Translate

Minggu, 12 Maret 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle, Bab 14



BAB 14



Dan hari itupun tiba.

Wina dan lainnya yang  juga aku undang kerumah dalam acara makan-makan hari ini, sedikit bingung. Sepanjang pengetahuan mereka, tidak ada hari spesial pada kalenderku di bulan November. Bunda sendiri sudah kuberi bisikan untuk merahasiakan hajatan kali ini. Beliau dengan senang hati memasakkan tumpeng dan masakan-masakan lain untuk ulang tahun Soni. Apalagi dua minggu sebelumnya Bunda mendapatkan sepasang sepatu yang dibelikan oleh Soni sepulangnya kami dari perkebunan.

Pembelian sepatu itu sendiri sempat diwarnai aksi protesku. Gimana enggak, Soni membeli sepatu itu disebuah gerai khusus yang merupakan cabang dari toko Christie London yang emang spesial dalam pembuat sepatu. Sepatu kerja yang dibeli Soni atas rekomendasi pelayan toko itu berharga ratusan dolar. RATUSAN DOLLAR !!!! Bukan rupiah.
Tapi Soni santai aja malah bilang untuk merahasiakan hal itu kalau Bundaber tanya.

“Bilang saja beli ditoko sepatu Bandung yang murah,” katanya waktu itu. Protesku dia anggap kentut yang lewat. Karena itu aku ingin sedikit mengejutkannya dengan acara makan bersama hari ini. Bunda sangat antusias membantuku, apalagi aku bilang kalo semua biaya aku yang tanggung.

Jam lima sore Wina dan yang lain datang dengan keributan yang seperti biasanya.

“Bunda ada acara apaan sih ?” tanya Wina penasaran. Begitu datang dia langsung nyelonong ke dapur. Nodong Bunda yang sedang menyelesaikan masakannya.

“Iya nih Bun ! TJ main sok rahasia-rahasiaan,” timpal Rika.

Bunda tersenyum geli, ”Pokoknya acara spesial. Kalian pasti senang.”

“Kasih tau dong Buuun,” rengek Emmy dan Enny hampir bebarengan.               

“Lho kalo bunda kasih tahu, gak bakal jadi surprise dong? Kasian TJ. Padahal dia udah ngabisin uang celengannya buat acara ini.”

Wina dan yang pertama kali bengong langsung ngakak setelah sadar, “Jadi celengan panda jelek itu udah dipecahin? Batal dong beli hape kamera?”

Aku yang masuk ke dapur sesaat kemudian cuma tersenyum kalem. Lalu dengan perlahan aku keluarkan hape yang Soni belikan kemaren. Aku pencet satu-satunya nomor yang ada disana, yaitu nomor Soni dengan sedikit bergaya. Aku melangkah pergi kekamar meninggalkan Wina dan lainnya yang bengong melihatku dengan mulut terbuka kaget.
Begitu pintu kamar tertutup aku mendengar Wina dan yang lainnya memekik kaget . Aku tertawa kecil mendengarnya.

“Hello???”

Suara Soni diseberang mengalihkan perhatianku, “Hei udah dimana sekarang ?” tanyaku

“Aku di perkebunan. Ada panggilan mendadak dari pihak pengelola. Ada apa?!” tanya Soni lagi, dia terdengar sedang membenahi kertas-kertas. Aku bisa mendengar suara gemeriksiknya yang menjadi suara latar.

Untuk sesaat aku merasa ada seember air es yang mengguyurku.

“Kau diperkebunan?  Jadi kamu gak bisa datang ?” tanyaku agak tersendat karena kaget.

“Datang ?” Soni berkata dengan nada heran. Dia diam sejenak seakan sedang berpikir, “ Ya Tuhan ! TJ, Aku Lupa! I’m Sorry!” serunya setelah ingat

Meski Soni terdengar benar-benar lupa, hal itu tak membuatku merasa lebih baik. Dengan semua yang sudah aku persiapkan untuknya,  jelas ada kekecewaan yang kurasakan, “Jadi ….. kau tak bisa datang ?” tanyaku dengan nada lemas.

“Jam berapa acaranya dimulai ?”

“Rencananya sih jam 6. Tapi kalo kamu gak datang……”

“Aku akan usahakan. Tapi mungkin aku terlambat 2-3 jam.”

“Son. Jangan memaksa. Its okay kalo kamu gak bisa,”  sahutku cepat. Aku sadar kalo urusan perkebunan lebih mendesak daripada pesta konyol yang sudah aku rencanakan. Meski kecewa aku harus memakluminya. Apa yang sudah Soni berikan padaku, jauh lebih banyak dari apa yang sudah kuhabiskan.

I’m sorry. Aku akan usahakan datang.”

“Jangan memaksa,” kataku pelan, “ Ya sudah. Bye!” kataku dan memutus hubungan tanpa menunggu jawabannya.

“TJ LIAT HP-NYAAAAA!!!” Wina berteriak didepan pintu kamar sembari menggedornya. Aku cepat-cepat menyembunyikan hp pemberian Soni dan meraih hp lamaku.

“HP apaan sih ?” gerutuku saat pintu sudah ku buka. Aku langsung nyelonong ke dapur dan membisikkan pada Bunda tentang Soni.

Bunda hanya tersenyum dan mengusap lenganku, “Kita tunggu saja. Kebetulan masih ada dua masakan yang belum Bunda selesaikan. Sekalian kita bikin makanan penutup dan ngagetin masakan yang lain.”

“Hey, dodol ! Liat dong hp barunya?” tuntut Wina dan yang lain. mereka menyusulku dengan rapat di dapur.

“HP apaan ? Orang hp gue gak ganti kok!!” kelitku.  

“Lu kira gue bego apa?  MANA?!” todong Wina lagi dan menadahkan tangannya.

“HP gue gak ganti Win. Yang tadi cuma miniature buat tipu kalian. Gak percaya? Nih!!” aku sorongkan hape lamaku ke Wina.

Wina yang melihatnya langsung misuh-misuh  gak jelas . Sementara Rika, Emmy, dan Enny, menggerutu. Aku cuma nyengir melihat mereka.

“Nah berhubung persiapan kita belum selesai, Wina bantu kupas kentang. En, elo kupas tuh timun. Emmy, lo bantu Bunda. Gue mau ke warung dulu beli bubuk agar-agar buat dessert ntar. Ok?!!”

Sontan Wina dan yang lain protes keras dan mengajukan berbagai bantahan.

“Kalian kira, kalian bisa makan gratis ? Gak bisa!!!” omelku dan nyerahin tugas mereka . Meski menggerutu panjang pendek mereka menerimanya, “ Kerja yang ikhlas. Biar dapat pahala  gue tinggal dulu.”

“Pahala jidat lo!!” gerutu Wina dongkol.

Aku yang mendengar gerutuannya hanya tersenyum. Aku segera keluar untuk membeli bubuk agar-agar yang biasa Bunda pakai. Sembari melangkah aku tak bisa menepis keraguan yang mulai menggelutiku. Apa benar Soni bisa datang ? Kalau dia tidak datang…… harus aku apakan semua masakan Bunda nanti ? Meski Wina dan yang lain bisa dibilang jago makan, sudah pasti gak akan bisa menghabiskan semua. Dan lagi, siapa yang bakal potong tumpeng yang sudah aku persiapakan bersama Bunda tadi?

Kecewa ?

Sudah pasti. Tapi apa yang bisa aku lakukan ? Seberapapun kecewanya aku harus bisa menerima. Dan……….

Kilat yang tiba-tiba berkelebat mengagetkanku.!! Sesaat kemudian suara guntur mengikutinya.

“Hebat!!” gumamku kesal cepat-cepat aku berlari menuju warung Bu Ratna yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahku. Bu Ratna seorang janda berusia 30 tahuan yang membuka warung kecil. Selain menjual gado-gado, beliau juga menjual berbagai kebutuhan sehari-hari seperti sabun, sampo ataupun makanan kecil. Warung kecil Bu Ratna satu-satunya warung yang berada di lingkunganku.

Tepat saat aku sampai di warung Bu Ratna hujan gerimis turun dan tak lama kemudian menjadi deras.

“Mau beli apa TJ ?” tanya Bu Ratna yang sedang duduk santai, “Untung lu udah sampai pas ujan turun”

“Iya nih Bu! Ada bubuk agar-agar kan ?”

“Ada. Beli berape ?” Tanya Bu Rahma dengan logat betawi seraya bangkit,  “Ada pesta nih ? kok ibu gak diundang?”

“Lima bungkus Bu ! Kaga ada pesta. Cuma ada temen yang mau datang. Dan ……..” kata-kataku terputus karena ponselku berdering.

“Soni ….” kataku pelan saat melihat nama yang muncul, ice berg seperti nama yang Andri berikan, “Haloo…”

“T…”

Hanya satu huruf itu yang bias aku dengar. Suara hujan sepertinya yang turun ditempat Soni membuat aku tak bisa menangkap apa yang dikatakan sesekali terdengar suara gemercik keras.

“Soni !? Son…..!!! Aku gak bisa denger . Disini juga hujan…” kataku.

“TJ……. Gak……tutt!!”

Dan hubungan terputus dengan tiba-tiba.

Untuk sesaat aku hanya menatap layar ponselku yang seolah-olah berasal dari luar angkasa. Otakku berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi . Aku memang tidak bisa menangkap dengan jelas apa yang Soni ucapkan. Tapi kalau tidak salah dia tadi mengucapkan kata-kata ‘GAK’.

Kembali aku merasa lemas mendadak. Pelan aku duduk dikursi warung yang tadi digunakan Bu Ratna.

“Kenapa TJ ?” tanya Bu Ratna heran melihatku duduk lemas. Dia menyodorkan bubuk agar-agar padaku.

Aku cuma tertawa tipis, “Gak papa, Bu” kataku pelan dan menyodorkan uang padanya.

“Kagak apa-apa kok lemes gitu? Bingung mau pulang ? Jangan khawatir Ibu pinjemin paying, nih!!” kata Bu Ratna lalu memberikan payung dan tas plastik,  “Ini buat naruh bubuk sama hp biar gak basah”.

“Makasih ya Bu ! Ntar saya balikin payungnya!”

“Udah besok aja bisa. Ibu juga masih punya 2 dibelakang, dikasih sama sales makanan . Elu pake aja dulu!!!”

Aku hanya mengangguk dan melangkah ketengah-tengah hujan dengan langkah pelan. Pikiranku seakan-akan kosong. Nyaris saja aku melewati rumahku tanpa menyadarinya.

“Eh elo gak basah. Gue baru mau nyusul,” ujar Wina yang berada dibalik pintu.

“Gue dipinjemin payung sama Bu Ratna,” sahutku lemas.

“Ada apa?”  tanya Bunda saat melihatku datang dengan dengan ekspresi wajah gundah. Aku menceritakan apa yang telah terjadi dengan suara pelan. Aku gak mau wina dan yang lainnya dengar. Bunda tersenyum setelah aku selesai bercerita. Beliau mengusap pelan lenganku.

“Kita selesaikan saja dulu masaknya. Semua masih belum pastikan ? Mungkin saja dia datang terlambat seperti yang tadi dia bilang. Kamu bikin aja agar-agarnya.”

“Acaranya dimulai jam berapa TJ ?” tanya Wina yang tiba-tiba muncul dibelakangku.

“Sekitar jam 7 atau 8 Win.” Sahutku tanpa menoleh dan meraih peralatan untuk membuat dessertku.

“Apa ?!! Gila !!! lo nyuruh kita datang jam lima ?”

“Lho gue kan nyuruh kalian buat bantu-bantu gue juga. Masa makan doang ? Enak aja!!” gerutuku sambil berlalu. Wina cuma misuh-misuh kaya emak-emak.





Kami semua duduk didepan TV karena tahu apa yang kami nonton. Entah sudah berapa kali aku, Bunda, Wina dan yang lain menarik nafas panjang bergantian. Jam sudah menunjukkan pukul delapan lima belas menit. Aku sendiri mencoba untuk tidak mengacuhkan Wina dan yang lainnya saling lirik bergantian sedari tdai dengan wajah bingung.

“Kita nunggu siapa lagi sech ?” keluh Wina akhirnya dengan nada merana, “Gue udah laper banget neehh....”

“Bunda …..?” rengek Emmy dan Enny

Bunda berpaling padaku dan tersenyum tipis, “Kita makan aja yuk ?” ajak beliau dengan nada mengajak yang meski pelan, membujukku untuk merelakan semuanya.

Aku hanya mengangguk lesu. Wina dan yang lainnya sudah menghambur ke dapur duluan sembari bersorak. Bunda menepuk bahuku perlahan dan ikut bangkit untuk mendahuluiku. Aku yang akhirnya benar-benar pasrah ikutan berdiri dan melangkah, namun kemudian berhenti dan memandang kearah pintu. Berharap ada ketukan yang aku dengar.
Dan memang ada ketukan pelan yang ku dengar.

Semula aku pikir aku salah dengar, setengah berlari aku kedepan untuk memastikan. Dan sekali lagi aku mendengar suara ketukan pelan.
 
Cepat aku membuka pintu !!!

Dan disanalah dia !!!

Soni berdiri didepan pintu dengan baju sudah basah kuyub dan terlihat menggigil kedinginan. Bibirnya membentuk senyum sedikit bersalah, “Maaf ! mobilku sempat kempes bannya. Saat aku mencoba menelepon, ponselku kehabisan baterai. Aku harus mengganti bannya. Jadi aku sangat terlambat. Acara sudah selesai?” tanyanya dengan bibir merahnya yang kembali bergetar. Diusapnya wajahnya yang basah dengan sebelah tangan. Matanya melihat kedalam rumah dengan sorot ingin tahu.   

Aku benar-benar tak bisa bereaksi untuk beberapa saat lamanya. Aku hanya mampu berdiri disana mulut terbuka dengan mata sidikit berair. Rasa lega yang luar biasa membuncah didalam dadaku. Aku akhirnya cuma mampu tersenyum, “Kami baru saja mulai,” kataku pelan.

“Syukurlah. Dan ini ….” Soni mengangkat bungkusan buah yang dipegangnya. Aku hanya menemukan ini dalam perjalanan kesini . Sedikit sogokan atas keterlambatanku. Jadi……. apa aku bisa dimaafkan ?”

Aku tertawa tertahan oleh rasa haru, “Yeah Son…!” kataku dan menerima bungkusannya.

“Boleh masuk ?Aaku sedikit kedinginan!”

“ Ya Tuhan. Maaf. Ayo!!!” kataku segera, sadar akan kondisinya dan mempersilahkannya.” Kau harus cepat mandi air panas dan ganti baju. Nanti bisa masuk angin kalau engga. Kamu ke dalam dulu. Aku akan memasak air dan….

“Tidak perlu! Aku mandi air biasa aja. Yang penting bisa buat membilas air hujannya.”

“Kita langsung kekamar mandi kalau begitu,” kataku cepat dan menutup pintu.

“TJ. Siapa yang ….” Kata-kata Wina berhenti ditengah jalan saat ia melihat sosok Soni yang melangkah masuk dibelakangku. Wina terpaku dengan bibir terbuka sementara tangannya memegang piring dan sendok. Wajahnya menyiratkan kaget dan heran yang besar. Enny, Rika dan Emmy yang bereaksi sama. Mereka sontan berhenti melakukan apapun dan menatap Soni yang kugiring dengan mulut terbuka.

“Ya Ampun ! ayo cepat mandi dulu Soni. TJ cepat ambil handuk!”  kata Bunda sigap ketika  melihat kondisi Soni, “Kamar mandinya disana nak !” tunjuk beliau.

Soni hanya tersenyum tipis pada Bunda dan yang lainnya. Dia langsung masuk kedalam kamar mandi yang berada disamping dapur. Begitu Soni sosoknya hilang di balik kamar mandi, Wina and the genk lang memburuku yang hendak mengambil handuk.

“Reseeeee!!! Kenapa lo gak bilang kalo doi mau dateeeeng?!!” serbu Emmy panik.

“Aduh, mak. Gue gak dandan iniiiii!!” rengek Rika,  “Gimana wajah gue nek? Rambut gue udah rapi gak ? Bedak! Bunda minta bedaknyaaa!!”  Rika langsung menghambur ke depan. Dan yang lainpun mengikutinya dengan heboh

Aku cuma menggeleng melihat reaksi rusuh Wina dan yang lain. Aku hanya mendengus keras dan langsung ke kamar untuk mengambil handuk. Saat aku kembali ke dapur, Wina dan yang lainnya heboh saling dandan.

“WOOYY!!! Bantuin nyokap dooongg!!!” teriakku jengkel ketika melihat kelakuan mereka, “Bunda makanannya dibawa keruang tengah aja”

“TJ. Gue gimana ??” tanya Rika meminta pendapatku. Dia memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri.

“Ancur,” kataku cepat cuek, ”Bantu Bunda gih!!”

“Ntar ah!!” sahutnya dan kembali ngaca.

Aku mengerutu panjang pendek dengan karenanya. Aku langsung menuju kamar mandi dan mengetuk pintunya. “Handuk Son!!” kataku.

Pintu terbuka. Soni hanya menjulurkan tangannya untuk mengambil handuk. “TJ....?”

“Yeah?”

“Aku gak bawa baju ganti”

“Akan aku siapkan. Jangan khawatir !!” kataku dan pergi.

Kalo gak salah aku punya sweater warna hitam yang belum pernah aku pakai. Pamanku membelikannya tahun lalu, tapi kebesaran. Jadi males pakenya. Juga ada celana cardigan dengan pinggang karet yang pasti bisa Soni pakai. Plus celana dalam persediaanku yang baru kubeli minggu lalu dan masih belum sempat ku pakai dan aku bersyukur karenanya.

Setelah menaruh semua baju ganti untuk Soni diatas pembaringan, aku kembali kekamar mandi untuk menanyakan satu hal, “Son mau ganti disini apa dikamarku aja ?” tanyaku dengan membelakangi pintu kamar mandi. Ku lihat Rika dan yang lain rebutan membantu Bunda dan sesekali saling merapikan satu sama lain. Tadi bahkan mereka sempat mengambil parfumku tanpa ijin dan menyemprotkannya gila-gilaan. Membuat bau mereka seperti kuntilanak kondangan.   

“Gak mungkin ganti disinikan? Dikamarmu aja!” sahut Soni disela-sela guyuran air.

“Ya udah! Baju basahmu taruh aja diember yang ada disitu!!”

“Ok!” sahut Soni lagi, sedikit teredam dengan suara guyuran air.

Aku langsung menuju Bunda dan yang lain untuk membantunya , “Oke. Gini rencananya.  Nanti setelah Soni masuk ke kamar, gue akan ambil kue tartnya. Dan begitu dia selesai dan keluar , kita nyanyikan lagu happy birthday bareng, ok?” kataku menjelaskan.

Wina dan yang lain sontan berhenti bergerak.

“Dia ultah? Kenapa lo gak bilang?” tuntut Wina melotot dengan nada berdesis jengkel.

“It’s a surprise party!” sahutku enteng

“Harusnya lo ngomong, dodol !! Kita kan bisa beli hadiah buat kak Soni!!” gerutu Enny.

“Lagak lo!” rungutku dongkoll, ”Gue ultah aja lo gak pernah kasih kado. Giliran Soni, lo pada heboh! Temen yang baek lo ye?”

“Eh siapa taukan itu bisa bikin doi naksir gue!” tangkis Enny pede membuat ku dan yang lainnya misuh-misuh.

“Ga mungkin kadal! Selera Soni tuh tinggi. Dia pasti milih gue,” tukas Emmy

“Iya. Dia pasti milih elu kalo dia sawan!” sembur Wina, “Kalo Diah yang cover girl ditolak, Christine yang indo di cuekin dan Megan yang putri sekolah gak dilirik, apalagi elo?!!!”

“Terima aja dah,”  selorohku geli melihat Enny dan Emmy cemberut, sementara Rika ngikik.

“Setidaknya kita bisa nyombong nih besok! Berkat TJ, mungkin kita satu-satunya genk yang ngerayain surprise party bareng dia. Gak bakal ada deh genk laen yang bisa gini kan?!!!” tukas Wina antusias. Hampir bersamaan dengan Enny, Rika dan Emmy memekik kegirangan. Lupa akan berbagai macam hidangan yang mereka bawa.

“WOY!! WOY!! Hati-hati dong!!” semprotku jengkel.

“TJ. Kamarmu yang mana ?”

Aku dengar suara Soni dari belakangku. Cepat aku berbalik dan langsung bengong hebat !!!

Dia berdiri disana hanya dengan handuk lebarku yang dililitkan seadanya dipinggangnya dengan rambut basah yang disisir dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang simpul handuk dipinggangnya.  Mataku mengikuti tetesan air yang jatuh dari dagunya ke dadanya yang bidang dan lebar dengan bulu-bulu halus yang mulai tumbuh  tampak lebat dan sedikit kehitaman didadanya yang putih. Terus kearah perutnya yang ramping lurus dengan lekukan-lekukan sempurna  sixpacknya dan terus ke pusarnya yang memiliki rambut lebat kehitaman yang terus memanjang ke bagian yang tertutup handuk. Kulitnya yang putih tampak bersinar segar disana. Lengannya tampak begitu kekar dan menggoda. Aku seperti melihat sebuah iklan shampoo pria yang di Tv. Ya Tuhan, apakah seorang cowok belasan tahun memang bisa memiliki bentuk tubuh sesempurna itu?

“TJ ?!” panggil Soni heran

Aku tak mampu menjawabnya dengan suara, hanya menunjuk kamar dengan tangan kananku.

Soni tersenyum tipis pada Wina dan yang lainnya. Lalu cepat-cepat masuk kekamar. Begitu tubuhnya hilang, aku berpaling pada Wina dan yang lain. Keadaan mereka tak jauh berbeda. Mereka bertiga masih bengong melihat pintu kamarku dengan mulut terbuka.

Sesaat kemudian, Wina jatuh terduduk lemas dengan tangan memegang dadanya. “ Ya Tuhan ! Dada gue..............dada mau pecah. Gue gak mimpi kan ? Gue gak mimpikan ? Tadi gue liat dia telanjang dada kan ?”

“Cubit gue dong!” desah Enny, “Gue tadi liat manusia apa dewa seeehh?”

Aku menatap mereka tanpa komentar, masih bengong akan kejadian tadi.

“Tadi adalah hal paling indah yang pernah gue lihat, seumur hidup gue. Sumpah, gue bakal selamanya ngefans ama dia !” desis Emmy yang diamini dengan anggukan kepala keras Rika.

“Hei, ayo cepat !! Sebentar lagi orangnya keluar !!” kata Bunda mengagetkan kami semua yang masih tersihir oleh Soni tadi, “TJ, Kuenya!!!”

Kata itu sontan membuatku terjingkat bangkit. Cepat aku menganbil kue tart yang kemaren aku bikin bersama Bunda. Kue tart kecil dan sederhana yang kami persipkan untuk Soni. Aku juga membeli lilin berbentuk angka 18.

“Matiin lampu!!” bisikku pelan pada yang lain setelah lilin yang ku tancapkan  telah ku nyalakan. Perlahan dengan kue tart ditangan , aku melangkah dan bersama dengan Bunda yang lain.  Kami berdiri di depan pintu kamar, menunggu Soni dengan dada berdebar keras.

Sesaat kemudian pegangan pintu kamarku bergerak, terbuka..

“TJ, kok ge……”

“Happy birthday to you ! Happy birthday to you ! Happy birthday happy birthday happy birthday to you !!” Aku dan yang lainnya menyanyikan koor itu pelan dan melangkah kearah Soni yang tampak benar-benar kaget. Cowok itu cuma berdiri disana diam memandang kami dengan mulut terbuka.

Bahkan hingga kami selesai bernyanyi, dia tetap diam dalam kekagetannya. Aku sendiri jadi terpaku melihat penampilannya . sweater hitam turtleneck milikku yang kebesaran begitu pas membungkus tubuhnya. Aku bahkan bisa melihat bentuk dadanya dan lekukan pada lengan kekar dan perut langsingnya. Sweater hitam itu justru mempertegas kecerahan kulitnya. Apalagi dengan rambut yang tersisir rapi ke belakang. Profil wajahnya terlihat lembut, polos dan menggoda. Adonis yang hidup. Benar-benar pahatan sempurna tuhan. !!! aku mendesir dalam hati.

Sikutan pelan yang dilakukan wina dipinggangku membuatku sadar. Aku tersenyum gugup pada Soni, sedikit khawatir akan reaksinya

“Kau bisa meniup lilinnya sekarang,” kataku pelan.

Mata Soni beralih dari kue ke aku. Sesaat kemudian dia tersenyum haru. Dan ................benarkah aku lihat kilatan air dimatanya itu ? Ataukah hanya pantulan cahaya lilin saja ?

“This is the party you were talking about?” tanya Soni lirih,nyaris tak terdengar.

Aku mengangguk “Make a wish dan tiup lilinnya. Berat nih,“ rungutku mencoba mencairkan suasana.

Soni tertawa kecil. Dia memejamkan matanya sejenak. Kemudian membukanya, lalu menip lilinya mati dalam satu hemusan napas.

Semunya bertepuk tangan riang.

“Nah kita potong kuenya ntar aja ya. Sekarang kita potong tumpeng dulu,” kata Bunda seraya kembali menghidupkan lampu. Wina dan yang lain kemudian tiba-tiba saja berubah menjadi cewek-cewek rajin yang dengan segera membantu 
Bunda. Dasar cari muka, gerutuku dalam hati.

“Bagaimana kau tau ?” tanya Soni padaku

“Rahasia!” sahutku singkat seraya tersenyum dan mengulurkan pisau padanya untuk memotong tumpeng.

“Ayo dong potong, Kak! Siapa yang dapat potongan pertama nih ?” sorak Emmy

“Sepertinya tak ada yang lebih pantas,” ujan Soni pelan. Dia memotong tumpengnya dengan irisan rapi dan mengulurkan potongan tumpeng pertamanya padaku, “Thanks ya?” katanya pelan dan memelukku.

Aku cuma mampu tertawa kecil agak gugup dan menepuk punggungnya sekilas.

Soni menyerahkan potongan kedua untuk Bunda “Pasti Bunda sudah bekerja keras. Terima kasih. Maaf sudah merepotkan,” kata Soni sedikit rikuh

Bunda tertawa kecil dan memeluk Soni,”Tidak sebanding dengan apa yang kau lakukan untuk TJ  nak,” kata beliau dan melepas pelukannya, “TJ  sudah  menceritakan semuannya,”  ujar Bunda saat melihat sorot tanya dimata Soni.

“Nggak semua kok,” gumamku pelan tanpa melihat ke arahnya.  Takut kalo dia ngambek lagi, “Son, sebelumnya kenalin ini temen-temenku. Emmy, Enny, Rika dan Wina. They are my best friends !!” kataku cepat mengalihkan perhatian. Aku tau kalo dari sudut mataku kalo dia sedang memperhatikan aku. Bunda ngapain bilang segala sech, gerundengku dalam hati.

“Met ultah ya Kak Soni!! Sorry kita gak bawa kado buat Kakak!” kata Emmy lincah dan membuka lengan bersiap untuk memeluk Soni. Tapi Soni hanya tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyalaminya.

“Iya nih Kak!!” kata Enny mesem melihat Emmy yang sedikit tersipu. Dia mengulurkan tangannya untuk menyalami 
Soni, tahu kalau dia akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan Emmy.

“TJ gak bilang kalo ini surprise party buat Kakak. Jadi kita cuma bisa ucapin selamat,” kata Wina dan Rika. Mereka  mengulurkan tangannya juga.

Soni hanya tersenyum dan memberikan irisan tumpeng bagiannya. Kami semua lalu duduk dan menikmati santapan bersama. Wina dan yang lain makan perlahan. Sesekali melihat kearah Soni yang duduk didekatku sembari saling sikut dan senyum satu sama lain. Tak bisa disalahkan karna cowok itu benear-benar menawan. Apalagi dengan tadi, mereka telah melihat bagian tubuh Soni yang selama ini hanya kami bicarakan dan bayangkan di kelas. Dan mengingatnya kembali membuatku emndelu dalam hati. Kalau aku membiarkan pikiran ini, aku yakin otakku akan terus membayangkan hal-hal yang maikn horor. Aku harus segera memikirkan hal lain.

“Ada masalah apa diperkebunan ?” tanyaku pelan tanpa mengalihkan mataku dari tv yang menyala.

“Cuma perlu nge-check beberapa hal dan ngeberesin buntut dari peristiwa kemaren.”

“The accident?”

“Yep!!” jawab Soni singkat.

“Tapi semua sudah bereskan ?” tanyaku sedikit khawatir. Soni cuma menjawabnya  dengan anggukan.

“Aku benar-benar gak nyangka kamu akan buat pesta ini. Kalau dibilang surprise party, aku bener-bener surprise!! Thanks!!”

“Jadi gak percuma donk TJ mecahin celengannya!” celetuk Wina yang sontan ngiyem seketika saat aku melotot padanya. Ini anak kumat resenya.

“Ap.....?”

“Ada yang mau nambah ?” tanyaku cepat memotong Soni. Aku tersenyum padanya sekilas dan mengibaskan tangan, ” Eh aku tadi buat agar-agar juga lho . Pasti enak buat dessert. Soni nambah ya?” kataku dan meraih piringnnya.

“Tapi.....”

“Udah !! Inikan pesta kamu. Kamu harus makan banyak,” Kataku tak memperdulikan protesnya, “Wina juga ya ?” sambungku dan meraih piringnya.

“Eh gue tadi udah....”

“Makan yang banyak Win!” kataku dengan mulut tersenyum tapi mataku menatapnya tajam. Tak ada bantahan, hanya ku dengar sdia menggumamkan kata maaf dengan sangat pelan.  Aku mengerling kesal padanya dan mencoba kembali menyibukkan diri untuk menghindari tatapan Soni. Cara yang sebenarnya efektif. Soni tak mengajukan pertanyaannya lagi, tapi aku merasakan tatapannya yang terus mengikutiku membuatku bergidik. 




Acara selesai pada jam setengah sepuluh malam. Wina dan lain melirik jam dinding dengan sedikit cemas.

“Gue pulang yah!! Udah malem. Entar bonyok gue marah,” kata Enn. Wina, Rika dan Emmy mengangguk mendukungnya.

“Udah malem. Gue anter kalian, “ kataku cepat.

“Kita anter bareng mereka,“ kata Soni yang muncul dari belakang. Tadi dia membantu Bunda membereskan peralatan, “ Mobilku didepan” katanya ketika aku cuma bisa memandangnya bengong, “Ayo “ katanya dan melangkah mendahuluiku.
Wina dan yang lainnya bersorak kegirangan dan langsung menghambur keluar setelah berpamitan pada Bunda.

“Terima kasih banget lo nek, udah undang kita,“  kata Wina pelan dan menyeretku untuk ikut. Cepat-cepat aku menyambar jaket jeansku yang ku gantung.

“Iya, TJ. Jarang-jarangkan Kak Soni mau nganter kita, “ imbuh Enny yang melangkah disampingku.

“Bukannya jarang. Nggak pernah, malah. Eh, nek, dia tadi bilang mobilkan?” tanya Emmy bego, “Gue gak tau dia bawa mo.....” Emmy tak meneruskan kalimatnya saaat dilihatnya Soni masuk ke mobil sedan berwarna  silver yang diparkir diujung gang, “Gue duduk didepan,” sergah Emmy dan berniat ngibrit mendahului.  Aku dan yang lain segera menahannya yang sdah napsu untuk menyusul Soni.

“Tenang jeung. Lo ingat gimana dia memperlakukan para groupies-nya disekolah ?” seloroh Wina

“Dicuekin abis!” timpal Enny

“Kalo lo ingin diperlakukan sama, lo boleh nguber dia sekarang,” imbuhku lagi dan melepaskan peganganku.

“Jadi gue harus sok kalem nih?” gumam Emmy pelan saat kami semakin dekat dengan mobil Soni.

“Just, be yourself, mbak” kataku pelan. Soni membuka pintu mobil depan untuk penumpang.

“TJ masuk !” katanya singkat.

Sejenak aku dan yang lainnya hanya mampu berpandangan. Aku cuma mengangkat bahu dan kemudian masuk, karena jelas Soni sudah memutuskan siapa yang akan menemaninya duduk di depan. Wina dan yang lain menyusul dikursi belakang.

“Kemana dulu nih?” tanya Soni serasa menghidupkan mesin. Mesin mobil berdengung halus dibawah tubuhku.

“Kita ngantar Emmy dulu aja ya? Rumah dia cuman dua blok didepan. Lurus aja,” kataku . Soni tak mengucapkan 
apa-apa.. Mobil melaju dengan mulus.

Atmosfir diantara aku dan Soni berubah menjadi aneh ketika Wina, orang terakhir yang kami antar turun. Tawaran Wina untuk mampir hanya dijawab senyuman tipis oleh Soni dan langsung melajukan mobilnya. Setelah itu suasana berubah jadi aneh dan sedikit berat.

Dari sudut mataku aku bisa melihat Soni yang memandang kearahku dengan intens, sambil sesekali melihat kearah jalan. Tentu saja hal itu membuatku merasa tidak enak. Aku menyibukkan diri dengan melihat keluar mobil. Tetapi hal itu tak membantuku menghilangkan kegugupan. Kakiku bergerak-gerak gelisah tanpa aku sadari.

“Eh hidupan radio yah !” kataku cepat dan menghidupkan radio tanpa menunggu persetujuannya. Setelah mencari-cari sejenak aku menemukan gelombang yang memutar lagu dari Craig David yang duet dengan Phill Collins.

“Suka lagu ini ?” tanya Soni memecah keheningan.

“Hampir semua lagi Craig David aku suka,” kataku sembari tersenyum tipis setelah meliriknya sekilas. “Yah selesai“ gumamku saat suara Craig David menghilang. Dilanjut dengan sebuah lagu yang tak ku kenal, tapi syair pertamanya benar-benar menyentuhku.


Just an ordinary man
Thrown into a life I didn’t plan
Suddenly my world has changed
I'm unprepared to make my way 


 My resolve is growing weak
So unsure of who I'm supposed to be
The one who takes the noble path
Or the one who wants what he can never have

And I'm hardly the hero
This is the only thing I know to do
To make it through
But I need you to believe
That beneath this bravado
I'd still give anything to have a chance
To get you back
And I'm hardly a hero for that

Exuberant and terrified
Every time I look into your eyes
But I can't entertain the thought
Cuz we both know I'm not the man you thought I was

And I'm hardly the hero
This is the only thing I know to do
To make it through
But I need you to believe
That beneath this bravado
I'd still give anything to have a chance
To get you back
And I'm hardly a hero for that

The ones I love will always be
The ones who pay the price
And so I set aside my dreams
To do the thing that's right
And keep it all inside

And I'm hardly the hero
This is the only thing I know to do
To make it through
But I need you to believe
That beneath this bravado
I'd still give anything to have a chance
To love again
And I'm hardly the hero for that
Yeah I'm

hardly a hero


Syair itu begitu menyentuhku penyanyinya menyanyikan lagu itu dengan indah hanya diiringi oleh piano. Tanpa sadar aku diam menikmati lagu itu hingga selesai. Penyiar yang kemudian cuap-cuap memberitahuku bahwa judul lagu itu adalah Hardly a hero dari Levi Kreiss.

“Lagu yang sangat indah,” gumamku pelan.

Yang membuatku heran Soni justru menghentikan mobilnya. Aku menatapnya heran. Tapi Soni hanya menatapku dengan pandangan datar dan....................nyaris lembut. Hingga tanpa sadar aku menjadi sedikit tersipu. Apa-apaan ini ?

Yeah... its beautiful.

“Aku mau cari lagu itu di internet” gumamku lagi, grogi. Tapi Soni tak mengatakn apapun. Dia hanya diam dan menatapku.

Aku melihatnya sekilas dengan gugup, “Apa?” tanyaku pura-pura tak mengerti meski aku paham betul apa yang dia maksud. Kemudian dia memutar tubuhnya dan meletakkan lengan kirinya disandaran kursiku dan mentapku dengan intens.

“Tentang celengan dan...”

“Aku tak suka membicarkan soal uang !!!” kataku cepat memotongnya.

Untuk sejenak tak ada reaksi dari Soni. Beberapa saat kemudian ia menarik tangannya dan tertawa kecil, “Ok!! Kau menggunakan kata-kataku sendiri untuk melawanku. Pintar!!!”

“Thanks. Aku mencontohnya dari orang yang pintar juga. Can we go home now ?” tanyaku sedikit lega

Soni mengangkat kedua tangannya, “Okay, you win!!!” katanya dan kembali menjalankan mobil. Aku sendiri tak bisa mengatakan apa-apa dan memilih diam dan membiarkan semua ini terpatri dalam ingatanku.  Lagu yang tadi ku dengar seolah-olah kembali ku dengar.

Tak lama kemudian sampai digang yang menuju kerumahku . Aku melihat sekilas kearah Soni dan tersenyum.

“Mau mampir dulu atau......?”

I think I’d better go home. Sudah malam,” Kata Soni, “Aku pinjam dulu bajumu ini ok? Besok aku kembalikan sekalian aku ambil baju kotorku. Sampaikan salamku pada Bunda.”

“Okay. Tapi kau boleh simpan baju itu,“ kataku pelan,  “Sweater itu lebih cocok kau gunakan. Terlalu besar untukku.“

“Tapi.......”

“Terlalu jelek ?” tanyaku sedikit khawatir,  “Aku tau itu bukan barang mahal. But it’s really good on you dan lagi.....”

“TJ Stop !!” potong Soni cepat menghentikanku, “Bukan itu maksudku. Aku suka sweater ini. Tapi apakah tak terlalu banyak ?”

“Enggak kok malahan aku masih punya ini,” kataku ringan dan mengulurkan sebuah kotak dari saku jaket yang ku kenakan, “ Hadiah kecil untukmu”.

“Masih ada lagi kejutan untukku?” tanya Soni dengan tertawa kecil

“Ini yang terakhir,” kataku dan mengulurnya.

“Okay,” kata Soni menerimanya, “Boleh ku buka sekarang?” tanya Soni yang ku jawab dengan anggukan,  “Oh, waaoooww...” desah Soni pelan ketika dia menemukan sepasang sarung tangan kulit berwarna hitam dari bungkusan tadi.

“Kamukan pake sepeda, jadi aku pikir benda ini akan berguna untukmu,” kataku pelan. Soni tak menjawabnya, “It’s not expensive. But....!

“Hey aku tak suka bicara soal uang,” potong Soni dengan tersenyum membuatku hanya mampu nyengir, “Thanks. I like ‘em”sambungnya.

“Good. Aku pulang dulu ya?” kataku dan sudah hendak membuka pintu mobil , namun urung saat aku ingat sesuatu   
“Kamu tunggu bentar ya? Aku mau ambil sesuatu.”

“Ada lagi?” tanya Soni heran

“Enggak kok. Pokoknya tunggu bentar yah? “ kataku cepat dan keluar dari mobil. Aku ingat kalo kue tart tadi masih sisa banyak. Tak mungkin aku menghabiskan bersama Bunda. Lagian aku kan eman buatin dia.

Bunda membantuku membungkus kue itu. Begitu selesai aku kembali ke mobil Soni.

“Kue ini memang aku buat untukmu,” kataku pelan serasa membungkuk dan mengulurkan bungkusan itu dari jendela mobil.

“Hai aku tak mungkin bisa menghabiskannya!” sergah Soni

“Kan ada Bi Atun.”

Soni menghela nafas melihatku sampai akhirnya menyerah, “Okay !!!” katanya pelan mengambil bungkusan itu dari tanganku.

Aku tersenyum melihatnya, “ Kau bisa pulang sekarang dan happy birthday,“ kataku pelan.

Soni diam dan menatapku. Tatapan lembut yang sama. Yang kembali membuatku tersipu dan cepat-cepat mangalihkan pandanganku kearah dashboard mobil.

“Hei.....!“ panggil Soni pelan membuatku kembali melihatnya, “Thanks for everything aku....”

Aku mengangkat lenganku untuk mencegahnya melanjutkan kata-katanya, “Pulanglah! Sudah malam,” kataku pelan dan menegakkan tubuh. Aku diam disan a sampai mobil Soni menghilang ditikungan. Saat aku kembali melangkah kerumah, langkahku terasa ringan. Hatiku benar-benar terasa tenang, nyaman, bahagia. Bahkan aku tak sadar bahwa sedari tadi aku berjalan dengan senyum yang terus terkembang.

Malam ini aku pasti mimpi indah, pikirku senang.

Malam itu .. harapanku terkabul.

Aku duduk diruang tengah rumahku bersama Soni,  menonton tv. Tapi bukannya nonton tv, Soni malah memandangku dengan pandangan sama yang dia berikan padaku saat duduk dimobilnya. Pandangan lembut yang sam., yang membuatku tersipu malu. Dan kemudian entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja Soni berada dibelakangku.

Perlahan tangannya melingkar diperutku. Nafasnya yang hangat membelai leherku. Dan sesaat kemudian, sebuah kecupan lembut mendarat dileherku. Akunhanya mampu memejamkan mata. Menikmati sentuhan Soni yang semakin intens. Menyerahkan selurunhnya diriku padanya. Aku bahkaan membalikkan tubuhku sehingga tubuh kami berhadapan. Tanganku bergerak membuka kancing kemeja Soni. Dan tanganku segera menyusup kebalik bajunya. Mengusap dadanya yang telanjang. Merasakan kelembutan kulitnya dan bulu-bulu dadanya yang baru tumbuh dan lebat. Aku hanya mampu mengerang.

Dan pagi harinya aku bangun dengan campuran rasa jijik dan mesum bergumul diotakku.