Translate

Senin, 12 Desember 2016

THE MEMOIRS, a gay Chronicle Bab 11


 BAB 11




Dan pulang sekolah hari inipun terasa aneh.

“TJ!!” panggil Soni dari depan kelasnya.

Aku berdiri kaku di tempatku. Sementara Wina dan yang lain menatapku dengan ternganga. Aku hanya memberikan cengiran salah tingkah pada mereka tanpa berani beradu pandang. Mereka menatap bergantian padaku dan Soni yang melangkah mendekat.

“Ayo cepet ke parkiran,” ajak Soni dan berlalu tanpa menungguku.

Sesaat aku Cuma celingukan ke arah yang lainnya, “Gue duluan ya?” pamitku pelan.

Hening!

Benar-benar tak ada reaksi dari Wina dan lainnya. Asli! Mereka Cuma diam cengo melihatku bergantian dengan Soni yang berlalu tadi. Kelihatannya mereka benar-benar shock sampe gak tau musti ngapain. Mereka tak menyangka kalau Soni tiba-tiba menyapa dan mengajakku jalan.

Sekali lagi aku hanya nyengir bersalah pada mereka dan pergi menyusul Soni.

“Kamu punya helm di rumahmu?” tanya Soni setelah aku mendekat. Dia sudah naik dan menghidupkan motor gedenya.

“Ada sih. Kenapa?” tanyaku heran.

“Kita ke rumahmu dulu,” katanya santai.

“Mo ngapain?” tanyaku panik. Gila!! Dia mau ke rumah?!!!

“Ya ambil helm buat kamu. Cepat naik!”

“Kita mau kemana sih?”

“Naik!” kata Soni singkat, agak keras. Aku Cuma bisa bersungut dan menurutinya. Dan saat kami melewati Wina dan yang lain...

“RESEEE!!! APA-APAAN?!! WOOYYY!!!! GA RELAAAAA!!!!”

Berbagai macam umpatan dan teriakan mereka mengiringiku yang berlalu pelan dengan motor Soni. Aku tak bisa membayangkan reaksi Soni saat mendengar makian keras mereka. Tapi meski dia mendengarnya, sepertinya Soni cuek bebek. Gak ngaruh. Jadi aku hanya melambaikan tanganku yang sayangnya justru menambah kedongkolan Wina dan yang lain. Aku nyengir kecut. Otakku justru lebih mikir fakta kalo Soni akan ke rumah.

Aduh emaaakkk!!! Dia mau ke rumah gueee!!! Kira-kira apa reaksinyabntar coba? Kalo dibandingin ma rumah dia itu.........

Ampun!!! Rumah dia puluhan kali lebih mewah dan gede dibandingkan rumahku. Aku hanya tinggal berdua dengan Bunda yang Cuma seorang pegawai negeri biasa. Rumah kami benar-benar biasa dan sedikit kecil. Hanya ada 3 buah kamar, satu ruang tamu, ruang keluarga, dapur dan kamar mandi. Perabotan yang kami milikipun tak bisa dikatakan mewah.

Di ruang tamu kami juga Cuma ada seperangkat sofa tua yang usianya mungkin sudah melebihi usiaku. Ada sebuah vas bunganbesar dari kayu di pojok dengan hiasan bunga plastik yang Bunda rangkai sendiri. Di ruang keluarga juga Cuma ada tv ukuran 14 inchi, lantai yang di lapisi karpet murah dan beberapa bantal besar untuk santai.

Jadi kalo dibandingin rumah Soni..............

Jauh bangeeett!!!

Bego ah!! Terserah deh!!!

“Belok dan masuk ke gang kecil itu Son,” kataku saat kami mendekati jalan ke rumahku. Motor miring ketika Soni berbelok. Aku menahan tubuhku dengan berpegang pada belakang motor tanpa berani menyentuh Soni.

Tuhan!! Kalo di pikir, ini kali pertama aku naik motornya. Motor yang mungkin sudah ratusan kali ku lihat tanpa bisa menyentuhnya. Apalagi naik gini. Dibonceng yang punya pula. Asli, grogi!

“Brenti!” kataku saat kami tiba di depan rumahku ynag bercat putih. Aku langsung buru-buru turun dari motor begitu kami berhenti, meski gak rela. Betah banget buat duduk disana bareng Soni, tapi aku perlu menenangkan diri karena dengan otakku yang mulai berkreasi, dadaku mulai terasa deg-degan.

Rumah sepi. Sepertinya Bunda masih belum pulang.

“Ini rumahmu?” tanya Soni dan membuka helmnya. Aku hanya mengangguk dan mengeluarkan kunciku rumahku.

“Yuk, masuk,” kataku mempersilahkan dan cepat-cepat membuka pintu setelah melepas sepatuku. Ruang tamuku juga di lapisi karpet sederhana yang memang mengharuskanku membuka sepatu. Bunda bisa ngamuk besar kalau aku memakai sepatu bututku di dalam. Soni tak berkata apa-apa. Dia hanya diam mengikutiku, sementara matanya melihat ke sekeliling ruangan yang mungkin hanya membutuhkan beberapa detik saking kecilnya.

Aku diam menunggu reaksi ataupun komentarnya. Tapi cowok itu Cuma melihat sekeliling lalu melihatku dan tersenyum tipis.

EMAAAAKKKK!!!! Baru kali ini sikapnya manis ginii!! Senyumnya maaaaakkk!!!! Pekikku dalam hati dan buru-buru mengalihkan pandangan. DIA SENYUM KE GUEEEEE!!! Wina dan yang lain bisa histeris kalo tau.

“Duduk dulu. Aku ambilin minuman. Mau yang dingin?” tawarku dan nyelonong ke belakang. Soni cum mengangguk saat aku meliriknya. Aku masuk ke kamar untuk menaruh tas. Disana aku duduk sejenak di tempat tidur dan memegang dadaku. 

“Demi apaaa coba dia bisa ada disini? Sebenernya gue ngimpi gak sih?” gumamku pelan.

Soni ada disini! Di rumahku!! Dia beneran sedang duduk di ruang tamuku sekarang!!! Dan dia tadi juga udah kasih senyum padaku! Senyum tulus yang gak pernah aku lihat selama ini. Rasanya ingin teriak-teriak sambil jejingkrakan gak jelas ini!!

“Eh ya, gue belum bikin minuman!” seruku dan cepat-cepat keluar untuk ke dapur bikin minum.

Aku kembali ke depan dengan membawa sebuah baki dengan segelas orange juice dingin serta setoples kripik pisang bikinan Bunda beberapa hari kemarin. Dan sama seperti dikamar tadi, aku masih merasa tak percaya melihat Soni duduk disana, menungguku.

“Nih....lumayan bikin seger. Keripiknya bikin sendiri lho,” kataku, berharap semoga terdengar santai dan biasa saja.

“Kamu bikin sendiri?” tanya Soni sangsi dengan tangan terulur untuk mencicipi.

“Emang aku bilang gitu tadi? Aku kan Cuma bilang bikin sendiri. Maksudnya Bunda yang bikin, bukan aku. Aku mah cuman bantu nyicip aja.”

“Sama aja bo’ong itu,” gerutu Soni pelan, “Enak kok,” sambungnya setelah mencicipi keripik tadi.

“Bunda siapa dulu dong..”

“Cuma berdua?” tanya Soni lagi.

Aku mengangguk, “Kami Cuma berdua. Orang tuaku bercerai beberapa tahun yang lalu. Ayahku sudah menikah lagi dan tinggal di luar kota.”

“Tak punya saudara?” 

Aku menggeleng tanpa menatapnya, “Aku Cuma berdua dengan Bunda,” kataku lagi.

“Beliau.........”

“Bekerja,” sahutku, “Ibuku hanya seorang pegawai negeri biasa, kerja di kantor kelurahan. Biasanya beliau pulang menjelang sore.”

“Hmmm............jadi kau sendirian sepanjang siang ya? By the way, dari tadi kamu ngomong sama tembok ya?”

Aku Cuma mesem doang mendengar sindirannya, “Maaf. Sama kamu kok.”

“Ooooohh.... kirain! Oh ya, bawa surat-surat penting kamu. Akte kelahiran. KTP kalau ada dan.....”

Aku segera menghadap ke arahnya, “Darimana kamu tahu aku udah punya KTP?”

“You are?!”

Aku mengernyit melihat dia juga kaget, “......yeah. sebenarnya aku satu tahun lebih tua dari teman-teman sekelas karena dulu sempat sakit parah dan mengulang kelas 1 SD,” jelasku lagi ragu, melihatnya yan tampak benar-benar tak tahu.

“Well, justru lebih baik. Bawa saja semua. Kartu Keluarga dan lain-lain,” katanya singkat, membuatku semakin bengong.

“Emang kita mau kemana sebenernya?” tanyaku bego.

“Ntar juga tau. Cepetan!” desaknya tanpa menghiraukanku. Masih dengan benak yang penuh dengan tanda tanya, aku masuk kembali ke dalam untuk mengambil surat-surat pentingku. Saat aku kembali ke ruang tamu, Soni telah menandaskan minumannya dan bangkit. Dia sedang berbicara di telepon dengan seseorang. Aku melihat kagum pada ponselnya. Kalau gak salah itu ponsel keluaran terbaru dari luar yang memiliki multi fungsi. Butuh tahunan mungkin bagiku untuk bisa memilikinya.

Aku sendiri juga memiliki ponsel. Ponsel sederhana yang hanya berwarna hitam putih dengan bunyi nyaring memekakkan telinga. Hasil patungan tabungan Bunda dan aku selama 2 tahun. Kami membelinya beberapa bulan yang lalu. Sepasang. Satu untukku dan satu untuk Bunda. Dan kedua benda mewah itu nyaris menguras isi tabungan kami berdua. Tapi aku dan Bunda memerlukannya untuk berkomunikasi karena tak jarang kami memiliki jadwal yang bersebrangan.
Dan kalau dibandingkan ponsel Soni......

Sialnya, ponsel norakku kemudian berbunyi dengan nyaringnya!

Soni yang sepertinya selesai dengan teleponnya melihatku dengan heran, “Kenapa gak diangkat?”

“Gak perlu kok. Santai,” sahutku.

“Kali aja penting.”

Aku Cuma tersenyum tipis dan buru-buru berbalik untuk kembali masuk ke kamar. Aku mengeluarkan ponselku dan melihat nomor Wina di layar. Ada apa lagi nih anak? Batinku dan mengangkatnya.

“Halo? Ada ap...”

“SEMPRUUUULLL!!!”teriak Wina di seberang kenceng, “APA-APAAN TADI HAH?!! NGAPAIN KAK SONI NGAJAKIN ELU HAH?!!! GIMANA LO BISA JALAN MA DIA?!! GA RELAAAAAA!!!!!!!!!!”

Aku sudah menjauhkan ponselku dari telinga karena nyaringnya kunyuk satu itu, “Win, ntar aja gua jelasin ok? Gua harus pergi. Daaaahh!!!” kataku singkat dan memutus hubungan. Karena tahu Wina gak bakalan ikhlas dan menyerah begitu saja, aku mematikan ponselku setelah mengirim sms pada Bunda. Memberitahu beliau bahwa aku keluar untuk mengurus sesuatu. Dan kembali ke ruang depan.

“Rahasia amat? Siapa yang telepon?” tanya Soni ringan.

“Eh? Apa?”

“Pacar?”

“Nggak kok,” jawabku dan menggelengkan kepala.

“Kali aja. Sampe masuk ke dalam segala.”

“Minder tauk!” gerutuku, “Ponselku jadi kebanting kalo dibandingin punyamu.”

“Eh,emang kamu pake apa?”

“Ga usah dibahas deh. Jadi pergi ga?” kataku cepat.

Soni hanya tersenyum kecil dan mengangkat bahu. Dia berjalan keluar mendahuluiku. Aku Cuma menghela nafas dan mengikutinya.

“Eh beneran. Aku pengen tau. Kamu pake ponsel apa emang?” tanya Soni yang sudah naik ke motor dan menghidupkannya, dengan tampang serius.

Aku menggeram kesal karenanya, “Udah dibilang jangan di bahas juga.”

“Cuma pengen tahu,” kata Soni sembari memakai helmnya.

“Pokoknya ga berwarna, ga ada kamera, gak ada apaapanya. Puas?!” jawabku akhirnya nyolot sabil naik ke boncengannya.

“Emang kudu malu pake gituan?” tanya Soni lagi dengan nada datar.

Eh, kok dia jadi bawel sih? Gerundengku dalam hati, “Ya nggak. Tapi kalo dijejerin ma ponselmu kan Cuma bikin sakit hati.”

“Tapi.......”

“Aduh ngapain bahas gituan sih?!! Ayo pergi!!” potongku dan menepuk bahunya keras.

“Fine. Kita ke rumah dulu. Aku harus ganti baju,” katanya dan melaju.

Ku kira, dengan pembawaannya yang kalem, Soni biasa membawa motornya dengan tenang. Tapi ternyata dia gila-gilaan jalannya. Kami bisa sampi ke rumahnya kurang dari setengah jam. Dan begitu kami sampai di rumahnya, kami disambut oleh Bi Atun yang sudah menyiapkan segelas minuman segar untukku.

“Minum dulu, Den. Pasti haus kan?” katanya dan mengangsurkan nampan dengan gelas di atasnya. Padahal kami masih berdiri di depan pintu masuk.

“Waduhh Bi. Sampe segininya,” decakku agak tak enak hati.

“Kayaknya Bi Atun lebih seneng ke kamu daripada aku. Aku gak di bikinin minum,” gerutu Soni di sebelahku.

“Tamu kan raja Son,” selorohku, nyengir.

Soni mendengus, “Aku mau mandi dan ganti baju dulu. Kamu mau nunggu di kamar atau...”

“Gak lama kan? Aku mau sama Bi Atun saja,” sahutku cepat.

“Fine, silahkan. Oh ya Bi, gak usah bikinin TJ makan. Ntar kita makan di luar aja,” kata Soni dan ngeloyor.

“Cepetan gih. Ayo Bi, kita ngobrol di dapur.”

“Lho? Kok di dapur Den? Di ruang tamu saja.”

“Ga enak Bi. Enak juga di dapur. Banyak camilan,” elakku. Jujur sebenerny aku agak segan dengan sikap Bi Atun yang begitu menghormatiku, seakan-akan aku majikannya. Aku bukan Soni dan seumur-umur belum pernah tahu bagaimana rasanya memiliki pembantu yang selalu siap melayaniku. Aku ingin memperlakkan beliau seperti aku memperlakukan orang-orang yang usianya lebih tua dariku.

“HEII!!! Aku sudah bilang kita akan makan di luar!” seru Soni yang sudah sampai di bawah anak tangga.

“IYA TAHUUU!! Ayo Bi,” ajakku cuel dan melangkah mendahului Bi Atun.

“Kok lama gak maen, Den?” tanya Bi Atun dan mengeluarkan beberapa kue dari kulkas.

“Ya gak pernah di ajak ma Soni, Bi.”

“Den Soni sih emang gitu, Den. Orangnya pendiem. Gak gaul.”

“Masa?” tanyaku ngikik. Geli mendengar istilah itu keluar dari bibir Bi Atun, “Perasaan Soni gaul deh. Penampilan dia keren terus Bi.”

“Kalo soal penampilan mah gak bisa di omongin Den. Den Soni pake apa aja juga bagus. Maksud bibi teh gaul ma temen. Rumah segede gini malah lebih sering sepi kalo di tinggali sendiri.”

“Sendiri?” tanyaku agak kaget, “Rumah segede gini? Emang orang tua Soni dimana sih Bi?” tanyaku, tak mampu menahan diri.

Bi Atun yang ada di seberangku tersenyum tipis, “Udah nggak ada Den.”

Untuk sesaat aku diam, mencoba mencerna kalimat Bi Atun tadi, “Maksud Bibi sudah.....”

“Meninggal,” kata Bi Atun pelan dan mengangguk.

Aku menutup mulut kaget. Ya Tuhan!! Jadi karena itu Bi Atun melarangku bertanya tentang keluarganya ke Soni? Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana reaksi cowok itu saat aku menyinggung perihal keluarganya.

“Berapa orang yang tinggal di sini Bi?” tanyaku lagi.

“Ada Inah, Surya, Satpam tiga dan Harjo, tukang kebun. Jadi delapan orang sma Den Soni.”

“Jadi yang ngurus rumah segede ini Cuma Bi Atun sama Bi Inah? Ga capek Bi?”

“Waduh! Kalo Cuma berdua ya cape Den. Seminggu sekali ada agen yang ngirim beberapa pekerjanya buat ngebersihin rumah, kebun dan yang lainnya. Tugas Bibi mah gak banyak. Paling Cuma ngurus keperluan sehari-hari Den Soni. Kalo yang lain udah ada yang ngurus.”

“Terus Bi, kalo memang udah sendiri, berarti selama ini Soni menafkahi diri sendiri dong? Emang udah berapa tahun dia kerja sendiri? Kerjanya apa sih Bi? Atau barangkali, semua ini warisan dari orang tuanya ya? Tapi sekaya apapun dia, kalo gak ada yang ngurus, gak bakal lama juga kan? Soni masih sekolah. Masa dia udah bisa mengatur keuangan dan segalanya? Rumahnya segede ini lagi. Kalo gak bisa ngurusnya, ntar kan bisa abis.”

“Masih banyak yang belum Aden ketahui tentang Den Soni. Bibi yakin suatu saat Aden pasti akan tahu. Biar Den Soni yang mengatakannya sendiri,” kata Bi Atun dan tersenyum misterius.

Aku tergelak dengan nada geli yang tak bisa ku sembunyikan, “Gak mungkin Bi. Soni kan orangnya tertutup. Bibi tau sendiri kan?”

“Tapi Bibi liat, dia sudah mulai terbuka sama Aden.”

Komentarnya itu membuatku tercenung sejenak, “Masa sih Bi?”

Bi Atun mengangguk mantap, “Buktinya Aden udah beberapa kali kan maen kesini? Selain den TJ, gak ada lagi temen Den Soni yang pernah ke sini.”

Lagi-lagi aku terdiam. Kalo dipikir-pikir, ya juga sih. Andri saja belum pernah.

Padahal kalo di ingat awa pertemuan kami, rasanya tak mungkin aku bisa ada di sini. Dengan semua sikap dinginnya, Soni benar-benar sulit untuk di dekati. Bahkan kalo aku mau berpikir, kami baru benar-benar bisa dikatakan berkomunikasi setelah kejadian di gunung Ijen. Biasanya kan aku doang yang ngajak dia ngomong. Berusaha agar dia menyadari dan mengakui keberadaanku. Dianya sih masa bodoh aja.

Beberapa hari terakhir, boleh dikatakan kami telah melakkan sebuah lompatan besar dalam hubungan kami. Kami benar-benar berbicara, ngobrol, berkomunikasi. Aku berinteraksi dengannya dalam artian yang sebenarnya. Berbincang dan berada di dekatnya. Menatapnya dalam jarak dekat. Yaaahh.....meski aku masih tetap tak pernah bisa memandangnya lebih dari 10 detik. Yang jelas, kami sudah cukup dekat.

Berdiri bersisian dengannya kadang membuatku agak terperangah, menyadari betapa jangkung dan besar tubuhnya. Masih kingat saat aku harus memapahnya ke kamarnya waktu dia sakit. Hal itu benar-benar membuatku payah. Tubuhku yang boleh di bilang kurus, seakan-akan tenggelam dalam bayangannya.

Saat berdekatan dengannya seperti ini juga membuatku menyadari, akan banyaknya hal yang tidak aku ketahui tentang Soni. Seperti bibirnya, yang ternyata terlihat jauh lebih menggemaskan dan menggoda kalau di lihat dari jarak dekat. Aku menyadari hal itu saat dia terbaring di ruang UKS setelah diberi obat penenang oleh Dokter Iwan. Sumpah!!! Aku nyaris tak mampu menahan diri untuk menyentuhnya. Terutama bagian bawahnya yang memerah basah. Dan saat itu juga aku menyadari kalau aku........jatuh hati padanya.

“Den..............?”

Sentuhan ringan tangan Bi Soni di lengan menyadarkanku dari lamunan, “EH... ya Bi? Kenapa?”

“Tadi Bibi bikin kolak pisang lho. Adem mau?”

“Mau Bi!!” sahutku semangat. Bi Atun tersenyum karenanya. Akhirnya kami menghabiskan sisa waktu itu dengan mengobrol sembari menikmati kolak pisang Bi Atun.

“Heii!!! Aku ka sudah bilang kalau kita akan makan di luar!”

Teguran itu berasal dari pintu dapur. Aku segera berbalik. Dan kembali aku dibuat menahan nafas oleh Soni.
Dia memakai celana warna hitam dan kemeja lengan pendek berwarna putih dengan garis hitam tipis. Kemeja yang terlihat begitu pas di tubuhnya itu membuatnya tampak bersih dan menawan. Apalagi dengan rambutnya yang etrlihat basah dan di sisir rapi, turut membingkai profil wajahnya yang lembut dan bersinar.

Tuhan!!! Bagaimana aku bisa melarikan diri dari jeratan makhluk satu ini?!!!

 “TJ?!!” tegur Soni lagi.

“Ha-habis.....” jawabku tergagap, “..............ha-habis Bi Atun bikin kolak pisang Son. Enak lho. Mau?” tawarku, mencoba mengalihkan topik.

"Tapi ntar...”

“Iya, tahu. Kita tetap makan. Jangan khawatir. Daya tampung perutku lumayan besar,” serobotku cepat dan nyengir saat mendengarnya menggeram jengkel.

“Ok! Awas kalo nanti nggak. Ayo cepat. Kita harus segera pergi,” katanya dan berbalik mendahuluiku.

Aku cepat-cepat pamitan ke Bi Atun dan menyusulnya, “Kita mo kemana sih sebenernya?” tanyaku lagi, mencoba memancng informasi.

“Ntar juga tahu,” katanya misterius. Di depan, sedan peugeotnya telah menunggu kami, “Ayo masuk,” katanya dan membuka pintu penumpang untukku.

“Thanks,” kataku tanpa mampu menahan senyuman. Aku masuk ke mobil sementara harum floral Soni menyergap hidungku, “Apa harus rapi begitu Son?” tanyaku setelah dia masuk.

“Apa?” tanya Soni tak paham.

“Kamu rapi banget,’ kataku dan meliriknya.

“Biasa saja kok,” katanya datar dan melajukan mobil, “Tempat yang kita tuju tidak jauh kok. Jadi begitu selesai ntar, kamu temenin aku makan di tempat langgananku.”

“Oh.....” komentarku, meski sebenarnya kepalaku penuh dengan pertanyaan. Aku tak tahu harus berkata apa ataupun bersikap bagaimana. Hanya diam dan membiarkan berbagai macam tanya itu berkecamuk dalam benakku. Tapi karena tahu sedikit watak Soni, sepertinya akan lebih baik kalau aku menerutinya saja. Toh aku gak rugi. Malah untung bisa bareng terus dengannya.

UGH!!!!

Aku mengeluh dalam hati. Semuanya ini berlawanan dengan rencanaku sebelumnya. Seharusnya aku menjaga jarak. Seharusnya aku menata pikiranku yang kacau karenanya. Tapi apa yang bisa aku lakukan bila begini sikapnya....

“Kok diam?”

Teguran Soni membuatku mengangkat kepala yang sedari tadi ku sandarkan di kaca jendela mobil, “Emang harus ngomong apa?”

“Well...............entahlah. Setahuku kau tipe orang yang tak pernah bisa diam. Hampir setiap saat, aku bisa mendengar suaramu dari kelasku.”

Komentarnya itu membuatku menelan ludah. Kena gue!!!

“Masa sih?” tanyaku nyengir, pura-pura gak nyadar.

Soni melirikku sekilas, “Kau tahu, kau benar-benar aneh beberapa hari terakhir. Suaramu jarang terdengar, kau juga jarang terlihat, dan kau bahkan jarang nyambung kalo di ajak ngomong. Kau bahkan tak pernah tanya padaku, bagaimana nasib Brino dan gerombolannya setelah peristiwa kemarin.”

“Eh iya! Gimana ceritanya mereka?” tanyaku yang baru teringat. Swear! Aku sepertinya terlalu sibuk menghindar dari Soni, sampai-sampai tak mendengar kabar lain, “...........tapi kalo di ingat-ingat, aku juga gak pernah denger anak-anak ribut soal itu...” gumamku kemudian, heran.

“Dia sudah dikeluarkan dari sekolah. Dia juga dapat ultimatum dari pihak sekolah dan kepolisian. Sekali saja dia buat ulah, dia akan dapat masalah besar.”

“Dan anak-anak sekolah gak ada yang tahu?”

“Pihak sekolah merahasiakannya. Sampai sekarang belum bocor. Skandal seperti ini kan tidak baik untuk reputasi sekolah. Plus Brino sudah terlalu sering membuat ulah. Sedikit banyak, pihak sekolah bisa bernafas lega sekarang.”

Aku tak tahu harus bereaksi bagaimana. Satu sisi aku merasa lega. Sisi lain, aku merasa kasihan dengan Brino. Aku tak tahu hal apa yang membuatnya bersikap seperti itu. Mungkin memang itu keinginannya. Atau mungkin, dia hanya menjadi seorang remaja pada umumnya. Banyak perilaku negatif anak-anak seusiaku yang di picu oleh lingkungan ataupun faktor keluarga. Bisa jadi Brino datang dari keluarga broken home atau...........

Entahlah....


*************


“Kita sampai....” kata Soni mengagetkanku. Dia memasuki areal parkir sebuah gedung besar.

“Kantor Imigrasi....?”

Aku membaca tulisan besar yang ada di depan tadi. Soni tak mengatakan apapun. Setelah mematikan mobil, dia keluar. Aku segera mengikutinya.

“Kita mau ngapain di sini, Son?” tanyaku tak mengerti. Aku melangkah mengikutinya dengan sedikit menjaga jarak. Minder dengan gaya Soni yang jelas model anak gedongan, sementara aku lusuh begini. Aku ogah di tuduh sebagai pembokatnya ntar.

Soni melihat ke arahku dan membuka pintu kantor itu dengan senyum tipis, “Ku pikir, daripada aku repot-repot ngejelasin caranya, mending kamu bikin pasport sendiri aja sekalian,” jelasnya santai.

Sontan aku berhenti melangkah dan memandangnya dengan terperangah, tak percaya, “Bikin pasport? Aku?” tanyaku meyakinkan diri.

Soni mengangguk, “Kebetulan aku juga mempunyai kenalan di sini yang bisa mengurusmu melalui prosedur normal.”
Jadi itu sebabnya dia menyuruhku membawa surat-surat pentingku!!

“Aku pulang!” kataku singkat dan berbalik.

“Heii!! Kita harus kedalam!” cegah Soni dan menyambar lenganku hingga langkahku tertahan.

“Kamu bercanda?!!” sentakku dengan nada tertahan. Ku kibaskan tanganku, lepas dari genggamannya, “Aku Cuma diminta buat nyari tahu caranya doang. Bukannya bikin! Emang aku mau jadi TKI apa?!”

“Lho? Yang nyuruh kamu jadi TKI itu siapa? Menurutku, akan jauh lebih baik bagi kamu, kalau kamu bikin pasport sendiri saja. Hal itu akan membuat kamu lebih paham akan prosedur dan prosesnya. Bikin pasport bukan berarti kamu harus keluar negeri sebagai TKI.”

“Tapi Son....”

“Aku yang tanggung semuanya,” kata Soni lagi, tegas.

“Ogah! Aku..”

“Hei.....,” potong Soni dengan nada halus. Ia melangkah ke samping dan merangkul bahu kananku. Dengan tubuh yang berdekatan seperti ini, lagi-lagi aku merasa tenggelam dalam bayangannya. Aku merasa kerdil. Sementara harum parfumnya memenuhi rongga dadaku yang mulai terasa sakit dengan debaran kuatnya. Kakiku terasa sedikit lemas.

“Kita masuk dan kamu ikuti prosesnya. Gak sulit kok.”

“Son....” aku mulai terdengar seperti orang yang merengek, memintanya untuk membatalkan semua dengan tatapanku.

“Ayooo..” ajak Soni dan mendorongku untuk melangkah bersamanya.

“Son, jangan gila doongg!!”

“Look, I just wanna help you,” ujarnya enteng.

“Tapi kan gak harus gini. Aku gak harus bikin pasport beneran kan?”

“Aku ingin kamu tahu dan mengalami sendiri prosesnya dengan jelas. Jadi kamu bisa menggambarkannya dengan benar. Ayo!” katanya dengan nada final dan kembali mendorong bahuku. Aku sudah hendak kembali protes saat seorang pria berusia sekitar tigapuluhan dan berkuis mendekati kami dari dalam. Pakaiannya yang resmi membuat dia terlihat sedikit menakutkan.

Yang bikin aku heran adalah saat dia menyunggingkan senyum ramah ke arah kami berdua.

“Pak Soni, anda sudah tiba,” sapanya dengan sedikit formal pada Soni yang ada di sampingku. Aku jelas bengong saat dia memanggil Soni dengan sebutan Pak. Gila aja!! Usia dia mungkin dua kali lipat usia Soni. Ngapain panggil Pak coba?

“Pak Andi, belum lama menunggu kan?”

“Belum, Pak. Dan ini.....”

“Perkenalkan, TJ. Teman yang saya ceritakan.”

“Ah ya, tentu saja. Mari Mas TJ. Ikut saya. Saya yang akan mendampingi anda,” katanya padaku dengan ramah dan mempersilahkan aku untuk mendahuluinya. Sikap tubuhnya tak jauh beda dengan sikap seorang staff hotel yang mempersilahkan tamunya. Begitu resmi dan nyaris hormat.

Aku bengong dan melihat Soni dengan tatapan bego. Soni hanya tersenyum dan mengangguk, memintaku untuk menurut.
Tak ada pilihan. Aku hanya mampu nyengir kecut dan bingung, kemudian melangkah. Pak Andi mengekor di belakangku.
Akupun menjalani serangkaian proses yang membuatku tak henti-hentinya berdebar-debar. Dari isi formulir, interview, sampai photo. Aku yang gugup, seringkali nge-blank. Untungnya ada Pak Andi yang terus mengingatkan dan menenangkanku. Dan begitu semuanya selesai, aku merasa seakan-akan baru keluar dari ruang ujian.

Setelah beberapa jam yang menegangkan, akhirnyaaaa... pikirku senang dan melangkah keluar di iringi Pak Andi. Aku melihat Soni yang duduk santai sembari membaca sebuah buku di ruang tunggu. Pak Andi menyapa Soni secara singkat dan berpamitan. Soni mengangguk sementara aku mengucapkan terimakasih yang di balas dengan tawa ringan oleh Pak Andi sembari menepuk punggungku. Dia juga bilang kalau pasportnya akan selesai dalam 3 hari dan dia akan mengantarkannya pada Soni. Setelah itu, beliau berlalu dari hadapan kami.

Saat berada di luar gedung dan melangkah menuju lapangan parkir, aku menarik nafas sepanjang yang aku mampu.

“Segitu leganya.........” celetuk Soni yang masih berada disampingku, tersenyum.

Aaaahh.......! jarang sekali aku melihat senyum itu, hingga untuk sesaat, aku hanya mampu menatapnya, diam. Menikmati momen.

“Hei!!” tegur Soni lagi, membuatku tersadar dan tersenyum membalasnya.

“Thanks...” kataku pelan, “Kau tahu kalau sebenarnya kau tak harus melakukan semua ini kan? Tak ada gunanya aku memiliki pasport. Lagipula, kau harus mengeluarkan uang banyak tadi. Dan......”

Soni mengangkat tangan kanannya untuk menghentikanku, “Kita cari makan aja yuk. Aku laper,” ajaknya singkat dan mendahuluiku masuk ke mobil.

“Kapan kamu mau mendengarkanku?” gerutuku sebal dan mengikutinya masuk.

“Aku denger kok. Hanya saja, aku lebih suka kalau kita tak membahasnya. Kamu suka makanan apa?” tanyanya lagi.
Aku menghela nafas, kalah, “Apa saja. Asal jangan sea food. Aku tak begitu suka. Sedikit alergi malah.”

“Yang benar?” sergah Soni dan melajukan mobil.

“Yup! Tiap abis makan sea food, tubuhku gatal-gatal dan kemerahan. Pada dasarnya, aku tak suka memakan hewan apapun yang hidup di air. Kau sendiri? Punya alergi?”

“Mungkin,” katanya dan mengangkat bahu, “Kalau steak, kamu suka?”

“Belum pernah makan,” jawabku cepat, “Kenapa kita gak nyari makanan yang udah umum aja sih?”

“Seperti apa?”

“Fried chicken mungkin,” usulku dengan kening berkerut, heran. Emang dia ga pernah ke KFC atau yang sejenisnya apa?

“Dimana?”

“Yaahh di mall mungkin?” kataku lagi, makin heran.

“Di mall terdekat pasti ada kan?”

“Pasti!” jawabku singkat dan menyandarkan tubuhku.



Seharusnya aku sudah bisa menduga, pikirku kecut. Sama seperti saat kami berada di kafe waktu itu. Kali ini juga, aku bisa merasakan banyak sekali orang-orang di sekitar kami memperhatijan. Memperhatikan Soni lebih tepatnya. Cowok di depanku ini benar-benar seperti magnet. Dia mampu menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya,tanpa harus mencoba, bergaya atau melakukan suatu tindakan konyol. Terutama para kaum hawa. Soni sendiri bersikap seakan-akan dia tak menyadarinya. Atau mungkin dia tak peduli saja. Karena dia terlihat begitu santai menyantap hidangannya dan sesekali mengajakku bicara.

“Jadi........kapan tugas bahasa Indonesiamu itu harus dikumpukan?” tanya Soni lagi.

“Abis semester ntar,” jawabku sedikit ngambang dan mengedarkan pandangan. Mereka masih memperhatikan kami, batinku lagi. Aku berpaling pada Soni yang hanya mengembalikan tatapan tanyaku dengan tatapan bingung.

“Apa?” tanya dia heran.

“Son, kamu sadar gak, kalo dari tadi orang-orang ngeliatin kita terus?”

“Emang apa yang salah?” tanya dia cuek sembari menyeruput minumannya.

“Salah sih nggak ada. Tapi......mereka ngeliatin kamu.”

“Aku? Ngapain mereka ngeliatin aku?” tanya dia lagi tanpa menghentikan keasyikannya mengunyah french fries.

Aku mendengus keras mendengar jawabannya, “Bego apa pura-pura bego sih? Kamu gak nyadar kenapa orang-orang ngeliatin kamu?”

Sesaat Soni menghela nafas, “Dengar TJ. Aku tidak meminta untuk di perhatikan. Andaikan boleh memilih, aku juga tak ingin diperhatikan secara berlebih seperti yang terjadi di sekolah kemaren. Aku malah merasa seperti circus freak yang mengerikan. Sebagai lelucon dan bahan gunjingan orang. Lebih aparah lagi, seperti obyek pemuas segerombolan maniak sinting. Tapi sudah lama aku memcoba untuk tidak memperdulikannya. Dan sebaiknya kau juga begitu. Let them do what they want to. Saat ini, aku hanya ingin makan dengan temanku. Tak ada yang salah dengan itu kan?”

Kalau dia berkata begitu, rasanya benar juga. Masih ku ingat tatapan mengerikan dari tante-tante di kafe waktu itu. Tapi otakku kemudian teralihkan saat sadar akan kalimat terakhir Soni tadi.

“Teman?” alisku terangkat naik sat menyadari implikasi kata tadi, “Jadi..................kita berteman?” tanyaku lagi. 
Sementara batinku tak tahu harus bersyukur atau menyesal.

Soni tak langsung menjawab. Dia mengangkat wajahnya dan menatapku, diam. Dan dengan sikapnya itu, aki tak perlu mendengar dia mengatakan jawabannya.

“Ok. I’m sorry,” kataku pelan dan melanjutkan makanku. Mencoba melakukan seperti yang Soni katakan. Tidak mengacuhkan perhatian orang-orang di sekitar kami.


Dan kejutan hari ini terus berlanjut. Soni juga mengajakku nonton. Setelah itu, dia mengajakku jalan-jalan ke sebuah mall mewah di sebuah kawasan, yang aku tahu, banyak di tinggali para duta-duta negara asing.. di sana dia mengajakku masuk ke sebuah toko perhiasan, sebuah show room mobil import dan sebuah toko yang menjual berbagai macam minuman import.

Yang mengherankanku, Soni bukannya membeli. Dia malah mencari manager tokonya. Dan mereka yang ada disana seakan-akan sudah mengenal Soni, karena dia disambut dengan ramah. Nyaris dengan hormat. Soni mempersilahkanku untuk melihat-lihat, sementara dia dan sang manager berbincang-bincang sebentar di kantor.

Yang bikin aku gondok adalah saat dia menawariku untuk mengambil sebotol wine yang aku pengen di toko minuman import tadi. Aku melihatnya dengan tatapan seakan-akan dia menyuruhku terjun dari gedung pencakar langit. Soni tertawa kecil dengan reaksiku.

Satu hal lagi dari Soni yang tak ku mengerti, muncul ke permukaan. Dia benar-benar sebuah enigma yang terus memunculkan tanya.

Terakhir, Soni mengajakku masuk ke sebuah toko buku besar. Yang bikin aku bengong, dia langsung menuju rak-rak buku tentang bisnis, keuangan dan ekonomi.

“Kamu nggak nyari buku?” tanya dia dan mengambil sebuah buku berjudul cash flow quadrant.

“Nggak tau deh. Aku lihat-lihat dulu,” pamitku dan ngeloyor pergi menuju tempat buku-buku best seller. Dan mataku langsung tertancap pada buku terakhir serial Harry Potter yang dipajang.

“The Order Of Phoenix,” gumamku.

Buku itu masih belum diterjemahkan. Dan kembali mataku membesar melihat harganya. Lebih dari seperempat juta. Seperempat juta lebih hanya untuk sebuah buku? Bunda pasti akan membunuhku, pikirku kecut.

Di sampingnya aku melihat sebuah buku berjudul Man and Boy karya Tony Parsons. Sepertinya menarik, pikirku setelah membaca resensinya.

“Sudah dapat?” tanya Soni yang tahu-tahu sudah ada di belakangku.

“Eh? Apa? Oh........engga. Cuma liat-liat doang kok,” jawabku dan cepat-cepat mengembalikan kedua buku tadi ke tempatnya.

Soni mengangkat sebelah alis dan mengambil kedua buku yang ku letakkan, “Kau suka Harry Potter?”

“Yeah.. aku punya buku ke dua dan ke empatnya doang,” kataku pelan.

“Koleksi?”

“Pengennya sih. Tapi buku-buku Harry Potter kan mahal. Apalagi edisi aslinya gini.”

“Tony Parsons?” tanya Soni lagi dan mengangkat buku satunya, “Aku gak tahu kalau kamu suka buku-uku drama serius dan dewasa.”

Aku nyengir, “Aku sudah suka novel sejak SD. Hampir segala jenis fiksi. Drama, science fiction, misteri, detektif ataupun petualangan. Yang penting kan bagus dan menarik ceritanya.”

“Sejak kapan kamu bisa baca buku dalam bahasa Inggris?”

“Sejak temenku ngasih buku Harry Potter yang ke dua. Gak tahu kenapa, saat aku membaca versi terjemahannya, aku malah lebih suka versi aslinya. Lebih seru! Mungkin karena ada beberapa frase dalam bahasa inggris yang sulit diterjemahkan dalam bahasa kita.”

Soni mengangguk, “Good point!” katanya. Dia lalu mencomot buku Harry potter lain yang ada. Padahal dia sudah memegang beberapa buku tebal tentang bisnis dan ekonomi. Kemudian segera saja melenggang pergi.

“Eh, kamu beli buku novel-novel itu?” tanyaku heran.

“Iya,” jawab Soni singkat dan menyerahkan semuanya pada kasir, “Untukmu,” sambungnya lagi.

“HAH?!!” sergahku kaget. Dia gila apa?! Kalau di total, buku-buku itu nilainya mungkin sejutaan lebih. Soni sendiri cuek dan menyerahkan sebuah kartu kredit ke kasir, lalu menyerahkan tas yang berisi novel-novel tadi padaku.

“Yuk?” ajaknya padaku yang masih terpaku.

“Son, kamu apa-apaan sih?!” kataku dan memburunya, “Kamu sadar gak sih kalau harga buku-buku tadi sekitar 1 jutaan lebih?” cerocosku.

“So?” komentarnya santai, “Anggap saja sebagai ucapan terimakasih karena sudah menemaniku,” lanjutnya lagi.

“Excuse me? Seharian tadi kita sudah ngurusin passportku, yang juga kamu bayarin by the way. In case you forgot. Kita sudah makan, nonton dan kemudian buku-buku ini. Berapa total uang yang kau keluarkan untukku hari ini?”

Soni tiba-tiba berhenti melangkah dan berbalik. Dia menatapku dengan tajam, “Apa kau selalu memperhitungkan uang?” tanya dia datar.

Aku tentu saja kaget dengan pertanyaannya. Hal itu membuatku terpaku dan tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sementara Soni yang setelah beberapa saat tak mendapat apapun dariku akhirnya berbalik dan kembali melangkah pergi.
Aku mengikutinya dengan langkah gamang.


Keheningan yang ada diantara kami saat mobil Soni melaju di jalanan, benar-benar menyesakkanku. Berkali-kali aku meliriknya. Tapi cowok itu masih juga diam dan mengendarai mobilnya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Seolah-olah tak tahu akan kehadiranku.

UGH!!!

Aku mengeluh dalam hati. Padahal kami baru saja dekat. Sungguh! Aku tak bermaksud perhitungan soal uang. Ataupun terdengar seperti seorang pedagang pelit yang meributkan sejumlah kecil uang. Tapi bagi orang sekelas aku, menghabiskan uang yang mungkin berkisar 2-3 jutaan, bukan urusan sepele. Untuk mendapatkan uang segitu, Bunda harus bekerja keras. Sementara Soni, membelanjakan uang itu bahkan untuk sesuatu yang bukan bagi dirinya sendiri. Tapi untukku. Aku mulai merasa seakan-akan aku memanfaatkannya.

AAAKKHH!!! Apa yang sebenarnya dia pikirkan sekarang? Pikirku lagi. Kembali aku meliriknya sekilas. Dia masih dengan sikapnya semula.

Aku menghela nafas sebentar, “Orang tuaku.................bercerai ketika aku berusia sembilan tahun,” kataku pelan dengan mata lurus ke depan, “Ayahku.........selingkuh. belum genap setelah proses perceraian mereka selesai, ayahku menikah lagi. Aku masih ingat, waktu itu aku di ajak oleh nenekku dari pihak ayah untuk ikut menghadiri pernikahannya. Karena bagaimanpun, aku adalah anaknya. Dan saat aku disana.............ayahku mengusirku.”

Suaraku agak tercekat. Yeaaah.......tiap kali aku teringat akan hal itu, aku selalu merasakan nyeri di dadaku. Campuran antara sakit hati, marah, sedih dan mungkin juga dendam yang muncul, sering membuatku tak mampu menahan air mata. Tak pernah sekalipun aku menceritakan hal ini pada orang lain. Tapi sekarang, aku ingin Soni mendengarnya. Mungkin dengan hal ini, dia akan memahami sikapku.

“Aku masih ingat dengan jelas umpatan-umpatan kasar yang dia lontarkan. Nada-nada keras dan penuh kebenciannya. Dan bagaimana dia mendorong tubuh kecilku, hingga aku terjatuh dan menangis ketakutan. Aku ingat, salah seorang pamanku yang tanggap, langsung mengangkatku. Menyelamatkanku dari amukan ayah, dan cepat-cepat membawaku keluar dari pesta terkutuk itu

Saat kami ada di luar, aku mendapati Bunda disana. Berdiri di dekat pintu gerbang dengan mata basah.”

Sampai disitu, aku harus berhenti karena nafasku telah tertahan oleh tangis yang sudah tak mampu lagi ku bendung. Cepat aku mengusap aliran air mata di pipiku. Aku menarik nafas panjang sejenak.

“Beliau pasti mendengar semua kata-kata yang di lontarkan ayahku. Aku ingat beliau jatuh terduduk di tanah dengan tangan terbuka dan terisak. Aku berontak dari pegangan pamanku dan berlari ke arahnya, menangis. Bunda membawaku pergi setelah mengucapkan terimakasih pada pamanku. Dan sejak itu, aku tak pernah lagi kembali padanya.

Sejak itu aku tinggal bersama Bunda. Bunda tak pernah menikah lagi. Sepanjang ingatanku, yang beliau lakukan hanyalah bekerja dan merawatku. Beliau berusaha keras agar aku tidak kekurangan. Beliau ingin aku mendapatkan semua hal, sama seperti yang di dapat oleh teman-temanku yang memiliki keluarga lengkap. Tempat tinggal, baju, makanan, pendidikan dan juga hal lainnya. Bunda tak ingin aku merasa berbeda, kurang ataupun menderita. Bayangkan, beliau melakukan semuanya sendiri. Seorang wanita yang lemah. Sendiri. Tanpa seorangpun yang membantunya. Dan aku bangga karenanya. Menghargai setiap hal kecil yang kami miliki.

Tapi seperti yang kau lihat, kami tak bisa dikatakan hidup dengan mewah. Rumah kami kecil. Benda-benda yang kami miliki juga sederhana. Seperti handphoneku yang ingin kau lihat ini,” kataku dan mengeluarkan ponselku yang tadi siang ingin di lihat Soni. Ponsel keluaran lama dengan layar berwarna biru.

“Kau lihat kan? Kami hidup dalam kesederhanaan. Tapi kami cukup bahagia. Kehidupan seperti inilah yang mampu diberikan oleh Bunda. Jangan salah, aku tak pernah menyesalinya. Bunda mendidikku untuk selalu bersyukur dan tidak pernah mengeluh. Bunda juga mendidikku untuk tidak menadahkan tangan pada orang lain.”

Aku menatap Soni yang masih diam dengan mata lurus ke depan.

“Untuk mendapatkan uang 1 juta, Bundaku harus bekerja keras, Son. Hari ini...........kau menghabiskan uang, yang sepertinya lebih dari sejuta, untukku. Dengan sikap seakan-akan kau Cuma membelikanku nasi goreng di pinggir jalan. 
Aku..............tak mnegerti.”

Soni tiba-tiba saja meminggirkan mobilnya dan berhenti, sehingga membuatk sedikit tersentak kaget. Dan untuk beberapa saat lamanya, kami berada dalam keheningan. Hanya suara derum pelan mobil yang terdengar. Aku tak berani melihat ke arah Soni. Jadi aku Cuma menatap kegelapan di depan kami. Sesekali mengikuti arah ekor cahaya kendaraan yang lewat.

“Maaf............” kata Soni akhirnya dengan nada datar, “Aku tak bermaksud bersikap seperti orang sok dan.....”

“Aku tahu,” potongku cepat menenangkannya, “Aku tahu kau terlalu baik untuk mampu bersikap seperti itu. Kau melakukan semuanya karena kebaikanmu. Aku yakin, tak pernah sedikitpun terlintas di benakmu, untuk melakukan semua ini seakan-akan semuanya semacam sumbangan untuk orang sepertiku.”

Kudengar Soni menghela nafas, “TJ, kau membuatku..”

“I’m serious,” kataku lagi, “Aku sudah menyaksikan dan merasakan sendiri kebaikanmu. Saat kau membantuku di gunung Ijen. Saat kau membayar biaya rumah sakitku, dan menyewa mobil waktu itu. Sejak itu, aku tahu. Aku hanya tak ingin kau merasa bahwa aku................memanfaatkanmu,” ujarku dan menatapnya.

“TJ...”

“Aku tahu kau tak pernah memikirkannya. Aku Cuma takut kau.............you know,” kataku dan mengangkat bahu tanpa mampu meneruskan kalimatku tadi, “Intinya adalah, maaf. Aku tak bermaksud perhitungan soal uang atau apapun,” sambungku kemudian.   

“Tidak seharusnya aku marah tadi. Aku........”

“Son, please?” pintaku cepat, memotongnya, “It’s ok. Hanya saja...........jangan marah seperti tadi lagi ya? Aku jadi inget waktu kau baru mengenalku. Aku tak tahan kalau kau memperlakukanku seperti itu.”

Dan begitu kalimat tadi terlontar, aku langsung mengumpat dala hati. Aku terdengar seperti baru saja menyatakan perasaanku secara halus. Bodoh!! Soni pasti.....

“I’m sorry.”

“Stop it!” cegahku lagi, lega karena sepetinya dia tak menyadari implikasi lain dari kalimatku tadi. Aku memberinya senyuman tipis, “Kita tak akan berhenti saling meminta maaf kalau terus begini. Lupakan saja, ok? Aku hanya ingin kamu tahu sehingga kamu gak marah lagi padaku. Itu sudah cukup. So, let’s cut it out. Kita mulai hal baru lagi.”

Soni menatapku, kali ini dengan tatapan yang cukup lembut yang tentu saja membuatku salah tingkah seketika. Cepat aku memalingkan mukaku ke arah depan setelah memberinya senyuman cepat.

“So...............we’re cool, right?” tanya Soni pelan.

Aku melihatnya sekilas dan mengangguk, “Yeah. Tentu saja. Dan..........terimakasih. sekarang, antarkan aku pulang, ok?”

“Tidak ingin pergi ke tempat lain?”

“Hah? Enggak kok. Ngapain? Udah malem.”

“Kan bisa nginep di rumah,” seloroh Soni enteng.

Aku bengong dengan reaksi santainya. Sejenak mengira kalau saku salah dengar, “Gak bisa!” sahutku cepat setelah sadar, 
“Aku belum minta izin ke Bunda.”

“Kalau gitu, kita minta izin aja dulu. Lalu kita bisa...”

“Son, nggak bisa!” potongku sedikit panik. Nginep di rumah dia? Apa dia bercanda?!! Hari ini, sudah begitu banyak hal terjadi. Kalau harus ditambah dengan menginap di rumahnya, itu akan jadi terlalu sempurna bagiku. Dan tak ada kesempurnaan dalam segala hal di dunia ini. Jangan-jangan akan terjadi hal yang buruk kalau dia membuat hari ini sempurna. Jadi aku ingin nyaris sempurna saja.

“Lain kali saja ya?” sambungku.

“Kapan?”

“Entahlah. Minggu depan mungkin?” sahutku lagi asal.

Soni berpikir sejenak, “Minggu depan? Ehmmmm..............kalau tidak salah, aku harus ke suatu tempat,” gumamnya pelan.

“Kalo gitu lain waktu saja, pas kamu sempet, ok?” sergahku, tanpa mampu menyembunyikan kelegaanku.

Sesaat kemudian Soni mengangkat bahunya, “Ok! Minggu depan. Kau emani aku ke suatu tempat. Kita menginap.”

“Apa?” tanyaku dengan suara tercekat.

“Iya, minggu depan. Kamu ikut aku ke suatu tempat. Ada sedikit urusan yang harus ku tangani di luar kota. Kau temani aku karena sepertinya aku harus menginap di sana,” jelas Soni seraya kembali menghidupkan mobilnya.

HAH?!!!!!

DIA BILANG APA TADI?!!!!!