Bab 4
Saat aku
kembali membuka mata, aku berada didebuah ruangan bercat putih yg mirip kamar
rumah sakit. Apa aku masih bermimpi? pikirku bingung. Tapi ruangan ini begitu
nyata. Penuh dengan aroma obat yang menusuk hidung. Khas rumah sakit. Dan. . . . ada infus di lengan kananku. Suara pintu
terbuka membuatku berpaling.
Andri
tersenyum melihatku
terjaga dan segera masuk.
"Halo
TJ. Sudah siap untuk bergabung kembali dengan dunia?" tanyanya dengan
suara yg terdengar lega, "TEMAN-TEMAN!! DIA SUDAH BANGUN!" katanya keras. Dalam sekejap, kamar itupun segera penuh oleh teman-teman yang lain. Kecuali Soni tentunya.
"Halo
biang heboh! Kau sudah membuat kami cemas dengan tidur 2 hari," sapa Sari
yang langsung
menghampiriku ke pembaringan.
"Ini
dimana?" tanyaku masih bingung.
"Rumah
sakit kota Banyuwangi."
"Rumah
sakit?"
"Yep!
Keadaanmu payah. Menurut dokter kamu shock, kekurangan cairan lalu entah apa
lagi. Aku lupa. Yang jelas, kamu kudu istirahat. Nggak ada yang perlu dicemaskan. Kakimu juga nggak apa-apa.
Cukup istirahat saja bbrp waktu," jelas Andri.
"Pendakian?"
tanyaku lagi.
"Sukses!
Kami tinggal selama 2 hari disana. Makanya kami kaget waktu kembali kalian ngilang. Untung kami menemukan pesan Soni dipondok
itu."
"2
hari? Soni? Maksudmu yang membawaku kesini. . . . . . . " aku menggantungkan kalimatku.
"Iya
Soni. Nggak inget?" tanya Sari. "Mungkin gara-gara pingsan kamu nggak inget."
Aku
termangu mendengar penjelasan mereka. Jadi Soni
tidak pergi? Dia tidak menyusul yang lain kepuncak? Dia kembali dan membawa aku yang tak sadarkan diri ke rumah sakit kota. Tapi
bagaimana . . . . . .
"Lho?!
Kok ada didalam semua?" seorang perawat yang muncul didepan pintu membuat lamunanku terputu, "Pasien butuh istirahat. Silahkan lainnya menunggu diluar," tegurnya sedikit
marah. Teman-temanku
segera mengeluarkan protesnya.
"Ayo
keluar!!" usir suster itu cuek sambil mendorong mereka untuk pergi.
"Iya
Sus! Duh! Cantik-cantik kok galak sih?" gerutu Adi.
"Nanti
kami akan kembali," pamit Andri dan keluar menyusul yang lain.
"Bagaimana
keadaannya?" tanya susuter itu dan mendekat dengan membawa baki berisi peralatan medis dan obat.
"Baik
Sus. Cuma lemas," sahutku pelan. Aku membaca name tag nya yang tersemat didada. Ani. Usianya masih muda.
Mungkin pertengahan 20. Dia memeriksa suhu tubuhku.
"Semuanya
baik. Kamu hanya perlu istirahat untuk pulih. Nah, ini obatnya diminum,"
katanya sembari mengangsurkan sebutir obat padaku, "Kakaknya sudah datang?" sambungnya lagi seraya memeriksa
selang infusku.
Aku yang baru saja menelan obat jadi sedikit bingung
dan hampir tersedak, "Kakak?"
"Lho?
Yang bawa kamu kesini? Putih, ganteng? Namanya . . . . . . . . Soni kalo gak salah?" tanya suster Ani. Tapi kulihat dia
segera tampak menyesali antusiasmenya yang berlebihan saat menyebut nama itu. Wajahnya bersemu merah. Jelas dia juga terpesona oleh Soni. Hebat!
Fans baru, pikirku kecut.
"Dia
bukan kakakku sus," jawabku pelan.
"Suster
kira dia kakakmu lho! Waktu dia datang menggendongmu, kebetulan suster yang jaga. Kamu nggak inget ya?Dia tiba-tiba datang menerobos dari luar, padahal hujan yang deras, dan mengatakan butuh bantuan. Kalian berdua basah kuyup. Kamu meringkuk
dengan kepala ditutupi jaketnya. Tanganmu menggengam jaketnya sangat erat, kaku tak bisa
dilepas. Kami harus menyuntikmu dengan obat
penenang. Kamu berulangkali memanggil namanya. Dia menungguimu disini lho.
Sampai temen-temenmu
dateng. Dia gak mau pergi sampai dokter memastikan kalau kamu sudah stabil. Suster pikir saudaramu.
Khawatir banget sih. Dan. . ."
Aku sudah
tak mendengar ocehannya. Ya Tuhan! Soni melakukan semua itu untukku? Jadi saat kukira aku berada dalam perahu yang berlayar dikautan bergelombang itu . . . . . . . gendongan Soni? Selimut hangat yang kupegang
itu jaket Soni? Kehangatan yang kurasakan itu kehangatan tubuh Soni? Ya ampun!!! Setelah apa yang kukatakan malam itu, bagaimana aku harus
menghadapinya?!
"Aduh!
Suster lupa bawa alat pengukur tensi. Kita harus memeriksa tekanan darahmu.
Tunggu ya?"
Aku
hanya mengangguk pada suster
Ani yang tersenyum dan melangkah pergi. Dan baru beberapa detik kemudian, aku mendengarnya menyapa
seseorang.
"Siang, Soni! Mau lihat keadaan TJ?"
Mampus!!! Aku
harus gimanaaaaa?!!!
Aku
jelas langsung panik. Soni datang! Aku celingukan bingung harus bagaimana. Karena tak tahu harus berbuat apa, aku langsung
memejamkan mata dan berbaring miring agar ekspresi wajahku tersamar. Pura-pura
tidur.
Aku bisa
mendengar pintu yang terbuka dan suara langkah Soni yg mendekat. Tiap langkah yang dia ambil membuat debaran jantungku semakin
keras dan cepat. Seakan akan berlomba dg sesuatu sehingga dadaku terasa sakit.
Hingga dia berhenti. Aku tak berani bergerak. Bahkan bernafaspun jadi terasa
susah.
Ranjang
yang kutiduri berderit pelan.
TUHAN
TOLONG!!! DIA DUDUK DISAMPINGKU!
Debaran
jantungku makin tak karuan. Bisa kurasakan tubuhku mulai berkeringat. Saat aku
mulai berpikir bahwa aku tak mampu menahan diri lagi, kurasakan tangan Soni
mengusap keringat didahiku dengan lembutnya. Amat perlahan dan hamper-hampir penuh kasih. Tangan itu terus bergerak
membelai rambutku.
Nafasku
yang semula agak memburu, secara ajaib
berangsur-angsur mulai teratur. Belaian tangan Soni justru menenangkanku?
Kemudian
terdengar suara pintu terbuka pelan.
"Keadaannya
sudah baik kok. Dia hanya perlu istirahat," ujar suster Ani yang sudahkembali. "Itu akan memulihkan kondisi
tubuhnya dan. . . lho?! Kok sudah
tertidur?" tukasnya heran.
"Apa
sus?" tanya Soni dengan nada yang sama.
"Tadi
waktu suster keluar dia masih bangun kok! Temen-teman yang lain juga sudah ketemu dengannya."
MATI
GUE!!!! batinku mencelos.
"Bangun sus?" tanya Soni lagi.
"Iya
bangun! Dan sangat sadar. Kurang dari 5 menit tadi!" tegas suster Ani ngocol.
TUHAN!
TOLONG SURUH SUSTER ANI UNTUK TUTUP MULUT!!!!!
"Ya
sudah! Biar nanti saja suster ukur tensinya," kata Suster Ani dan pergi.
Untuk
sesaat tak ada reaksi dari Soni. Dia hanya diam. Tapi aku bisa merasakan, kalau
dia tengah memperhatikanku dengan pandangan seksama. Jantungku yang tadinya sudah tenang, kembali berdebar keras. Duh!! Apa yang dia pikirkan ya?!
Ranjangku
kembali berderit saat Soni bangkit dan melangkah pergi. Kudengar suara pintu
yang dibuka, lalu menutup kembali. Aku tak berani membuka mata hingga 5 menit
berlalu. Setelah 5 menit yang terasa begitu lama, aku akhirnya melek!
Kamar itu
kosong!
Aduh!!!
batinku gundah.
*************************************************************************************************
Sore
harinya teman-teman
kembali. Soni ikut diantara mereka. Dan dia memasang wajah hariannya yang selalu ia tampilkan. Tak acuh dan cenderung dingin. Bahkan sejak masuk, dia tak sedikitpun
melirikku. Ketika Andri dan lainnya asyik ngobrol soal pendakian kemarin, dia malah mojok didepan pintu dengan Adi yang ditariknya. Berkali-kali aku mencuri pandang, tapi Soni benar-benar tak menganggapku ada. Padahal setelah belaian
lembutnya itu, kukira dia akan berubah.
"Jadi
kamu pulangnya bareng Soni, TJ"
Aku yang tadinya setengah melamun sontan menoleh ke
arah Andri, "Heh?! Ngomong apa tadi?"
Andri
jadi mendengus agak kesal karenanya. "Makanya dengerin kalo ada orang ngomong. Dengan keadaanmu yang kayak gini, kamu gak mungkin ikut bareng ma
kita. Gak mungkin kamu ikut berdesakan di kereta kan? Ntar malah ambruk lagi. Kamu pulang bareng ma Soni naik mobil travel.
Kita ketemuan di bandara Djuanda," jelas Andri lagi.
"Kenapa
harus Soni sih An?" tanyaku pelan agar tak didengar oleh yang lainnya. Mereka masih ngobrol seru, "Kan bisa sama kamu atau yg lain?"
Ada
kilatan dimata Andri yang tak kumengerti artinya. Cowok itu lalu tersenyum kecil dan
menggelengkan kepalanya,
"Kamu masih marah soal kakimu? TJ kau perlu tahu kalau kau,
boleh dibilang berhutang banyak pada Soni. Dia yang. . "
"Membantuku,
membawaku kemari dalam keadaan hujan lebat. Ya, terimakasih. Aku tahu
itu!" potongku tak sabar.
"Dia
juga yg melunasi biaya rumah sakit dan sewa mobil travel yang akan kalian pakai besok!"
"Apa?"
tanyaku kaget.
Kembali
Andri mengangguk dan tersenyum dengan reaksiku, "Bener! Aku gak bohong! Jangan katakan apapun soal ini. Soni memintaku
untuk merahasiakannya," bisiknya dengan nada berkonspirasi.
"Apa-apaan
sih?! Kalo gitu, mana kuitansinya?! Berapa aku harus kembaliin ke dia? Aku punya tabungan!" cecarku kesal.
Aku ogah berhutang lebih banyak pada kunyuk satu itu.
'Hei . .
. Hei. . .!! Tenang! Kamu kenapa sih? Harusnya kan kamu bersyukur dan
berterimakasih padanya. Dia sudah baik banget padamu" kata Andri, heran dengan reaksiku.
"Justru
karena itu aku gak mau berhutang sama dia!!" potongku cukup keras sehingga membuat
teman-teman lain yang tadinya ngobrol, langsung terdiam. Mereka menoleh pada kami, heran. Begitu juga Soni
dan Adi yang ada
didepan pintu.
Aku
langsung menyadari reaksiku yg berlebihan, "Maaf," gumamku pelan
tanpa berani mengangkat muka. Semoga Soni tak mendengar apa yang kami bicarakan
tadi, doaku dalam hati.
Untuk
sejenak, hanya ada keheningan, sampai kemudian Andri memecahkannya
dengan deheman keras, "Eeehh. . . . kalian bisa tinggalkan kami sebentar?" pinta Andri meminta pengertian. Meski terlihat
penasaran, teman-teman yang lain menurutinya. Andri menutup pintu kamar dan langsung berbalik
padaku, "Sekarang jelaskan padaku maksud dari
kalimatmu tadi!" pintanya tegas. Jelas dia tak ingin dibantah saat ini.
"Kau
tahu sendiri kan kalau Soni jelas-jelas tidak menyukaiku. Aku juga mendengar
apa yang dia katakan saat kau dan lainnya membicarakanku ketika kita istirahat di
gunung kemarin. Aku hanya akan membuat kesulitan. Itu yang dia katakan!"
Andri
menghela nafas mendengarku, "TJ, kau menangkap kalimat itu secara mentah. Coba pikirkan. Yang Soni katakan adalah, kau akan membuat
kesulitan bagi dirimu sendiri dan juga klub kita. Sekarang, mari kita telaah.
Maaf, tolong jawab pertanyaanku, apa kau nyaman dengan kegiatan seperti klub
kita ini?"
Aku tak
menjawab, dan sepertinya Andri sudah paham tanpa aku perlu mengeluarkan
penjelasan.
"Kalau
boleh jujur, Soni benar kan? Disini bukan tempatmu TJ. Maaf," kata Andri
pelan dg nada menyesal. "Aku tak tahu motivasi apa yg membuatmu bergabung
dengan kami. Meski dugaanku, itu bukanlah sesuatu yg
menyenangkan. Sampai-sampai bisa memaksamu mengambil keputusan ekstrim begini. Aku mungkin tidak
berhak tahu. Tapi yang jelas, kau memang telah membuat kesulitan bagi dirimu sendiri."
Aku
tertunduk. Yeah. . . . aku gagal. Klub ini memang hanya diperuntukkan bagi cowok-cowok yang kuat, macho dan menyukai tantangan. Sementara aku. . . .
"Banyak
kegiatan di klub ini yang berbahaya. Panjat tebing, mendaki gunung, dan lain sebagainya. Kalau
fisik dan mentalmu lemah, kau bisa celaka. Lebih parah dari yang kau alami sekarang. Bahkan mungkin fatal.
Kalau itu terjadi, klub kita bisa-bisa ditutup. Kau paham yang dia maksud dengan
kesulitan bagi klub kita?"
Aku
kembali tak menyahut.
"Mengenai
Soni. . . Dia tak seburuk dugaanmu. Kalau dia tak menyukaimu, dia tak akan mau
menjaga dan merawatmu. Dia menggendongmu mengejar truk belerang yg telah
berangkat agar bisa mendapatkan pertolongan untukmu. Dia juga harus berjalan jauh untuk bisa sampai ke rumah
sakit ini. Menggendongmu. Itupun dalam keadaan hujan. Itu yang kau bilang tidak suka?"
Tenggorokanku
benar-benar tercekat sekarang.
"Dia
juga yang membayar biaya rumah sakit ini dan minta
untuk dirahasiakan. Terutama darimu. Dia juga mencarikan mobil travel untukmu
pulang. Dimana ketidaksukaan yang kau maksud TJ?"
Aku
memalingkan muka, mengusap sudut mataku yang basah. Dadaku benar-benar sesak oleh rasa malu. Tapi.............apa lagi yang bisa kukatakan oleh sikapnya selama ini?
"Aku
mungkin bisa menggantikan Soni menemanimu pulang dengan mobil travel. Tapi menurutku, Soni lebih
membutuhkannya. Sama denganmu, sepertinya dia tidak begitu sehat."
Aku
menatap Andri penuh tanya. Cowok itu hanya mengangguk.
"Perhatikan
wajahnya. Dia sedikit pucat. Kau tak menyadarinya?"
Bagaimana
bisa? Aku bahkan harus sembunyi-sembunyi kalau ingin melihatnya. Setelah
semua ini, aku bahkan merasa tak sanggup hanya dengan membayangkannya saja.
"Jadi.
. . . tolong ikuti saja. Agar kau jg bisa selamat dan sehat. Dan juga. . . . pikirkan lagi sudut pandangmu tentang Soni. Ok?"
Kembali
aku tertunduk dan hanya mengangguk.
"Istirahatlah!"
kata Andri pelan dan melangkah pergi.
"An!"
panggilku sebelum dia mencapai pintu. Cowok berhenti dan membalikkan tubuhnya.
"Maaf! Aku. . . . . tak bermaksud membuat kesulitan bagi kalian," kataku lirih.
Andri
hanya tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu kau pasti punya alasan yang bagus," katanya sembari membuka pintu
dan keluar.
********************************************************************************************
Mobil
travel itu datang menjemput kami dirumah sakit. Ketika Andri memanggilku ke
kamar, aku masih belum melihat Soni. Andri benar, kemarin saat kuperhatikan
Soni terlihat agak pucat. Tapi dia bersikap biasa. Tidak lesu atau lemas. Masih
tetap konsisten dengan ke tidak acuhannya.
Lucunya,
kulihat mobil travel itu sudah terisi dengan tas dan barang-barang anak-anak.
"Mumpung
kalian sewa mobil, kami pikir kan santai. Jadi semua pada nitip tas supaya ntar
bawaan kami gak berat-benar amat!" jelas Andri dan nyengir.
"Jadi
sekalian nguli nih?" sindirku.
"Habis
sayang kan kalo semobil cuma diisi ma 2 orang? Kenapa gak dimanfaatin? Kamu
duduk dikursi belakang aja bareng Soni."
"Dimana
di. . . ." kalimatku terpotong saat melihat
sosoknya yang ada didalam mobil dengan tubuh menyandar dan mata yang terpejam.
"Biarkan
dia beristirahat," kata Andri pelan yang kujawab dengan anggukan.
"Jadi
kita ketemu di Bandara?" tanyaku.
"Yup!"
jawab Andri sembari mengangguk. "Aku sudah kasih tahu jadwal penerbangan
kita pada pihak travel, dan kau akan tiba disana tak lama sebelum jam
keberangkatan kita. Sekarang naiklah!"
Aku
hanya tersenyum dan naik perlahan, karena kakiku masih ngilu. Soni tetap tak
bergerak ketika aku duduk disampingnya. Aku akhirnya hanya melambai pada teman-teman yang lain saat mobil bergerak.
Hingga
hampir satu jam kemudian, Soni tidak juga bergerak. Mungkin dia benar-benar kecapekan dan butuh istirahat. Aku sendiri
sempat tertidur beberapa saat. Saat aku terbangun karena guncangan mobil, aku beranikan diri untuk melirik Soni. Dia masih berada pada posisi yg
sama seperti saat kami berangkat tadi. Akhirnya, aku menoleh ke samping untuk benar-benar memandangnya.
Aku
mendesah pelan.
Orang
seperti apa dia sebenarnya? Kenapa sulit sekali untuk bisa mengerti dia?
Mulanya aku berpikir kalau dia tidak menyukaiku. Atau mungkin jijik padaku. Aku
sudah sering mendapat perlakuan seperti itu dari orang-orang. Perlakuan merendahkan yang sangat ku benci.
Memberiku sebutan-sebutan yang tidak mengenakkan hati dan bahkan merendahkan, sindiran-sindiran memanaskan
telinga, atau perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan yangkadang membuatku merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dalam diriku.
Kupikir
aku sudah terbiasa dengan hal itu. Tapi ternyata tidak! Aku tak suka Soni memperlakukanku
seperti benda aneh yang berbahaya dan menular. Kemarin-kemarin, aku begitu ingin memakinya atas perlakuannya padaku. Ingin sekali
menjelaskan panjang lebar padanya bahwa dia toh juga
manusia yang sama
dan memiliki banyak kekurangan sepertiku.
Sialnya,
aku hampir-hampir tak menemukan kekurangannya. Dia benar-benar sosok yang nyaris sempurna. Hidung mancung lurus dengan
ujungnya yang tinggi, bibirnya yang biasanya merah basah, rona kebiruan bekas
cukuran diwajahnya, kulitnya yang menawan, serta postur tubuh tegapnya membuat dia terlihat tanpa cela. Dari sudut pandang manapun, dia tampak menawan dimataku.
Lalu
kelopak mata yang
ditumbuhi bulu2-bulu lebat dan lentik itu mengerjap, membuatku sedikit kaget. Sebelum mata itu benar-benar terbuka, aku segera berpaling. Aku meliriknya yang meregangkan tubuh dan menatap berkeliling.
"Sudah
bangun?" tanyaku pelan, mencoba membuka percakapan.
Soni tak
menjawab, hanya mendengus pelan dan kembali berdandar dikursi sambil memejamkan
matanya.
Aku
berdehem untuk mengumpulkan suara dan keberanian, "Kamu. . . . sedang gak enak badan ya?" tanyaku lagi.
"Nggak," jawabnya singkat tanpa membuka mata.
Aaaaahh!!
Lagi-lagi sikap dingin dan tak acuhnya. Mungkin aku memang harus membiasakan
diri dengan tabiatnya yang seperti itu, seperti kata Andri. Tapi bagaimanapun juga, aku merasa kesal.
"Ooh.
. . cuma kurang istirahat ya? Kurang tidur?" tanyaku lagi, mencoba terus memancing pembicaraan.
"Nggak!"
jawabnya. Masih dengan mata terpejam.
"Kalo
gitu, kecapekan ya?"
"Nggak,"
sahutnya datar.
"Sudah
makan? Andri tadi ngasih apel lho. Mau?"
"Enggak!"
Gggrrrrrrr.....................!!!!
"Apa
kamu punya kosakata lain selain enggak? Seperti misalnya, tidak terimakasih.
Atau, oh kamu baik sekali. Bisa juga thank you, but no. Thanks. Pokoknya selain
kata nggak. Ada?" Sebelum aku bisa menahan diri, kalimat tadi sudah menyembur dari mulutku.
Kali ini
Soni membuka matanya dan menatapku heran. Aku membalasnya dengan marah. dia diam sejenak lalu, ".
. . . , nggak,"
katanya singkat dan kembali memejamkan mata.
AAAAAARRRRRGGGGHHHH!!!
Aku
harus menggertakkan gigi agar sumpah serapah yang sudah ada di ujung lidahkuku
tidak keluar. Aku memandangnya dengan tatapan sengit yang tak lagi ku tutupi,
“Kalau begitu, berapa yang harus ku bayar padamu?” tanyaku dingin.
Lagi,
mata itu terbuka dan menatapku dengan heran.
“Aku
tahunkau yang membayar biaya Rumah Sakit dan juga mobil ini. Katakan berapa
yang harus aku ganti karena aku tak mau berhutang padamu.”
“Nggak,”
sahutnya pelan.
“APA
MAKSUDMU DENGAN ENGGAK?!!” bentakku sedikit keras sehingga membuat sopir yang membawa
mobil kami sedikit kaget. Dia menoleh sekilas dari spion. Tapi aku memilih
untuk tidak mengacuhkannya. Bagaimana Soni bisa menjawab
semua pertanyaanku dengan satu jawaban yang sama?! Mengesalkan!!
Lalu tiba-tiba
saja dia berpaling dan menatap langsung padaku dengan matanya yang tajam. Aku
yang semula sudah siap untuk berkonfrontasi dengannya, tiba-tiba saja tertohok
diam. Cepat aku berpaling dan menatap ke depan. Pandangannya tadi membuatku
gugup dengan jantung yang langsung kebat-kebit tak karuan.
SIALAN!!
Ampun!!
Dimana semua kebawelanku yang sering membuat Wina dan yang lain tutup kuping?!
Hanya dengan satu tatapan dan dia sanggup membungkamku?!!
SIALAN!!
SIALAAANN!!!!
“Ke-kenapa
kau melihatku seperti itu?” tanyaku dan meliriknya dengan gugup sekilas. Dia
masih saja menatapku seperti tadi tanpa mengatakan apapun. Duhhhh!! Cepat
berpaling doong!! Gak tahan niihh!!!
“Aku
ingin pembicaraan ini berhenti sampai disini, jelas?!!” kata Soni dengan ekspresi yang lebih dingin dariku tadi. Ada nada final
dalam suaranya.
Aku
membuang pandangan ke luar mobil. Melihat bayangan gedung dan kendaraan yang
berlalu dengan perasaan gamang sebelum akhirnya menelan ludah untuk mengumpulkan suara,
“Kau………………..benar-benar tak menyukaiku ya?” tanyaku pelan dengan nada kalah
tanpa berani melihatnya.
Tak ada
jawaban!
Setelah
beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memberanikan diri untuk
meliriknya. Cowok itu duduk bersandar
dengan kedua mata terpejam. Tertidur. Tanpa sadar aku menghela nafas panjang.
Mungkin dia benar-benar membenciku. Sepertinya akan lebih baik jika aku menutup
mulutku saja, pikirku sedih.
Sepanjang sisa perjalanan itu, kami sama sekali tidak berbicara lag. Selama
lebih dari 6 jam perjalanan, kebanyakan aku tempuh dlam diam dan mencoba untuk
tidur. Satu kali aku pernah terlelap sejenak, dan saat sadar kepalaku sudah
bersandar di bahu Soni.
Aku cepat-cepat menegakkan diri dan bersandar di sisi mobil yang
berlawanan.
Kami sampai di bandara saat hari telah gelap. Aku dan Soni sudah terjaga
sejak beberapa menit tadi. Tapi aku tak berani untuk melihat ke arahnya. Aku
lebih memilih mengarahkan pandanganku ke luar. Tepat di depan pintu
keberangkatan domestik, Andri dan yang lain telah menunggu kami. Begitu melihat
mobil kami, mereka segera mendekat. Aku yang sudah tak tahan dengan keheningan
di dalam mobil, cepat-cepat kelua.
“Kalian sudah lama?” tanyaku pada Andri yang langsung menurunkan tas-tas
yang ada dalam mobil, dibantu oleh yang
lain.
“Udah setengah jam kali.Gimana perjalanannya TJ? Kamu baik-baik aja Son? Ya
Tuhan..... lo gak apa-apa?”
Aku yang sudah hendak melangkah, jadi urung saat mendengar nada kaget
Andri. Saat berbalik, aku mlihat Soni yang melangkah keluar dari mobil dengan
pelan. Wajahnya pucat. Dia melambaikan tangannya pada Andri yang mencoba
membantunya.
“Gak apa-apa An. Cuma kecapekan,” katanya, “Jam berapa kita berangkat?”
“Dua jam lagi, Son. Kita bisa check in sekarang. Elo...”
Kalimat Andri terpotong saat Soni mengangkat tangannya, tanda bahwa dia tak
mau membahasnya lagi, “Alat-alat tajam dan logam lainnya sudah dikirim kan? Ada
masalah?”
Andri menggeleng, “Sudah dipaketin kok. Kita kaan menerimanya dalam dua
hari,” jelas Andri sementara matanya masih melihat Soni dengan khawatir,
“Son.............”
Soni terus berlalu dari hadapanku tanpa menghiraukanku lagi. Aku menghela nafas. Tuhan, sult sekali
berkomunikasi dengan makhluk satu ini, batinku.
Dan kembali Soni tak acuh padaku dalam perjalanan pulang kali ini. Dia
memilih duduk jauh dariku di pesawat. Sesekali aku melhat ke arahnya.
Kebanyakan dia Cuma duduk bersandar dan memejamkan mata. Wajahnya benar-benar
pucat. Aku diliputi rasa cemas. Tapi.....apa yang bisa aku lakukan?
Hanya satu jam perjalananyang kami tempuh, dan kamipun mendarat di bandara
Soekarno-Hatta. Kami mencoba mengurus bagasi kami secepat yang kami bisa.
“Ok, Son. Lo bisa cari taksi. Pulang aja bareng TJ. Biar gue ma yang lain
yang urus anak-anak,” kata Andri cepat saat kami berjalan keluar bandara, “Kamu
gak apa-apa kan, TJ?” tanya dia padaku yang berjalan agak pincang di
belakangny.
Aku hanya menggelengkan
kepala.
Kami menemukan taksi dengan segera di depan pintu keluar. Tanpa bicara,
Soni segera masuk.
“Aku pulang duluan ya?” pamitku pada yang lain kemudian masuk dan duduk di
samping Soni ang kembali hanya bersandar dan memejamkan matanya.
“Kita ke tempatu dulu,” katanya singkat tanpa membuka matanya, membuatku
kembali menghela nafas masygul. Aku segera menyebutkan alamatku pada sopir
taksi. Kamipun meluncur keluar dari bandara. Dalam perjalanan, kuberanikan diri
untuk melihat ke arah Soni. Wajahnya benar-benar pucat pasi. Bibirnya yang
biasa terlihat merah basah juga kehilangan warnanya. Ada keringat yang bermanik
di dahinya. Dia benar-benar tidak sehat.
“Son, kita ke dokter dulu ya?” ajakku pelan.
Soni membuka mata dan melihatku heran, “Apa kamu sakit?”
Aku menggeleng, “Kamu yang harus di periksa. Coba liat wajahmu. Kamu
benar-benar pucat.” Kataku dengan nada cemas yang tak lagi ku tutupi.
“Listen, I’m okay! Jadi tolong berhentilah menanyakan hal konyol!”
Aku ingin membantah, tapi pandangan tajam Soni kembali membungkamku.
Aaaahh!! Terserahlah! Toh yang sakit bukan gue, putusku akhirnya, meski dengan
hati yang tidak ikhlas.
Kami akhirnya sampai di depan gang yang menuju rumahku. Aku keluar dengan
langkah ragu, tak tahu harus mengatakan apa pada Soni yang diam di tempatnya,
kembali dengan memejamkan mata. Pak Sopir segera turun dan membantu
mengeluarkan tasku dari bagasi. Aku mengucapkan terimakasih yang dijawab hanya
dengan anggukan olehnya. Diapun langsung masuk kembali ke dalam taksinya.
“Son..”
“Jalan, Pak!” kata Soni singkat. Dan taksi itupun berlalu.
Gila!!! Emang sinting beneran tuh cowok! Gerutuku dalam hati dan memandang
taksi yang melaju itu sembari
merapatkan jaket yang ku pakai.
Eh, tapi ngomong-ngomong, ini bukan jaket gue? Punya siapa sik? Kapan juga
gue makenya? Bodo ah! Pikirku kesal dan menyampirkan tasku ke punggung untuk
kemudian melangkah menuju rumahku. Sepertinya mandi keramas dan berisitirahat
hanyalah satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa lebih baik