu dengan Adi yang ditariknya. Berkali-kali aku mencuri pandang, tapi Soni benar-benar tak menganggapku ada. Padahal setelah belaian lembutnya itu, kukira dia akan berubah.

"Jadi kamu pulangnya bareng Soni, TJ"

Aku yang tadinya setengah melamun sontan menoleh ke arah Andri,  "Heh?! Ngomong apa tadi?"

Andri jadi mendengus agak kesal karenanya. "Makanya dengerin kalo ada orang ngomong. Dengan keadaanmu yang kayak gini, kamu gak mungkin ikut bareng ma kita. Gak mungkin kamu ikut berdesakan di kereta kan? Ntar malah ambruk lagi. Kamu pulang bareng ma Soni naik mobil travel. Kita ketemuan di bandara Djuanda," jelas Andri lagi.

"Kenapa harus Soni sih An?" tanyaku pelan agar tak didengar oleh yang lainnya. Mereka masih ngobrol seru, "Kan bisa sama kamu atau yg lain?"

Ada kilatan dimata Andri yang tak kumengerti artinya. Cowok itu lalu tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya, 

"Kamu masih marah soal kakimu? TJ kau perlu tahu kalau kau, boleh dibilang berhutang banyak pada Soni. Dia yang. .  "

"Membantuku, membawaku kemari dalam keadaan hujan lebat. Ya, terimakasih. Aku tahu itu!" potongku tak sabar.

"Dia juga yg melunasi biaya rumah sakit dan sewa mobil travel yang akan kalian pakai besok!"

"Apa?" tanyaku kaget.

Kembali Andri mengangguk dan tersenyum dengan reaksiku, "Bener! Aku gak bohong! Jangan katakan apapun soal ini. Soni memintaku untuk merahasiakannya," bisiknya dengan nada berkonspirasi.

"Apa-apaan sih?! Kalo gitu, mana kuitansinya?! Berapa aku harus kembaliin ke dia? Aku punya tabungan!" cecarku kesal. Aku ogah berhutang lebih banyak pada kunyuk satu itu.

'Hei . . . Hei. . .!! Tenang! Kamu kenapa sih? Harusnya kan kamu bersyukur dan berterimakasih padanya. Dia sudah baik banget padamu" kata Andri, heran dengan reaksiku.

"Justru karena itu aku gak mau berhutang sama dia!!" potongku cukup keras sehingga membuat teman-teman lain yang tadinya ngobrol, langsung terdiam. Mereka menoleh pada kami, heran. Begitu juga Soni dan Adi yang ada didepan pintu.
Aku langsung menyadari reaksiku yg berlebihan,  "Maaf," gumamku pelan tanpa berani mengangkat muka. Semoga Soni tak mendengar apa yang kami bicarakan tadi, doaku dalam hati.

Untuk sejenak, hanya ada keheningan, sampai kemudian Andri memecahkannya dengan deheman keras, "Eeehh. . . . kalian bisa tinggalkan kami sebentar?" pinta Andri meminta pengertian. Meski terlihat penasaran, teman-teman yang lain menurutinya. Andri menutup pintu kamar dan langsung berbalik padaku, "Sekarang jelaskan padaku maksud dari kalimatmu tadi!" pintanya tegas. Jelas dia tak ingin dibantah saat ini.

"Kau tahu sendiri kan kalau Soni jelas-jelas tidak menyukaiku. Aku juga mendengar apa yang dia katakan saat kau dan lainnya membicarakanku ketika kita istirahat di gunung kemarin. Aku hanya akan membuat kesulitan. Itu yang dia katakan!"

Andri menghela nafas mendengarku, "TJ, kau menangkap kalimat itu secara mentah. Coba pikirkan. Yang Soni katakan adalah, kau akan membuat kesulitan bagi dirimu sendiri dan juga klub kita. Sekarang, mari kita telaah. Maaf, tolong jawab pertanyaanku, apa kau nyaman dengan kegiatan seperti klub kita ini?"

Aku tak menjawab, dan sepertinya Andri sudah paham tanpa aku perlu mengeluarkan penjelasan.

"Kalau boleh jujur, Soni benar kan? Disini bukan tempatmu TJ. Maaf," kata Andri pelan dg nada menyesal. "Aku tak tahu motivasi apa yg membuatmu bergabung dengan kami. Meski dugaanku, itu bukanlah sesuatu yg menyenangkan. Sampai-sampai bisa memaksamu mengambil keputusan ekstrim begini. Aku mungkin tidak berhak tahu. Tapi yang jelas, kau memang telah membuat kesulitan bagi dirimu sendiri."

Aku tertunduk. Yeah. . . . aku gagal. Klub ini memang hanya diperuntukkan bagi cowok-cowok yang kuat, macho dan menyukai tantangan. Sementara aku. . . .

"Banyak kegiatan di klub ini yang berbahaya. Panjat tebing, mendaki gunung, dan lain sebagainya. Kalau fisik dan mentalmu lemah, kau bisa celaka. Lebih parah dari yang kau alami sekarang. Bahkan mungkin fatal. Kalau itu terjadi, klub kita bisa-bisa ditutup. Kau paham yang dia maksud dengan kesulitan bagi klub kita?"

Aku kembali tak menyahut.

"Mengenai Soni. . . Dia tak seburuk dugaanmu. Kalau dia tak menyukaimu, dia tak akan mau menjaga dan merawatmu. Dia menggendongmu mengejar truk belerang yg telah berangkat agar bisa mendapatkan pertolongan untukmu. Dia juga harus berjalan jauh untuk bisa sampai ke rumah sakit ini. Menggendongmu. Itupun dalam keadaan hujan. Itu yang kau bilang tidak suka?"

Tenggorokanku benar-benar tercekat sekarang.

"Dia juga yang membayar biaya rumah sakit ini dan minta untuk dirahasiakan. Terutama darimu. Dia juga mencarikan mobil travel untukmu pulang. Dimana ketidaksukaan yang kau maksud TJ?"

Aku memalingkan muka, mengusap sudut mataku yang basah. Dadaku benar-benar sesak oleh rasa malu. Tapi.............apa lagi yang bisa kukatakan oleh sikapnya selama ini?

"Aku mungkin bisa menggantikan Soni menemanimu pulang dengan mobil travel. Tapi menurutku, Soni lebih membutuhkannya. Sama denganmu, sepertinya dia tidak begitu sehat."

Aku menatap Andri penuh tanya. Cowok itu hanya mengangguk.

"Perhatikan wajahnya. Dia sedikit pucat. Kau tak menyadarinya?"

Bagaimana bisa? Aku bahkan harus sembunyi-sembunyi  kalau ingin melihatnya. Setelah semua ini, aku bahkan merasa tak sanggup hanya dengan membayangkannya saja.

"Jadi. . .  . tolong ikuti saja. Agar kau jg bisa selamat dan sehat. Dan juga. . .  . pikirkan lagi sudut pandangmu tentang Soni. Ok?"

Kembali aku tertunduk dan hanya mengangguk.

"Istirahatlah!" kata Andri pelan dan melangkah pergi.

"An!" panggilku sebelum dia mencapai pintu. Cowok berhenti dan membalikkan tubuhnya. "Maaf! Aku. . . . . tak bermaksud membuat kesulitan bagi kalian," kataku lirih.

Andri hanya tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu kau pasti punya alasan yang bagus," katanya sembari membuka pintu dan keluar.  


********************************************************************************************

 
Mobil travel itu datang menjemput kami dirumah sakit. Ketika Andri memanggilku ke kamar, aku masih belum melihat Soni. Andri benar, kemarin saat kuperhatikan Soni terlihat agak pucat. Tapi dia bersikap biasa. Tidak lesu atau lemas. Masih tetap konsisten dengan ke tidak acuhannya.

Lucunya, kulihat mobil travel itu sudah terisi dengan tas dan barang-barang anak-anak.

"Mumpung kalian sewa mobil, kami pikir kan santai. Jadi semua pada nitip tas supaya ntar bawaan kami gak berat-benar amat!" jelas Andri dan nyengir.

"Jadi sekalian nguli nih?" sindirku.

"Habis sayang kan kalo semobil cuma diisi ma 2 orang? Kenapa gak dimanfaatin? Kamu duduk dikursi belakang aja bareng Soni."

"Dimana di. . . ." kalimatku terpotong saat melihat sosoknya yang ada didalam mobil dengan tubuh menyandar dan mata yang terpejam.

"Biarkan dia beristirahat," kata Andri pelan yang kujawab dengan anggukan.

"Jadi kita ketemu di Bandara?" tanyaku.

"Yup!" jawab Andri sembari mengangguk. "Aku sudah kasih tahu jadwal penerbangan kita pada pihak travel, dan kau akan tiba disana tak lama sebelum jam keberangkatan kita. Sekarang naiklah!"

Aku hanya tersenyum dan naik perlahan, karena kakiku masih ngilu. Soni tetap tak bergerak ketika aku duduk disampingnya. Aku akhirnya hanya melambai pada teman-teman yang lain saat mobil bergerak.

Hingga hampir satu jam kemudian, Soni tidak juga bergerak. Mungkin dia benar-benar kecapekan dan butuh istirahat. Aku sendiri sempat tertidur beberapa saat. Saat aku terbangun karena guncangan mobil, aku beranikan diri untuk melirik Soni. Dia masih berada pada posisi yg sama seperti saat kami berangkat tadi. Akhirnya, aku menoleh ke samping untuk benar-benar memandangnya.

Aku mendesah pelan.

Orang seperti apa dia sebenarnya? Kenapa sulit sekali untuk bisa mengerti dia? Mulanya aku berpikir kalau dia tidak menyukaiku. Atau mungkin jijik padaku. Aku sudah sering mendapat perlakuan seperti itu dari orang-orang. Perlakuan merendahkan yang sangat ku benci. Memberiku sebutan-sebutan yang tidak mengenakkan hati dan bahkan merendahkan, sindiran-sindiran  memanaskan telinga, atau perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan yangkadang  membuatku merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dalam diriku.

Kupikir aku sudah terbiasa dengan hal itu. Tapi ternyata tidak! Aku tak suka Soni memperlakukanku seperti benda aneh yang berbahaya dan menular. Kemarin-kemarin, aku begitu ingin memakinya atas perlakuannya padaku. Ingin sekali menjelaskan panjang lebar padanya bahwa dia toh juga manusia yang sama dan memiliki banyak kekurangan sepertiku.
Sialnya, aku hampir-hampir tak menemukan kekurangannya. Dia benar-benar sosok yang nyaris sempurna. Hidung mancung lurus dengan ujungnya yang tinggi, bibirnya yang biasanya merah basah, rona kebiruan bekas cukuran diwajahnya, kulitnya yang menawan, serta postur tubuh tegapnya membuat dia terlihat tanpa cela. Dari sudut pandang manapun, dia tampak menawan dimataku.

Lalu kelopak mata yang ditumbuhi bulu2-bulu lebat dan lentik itu mengerjap, membuatku sedikit kaget. Sebelum mata itu benar-benar terbuka, aku segera berpaling. Aku meliriknya yang meregangkan tubuh dan menatap berkeliling.

"Sudah bangun?" tanyaku pelan, mencoba membuka percakapan.

Soni tak menjawab, hanya mendengus pelan dan kembali berdandar dikursi sambil memejamkan matanya.
Aku berdehem untuk mengumpulkan suara dan keberanian, "Kamu. . .  . sedang gak enak badan ya?" tanyaku lagi.

"Nggak," jawabnya singkat tanpa membuka mata.

Aaaaahh!! Lagi-lagi sikap dingin dan tak acuhnya. Mungkin aku memang harus membiasakan diri dengan tabiatnya yang seperti itu, seperti kata Andri. Tapi bagaimanapun juga, aku merasa kesal.

"Ooh. . . cuma kurang istirahat ya? Kurang tidur?" tanyaku lagi, mencoba terus memancing pembicaraan.

"Nggak!" jawabnya. Masih dengan mata terpejam.

"Kalo gitu, kecapekan ya?"

"Nggak," sahutnya datar.

"Sudah makan? Andri tadi ngasih apel lho. Mau?"

"Enggak!"

Gggrrrrrrr.....................!!!!

"Apa kamu punya kosakata lain selain enggak? Seperti misalnya, tidak terimakasih. Atau, oh kamu baik sekali. Bisa juga thank you, but no. Thanks. Pokoknya selain kata nggak. Ada?" Sebelum aku bisa menahan diri, kalimat tadi sudah menyembur dari mulutku.

Kali ini Soni membuka matanya dan menatapku heran. Aku membalasnya dengan marah. dia diam sejenak lalu,  ". . . . , nggak," katanya singkat dan kembali memejamkan mata.

AAAAAARRRRRGGGGHHHH!!! 

Aku harus menggertakkan gigi agar sumpah serapah yang sudah ada di ujung lidahkuku tidak keluar. Aku memandangnya dengan tatapan sengit yang tak lagi ku tutupi, “Kalau begitu, berapa yang harus ku bayar padamu?” tanyaku dingin.

Lagi, mata itu terbuka dan menatapku dengan heran.

“Aku tahunkau yang membayar biaya Rumah Sakit dan juga mobil ini. Katakan berapa yang harus aku ganti karena aku tak mau berhutang padamu.”

“Nggak,” sahutnya pelan.

“APA MAKSUDMU DENGAN ENGGAK?!!” bentakku sedikit keras sehingga membuat sopir yang membawa mobil kami sedikit kaget. Dia menoleh sekilas dari spion. Tapi aku memilih untuk tidak mengacuhkannya. Bagaimana Soni bisa menjawab semua pertanyaanku dengan satu jawaban yang sama?! Mengesalkan!!

Lalu tiba-tiba saja dia berpaling dan menatap langsung padaku dengan matanya yang tajam. Aku yang semula sudah siap untuk berkonfrontasi dengannya, tiba-tiba saja tertohok diam. Cepat aku berpaling dan menatap ke depan. Pandangannya tadi membuatku gugup dengan jantung yang langsung kebat-kebit tak karuan.

SIALAN!!

Ampun!! Dimana semua kebawelanku yang sering membuat Wina dan yang lain tutup kuping?! Hanya dengan satu tatapan dan dia sanggup membungkamku?!!

SIALAN!! SIALAAANN!!!!

“Ke-kenapa kau melihatku seperti itu?” tanyaku dan meliriknya dengan gugup sekilas. Dia masih saja menatapku seperti tadi tanpa mengatakan apapun. Duhhhh!! Cepat berpaling doong!! Gak tahan niihh!!!

“Aku ingin pembicaraan ini berhenti sampai disini, jelas?!!” kata Soni dengan ekspresi yang lebih dingin dariku tadi. Ada nada final dalam suaranya.

Aku membuang pandangan ke luar mobil. Melihat bayangan gedung dan kendaraan yang berlalu dengan perasaan gamang sebelum akhirnya menelan ludah untuk mengumpulkan suara, “Kau………………..benar-benar tak menyukaiku ya?” tanyaku pelan dengan nada kalah tanpa berani melihatnya.

Tak ada jawaban!

Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memberanikan diri untuk meliriknya. Cowok itu duduk  bersandar dengan kedua mata terpejam. Tertidur. Tanpa sadar aku menghela nafas panjang. Mungkin dia benar-benar membenciku. Sepertinya akan lebih baik jika aku menutup mulutku saja, pikirku sedih.

Sepanjang sisa perjalanan itu, kami sama sekali tidak berbicara lag. Selama lebih dari 6 jam perjalanan, kebanyakan aku tempuh dlam diam dan mencoba untuk tidur. Satu kali aku pernah terlelap sejenak, dan saat sadar kepalaku sudah bersandar di bahu Soni.

Aku cepat-cepat menegakkan diri dan bersandar di sisi mobil yang berlawanan.

Kami sampai di bandara saat hari telah gelap. Aku dan Soni sudah terjaga sejak beberapa menit tadi. Tapi aku tak berani untuk melihat ke arahnya. Aku lebih memilih mengarahkan pandanganku ke luar. Tepat di depan pintu keberangkatan domestik, Andri dan yang lain telah menunggu kami. Begitu melihat mobil kami, mereka segera mendekat. Aku yang sudah tak tahan dengan keheningan di dalam mobil, cepat-cepat kelua.

“Kalian sudah lama?” tanyaku pada Andri yang langsung menurunkan tas-tas yang ada dalam mobil, dibantu oleh yang 
lain.

“Udah setengah jam kali.Gimana perjalanannya TJ? Kamu baik-baik aja Son? Ya Tuhan..... lo gak apa-apa?”

Aku yang sudah hendak melangkah, jadi urung saat mendengar nada kaget Andri. Saat berbalik, aku mlihat Soni yang melangkah keluar dari mobil dengan pelan. Wajahnya pucat. Dia melambaikan tangannya pada Andri yang mencoba membantunya.

“Gak apa-apa An. Cuma kecapekan,” katanya, “Jam berapa kita berangkat?”

“Dua jam lagi, Son. Kita bisa check in sekarang. Elo...”

Kalimat Andri terpotong saat Soni mengangkat tangannya, tanda bahwa dia tak mau membahasnya lagi, “Alat-alat tajam dan logam lainnya sudah dikirim kan? Ada masalah?”

Andri menggeleng, “Sudah dipaketin kok. Kita kaan menerimanya dalam dua hari,” jelas Andri sementara matanya masih melihat Soni dengan khawatir, “Son.............”

Soni terus berlalu dari hadapanku tanpa menghiraukanku lagi.  Aku menghela nafas. Tuhan, sult sekali berkomunikasi dengan makhluk satu ini, batinku.

Dan kembali Soni tak acuh padaku dalam perjalanan pulang kali ini. Dia memilih duduk jauh dariku di pesawat. Sesekali aku melhat ke arahnya. Kebanyakan dia Cuma duduk bersandar dan memejamkan mata. Wajahnya benar-benar pucat. Aku diliputi rasa cemas. Tapi.....apa yang bisa aku lakukan?

Hanya satu jam perjalananyang kami tempuh, dan kamipun mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Kami mencoba mengurus bagasi kami secepat yang kami bisa.

“Ok, Son. Lo bisa cari taksi. Pulang aja bareng TJ. Biar gue ma yang lain yang urus anak-anak,” kata Andri cepat saat kami berjalan keluar bandara, “Kamu gak apa-apa kan, TJ?” tanya dia padaku yang berjalan agak pincang di belakangny.   
Aku hanya menggelengkan kepala.

Kami menemukan taksi dengan segera di depan pintu keluar. Tanpa bicara, Soni segera masuk.

“Aku pulang duluan ya?” pamitku pada yang lain kemudian masuk dan duduk di samping Soni ang kembali hanya bersandar dan memejamkan matanya.

“Kita ke tempatu dulu,” katanya singkat tanpa membuka matanya, membuatku kembali menghela nafas masygul. Aku segera menyebutkan alamatku pada sopir taksi. Kamipun meluncur keluar dari bandara. Dalam perjalanan, kuberanikan diri untuk melihat ke arah Soni. Wajahnya benar-benar pucat pasi. Bibirnya yang biasa terlihat merah basah juga kehilangan warnanya. Ada keringat yang bermanik di dahinya. Dia benar-benar tidak sehat.

“Son, kita ke dokter dulu ya?” ajakku pelan.

Soni membuka mata dan melihatku heran, “Apa kamu sakit?”

Aku menggeleng, “Kamu yang harus di periksa. Coba liat wajahmu. Kamu benar-benar pucat.” Kataku dengan nada cemas yang tak lagi ku tutupi.

“Listen, I’m okay! Jadi tolong berhentilah menanyakan hal konyol!”

Aku ingin membantah, tapi pandangan tajam Soni kembali membungkamku. Aaaahh!! Terserahlah! Toh yang sakit bukan gue, putusku akhirnya, meski dengan hati yang tidak ikhlas.

Kami akhirnya sampai di depan gang yang menuju rumahku. Aku keluar dengan langkah ragu, tak tahu harus mengatakan apa pada Soni yang diam di tempatnya, kembali dengan memejamkan mata. Pak Sopir segera turun dan membantu mengeluarkan tasku dari bagasi. Aku mengucapkan terimakasih yang dijawab hanya dengan anggukan olehnya. Diapun langsung masuk kembali ke dalam taksinya.

“Son..”

“Jalan, Pak!” kata Soni singkat. Dan taksi itupun berlalu.

Gila!!! Emang sinting beneran tuh cowok! Gerutuku dalam hati dan memandang taksi yang melaju itu sembari 
merapatkan jaket yang ku pakai.

Eh, tapi ngomong-ngomong, ini bukan jaket gue? Punya siapa sik? Kapan juga gue makenya? Bodo ah! Pikirku kesal dan menyampirkan tasku ke punggung untuk kemudian melangkah menuju rumahku. Sepertinya mandi keramas dan berisitirahat hanyalah satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa lebih baik