BAB 25
Keesokan harinya, aku kembali terbangun sendirian. Kepalaku terasa sakit
dan pening luar biasa. Aku mengedarkan pandangan, mencoba mengenali keadaan dan
lingkungan di sekelilingku yang asing. Ingatan samar tentang kejadian semalam
justru membuatku semakin pusing. Aku hanya mampu mengerang keras sementara
kepalaku entah bagaimana, terasa semakin berat. Aku meraih sebuah gelas kecil
berisi kopi yang aku temukan di atas meja lampu ada disamping tempat tidur dan
menenggak isinya. Kopinya masih hangat dan pahit, tapi hal itu membuatku merasa
lebih baik. Aku juga menemukan satu stel pakaian tertata rapi di kaki ranjang.
“Aku harus mandi,” gumamku pelan sembari mengutuk dalam hati. Aku
benar-benar harus menjauhi anggur, putusku, membatin dengan kesal. Kurang dari
seminggu di Paris, dan aku sudah mendapat hang
over 2 kali. Rekor yang tak akan mungkin pernah bisaaku bahas didepan
Bunda.
Kopi dan mandi air hangat benar-benar membuatku merasa lebih baik. Dan
meski cuaca masih lumayan dingin, baju ganti yang disediakan untukku cukup
tebal untuk menghangatkanku. Saat aku menuruni tangga menuju lantai satu, aku
mendengar suara Soni yang sedang berbicara dalam bahasa Perancis dari arah
dalam rumah. Aku mendekati dan aku lihat dia sedang berbicara dengan seorang
wanita paruh baya yang kemudian pergi.
Sepertinya Soni mendengar aku turun, karena ia segera berpaling ke arahku.
Soni tersenyum, sementara aku hanya membalasnya dengan tipis, ragu dan canggung.
Ingatan akan apa yang terjadi semalam membuatku benar-benar jengah dan tak tahu
harus bersikap bagaimana. Aku bahkan masih bertanya-tanya dalam hati, apakah semua yang terjadi itu hanya hasil
imajinasi liarku saja.
“Sudah bangun rupanya,” sapa Soni riang dan mendekat, “Selamat pagi,”
katanya lagi setelah dekat dan langsung mencium keningku, “How do you feel? Lebih baik sekarang? Kau minum lumayan banyak
semalam,” katanya lembut.
Satu tangannya meraih pinggangku dan menariknya untuk
lebih dekat, sementara tangan kanannya membelai lembut sedikit rambutku yang
basah dan jatuh ke dahi.
“I’m................okay,”
jawabku lirih dengan kepala tertunduk malu. Tuhan!! Sebenarnya apa yang
terjadi? Nyatakah semua ini?!!
Soni tergelak kecil dan merengkuhku, memelukku erat dan menyandarkan
kepalaku di dadanya, “Ehhmmmm.... baumu harum dan segar. I like it!” gumamnya pelan saat dia menarik napas dalam,
seolah-olah menghirup aromaku. Hal yang justru biasanya aku lakuka saat berada
di dekatnya. Lalu kurasakan dia mencium ujung kepalaku, “Ayo kita sarapan,”
katanya dan melepas pelukannya. Dia menarik satu tanganku untuk mengikutinya.
“Ou t’es mon petit ange?!!!”
Terdengar suara keras dari ujung ruangan hingga aku merasa sedikit
terselamatkan dari suasana canggung yang kurasakan. Kulihat seorang pria bule
masuk dari pintu depan dan mendekat dengan cepat ke arah kami. Seorang lelaki
awal empat puluhan yang tampak gagah dengan tubuh terbalut jas rapi dan jelas
menunjukkan kelas. Dia terus melangkah masuk seraya menyunggingkan senyum lebar
dan berseru, “Bienvenue en France my dear
one! Ça fait longtemps que tu n’as pas visite!”
“Felix!!” Soni berseru senang dan menghambur ke arahnya.
Kalau menurutku Soni adalah cowok dengan fisik paling menarik yang pernah
aku temui, maka orang yang dia panggil Felix tadi adalah versi dewasanya.
Lelaki itu benar-benar mengagumkan. Sosoknya terlihat rapi, classy dan menawan. Tubuhnya ramping dan
terawat dalam balutan jas mahal dan mewah. Sepatunya mengkilap tak tercela
dengan rambut yang tersisir rapi. Sosoknya lebih mirip model sebuah biro hukum
yang bonafid dan bergengsi.
“Felix, I want you to meet TJ!”
kata Soni, berganti ke bahasa Inggris, saat mereka melepaskan pelukannya dan
berpaling padaku. Soni kembali melangkah mendekatiku. Dia memeluk pinggangku
dengan tangan kirinya, “TJ, ini pamanku. Jean Felix Damian Duainne. Felix, this is TJ and he can’t speak French!”
katanya dan menghadapkanku langsung pada pria tadi dengan kedua tangannya di
pundakku.
Sepertinya bukan aku saja yang kaget. Felix tampak sedikit terbelalak,
memandangku dan Soni bergantian dengan tatapan tak percaya. Tapi kemampuannya
dalam menghadapi situasi yang tak terduga benar-benar mengagumkan. Dengan cepat
dia bisa menguasai diri dan tersenyum padaku.
“Aaahh........dari Indonesia? Senang bertemu denganmu TJ. Panggil aku
Felix,” katanya ramah dalam bahasa Indonesia yang terbata namun toh jelas dan
tertata rapi. Membuatku tambah shock. Aku menyambut ulurannya dengan keheranan
yang tak mampu ku sembunyikan.
“Paman?” gumamku, lalu beringsut dengan jengah dan sedikit takut.
Melepaskan diri dari pelukan Soni di pinggangku.
Dia gila apa?!!! Bersikap seperti ini di depan pamannya!! Pikirku
ngeri.
“Iya. Dia adik ayahku Jean Phillipe Damian Duainne.”
“A-ayahmu.........orang Perancis?” tanyaku tambah heran dan juga kaget. Tunggu sebentar? Apa semalam kami juga sudah
membahasnya?, batinku bingung.
“Kau tidak tahu? Bukankah sudah jelas kalau malaikat kecilku ini berdarah
campuran?” tanya Felix dengan nada menggoda.
Aku ternganga. Kejutan baru lagi! Aku bergantian menatap Felix dan Soni.
Memang benar ada kemiripan pada profil wajah mereka! Aku sedikit menyadarinya
tadi. Ini menjelaskan banyak hal! Jadi inilah kenapa Soni selalu tampak berbeda
dari yang lainnya di sekolah. Rona kulitnya yang cerah, matanya yang kecoklatan
dan dalam, serta profil wajahnya yang berbeda dari teman-temannya yang lain.
Dia indo! Blasteran!Tapi............rambutnya sama sekali tak ada nuansa
coklatnya. Rambut Soni hitam legam, sehingga aku sama sekali tak memiliki
dugaan kalau dia berdarah campuran. Pantas saja semalam dia mengatakan kalau
perkebunan ini milik ayahnya. Dia menceritakan semuanya secara harfiah. Hanya
aku saja yang terlalu lambat untuk menyadari.
“Aku....tak tahu,” gumamku lirih.
“Kau harus melihatnya saat dia tak mengecat rambutnya,” tambah Felix lagi.
“Di cat? Rambutnya?” ulangku bego.
Soni tersenyum melihatku, “Aku mewarnai rambutku dengan warna hitam supaya
tidak terlalu mencolok. Sebetulnya rambutku berwarna kecoklatan. Akan ku
jelaskan nanti. Felix, kita sarapan sama-sama. Ayo TJ,” ajak Soni dan kembali
menarikku menuju ruang makan.
Aku lebih banyak diam saat sarapan. Bukan hanya karena beberapa kejutan beruntun
yang baru aku dapat tadi, tapi juga karena sikap Soni. Dia begitu...............mesra
dan intim memperlakukanku. Sesekali dia menyuapiku atau memegang tanganku.
Terkadang mengusap kepalaku sembari bercanda. Padahal ada Felix, pamannya yang
ikut makan bersama kami. Meski pria itu kelihatan anteng-anteng saja, hanya sesekali
tersenyum dengan sikap Soni. Tapi aku benar-benar jadi canggung dan mati kutu.
“Jadi apa rencana kalian?” tanya Felix kemudian.
“Setelah sarapan, aku mau ajak TJ keliling. Siang nanti mungkin ke kota,
sekalian makan siang. You should join us.”
“Sure! Uhm, yang mengingatkanku.
Jangan lupa untuk mencari setelan resmi. Akan ada pesta kecil besok malam.”
“Yeah, I heard about that.
Rencananya memang beli kami akan membeli baju juga. Semua pakaian kami ada di
hotel. TJ tak punya baju ganti.”
“Apa aku tak bisa pakai punyamu? Closet di atas penuh dengan baju kan?”
potongku, “Gak usah beli baju lagi deh.”
“Honey, ukuran tubuh kita
berbeda. Baju-baju yang ada disini adalah baju lamaku. Seperti yang kau pakai
sekarang. Kegedean kan?”
“I don’t mind. I like yours.”
Soni tersenyum, “No! Aku tak akan
memberimu baju bekas or anything. I want
you to have the best, ok?” kata Soni
kembali mengusap kepalaku, membuatku kembali sedikit mengkeret jengah
karena Felix. Parahnya lagi, dia kemudian menarik kepalaku dan mencium ujung
kepalaku sembari tertawa kecil. Sikapnya yang seakan-akan menganggap semuanya
baik-baik saja tak membuatku tenang. Dia begitu natural. Hampir menakutkan
bagaimana dia bisa menganggap Felix seakan-akan tidak mempermasalahkan kalau
kami.................
Aku tak ingin memikirkannya!
“Lagipula, seperti yang Felix
bilang, kita harus mencari tuxedo.
Semua milik kita ada di Paris. Ngomong-ngomong soal pesta, apa yang sebenarnya
kita rayakan besok Felix?”
“Evelyn tak mengatakannya? Chantal masuk Cambridge University. Kami akan
mengadakan pesta kecil untuk merayakannya. Juga untuk kedatanganmu. Kau tahu
orang-orang kita kan?”
“Cambridge? That’s awesome! Tapi
kau tahu aku tak akan lama disini. Apa perlu aku di ikutkan di dalamnya?”
“Jangan khawatir,” ujar Felix dan mengibaskan tangannya, “Ini hanya
perayaan kecil. Hanya beberapa orang terdekat saja. Dan kita juga perlu
mengadakannya. Ada seseorang dari keluarga Monaco yang meminta kita melakukan
pengiriman rutin kesana. Jadi acara kita kali ini juga perayaan untuk kerja
sama kita.”
“Monaco? Jadi kau sudah menembus pasar mereka?” tanya Soni, terlihat
senang.
“Kau tahu bahwa mereka sudah lama menginginkan produk kita. Aku sengaja
menahan kerja sama dengan mereka hanya supaya mereka semakin menginginkan kita.
Tapi................aku harus mengirim produk kitadari hasil olahan terakhir Phillipe. Kau tak
keberatan?”
“Semua?” tanya Soni. Meski aku tak paham akan pembicaraan mereka, aku bisa
menangkap sedikit nada khawatir atau mungkin sedih dari pertanyaan Soni yang
singkat itu.
Felix tersenyum lembut, “Tidak. Aku menyisakan sedikit untuk perayaan
khusus kita. Kau tahu aku tak mungkin menghabiskan olahan terakhir ayahmu untuk
orang lain.”
Soni mengangguk, “Thanks. Lakukan
saja yang menurutmu terbaik,” ujar Soni akhirnya, “So.............kau dan Evelyn pasti girang dengan keberhasilan
Chantal,” ujar Soni, jelas berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Chantal?” gumamku sedikit heran, “Yang kita temui di butik yang ada di
Paris waktu itu?”
“Yep!” jawab Soni mengangguk, “Chantal adalah putri Felix. Sepupuku.”
“Oh...jadi Evelyn istri anda Mr. Felix?”
Felix tertawa pelan, “Please call me
Felix seperti Soni ma cherrie. No, I’m
not. Chantal memang anakku. Tapi Evelyn bukan istriku.”
“Oh, I’m sorry. Kalian sudah
bercerai rupanya,” gumamku sedikit menyesal.
“Tidak, bukan!” kata Soni dan meminum susunya, “Felix dan Evelyn tidak
pernah menikah. Felix...................” Soni menggantungkan kalimatnya dan
berpaling ke arah Pamannya yang tersenyum.
“I’m gay,” kata Felix ringan,
membuatku yang sedang meminum susuku langsung tersedak keras dan sontan
batuk-batuk. Soni cepat-cepat bangkit, mengangsurkan lap dan menepuk pelan punggungku.
Felix hanya kembali tertawa dengan reaksiku, “Sepertinya banyak kejutan yang akan kau dapat hari ini, my dear. Kau mungkin harus bersiap-siap, karena aku pastikan bahwa kau akan dapat
banyak lagi nantinya.”
“Baikan?” tanya Soni sedikit geli. Aku yang sudah agak tenang hanya
mengangguk pelan.
“Kau dan keluargamu benar-benar................penuh kejutan,” kataku
sedikit menggerutu.
“Trust me, kau akan mendapatkan
lebih banyak nanti,” ulang Felix ramah sembari tertawa kecil, “Just so you know, aku dan Evelyn
hanyalah teman baik. Chantal adalah hasil dari inseminasi buatan.”
“Felix, maaf,” ujarku cepat, “Aku tak bermaksud untuk.........”
Felix sudah mengibaskan tangannya, “That’s
okay. Jangan khawatir. Now,
bagaimana kalau kita memberimu sedikit tour?
Come on. Kau harus melihat-lihat rumah kami,” ajk Felix dengan luwes dan
bangkit.
Meski benakku sedikit kacau dengan kejuta beruntun tadi, aku tak bisa
menyangkal kalau tour yang diberikan Felix di perkebunan anggur ini, tak kalah
menariknya dengan tour yang Soni berikan di Paris. Bukan hanya karen acara
penyampaian Felix yang luwes dan menyenangkan, tapi juga kaena banyak hal
tentang anggur dan pembuatannya yang tak pernah aku ketahui sebelumnya.
Sebelumnya tadi Soni yang memberi tour singkat keliling rumahnya yang
dibangun di depan chateux.. sejauh ini, tempat favoritku adalah sebuah
perpustakaan besar yang nyaman dengan rak buku penuh setinggi atap, dengan
kursi-kursi besar empuk nyaman, lengkap dengan perapian. Tapi yang kemudian
paling menarik perhatianku adalah sebuah lukisan minyak berukuran besar,
bergambar Jean Phillips Damian Duianne, ayah Soni saat beliau berusia 25 tahun.
Benar-benar mirip Soni. Hanya saja yang ini benar-benar kelihatan bulenya.
Lalu kami ke perkebunan.
Aku baru tahu kalau anggur hanya dipanen 1 kali dalam setahun. Yaitu
sekitar bulan september atau oktober. Kemudian ranting dan daun-daunnya akan
dipangkas (karen aitu waktu malam ketika kami datang, aku melihatnya seperti
jalinan ruwet batang pohon). Tanaman anggur akan tidur selama musim dingin dan
gugur. Daunnya baru akan keluar dibulan April. Sampai saat itu, tanaman anggur
tidak akan disiram. Hanya diberi sedikit pupuk dengan pupuk organik.
Untuk buahnya, setelah diperas, anggur akan disimpan dalam drum kayu oak
selama 1 tahun atau lebih. Tapi makin lama disimpan, maka makin enak dan makin
mahal harganya. Harga anggur sendiri bervariasi, dari beberapa euro sampai
ribuan euro. Di daerah Bordeux sendiri ada sekitar 500 tempat pengolahan anggur
atau biasa disebut dengan chaeteux. Anggur di daerah ini juga mendapat
pengawasan dan sertifikat dari AOC,
Appelation d”Origin Controle.
Lalu siangnya, kami berjalan-jalan di kota. Ada sebuah jalan di Bordeux
yang terkenal sepanjang 1200 meter. Dimana mobil dilarang lewat, yaitu Rue
St.Catherine.Jalan ini menjadi ikon di Bordeux. Felix mengajak kami makan siang
disalah satu restoran yang ada disana. Ada sedikit insiden kecil yang terjadi.
Felix mengajak kami ke sebuah restoran mewah. Jenis restoran yang seumur-umur
belum pernah aku masuki. Dengan kata lain, aku harus berhadapan dengan berbagai
peralatan makan yang membingungkan. Di depanku ada 3 jenis garpu, 2 jenis
sendok dan pisau. Masing-masing memiliki kegunaan dan urutan sendiri-sendiri
yang tidak pernah aku ketahui.
Untuk mengakalinya, aku menunggu Soni melakukannya. Dan sepertinya dia
mengerti kalau aku membutuhkan bantuannya. Dia menyentuh kakiku dibawah meja
dan memberi isyarat padaku untuk mengikutinya.
Felix juga membawa kami ke taman Jardin, yang mirip dengan Botanical
Garden. Felix bilang, ada kursus tango gratis yang diadakan disini sebulan
sekali, dan selalu ramai dengan peminat. Singkatnya, Bordeux benar-benar
menakjubkan, meski dalam musim dingin seperti sekarang. Felix bilang kalau aku
harus kesini saat musim panas atau saat panen anggur. Aku pasti akan lebih
terkesan. Bordeux yang juga dikenal sebagai La
Belle au Bois (The Sleeping Beauty) terletak di dekat laut, memiliki daerah
seluas 1.000km persegi. Terbagi menjadi 57 daerah. Salah satu putra Bordeux
yang terkenal adalah King Henry II yang pernah memerintah Inggris.
Berikutnya kami masuk ke sebuah butik kecil namun tampak elegan dan mahal.
Felix jelas sekali sudah sangat dikenal disana, begitu pula Soni. Kami dilayani
dengan sangat ramah, malah sedikit berlebihan. Karena manejer butik sendiri
yang menyambut kami. Sepertinya aku masuk ke dunia para elit nih, batinku
setelah melihat sambutan mereka.
Pengukuran sendiri tidak memakan waktu lama. Keluar dari butik, Felix pamit
pergi untuk menyelesaikan suatu urusan. Dia meninggalkan kami menikmati suasana
sore di dekat pelabuhan.
Felix benar-benar orang yang mengagumkan! Hal itu yang pertama kali
terlintas di benakku saat kami duduk di restoran ini, menikmati segelas anggur
yang sudah Soni yakinkan, tak akan lagi ditambah, untuk mencegahku mabuk lagi.
Sikap Felix yang begitu luwes, ramah, elegan, berkelas juga berwibawa ,
mengingatkanku pada karakter tokoh-tokoh bangsawan barat dalam film-film yang
ku lihat. Dan baru kusadari bahwa cara Felix bersikap dan berperilaku, sedikit
mengingatkanku pada Soni. Ada kemiripan pada cara mereka bersikap, berbicara
dan bahkan berbusana. Begitu serasi, sejalan. Seakan-akan semuanya memiliki
tema yang saling mendukung dan membentuk sebuah imej tersendiri. Dan baru
kusadari pula, bahwa hal-hal inilah yang membedakan Soni dengan teman-temannya yang
lain di sekolah. Dia jauh lebih terdidik dan beradab dibandingkan dengan
teman-teman seusianya.
Karena Soni tak membahas lagi cerita pahit yang semalam dia ceritakan, aku
memutuskan untuk tidak menyinggungnya. Bukan karena aku tak tertarik, tapi
karena aku sadar, kalau luka seperti itu bukanlah topik yang menyenangkan untuk
dibahas. Tak akan ada seorangpun bisa membicarakan hal-hal mengerikan seperti
tanpa terguncang pada akhirnya. Aku bahkan bergidik hanya dengan mengingatnya
sekilas. Jadi aku mengikutinya. Membiarakan apa yang sudah kami bahas semalam,
berlalu.
“Kau..............benar-benar pernah mengambil pendidikan kepribadian?”
tanyaku penasaran, ingat akan kebodohanku di restoran tadi.
Soni mengangat sebelah alisnya mendengar pertanyaanku, “Apa?”
“Cara Felix bersikap, mirip denganmu. Benar-benar jauh dari kesan remaja
Indonesia pada umumnya. Sikapmu kadang mirip.............bangsawan,” kataku,
meski merasa sedikit aneh dengan diksi yang aku gunakan. Meski aku tak
menemukan kata lain yang lebih pas untuk menggantikannya.
Soni tertawa kecil, “Yeah.......... Felix mewajibkanku untuk belajar
etiket, tata krama dan semua hal yang perlu ku ketahui. Perkebunan kami adalah
satu penghasil anggur terbaik di negara ini. Aku dan Felix, sebagai pemiliknya,
harus sering berhubungan dengan berbagai kalangan elit. Tidak hanya dari
Perancis,tapi juga negara-negara lain di Eropah. Jadi, mau tak mau, aku harus
tahu bagaimana bersikap dan berperilaku pantas di depan mereka. Plus.....hal itu sudah menjadi tradisi
keluarga.”
“Jangan katakan kalau kau benar-benar memiliki garis keturunan bangsawan,”
gerutuku. Soni tak menjawab, hanya tertawa sembari mengangkat bahunya, “Aku
benar-benar tak mengenalmu,” gumamku kemudian lirih.
“Kau...........kecewa?’ tanya Soni dengan nada yang membuatku berpaling
padanya.
“No!” sergahku cepat, “Hanya
saja, selalu ada hal yang baru tentangmu. Setiap kali kita dekat, aku selalu
menemukan hal-hal baru yang tak ku ketahui.”
“Menarik kan?” goda Soni, “Karena itu kau harus selalu ada di dekatku.”
“Soni...........”
“I’m sorry,” jar Soni dan
tersenyum geli, “Hanya saja, aku tak terbiasa harus menjelaskan tentang diriku
pada orang lain. But I swear, I’ll tell
you everything you want to know. Just ask me. Kau toh sudah mengetahui
bekas luka terburuk yang pernah aku alami.”
“Kenapa kau tidak tinggal disini saja Son? Bukankah kau dan keluargamu
cukup terpandang disini?” tanyaku lagi.
Soni kembali tertawa, “Sayang, I’m
just a boy. Etiket, tata krama dan sopan santun yang kau lihat hari ini,
hanya kugunakan saat aku menghadapi orang-orang yang membutuhkannya. Dan itu
sangat melelahkan. Aku emmang cukup dikenal di sini, tapi aku lebih banyak
membatasi diri. Aku tak banyak bergaul. Faktanya, I’m just a boy. Aku ingin menikmati apa yang umumnya dimiliki oleh
orang-orang seumurku.
Erma sudah merampas banyak masa remajaku TJ. Karena apa yang dia lakukan,
aku tak pernah merasa sama denagn anak-anak seusiaku. Selain itu, psikiaterku
juga menyarankan agar aku bisa berbaur dalam lingkungan normal. Agar aku
menjadi anak yang biasa. Karena itu aku menetap di Indonesia dan masuk ke
sekolah kita. Sekolah yang biasa-biasa saja, tidak terlalu banyak aturan dan
tidak menjadi sorotan. Suatu tempat dimana aku bisa membaur. Tempat dimana aku
bisa merasa normal dan biasa-biasa saja.bukan korban maniak seks atau bangsawan
seperti disini.
Disini aku akan diperhatikan. Semua tingkahku akan dibicarakan baik
buruknya. Pantas tidaknya. I don’t want
any of those. I don’t need them. Aku hanya ingin menjadi seorang
.......Soni.”
“Son.................”
“Aku tak ingin merasa lain atau...................aneh,” kata Soni pelan,
“Kau tahu maksudku kan?”
Aku tersenyum tipis menanggapinya, “Aku tahu sekali. Karena selama ini aku
juga selalu dipandang aneh dan lain. Look
at me. Kau pasti ingat dengan kejadian Brino dulu. Hal itu bukan pertama
kalinya. Aku sering mendapatkannya.
Selama ini, aku kira hanya aku saja yang merasakan hal itu. I never thought that a person like you,
could feel it too,” kataku pelan dan mengusap sekilas tangannya yang ada
diatas meja.
“Now you have me,” kata Soni dan
meraih jemariku, kemudian meremasnya lembut. Membuatku sedikit jengah dan
celingukan. Takut kalau ada yang melihat ke arah kami. Tapi Soni terlihat
tenang, “Aku janji kamu tidak akan diperlakukan seperti itu lagi. Kau akan
dihormati dan dipandang tinggi.”
Aku malah jadi semakin salah tingkah, ”I
like Felix,” kataku kemudian. Mencoba memcah suasana yang mulai terasa
aneh, “Dia.............menakjubkan.”
“Yeah, he is,” ujar Soni dengan
senyumnya padaku, “Felix adalah salah satu orang yang terpandang dan sangat
diincar oleh masyarakat sini. Dia tampan, berkelas, kaya dan...........” dia
menatapkau tajam, “Hei!! Jangan bilang kalau kau naksir Felix! Aku tak akan
membiarkannya!”
Untuk sesaat aku jadi terpana oleh reaksinya, “Jangan konyol ah!!” sergahku
kemudian dengan tersipu, “Aku gak akan mungkin macam-macam dengannya.”
“Tentu saja. You’re mine!”
Apa yang bisa ku katakan? Aku Cuma nyengir mendengarnya, “Bagaimana dengan
identitasnya sebagai...........” aku tak bisa melanjutknnya.
“Gay? Memang kenapa? It’s France.
Justru karena dia gay dan memiliki Chantal dengan Evelyn, Felix sering
kelabakan. Karena tidak cuma wanita-wanita bebal yang mengejarnya, tapi juga
laki-laki brengsek yang hanya menginginkan uangnya. Untungnya Felix bukan orang
bodoh. Dia orang yang berpengetahuan luas.”
“Yeah.........I can see that. Kau
mau mengajariku untuk bisa seperti kalian?”
“Kenapa?”
“Kamu nggak ingat kejadian di restoran tadi? Aku nggak mau jadi orang bego
seperti itu lagi,” rungutku.
Soni kembali tertawa, “Fine. Kita
akan mengaturnya setelah kita pulang ke Indonesia,” katanya dan kembali meremas
jemariku pelan.
“Son..........”
“Je suis tellement heureuse que vous
etes ici avec moi,” katanya.
“Eh? Artinya?”
“Aku senang kau disini bersamaku.”
Pelan aku menarik tanganku dengan kepala tertunduk. Situasi seperti ini
benar-benar membuatku tersipu tanpa tahu harus bersikap bagaimana, “Son, please.........”
“Je t’aime,” kata Soni lembut.
Tanpa bertanya, aku sudah tahu arti kalimat terakhir yang dia ucapkan itu.
Aku diam tanpa mampu mengangkat wajahku. Kejadian semalam berkelebat dengan cepat
di benakku. Cerita Soni, ungkapan hati Soni dan juga......ciuman Soni. Aku tak
tahu harus bagaimana. Beberapa saat tadi aku sudah dibuat lupa. Pikiranku cukup
tersita dengan kejutan-kejutan Felix dan jalan-jalan. Kejadian semalam, sedikit
banyak tertahan. Dan sekarang, semuanya kembali dengan jelas.
Tanpa sadar aku menggigil.
“Ayo pulang,” ajakku dan bangkit tanpa menunggunya.
Langit sudah gelap saat kami tiba di chateux Soni. Aku langsung masuk
menuju kamar dan duduk didepan perapian yang kemudian dinyalakan oleh Soni. Dia
lalu pamit untuk mencari minuman hangat bagi kami berdua. Beberapa saat
kemudian, aku mendengarnya kembali. Aku lebih memilih untuk diam menatap nyala
api yang bergerak-gerak abstrak.
“Kau...........................sadar dengan apa yang kau katakan tadi?”
tanyaku pelan setelah beberapa lama dia duduk diam di sebelahku. Tanpa harus ku
jelaskan, sepertinya Soni sudah tahu apa yang aku maksud. Aku meliriknya
sebentar, melihatnya duduk dengan santai, “Kau.................ingat dengan apa
yang terjadi semalam?”
“What? Kau pikir aku terlalu
mabuk untuk mengingatnya?
Aku berpaling untuk menatapnya, meski akhirnya kembali kalah dalam waktu
kurang dari 1 menit. Aku alihkan pandanganku pada lukisan yang ada di
belakangnya, “Look at us, Son. Kau
sudah sadar kan kalau kita berdua sama-sama..............” aku tak
meneruskannya.
Soni meraih daguku dengan tangan kanannya, mengangkatnya sedikit sehingga
pandangan kami berdua bertemu, “I don’t
care. Yang aku tahu adalah, aku jatuh hati padamu.”
Tuhanku!! Aku mengeluh dalam hati. Apa aku harus tertawa senang? Histeris?
Atau justru menangis sedih? Semua ini terasa.................terlalu sempurna
untuk jadi nyata. Lebih pas kalau dikatakan mimpi saking sempurnanya. Soni,
Paris, perkebunan ini, pengakuan Soni. Kami bahkan sedang membicarakannya
sekarang di depan perapian yang sedang menyala. Aku tak akan heran kalau
beberapa detik kemudian, seorang sutradara muncul dan berteriak ‘cut’ dengan
megaphone yang dipegangnya. It’s all too
good to be true! For real!!
Atau mungkin Soni sudah lama tahu akan persaanku dan semua ini hanyalah
jebakan...
Pemikiran itu membuat hatiku mencelos, “Kau tahu bukan?” gumamku pelan dan
tersurut mundur.
“Soal?” tanya Soni tak mengerti.
“Kau tahu kalau aku sudah lama menyukaimu. Kau tahu aku memendam perasaan
itu sejak lama. Karena itu kau...............seperti ini?” ku arahkan kembali
tatapanku pada perapian, terlalu takut untuk beradu pandang dengannya,
“Aku
sudah berusaha menahannya, Son. Aku bersumpah! Aku sudah berusaha mati-matian
menghilangkannya. Mencoba menganggapmu hanya seorang teman biasa, seperti yang
lain. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa mencegahnya,” aku kembali berpaling
padanya yang kini diam menatapku, “Kau...............akan kembali membenciku
kan? Semua ini, perjalanan keliling Paris, perkebunan ini, dan semua yang kau
katakan semalam. Itu semua.............hanya supaya aku mengaku kan?”
Dugaan yang kemudian muncul itu membuatku ngeri sehingga hampir-hampir tak
kusadari air mata sudah mengalir di pipiku.
“TJ...........”
“Aku akan berhenti!!” kataku cepat dan mengangkat tanganku untuk
mencegahnya yang sudah hendak mendekat, “I
swear I’ll stop!! Jangan khawatir. Aku hanya butuh waktu. Just don’t hate me. Aku tak tahan kalau
kau membenciku seperti dulu. Kita berteman saja. bisa kan? Aku tak akan meminta
lebih.”
“Terkadang aku tak bisa mengikuti arah pikiranmu berjalan. Apa yang
membuatmu berpikiran seperti itu?” tanyanya yang kini terlihat geli, membuatku
tertawa sedikit karena frustasi.
“Look at you, Son!! Kau
begitu...............sempurna! Semua orang menginginkanmu. Kau juga mapan,
kaya. Hell, kau bahkan memiliki
keturunan darah biru dari ayahmu. Aku sudah memperhatikan kalau kau tak
menyangkalnya tadi. Then look at me! Look
at us!! Kau tak akan mungkin segila itu untuk jatuh cinta padaku. Ini akan
jadi lelucon yang ironis.”
“Dengarkan aku TJ. I-DON’T-CARE!!! I
love you! Just the way you are. Aku tak peduli seperti apa kamu, atau siapa
kamu. I just love you. Just. You!!”
kata Soni tegas.
“But..............”
“Bohong kalau ku katakan aku tak menyadari perasaanmu padaku sejak lama. I’ve gotta be an idiot if I didn’t. Dari
caramu berbicara, bersikap dan juga caramu memandangku............... I know. I know all along that you love me.
Hanya saja.............aku tak mau peduli pada awalnya. Aku sudah sering
mendapatkan perlakuan seperti itu. Dan kalau boleh jujur......................aku
sempat merasa ketakutan.”
Aku diam. Apa yang bisa ku katakan?
Soni tertawa kecil dan mengusap rambutnya, terlihat sedikit gugup, “Maaf
kalau terdengar salah. Tapi aku memang sempat merasakannya. Aku banyak dikejar
cewek, TJ. Here or in Indonesia. Aku
tak bermaksud sombong, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Cewek-cewek di
Indonesia mudah mengatasinya. Mereka hanyalah sekelompok remaja yang gampang
hanyut hanya dengan pesona fisik, tapi orang-orang disini.....”” Soni
menggelengkan kepalanya, “Banyak keluarga yang mencoba mendekati aku dan Felix
untuk tujuan lebih besar. Berbagai macam rayuan dan ancaman sudah pernah aku
dan Felix alami. Kami sudah mengembangkan mekanisme pertahanan yang kadang
terlalu konyol untuk diungkapkan. Dan setelah sekian lama, kami mulai terbiasa
dan tahu harus bersikap bagaimana. Aku sudah mulai terbiasa dengan sikap
mereka. Tapi denganmu......... ini yang pertama. Apalagi aku harus mengalaminya
di Indonesia.”
“Hah?”
“Aku punya Felix yang menjagaku. Tapi kamu..........aku menghadapinya
sendiri. Dan kau......cukup membuatku sedikit ketakutan. Apalagi saat aku
menyadari, kalau aku lebih sering memikirkanmu daripada seharusnya. Saat aku
menyadari perasaanmu...............aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aneh bagiku.
Maka aku lebih memilih bersikap seperti biasanya. Tak acuh. Seperti yang biasa
aku lakukan. Tak peduli! Tapi banyak hal-hal yang terjadi kemudian. Seperti di
Ijen waktu itu. Saat aku mendapatimu tergeletak tak sadarkan diri dan
terus-terusan memanggilku. Saat ku gendong, kau meringkuk begit dalamnya dalam
pelukanku. Kau genggam jaketku begitu eratnya, seakan-akan nyawamu tergantung
padaku.
Jauh setelah itu aku mulai menyadari. Itulah awalnya. Itulah awal munculnya
perasaanku yang ingin melindungimu. Waktu itu aku belum menyadari sepenuhnya.
Puncaknya adalah saat kita di perkebunan dan surprise party yang kau berikan
untukku. Saat itulah aku menyadari kau sudah memasuki perasaanku. Dan aku takut! Aku tak mengerti kenapa kau
bisa membuatku terjaga dan memikirkanmu. Pada akhirnya...........aku marah. Itu
baru pertama kalinya aku mengalami hal seperti itu. Dan aku tak tahu harus
berbuat apa. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah menjauh darimu.
Tapi kemudian aku kembali mendapatimu tergolek sakit dan lemah di akmarmu
waktu itu. Kau mengingatkanku pada diriku yang dulu. Aku yang selalu meringkuk
di pojokan kamar, ketakutan kalau-kalau Erma akan masuk lagi ke kamarku
untuk.................
Mulai saat itu aku memutuskan, kau milikku. I don’t care about anything else. Not anymore,” pungkas Soni pelan.
“Soni...........” sekali lagi, aku hanya bisa membisikkan namanya.
“Mungkin sekarang, aku yang harsu bertanya padamu. Setelah kau tahu aku.
Masa laluku yang............mengerikan. Kau sudah tahu bahwa aku tidak sempurna
seperti bayanganmu. Ibarat buku, aku sudah penuh dengan coretan. Koyak. Tak
berharga. Setelah tahu semua itu.....................apa kau masih sayang
padaku? Kau bisa menyayangi orang yang sepertiku?”
Aku tak menjawab. Hanya meraih tangan kanannya. Mencium telapaknya dan
kemudian kuusapkan telapak itu ke pipiku,
“With
all my heart,” bisikku lirih, tanpa ragu sedikitpun..
Soni hanya tersenyum. Dia melingkarkan tangannya ke belakang leherku dan
menarikku maju. Aku memejamkan mata saat bibir kami bertemu. Kali ini bibir
Soni mengulum bibirku dengan lembut. Dan sekali lagi, bulu-bulu ditengkukku
meremang hebat. Saat Soni melepas bibirnya, aku mengeluarkan desahan pelan yang
tak dapat kutahan.
Ketika aku membuka mata, kudapati Soni tengah memandangku dengan mata
teduhnya. Ia tersenyum melihatku yang kemudian hanya mampu tertunduk malu.
“Kamu.................tak merespon,” komentarnya pelan. Mendengarnya, aku
semakin tertunduk dalam. Kupejamkan mataku
rapat-rapat.
Duh!! Apa aku harus memberitahunya kalau sebelum ini, aku tidak
pernah.............
“TJ...................?” panggil Soni pelan.
“Aku............” aku menghirup napas dalam-dalam untuk menguatkan diri,
“.......aku nggak tau.”
“What?”
Aku makin merapatkan kelopak mataku yang terpejam, “Aku nggak pernah
ciuman,” kataku lirih dan cepat.
“Apa?!!”
UGH!!!! Aku menggerutu dalam hati. Rasa-rasanya aku ingin pergi dari tempat
ini. Dan untuk sesaat kemudian aku menyadari bahwa itu mungkin ide yang bagus.
Sudah cukup aku mempermalukan diri di depan Soni. Jadi aku buru-buru bangkit,
namun detik berikutnya, Soni meraih tanganku dan menyentakkannya dengan kuat.
Aku terpekik dan jatuh! Yang membuatku semakin gelagapan adalah saat Soni
menggulingkan tubuhku hingga akhirnya dia berada di atasku. Posisi yang dalam
sekejap membuatku kalang kabut dan merinding hebat.
“Son.................”
“Aku tak akan melepasmu, sampai kamu kasih tahu dengan sejelas-jelasnya,”
ujar Soni dengan nada menggoda, tak memperdulikanku yang sudah panas dingin.
Dengan jengah, aku memalingkan wajahku, menolak untuk memandangnya.
“Aku................belum pernah ciuman,” kataku lagi dengann geraham
menyatu. Sedikit jengkel tapi hanya mampu pasrah.
Soni tergelak kecil, “Itu bisa diatur. Aku bisa mengajarimu,” kata Soni dan
kembali mendekatkan wajahnya, menciumku dengan lembut seperti tadi. Dan kembali
aku harus menahan napasku, sementara jantungku berontak gila-gilaan. Tubuhku
kembali menggigil.
“Itu disebut ciuman ringan dan........” kening Soni berkerut saat satu
tangannya meremas tanganku yang dia pegang, ”......tanganmu jadi dingin seperti
es. Sepertinya aku benar-benar telah mencium seorang virgin,” katanya geli, tak
memperdulikanku yang susah payah harus mengatur napas dan jengah luar biasa, “Let’s see what happen if I give you a french
kiss.”
Kali ini Soni menciumku dengan intens. Aku bisa merasakan tekanannya. Aku
juga bisa merasakan lidahnya mengusapku dengan sapuan lembut, menggoda bibirku
untuk membuka perlahan. Aku bereaksi dengan instingku. Saat lidah kami bertemu,
aku mengerang pelan. Tanganku melepaskan diri dan kini menyusup diantara rambut
Soni. Bergerak mengusap rambut, leher dan punggung Soni.
Soni memainkan lidahnya dengan ahli, hingga tidak hanya membuatku
belingsatan kehabisan napas, tapi juga membuatku merasakan sebuah sensasi
nyaman yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Mengusik sisi saraf lain yang
tak pernah aku ketahui keberadaannya sebelumnya. Kali ini saat dia melepaskan
ciumannya, tanpa kusadari, tanganku menahan lehernya.
Saat aku membuka mata, Soni tengah menatapku lekat dengan senyum lebar
tersungging di bibirnya, “Kau murid yang cerdas,” komentarnya singkat.
Aku yang masih trengah-engah, lagi-lagi dia buat malu luar biasa.
Kusurukkan kepalaku dilehernya untuk bersembunyi dari tatapan matanya, membuat
Soni kembali tertawa kecil.
“Jangan lakukan lagi. Tolong! Dadaku mungkin tak bisa menahannya,” pintaku
pelan, namun serius. Dadaku memang jadi nyaris tak tertahankan sesaknya.
Bahu Soni kembali berguncang oleh tawa, “Kita punya banyak waktu untuk
menjelajahi semuanya. Now, let’s just
sleep.”
Aku mendelu dalam hati. Dari caranya mengatakan ajakan itu, dengan bibirnya
yang berada persis di sebelah telingaku, membuat ajakan sederhana tadi bermakna
besar bagiku. Aku lalu dibuat sedikit terpekik saat tubuhku terangkat. Soni
menggendongku dan dengan perlahan membaringkanku di ranjang. Ya Tuhan, jangan
katakan kalau dia ingin............
Aku tak ingin meneruskan kalimat itu.
Rasa panik langsung menyelimutiku, “Son, a-aku..”
Soni hanya menahan bibirku dengan telunjuknya, “Tenanglah. Jangan tegang.
Kita tak akan melakukan apapun. Kamu mau ganti baju dulu atau....” aku tak
menjawabnya. Dengan penuh kelegaan aku menganggukan kepala. Tak mungkin juga
aku tidur dengan kemeja yang ku kenakan sekarang, “Baiklah. Aku juga akan ganti
baju di kamar mandi. Kau ganti disini saja, ok? Setelah selesai, kau boleh
ganti masuk untuk menyikat gigi,” katanya pelan dan bangkit untuk menuju kamar
mandi setelah mengambil piyamanya.
Saat tubuhnya menghilang di balik pintu yang tertutup, baru kusadari
desakan dalam dadaku yang membuncah. Dan untuk pertama kalinya, setelah
beberapa menit yang menegangkan tadi, aku bisa menarik napas panjang.
Aku baru selesai mengganti baju dengan piyama saat Soni keluar. Wajahnya
tampak segar dan bibirnya makin kelihatan memerah, “Kamu bisa cuci muka dan
gosok gigi,” katanya mempersilahkanku. Aku tak menjawab, tapi langsung
menghambur ke kamar mandi. Saat kembali,
dia sudah setengah berbaring di ranjang. Aku yang masih jengah, tak mengatakan
apa-apa. Hanya langsung berbaring di sebelahnya.
“Langsung tidur?”
“Ehhmm........” sahutku pelan sembari membetulkan selimut. Aku sudah hendak
membalikkan tubuh untuk memunggunginya saat ku lihat dia mendekat dari sudut
mataku. Sesaat kemudian dia mencium bibir dan keningku dengan singkat.
“Good night..........” kata Soni
dan mematikan lampu kamar.
Malam itu, butuh beberapa jam bagiku
untuk terlelap.