Translate

Kamis, 02 Februari 2017

THE MEMOIRS, A Gay Chronicle Bab 13



BAB 13



Pagi itu ketika aku baru saja selesai ganti pakaian dengan seragam harianku, jeans dan t-shirt, pintu kamarku di ketuk pelan.

“TJ?!! Udah bangun?” panggil Soni. Aku tak menyahut, tapi langsung berjalan untuk membuka pintu.

Tuhanku!!

Kembali aku harus memanggil namaMu kali ini. Pagi ini Soni muncul dengan setelan baju yang mirip pakaian berburu yang berkesan sporty. Celana warna abu-abu kehijauan yang pas di kakinya, kemeja putih army cut dengan lengan panjang yang membuatnya tampak cemerlang membungkus tubuh atasnya. Baju itu membuat kulit bersihnya jadi lebih bersinar dengan siluet cahaya pagi. Wajahnya tampak segar. Dan senyum yang terkembang itu begitu menakjubkan. Harum tubuhnya yang biasa kembali memasuki indra penciumanku.
Ya Bunda! Tolong anakmu ini!! Desahku dalam hati.

“Lho? Udah mandi rupanya. Gimana tidurmu?”

“Sempurna,” kataku pelan. Aku tak punya komentar lain yang bisa aku ucapkan. Semua kosakata yang aku miliki menguap begitu saja.

Great! Ayo kita sarapan dulu. Setelah itu, kita bisa jalan-jalan keliling perkebunan,” ajaknya dan mendahuluiku.

Aku hanya mengikutinya saja tanpa berkata apa-apa lagi. Dia bilang mau jalan-jalan ke perkebunan, tapi kok dia lebih mirip orang mau pemotretan gitu sih? gerundengku dalam hati. Sarapan kali ini, kami hanya makan sereal dan susu. Seumur-umur, baru kali ini aku makan pagi model begini. Meski mulanya agak terasa aneh karen masih baru, tapi lama-lama aku menikmati rasanya yang tidak biasa. Meski jelas kalau di rumah, aku tak akan pernah melakukannya lagi. Mumpung bareng Soni. Aku nikmati saja sarapan ala orang modern gini, batinku lagi.

Setelah sarapan, Soni mengajakku untuk ke belakang rumahnya. Dan makin mendekati bagian belakang, samar-samar aku bisa mendengar suara ringkikan kuda. Suara itu makin terdengar jelas saat kami mendekati pintu belakang. Dan keherananku akan pakaian Soni pun terjawab. Pakaian yang dia kenakan itu bukan baju berburu. Itu baju buat berkuda. Sepatu bootsnya juga!

Sontan aku berhenti melangkah.

“Son..............yang kau maksud jalan-jalan tadi, adalah jalan-jalan dengan menggunakan kuda?”

“Tentu. Kan lebih enak. Sekalian olah raga.”

Aku mendengus keras dan segera berbalik. Tapi aku kalah cepat dengan Soni yang segera menahan lenganku. Aku mencoba mengibaskannya dan gagal, “Aku nggak bisa berkuda!” kataku sedikit keras akhirnya dengan nada sedikit kesal.

“Lho. Ntar aku ajarin kan? Cuma buat jalan-jalan aja. Bukan adu cepat,” sahutnya santai.

“Tetep saja. Aku juga gak mungkin bisa langsung melakukannya saat ini juga kan? Gak mungkin juga aku bisa ahli dalam beberapa menit kan?  Jangan gila dong!” gerutuku lagi.

Soni tertawa kecil melihatku merengut marah, “Kamu pasti bisa. Gak sulit kok. Lagipula kudaku jinak dan pintar.”

“Thank you, but no. Thanks!” jawabku singkat akan tawarannya dan kembali berbalik. Tapi sekali lagi, Soni menahan. Kali ini meraih tanganku dan menarikku pelan.

“Percayalah. Kau akan menyukainya. Ayo...” katanya dengan nada membujuk.

Aku mengerang keras di buatnya. Aduh Bundaaaa!!! Bagaimana aku bisa menolaknya kalau dia begituu?!!! Apalagi dia memandangku dengan tatapan meminta seperti itu. Aku hanya mampu menghela nafas. Okay! Ini Cuma naik kuda kan? Aku pasti bisa kan? Lagipula, kapan lagi aku bisa melakukan hal begini kan? Pikirku dan akhirnya hanya bisa mengikuti Soni.

Dan aku menyesali keputusanku itu!!

Soni hanya memiliki 2 pasang kuda. Dan ke empat-empatnya adalah jenis kuda pacuan yang gedenya bisa bikin aku nelen ludah. Aku buta sama sekali soal kuda. Tapi aku bisa mengatakan kalau kuda-kuda Soni berukuran super. Tinggi kuda itu saja sudah melebihi tinggiku. Dan dia mengenalkan mereka padaku dengan bangga. Theodore, Casey, Armand dan Hitam.
Kuda terakhir yang paling gede! Begitu Soni mendekat, kuda itu menyorongkan wajah panjangnya dan langsung menyantap apel yang dipegang oleh Soni. Dia memang terlihat akrab dan jinak.Apalagi saat Soni membelainya. Kuda itu mendengus dan meringkik kecil. Kelihatan girang menerimanya. Meski sebenarnya terlihat lucu, tapi ukurannya yang alaihim itu membuatku keder duluan.

“Nanti kamu naik si Hitam saja. Dia yang paling pintar dan juga jinak.”

Dan dia mengatakan itu dengan nada seakan-akan memberiku sebuah hadiah yang super keren! Padahal aku melotot bukan karena kaget, tapi lebih karena ngeri.

“Ogah! Takut!!” sahutku segera melangkah mundur.

“Jangan takut. Dia benar-benar jinak kok,” kata Soni dan membuka pintu kandangnya. Dia masuk untuk sekali lagi membelai si Hitam. Dia memberiku tanda untuk mengikutinya dan kemudian mengulurkan sebutir apel, “Kenalan dan berikan itu padanya. Ayo...”

Aku menggelengkan kepala. Tapi Soni kembali memintaku, “Dia bisa mengigit tanganku!” kataku mencoba membanta.

“Letakkan di telapak tanganmu seperti aku tadi dan biarkan dia melakukan sisanya,” kata Soni.

Akhirnya, dengan setengah terpaksa dan setengahnya lagi takut, aku melakukannya. Aku mengulurkan tanganku dengan sebuti apel di atasnya ke moncong si Hitam. Dan sekali lagi, si Hitam mendengus keras. Mulanya dia melakukan gerakan mundur yang hampir membuatku berteriak kaget. Tapi Soni membelai dan mengeluarkan suara-suara membujuk. 
Mengajaknya bicara seakan-akan si Hitam akan mengerti.

“Ajak dia bicara seperti teman. Mereka bisa meresponnya. Jangan takut. Anggap saja kau sedang berbicara dengan hewan peliharaan biasa. Jangan lihat ukurannya. Si Hitam tak lebih dari seekor peliharaan seperti seekor anjing atau kucing. Atau paling baik, bersikaplah seakan-akan kau kawan akrabnya,” katanya lagi.

“Gampang bagimu...” gerutuku jengkel. Tapi aku melakukannya. Menyapa Hitam seakan-akan kami kenalan laa, meski dengan nada yang sedikit gemetar. Aku lalu kembali mengulurkan tanganku yang memegang apel dengan instruksi dari Soni. Dan..................dia memakannya. Aku memejamkan mata saat moncong Hitam mendekat. Dan dia mencaplok apel 
itu tanpa menggigit satupun jariku!

“Coba belai dia,” kata Soni kemudian.

Dan dengan gerakan yang sangat perlahan, aku mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah si Hitam. Agak sedikit kaget saat dia kembali mendengus keras dan mengangkat wajahnya lalu meringkik pelan. Aku mundur dan menoleh pada Soni dengan tatapan panik. Tapi dia hanya mengangguk dan memberi isyarat dengan kepalanya agar aku kembali maju.

“Ayo...” katanya yang masih terlihat geli denganku yang terperanjat.

Aku hanya nyengir kecut dan kembali memberanikan diri. Aku kembali mengulurkan tanganku hingga akhirnya menyentuh wajah si Hitam. Tepat di antara kedua matanya. Kuda itu menggerakkan sedikit kepalanya saat tanganku menyentuhnya. Aku tertawa dengan gugup.

“Lihat, gak papa kan?”

Aku hanya nyengir untuk menyahutinya karena masih gugup dan sedikit takut. Soni lalu melangkah mundur untuk keluar. Aku sudah mau panik dan menahannya.

“Aku akan mengambil pelana. Kalau si Hitam mulai menunduk dan mencari tanganmu lagi, kasih lagi apel ini,” kata Soni menenangkanku dan memberiku sebuah apel lain. Dia meninggalkan kami berdua. Aku mengelus-elus lagi si Hitam.

“Jangan berontak yaaa.....” bujukku pelan. Hitam mendengus dan kepalanya turun dan menyundul pelan tanganku seperti dugaan Soni tadi. Jadi aku mengulurkan apel yang ku pegang dan segera sajaapel itu menghilang dalam mulutnya.

“Dia memakannya?” tanya Soni yang sudah kembali dengan pelana di tangannya. Aku hanya mengangguk. Aku diam saja dan memperhatikan Soni memasang pelana ke tubuh Hitam dengan cepat. Kuda itu hanya sedikit menggerakkan kepala dan mengibaskan ekornya beberapa kali. Sepertinya sudah sangat biasa.

“Dia gak ngamuk?”

Nope! Sepertinya malah tidak sabar untuk keluar dari kandangnya. Ayo! Coba naik!” kata Soni santai. Mataku melebar mendengarnya.

“Nggak deh, Son. Makasih. Beneran!” tolakku tanpa pikir panjang.

Soni mendecak gemas dan menarik tanganku, “Naik, cepetan!” perintahnya tegas.

“Kapan-kapan aja deh ya? Kalo kita kesini lagi,” tolakku sembari nyengir. Soni tak menyahut. Tapi dia diam menatapkau dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Meski tak ada kata yang dia ucapkan, aku tahu arti dari semua sikapnya itu.

Aku memutar bola mataku, “Iya deh, iya. Ntar kalo gue kena apa-apa, elu yang tanggung!” gerundengku.

“Pegangan pada bagian depan pelana. Gunakan sadel ini sebagai pijakan,” kata Soni singkat. Meski grogi, aku melakukannya dan mengangkat tubuhku naik dengan satu kaki di sisi lain tubuh Hitam. Aku sudah pernah melihat orang melakukannya di tv. Jadi sedikit banyak, aku sudah tahu. Dan Soni juga membantuku menahan gerakan si Hitam. Tapi begitu aku duduk di punggung kuda itu, rasa grogi yang kurasakan tadi mulai berkembang menjadi panik dan takut.

“Son!!! A-aku....g-gak bisa. A-aku......”

Hanya itu saja yang bisa aku katakan. Sumpah!! Begitu berada di atas sini dan melihat ketinggian tubuh si Hitam, tubuhku langsung berkeringat dingin. Bayangkan saja kalau si Hitam tiba-tiba saja jadi liar dan melonjak-lonjak seperti kuda rodeo. Aku pasti akan.....

“Tenang saja. Dia.....”

“AKU NGGAK BISA!!!!” kataku keras dengan tangan mencengkeram kuat bagian depan pelana. Tubuhku mulai gemetar dengan hebatnya. Keringat mulai bermunculan dari semua pori-poriku. Aku segera memejamkan mata.

Tak ada sahutan dari Soni. Hanya saja, sesaat kemudian aku merasakan sebuah hentakan keras. Lalu..........

“Sekarang tenang. Aku dibelakangmu...” kata Soni yang sudah naik juga ke punggung si Hitam. Dengan tubuh kami yang saling menempel sekarang ini, aku bukanya tambah tenang, malahan jadi lebih grogi dari sebelumnya. GILAA!! Nafasku saja jadi tersendat. Aku nyaris takut kalau-kalau Soni yang duduk dibelakangku bisa mendengar degupanku jantungku yang menggila.

“Sekarang pegang tali kekangnya,” kata Soni di belakangku.

Aku harus menenangkan diri. Nggak lucu kalau Soni jadi curiga dan mikir macem-macem, batinku. Aku menarik nafas panjang beberapa kali untuk mengontrol diri. Aroma parfum Soni kembali memenuhi rongga dadaku. Tenang TJ. Tenangin diri lo! Nggak usah norak! Jangan biarin Soni tau apa yang lo rasain saat ini. Atau tak akan lagi ada pertemanan di antara kalian. Labelmu akan berubah dari kawan menjadi MUSUH!!

“TJ?!!”

“Iyaaaa,” sahutku cepat dan membuka mata. Dengan gerakan pelan dan masih dengan sedikit gemetar, aku meraih tali kekang si Hitam, “Terus gimana?”

“Gini...”

Soni mengulurkan tangannya, memegang pergelangan kedua tanganku yang memegang kekang. BUNDAAAAAA!! TANGANYA! TANGANNYAAAAA!!!!!!

“Gerakkan seperti ini dan tepuk perlahan tubuh Hitam dengan kedua kakimu seperti ini, dan dia akan berjalan,” kata Soni lagi. Dan memang si Hitam melangkah dengan anggunnya keluar dari kandangnya. Tak lama, kami sudah keluar dari istal, “Lalu kalau kau tahan seperti ini, dia akan berhenti! Gampang kan?” jelasnya lagi memberi contoh.

DUH MAAAKK!! Enteng aja dia bilang gitu. Ga tau apa kalau jantungku jungkir balik sekarang?

“Sekarang kamu coba...”

Aku menghentak pelan tali kekang Hitam dan menepuk tubuhnya dengan kedua kakiku.

“KYAAA!!!!” pekikku saat si Hitam melangkah. Meski dia terlihat tenang, aku tetap memegang tali kekang dengan erat sehingga tanganku sakit. Masih ada ketakutan dalam diriku.

“Tenang. Tanganmu terlalu tegang dan dingin. Rileks...”

Rileks? Dengan tubuhnya menempel di punggungku? Dengan tangannya di atas tanganku? Dengan hembusan nafasnya yang kadang menerpa leherku? MANA BISAAAAAA?!!!!!!

“Kamu aja deh yang kendaliin,” kataku akhirnya sedikit kesal. Enak aja dia ngomong. Coba dia ada di posisiku sekarang.

“Hei, yang perlu belajar kan kamu? Tubuhmu terlalu kaku dan tegang. Kau justru akan sakit semua nantinya. Kendurkan ototmu dan lihat sekeliling.”

Sejenak aku memejamkan mata. Kembali menarik nafas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri dan mengendurkan tubuhku yang kaku. Mencoba mengenyahkan sensasi aneh yang kurasakan tiap kali punggungku bergesekan dengan tubuh Soni. Juga tangannya yang masih memegang pergelanganku.

“Bagus! Tarik nafas panjang sekali lagi dan hembuskan perlahan,” bisiknya di telingaku.

JREEEENGG!!!!

Sedikit ketenangan yang ku peroleh dengan susah payah tadi, langsung hilang. Suara Soni yang begitu dekat di telingaku segera saja membuat bulu kudukku meremang.

“Bukannya ngebantu, malah bikin tambah gugup,” gerutuku jengkel.

“Hah? Maksudnya?” tanya Soni bingung.

“Lupakan!” kataku dan mengibaskan tangan dengan cepat, “Kita jalan,” lanjutku dan menghentakkan kekang  si Hitam dengan keras. Walhasil, si Hitam meringkik nyaring dan berlari. Aku tak ingat kapan terakhir kali aku merasakan kengerian seperti saat ini. Yang bisa aku lakukan hanyalah menjerit panik dengan tangan yang refleks memegang lengan Soni yang memelukku kuat-kuat. Untunglah Soni tanggap. Dengan cepat dia meraih tali kekang HI tam dan mengendalikannya. Menghentikan kuda yang kami naiki hanya dalam hitungan beberapa detik.

Untuk beberapa saat lamanya aku tak mampu melakukan ataupun bereaksi apa-apa. Aku duduk disana dengan mata terbelalak, kedua tangan mencngkeram lengan Soni dengan tubuh yang bersandar sepenuhnya pada dadanya, mencari perlindungan. Dadaku bergemuruh dengan jantung yang berdetak gila-gilaan.

“Fiiuuuhhh......” Soni menghela nafas, “Are you okay?

No,” jawabku dengan suara yang terdengar mengenaskan, “Bisa kita pulang sekarang?” rengekku. Sumpah! Aku takut beneran! Super takut!

Bukannya menuruti permintaanku, Soni malah kembali tertawa kecil, “Jangan langsung menyerah gitu, dong. Kesalahan 
itu normal.”

“Aku nggak mau mati!”

“Nggak akan! Makanya nurut saja. sekarang duduklah dengan tegak,” kata Soni lagi dan dengan perlahan mencoba melepaskan cengkeramanku pada lengannya. Dia mendorong bahuku dengan lembut, “Rilekskan tubuhmu. Sekarang biar aku yang memegang kendali dan kamu letakkan tanganmu di atas tanganku.”

“Sooooonn...” aku kembali merengek.

“Lakukan saja,” ujarnya singkat, tak ingin di bantah. Merasa percuma untuk protes, akupun menurutinya. Soni kemudian menghentakkan tali kekang si Hitan dengan pelan. Dan dengannya tenangnya, kuda yang sesaat tadi terkesan beringas dan menakutkan, mulai melangkah pelan, “enaknya naik kuda adalah kamu gak perlu harus lihat ke depan terus. Dia gak bakal nabrak. Kamu hanya harus memberi isyarat kapan harus berbelok, berhenti ataupun lari. Kamu bisa menikmati pemandangan dengan lebih santai. Lihat! Nggak kalah dengan tikungan kemarin kan?”

Meski sedikit tidak ikhlas, aku harus mengakui kalau dia benar.

Pemandangan perkebunan di pagi hari benar-benar menakjubkan. Di sana sini masih terlihat kabut yang menyamarkan bentuk pepohonan yang membayang di kejauhan. Juga benda-benda lain yang bergerak pelan di sekeliling kami. Aku bahkan nyaris bisa mendengar suara kendaraan dari jalan raya yang berada di luar perkebunan ini. Kesegraan udaranya juga lebih terasa sekarang. Hawa dingin yang menyegarkan membuat dadaku seakan-akan mengembang dari ukuran normalnya. Sepanjang mata memandang, warna hijau memenuhi mataku. Aroma teh tercium di hidungku, sesekali berganti dengan harum Soni yang biasa. Harus yang segera saja membuatku sedikit menggigil.

“Udara pagi disini memang sedikit lebih dingin dari Jakarta,” komentar Soni yang sepertinya salah menangkap reaksiku, “Aku sangat suka berkuda di pagi hari kalau berada di sini. Oh ya, beberapa waktu yang lalu aku juga sempat menanam sebuah  pohon apel di sana,” katanya dan menunjuk ke arah bukit di barat yang masih berselimut kabut. Tanah perkebunan yang berbukit-bukit membuat tanaman-tanaman teh yang ada disana mirip dengan gelaran karpet hijau yang berkembang. Diatasnya, gulungan-gulungan kabut bergerak perlahan dengan gerakan-gerakan yang nyaris mistis.

“Apel?” tanyaku.

“Iya. Beberapa jenis apel. Seharusnya sudah mulai berbuah sekarang. Tahun kemarin aku sempet berkuda kesana dan sarapan apel segar yang aku petik. Kau pernah merasakan kesegaran buah yang langsung di petik dari pohonnya?”

Aku menggeleng dan sedikit tertular oleh antusiasnya.

“Kalau kau beruntung, kau akan segera merasakannya. Kita kesana. Kesegaran dan rasa dari buah yang di nikmati dari pohonnya langsung tak tertandingi.”

“Benarkah?”

“Tentu saja. dan serunya, aku menanam beberapa pohon itu di dekat sebuah sumber mata air. Airnya segar dan jernih.”

“Sumber mata air?”

“Yup! Alirannya cukup deras dan menjadi salah satu sungai kecil yang bersatu dengan sungai besar di bawah. Penduduk sekitar banyak yang mengambil air disana saat musim kemarau panjang. Terkadang sumber air dekat daerah mereka kering. Tapi mata air di perkebunan ini tak pernah berhenti mengalir sepanjang tahun.”

“Berapa mereka harus membayar?”

Soni mendengus pelan, “Mata air itu sudah ada di sini bahkan sebelum aku lahir. Penduduk daerah sini juga sudah menggunakannya, jauh sebelum aku ada. Jadi, untuk apa mereka membayar?”

Aku nyengir, sedikit menyesal, “Maaf kalau pertanyaanku menyinggung. Hanya saja, di jalan masuk kemarin aku membaca dengan jelas tulisan ‘MILIK PRIBADI. DI LARANG MASUK!’ di pintu gerbang. Jadi ku pikir....”

“Jawabannya tidak. Asal mereka tidak merusak ataupun mengotori perkebunan, mereka di persilahkan untuk memanfaatkan mata air itu dengan bebas.  Lihat! Itu pohonnya dan sepertinya........kau kurang beruntung.”

Dalam jarak 10 meter, aku bisa melihatnya dengan jelas. Soni benar. Sepertinya pohon setinggi 5 meter itu sedang tidak berbuah. Tapi saat semakin dekat, aku ternyata salah.

“Hei, lihat!! Ada buahnya kok. Tapi masih kecil-kecil,” seruku girang.

“Yeah..... kau benar. Masih butuh beberapa minggu lagi sebelum bisa di makan. Kita langsung ke sumber mata airnya saja,” kata Soni dan kembali menghentakkan tali si Hitam.

“Jenis apa saja, Son? Fuji? Hijau? Kalau sudah bisa di panen, jangan lupain aku ya?”

Kembali  Soni tertawa, “Beberapa di antaranya. Beres deh! Nah lihat. Itu mata airnya!”

Soni menghentikan Hitam di bawah sebatang pohon dan menunjuk ke rimbunan pepohonan pada sebuah bukit kecil di depan kami. Aku mengerutkan kening. Sumber mata air di dataran yang lebih tinggi? Aku semula hendak protes sampai kemudian aku melihat sebuah jalan turunan di dekat sebatang pohon luar biasa tinggi yang berdiri sekitar 20 meter di sebelah gindukan tanah itu.

Aku mendekat dan baru sadar kalau di kanan kami terdapat tanah yang menurun dan sedikit tertutupi oleh tanaman perdu dan merambat yang tumbuh di antara pepohonan tinggi. Soni yang sudah mengikat Hitam di pohon segera memanggilku untuk mengikutinya. Di sana,  di bawah rimbunnya pepohonan, yang mungkin bisa di sebut sebagai hutan kecil, terlihat sebuah kolam yang berukuran 4x4 meter dengan sebuah mata air yang memancar dari tanah di atasnya.

Benar kata Soni. Sumber mata air yang sudah di beri jalan air menjadi sebuah pancuran yang terbuat dari bambu dan kayu itu memancar dengan deras. Dan alirannya yang jatuh ke kolam kemudian mengalir pada sebuah sungai kecil di sepanjang turunan ini. Sungai yang airnya begitu jernih dan terlihat sangat menyegarkan. Suara gemericik air yang mengalir perlahan terdengar seperti musik alam yang menenangkan. Bebatuan gunung yang menjadi dasarnya terlihat dengan jelas karena kedalaman alirannya yang mungkin hanya sekitar 50cm.

Sungai kecil yang begitu menggoda. Sorga kecil yang tersembunyi oleh hijaunya pepohonan.

“UGH!!! Kalau saja udara tak sedingin ini, aku pasti sudah mandi di sini,” gumamku dan mendekat. Aku menyentuhkan tanganku pada aliran air yang jatuh ke bawah. Dingin dan segar seperti kelihatannya. Pasti menyenangkan duduk di bawah pancuran yang tingginya hanya sekitar 2 meter itu.

“Yeah.... pasti akan menyenangkan kalau melakukannya di siang terik yang panas. Sayangnya pagi ini aku harus ke pabrik. Ada beberapa hal yang harus aku periksa.”

“Oh ya? Aku juga belum ngeberesin berkas-berkas yang semalam. Kalau begitu, kita pulang saja. tapi kapan-kapan ajak aku main ke sini lagi ya?”

Sure. Why not?” ujar Soni saat kami kembali ke kuda kami. Kali ini aku bisa naik hanya dengan sedikit bantuan darinya. Dan kami berjalan dengan tenang kembali ke arah rumah Soni tadi. Dan kembali aku tak bisa menahan kekagumanku akan kehijauan daerah ini yang begitu permai. Aku yang sudah terbiasa dengan hutan gedung di Jakarta, serasa berada di 
sebuah dunia lain.

Sebuah dunia yang udaranya begitu bersih dan bebas dari polusi.

Aku menghirup dalam-dalam udara itu ke paru-patuku, “Beneran ajak aku ke sini lagi ya, Son! Di sini rasanya seperti mengisi kembali baterai hidup yang sudah habis. Udara bersihnya bikin semangat kembali pulih,” desahku pelan.

Soni terkekeh kecil, “Iya. Nanti. Dan mungkin saat itu kau sudah berkuda sendiri. Kau sudah bisa rileks sekarang di atas kuda.

Eh ya! Aku juga baru nyadar. Tadi kan aku sudah berkuda dengan santai sembari ngobrol ma dia asli! Aku jadi tidak ingat dengan ketakutan yang pertama kali kursakan saat naik si hitam tadi. Ngobrol dengan Soni sembari menikmati udara serta pemandangan di perkebunan ini membuatku terlupa, bahwa aku sekarang sedang berada di punggung seekor kuda hitam besar.

Well.............sepertinya tadi aku sudah bisa membuatku lupa. Tapi setelah kau mengatakannya, aku jadi inget lagi nih,” gerutuku.

Soni tertawa mendengarnya. Dan sesaat kemudian kurasakan hawa hangat dari tubuhnya mendekat sehingga aku nyaris bisa merasakan detak jantungnya. Punggungku menempel di dadanya, semenatra wajah Soni makin merapat ke sisi wajahku. Dan tanpa sadar aku menahan napas dengan tubuh menegang, “Mau mencoba lari?” bisiknya pelan di telingaku.

“Son, jangan giLAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!”

Aku berteriak keras saat Soni menggebah si Hitam. Kuda itu meringkik keras dan kemudian berlari kencang. Aku yang tadinya sudah sedikit tegang dengan tubuh kami yang berdekatan, kini menjadi ketakutan. Kedua tanganku mencengkeram lengannya dengan kuat sementara punggungku rapat menempel padanya. Aku menyandarkan tubuhku sepenuhnya dengan mata terpejam rapat. Aku tak berani membuka mata. Apalagi dengan guncangan guncangan keras yang kurasakan.

“RILEKSKAN TUBUH! JANGAN TEGANG KARENA JUSTRU AKAN MEMBUATMU TERLUKA! IKUTI GERAKAN TUBUH SI HITAM!! DAN BUKA MATAMU!!!” kata Soni keras.

“OGAAAAHHH!!!!!!” balasku super jengkel. Aku sudah mulai merasa mual dan ingin muntah, tapi mati-matian menahan diri. Beberapa menit kemudian – yang bagiku terasa begitu lama- Soni menghentikan laju si Hitam dan satu tangannya menahan perutku agar tubuhku tak terhempas ke depan. Sepertinya kami sudah kembali ke istal karena aku mendengar suara beberapa ekor kuda yang lain.

See? Tidak mengerikan bukan?” kata Soni ceria dan turun dari kuda.

Aku tak mampu menjawab. Dia tak tahu kalau perutku serasa jungkir balik dan tubuhku panas dingin tak karuan. Aku gemetaran hebat dengan kedua kaki yang terasa lemas. Sepertinya aku akan pingsan. Dan Soni sepertinya juga mulai menyadari kondisiku, karena detik berikutnya dia memekik kecil.

OH NO!! TJ!!!”

Dengan sigap dia menangkap tubuhku yang oleng dan hampir jatuh dari punggung si Hitam. Cepat dia membopongku dan membawaku ke dalam rumah. Soni membaringkanku di sofa dan meneriakkan beberapa kata  pada seseorang. Sepertinya dia mengatakan sesuatu tentang minuman.

Ada sedikit keributan kecil yang terjadi. Aku tak tahu apa yang dikatakan oleh orang-orang yang ada di ruangan ini. 
Telingaku tak bisa berfungsi normal. Begitu juga dengan benakku yang kacau. Aku hanya ingin memejamkan mata dan menenangkan diri. Sesaat kemudian, Soni menyorongkan sebuah gelas dan memaksaku meminumnya. Minuman teh manis yang hangat itu membantu menennangkan perutku yang berontak. Dan aku kemudian kembali menyandarkan tubuhku dan menutup mata, menennagkan diri.

“TJ..........kau mendengarku?” panggil Soni pelan. Ada nada panik dalam suaranya, “TJ!! Kau bisa mendengarku?”

I’m okay,” sahutku pelan sedikit lemah, tak ingin membuatnya khawatir. Pelan aku membuka mataku. Soni berjongkok di sebelahku dengan wajah yang sejajar denganku. Aku bisa menangkap kecemasan dalam sorot matanya.

“Aku gak apa-apa,” kataku lagi menenangkannya.

“Maaf. A-aku gak tahu ka-kalau kamu tadi..................”

Sepertinya dia bingung harus mengatakn apa. Dia bergerak-gerak dengan resah di tempatnya dan berulang kali menjilat bibir bawahnya sembari sesekali menggigitnya. Aneh! Justru dalam keadaannya yang sekarang, dia terlihat semakin imut dan menggemaskan. Aku sendiri heran bagaimana otakku yang tadinya kacau balau, kini bisa memikirkan hal ini. Aku begitu terpesona dan hampir-hampir tak bisa mengalihkan mataku dari bibirnya yang kini terlihat basah.

“Maaf, aku.....................”

Suara Soni yang gugup itu membuatku sadar kembali. Aku memejamkan mataku lagi sejenak. Menutup indra pengelihatanku dari pesonanya, “Aku nggak apa-apa Son. Tenang saja.”

“TJ.......”

Aku membuka mata dan memandangnya sejenak, “Aku cuma kaget. Aku pelajar yang lamban, Son. Jadi lain kali kalau mau mengajariku sesuatu, apapun itu, seperti berkuda misalnya, lakukan dengan pelan-pelan. Ok?”

“TJ, I’m sorry. Aku............”

“Soni, I’m okay!” kataku menegaskan, “Jangan khawatir. Sebentar lagi aku akan-baik-baik saja. hanya sedikit shock.”

“Tapi........”

“Den, mobilnya sudah dipanaskan. Mau berangkat sekarang?” tanya Mang Asep yang muncul dari belakang. Kemunculannya yang tiba-tiba sedikit mengejutkan kami.

“Nanti saja ke pabriknya Mang. TJ sakit dan.........................”

“Pergilah,” kataku cepat memotongnya. Aku bangkit perlahan, “Aku akan ke ruang kerjamu dan membereskan berkas-berkas semalam.”

“Tidak. Kau istirahat saja.”

“Soni, sekali lagi aku bilang. I AM FINE,” kataku dan bangkit. Aku memang merasa jauh lebih baik. Aku tak akan membiarkan urusan Soni di sini tebengkalai karena insiden kecil tadi, “Sekarang berhenti mengomel dan pergi saja ke pabrik. Selesaikan urusanmu disana. Pergi! Or I’l l kick your ass!

Soni menggeram pelan, “Fine! Tapi kau harus berhenti melakukan apapun kalau kau mulai merasa tidak enak. Aku bisa membereskan berkas-berkas itu sendiri nanti.”

Ok! Fine! Promise!” jawabku dan menyeretnya untuk bangkit juga, “Sekarang jelaskan lagi padaku, apa yang harus aku lakukan dengan berkas-berkas didalam itu?”

Secara singkat dia menjelaskannya. Bukan hal yang sulit kalau hanya mengelompokkan berkas-berkas sesuai dengan tanggal kejadiannya. Dia measih sempat menanyakan keadaanku beberapa kali lagi sebelum puas, dan melarangku ini itu ketika kami berjalan menuju garasi. Aku hanya mengangguk patuh dan mengiyakan semuanya. Hanya untuk menghindari argumen.

“Jadi jangan paksakan dirimu ya?” kata Soni lagi, entah untuk keberapa kalinya sebelum naik ke jeep putih dengan atap terbukanya.

Yes, Sir! Saya sudah mendengar dengan jelas. Sekarang, pergi!” sahutku.

Soni menggelengkan kepala karena kecuekanku. Akhirnya, dengan perlahan, mobil itu menderu pergi. Aku segera berbalik menuju kantor Soni ketika mobilnya menghilang di balik pagar. Rumah ini jadi sedikit terasa mencekam karena kehilangan Soni. Apalagi Mang Asep juga ikut bareng Soni. Lebih baik aku segera membereskan dokumen-dokumennya, pikirku. Toh aku bisa mengerjakannya dengan santai sambil nonton Tv.

Tumpukan dokumen setinggi hampir 30 cm itu masih ada diatas meja kerja soni. Aku segera mengurusnya meskipun sebenarnya ada dorongan lain yang  lebih menggoda. Yaitu kesempatan untuk mencari tahu tentang Soni. Aku yakin ada sedikit hal tentangnya  yang bisa ku dapat didalam ruangan ini. Tapi ku pikir hal itu akan kulakukan nanti.

Butuh waktu hampir dua jam bagiku untuk menata dokumen-dokumen itu ke dalam lemari arsip, tempat dimana seharusnya mereka berada. Dan saat aku mengembalikan arsip yang berisi daftar gaji pegawai, aku menemukan arsip yang berisi tentang struktur inti dari perkebunan itu. Ada biodata lengkap dengan tentang orang-orang yang bekerja disana. Dan arsip paling atas adalah milik soni.

Soni Prabowo Damian Duainne ? Kubaca nama lengkapnya dengan kening berkerut. Aku tak tahu kalau itu nama lengkapnya. Nama yang terakhir jelas bukan nama Indonesia. Lahir tanggal 29 November?!  Berarti sebentar lagi dia ultah dong. Sekarang baru tanggal 15 sekitar dua mingguan, aku bergumam sendiri. Kayaknya seru kalo gue kasih dia surprise, pikirku lagi. Keterangan lain yang tercantum disana tak begitu penting lagi bagiku. Aku segera mengembalikan arsip itu ke tempatnya.

Tak banyak hal lain yang bisa kutemukan selain bebarapa koleksi cd nya yang eksentrik. Remaja seusia Soni dan aku biasanya suka musik-musik pop. Tapi satu-satunya CD yang ku kenal pada koleksi Soni cuma CD album dari Cold Play Dan anggun. Ada juga Kenny G, Yani dan juga Kitaro. Selain nama-nama itu, aku tak tau. Kebanyakan CD-CD Soni berisi musik-musik klasik yang dimainkan oleh London Orchestra Symphony Karya Mozart, Benthoven, Bach, Vivaldi dan entah apalagi.

Buku-buku yang ada disana juga rata-rata buku –buku berat berbahasa inggris. Beberapa buku berbahasa Perancis, dan mungkin Jerman. Satu-satunya novel yang ku temukan adalah novel politik karya Allan Drury yang pernah meraih Pulitzer. Informasi itupun aku baca disampulnya. Aku tak kenal siapa Allan Drury itu.

Tuhan...!!!

Segala sesuatu tentang Soni benar-benar samar seperti mimpi yang sulit ditangkap maknanya. Bahkan keberadaanku disini, diperkebunan miliknya terasa tak nyata bagiku. Perkembangan kedekatan kami hampir-hampir seperti ilusi.
Aku hanya mampu menghela nafas memikirkannya. Mencoba menekan perasaanku dengan berteman dengan Soni ternyatasama sulitnya dengan menjauhinya. Tadinya aku berharap aku akan terbiasa dengan keberadaan nya. Berharap bahwa hatiku yang kalang kabut, jantungku yang berdebaran, dan nervous yang selalu kurasakan saat berdekatan dengannya, akan hilang saat aku terbiasa dengan kehadirannya.

Tapi sepertinya aku memerlukan waktu yang cukup lama. Contohnya tadi saat kami duduk berdekatan diatas punggung si hitam. Rasa-rasanya aku hampir meleleh dengan menyedihkan saat tubuh kami berdekatan. Aku merasa tenggelam dalam naungan tubuhnya. Seakan-akan udara disekelilingku dipenuhi oleh aroma tubuhnya.menyelimutiku,memenuhi rongga dadaku. Begitu nyaman, harum, dan damai. Begitu menyejukkan. Perasaan seperti ini hanya sebelumnya hanya ku kenal lewat buku-buku percintaan dan lagu saja. Tapi kini aku merasakannya sendiri. Kini, deskripsi dari buku-buku dan lagu itupun terasa begitu dangkal. Perasaan yang kurasakan ini jauh lebih indah, lebih menakjubkan dari ungkapan-ungkapan dalam novel-novel romans itu.  Juga lebih menyakitkan.

Jatuh cinta !!!!!

Andai saja semua sama seperti mereka-mereka diluaran sana . Seandainya kami berbeda.........

Lamunanku terputus ketika aku mendengar pekikan yang lumayan keras dari luar. Karena sedikit kaget dan juga penasaran, aku keluar untuk mencari sumbernya. Diruang tengah aku berpapasan dengan Bi Ijah, Istri mang Asep yang berjalan tergesa-gesa dengan wajah luar biasa kalut.

“Ada apa Bi ?!”

“Mobil Den Soni........mo....mobil....” Bi Ijah mencoba menarik nafasnya yang tersendat. Jelas berusaha untuk menguasai kekagetannya, “...................tadi di serempet tru truk,  ke-ke-kecelakaan...”

“APA??111” pekikku luar biasa kaget membuat Bi Ijahyang sudah gugup kehabisan nafas terperanjat. Tubuhku sendiri serta merta diserang hawa dingin yang menusuk,  “Soni gimana Bi ?!’’ buruku bahkan lebih keras dari tadi

“Pa.......Pabrik Den........”

Aku sudah berlari keluar sebelum Bi Ijah menyelesaikan kalimatnya.

Diserempet truk ? kecelakaan ?!!

Ya Tuhan ....!!!!

Pabrik itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah ini, dan dengan berlari aku bisa mencapainya dalam beberapa menit ,pikirku. Dengan pikiran kalut aku terus berlari tak ku perdulikan nafasku yang tersengal-sengal. Jantungku, paru-paruku seakan protes karna kekurangan suplai oksigen. Jantungku berdetak begitu keras sehingga detakannya bergema ditelingaku. Dadaku begitu sakit dan sesak. Tapi pikiran itu hanya melintas begitu saja. Tubuhku bereaksi sendiri sejalan dengan otakku. Aku harus segera tiba di pabrik. Soni ada disana dan entah bagaimana keadaannya.

AUCCH !!

Aku mengumpat keras saat kakiku menyandung sesuatu sehingga tubuhkuterjerembab menghantam aspal. Cepat aku bangkit sembari mengibaskan kotoran yang menempel dibajuku. Sialnya,  saat menunduk aku tak memperhatikan jalan. Alhasil aku kembali sukses nyusruk ke parit di pinggir aspal saat aku berlari terlalu ke tepi.

Kembali aku menyumpah keras sembari bangkit dan buru-buru kembali berlari. Aku sudah dekat ! pabrik itu sudah kelihatan. Ada banyak orang yang bergerombol didepan pabrik.

Ya Tuhan Semoga Soni tidak terluka parah, harapku dalam hati dan mempercepat lariku meski seluruh tubuhku sudah protes. Minta untuk diistirahatkan

Aku bisa mendengar suara-suara dari beberapa orang bersahutan. Tak jelas apa yang mereka bicarakan mataku terus menerus mencari soni sambil berlari mendekat.

“SONIII.............!!! SONIII...........?!!” aku berteriak-teriak kesetanan saat aku hampir mencapai kerumunan. Banyak kepala berpaling kearahku.

“Pa.....pak...... So........... Soni....” hanya itu yang bisa ku ucapkan dengan nafas ngos-ngosan pada seorang bapak-bapak yang terdekat dariku.

“Didalam Pak Soni...............” kata bapak itu dengan gugup menunjuk kedalam pabrik. Aku tak perlu menunggu penjelasan lagi dan segera berlari menuju pabrik. Aku hampir terjerembab lagi saat menaiki anakan tangga didepan gedung.

“SONI.............?!!!! SONI...............??!!!!” teriak ku keras-keras dan menjeplakkan pintu  masuk yang sepertinya kantor pabrik. Ada bebrapa orang disana yang berpaling kaget kearahku dan berdiri didepan pintu yang keadaan yang entah terlihat seperti apakah “SONI......!!!” teriak ku lagi tanpa memperdulikan mereka.

Seorang wanita menghampiriku dengan wajah sedikit bingung, “Maaf, Bapak Soni.....

“TJ?!” Panggilan heran yang memotong kata-kata wanita itu berasal dari kananku. Cepat aku berpaling ! Disana Soni berdiri memandangku heran dalam jarak 10 meter. Utuh dan rapi, tak kurang suatu apa.

“ SON!!” aku berlari kearahnya dan langsung menghambur kepelukannya. Memeluknya erat seakan-akan nyawaku bergantung padanya.

“TJ!!! Ada apa?!” tanya Soni dan menarikku kedalam ruangan dibelakangnya.

“Kau tak apa- apa ??? !!” tanyaku cepat dan melepaskan pelukanku. Aku memeriksa dan meraba-raba  tubuhnya. Tak ada luka atau bahkan goresan sedikitpun, “Ya Tuhan. Syukurlah ! Kau baik-baik saja. baik-baik saja...” Aku ngoceh tak karuan dan tak berhenti memeriksa tubuhnya terus seperti orang gila...

“TJ!!”

“Kau baik.... ... kecelakaan.............. Bi Ijah ...........mobilmu.... truk,“ kataku terbata-bata  dan sialan !! Mataku kabur dan kemudian akupun terisak-isak karena perasan lega luar biasa yang kurasakan melihatnya dalam kondisi baik. Lalu rasa sakit didada dan sekujur tubuhku kembali menyerangku. Tak lama kemudian aku sudah jatuh pingsan.



Begitu sadar aku sudah berada dalam  kamarku. Kembali ke villa Soni. Pelan aku mencoba mengumpulkan ingatan tentang apa yang sebelumnya terjadi. Perlahan pula aku bangkit. Sekujur tubuhku terasa remuk. Dan kudapati beberapa plester dan perban yang melekat dikaki dan tangan ku.

Dan perlahan pula semua menjadi jelas

“YA Tuhan....!!!

Aku kembali menghempaskan tubuhku ke tempat tidur.  Aku mulai ingat semuanya. Tentang kecelakaa, tentang keributan di pabrik, tentang tingkahku yang seperti orang kesetanan dan histeris. Tuhanku !!! Aku benar-benar merasa ingin ditelan bumi rasanya!!!! Memalukan sekali.

Kira-kira apa yang dipikirkan Soni dengan tingkahku yang menggelikan seperti tadi. Sepertinya aku tak akan sanggup menghadapinya. Aku..........

Suara pintu dibuka dan kulihat Soni yang melangkah masuk.

Please !! Jangan sekarang dooong!! keluhku dalam hati dan cepat-cepat memalingkan muka tak sanggup bertatapan dengannya . Kupejamkan mataku rapat-rapat dan menulikan telingaku, meski tak mungkin dan nafasku sedikit tertahan ketika kurasakan Soni duduk disisi ranjang.

“Bagaimana keadaanmu ?” tanya Soni dengan nada lembut. Suaranya yang terdengar menenangkan sedikit mengherankanku. Pelan kubuka mataku meliriknya sekilas, lalu cepat-cepat mengalihkan pandanganku pada hiasan dinding yang terpajang ditembok kamar

“Baik....” sahutku pelan dengan nada ragu. Kapan kira-kira Soni akan meledak?

“TJ... aku.....”

I’m sorry!” potongku cepat mendahuluinya. Tak ada jawaban dari Soni. Dia diam. Aku sendiri tak tahu harus melanjutkan bagaimana kalimat tadi.

“Untuk apa ?” tanya Soni setelah keheningan panjang yang menusuk.

“Untuk kekonyolan siang tadi,” jawabku lirih, “Aku benar-benar minta maaf telah berbuat bodoh dan histeris dan membuat keributan. Aku benar-benar minta maaf telah membuatmu malu dan marah !Aku................”

“Marah ? Karena kau mengkhawatirkanku?”

Aku mengeluh lirih.

“Aku tahu seharusnya aku bersikap lebih tenang dan tidak membuat keributan seperti tadi.”

“TJ. Look at me,” pinta Soni pelan.

NO!” sahutku cepat dan berbalik memunggunginya, “I’m so sorry, okay !! Aku akan diam mulai sekarang,” kataku dengan nada bergetar. Aku tak tahan, ketenangan Soni justru membuatku semakin konyol. Aku tutup mukaku dengan bantal dan ............

SIAL !!

Mataku kembali berair dan nafasku mulai tersendat. Sungguh!!! Mungkin akan lebih baik jika Soni meledak dan memarahiku. Bukannya tenang dan lembut seperti sekarang ini.

“ TJ....!! Soni berusaha mengambil bantal yang kugunakan untuk menutupi wajahku tapi aku menahannya. “TJ... lihat dan dengarkan aku. Aku mau bicara, “ kata Soni lagi sembari berusaha kembali menarik bantalku.

“Nggak mau!!!!” Sahutku dengan suara teredam oleh bantal. Tak ingin dia melihatku melakukan hal konyol seperti menangis lagi.

“TJ....”

Sesaat kemudian kurasakan tangan Soni menyentuh punggung tanganku dan membelainya pelan. Perlahan pula dia menyelipkan jemarinya dan menarik tanganku kiriku kemudianmenggenggamnya dengan hangat.

“Kau mau melihat dan mendengarkanku ?” tanya Soni lagi, lebih lembut dari yang sebelumnyaseraya membelai lembut jemari tangan kiriku yang  dia pegang. Tubuhku yang semula agak tegang perlahan –lahan jadi rileks. Aku menurunkan bantal yang menutupi wajahku dan melihat kearahnya ragu.

Soni tak berkomentar apa-apa melihatku yang mungkin tampak konyol, sementara tangan kirinya masih memegang tanganku. Ia mengulurkan tangan kanannya. Mengusap kedua pipiku dan tersenyum, “ Maaf, hari ini sudah dua kali aku membuatmu hampir terkena serangan jantung. Pertama si hitam..........lalu kecelakan tadi yang menimpa salah seorang pegawaiku. Mungkin....seharusnya memberitahumu kalau aku tidak apa-apa. Aku meminta salah seorang pegawaiku membelikanku sesuatu dikota dengan memakai mobilku hingga kemudian ia mengalami kecelakaan. Aku tak berfikir bahwa kau bisa mendapatkan berita yang salah. Lihatlah dirimu.....

“Tubuhmu penuh luka. Kau pasti sudah jatuh bebrapa kali saat kau lari ke pabrik mencariku. Kau bahkan tidak menggunakan alas kaki sehingga kakimu robek bahkan kau tak menyadarinya. Saat kau tiba di pabrik kau terlihat begitu lega saat melihatku tak kurang suatu apapun. Padahal waktu itu kau tampak berantakana, terengah-engah, luka dan berdarah. Kau cuma mengkhawatirkanku. Kau lihat ? Justru aku yang seharusnya meminta maaf padamu.”

Ampun!!! Apa yang bisa kukatakan untuk menjawabnya?! Tambah lagi dia mengucapkan kalimatnya dengan lembut dan sementara tangannya menggenggam hangat jemari kiriku dengan tatapan yang teduh dan ekpresi yang begitu menyentuh. Dia mengungkapkannya seolah-olah aku telah melakukan suatu hal yang luar biasa . Bukannnya senang aku malah merasa tambah cengeng dan lemah. Mataku kembali berair.

“Sebenarnya kamu mau menghibur atau mau membuatku menangis sih?” gerutuku pelan.

Soni bengong. “Hah?!”

“Kalimatmu tadi justru bikin aku mau nangis tau?!!” gerutuku lagi tanpa melihatnya. Aku menunduk sembari mengusap pipiku. Gila!!!! Sudah berapa kali aku mempermalukan diri dan menangis didepan cowok ini? Berada didepannya benar-benar membuatku merasa lemah, rapuh dan cengeng. Detik berikutnya aku dibuat sedikit terkesiap saat tangan kiri Soni terulur dan ikut mengusap pipiku. Sementara tangan kanannya masih menggenggam tangan ku yang sebelah.

“Kamu kok cengeng banget sih?” tegur Soni pelan lebih karena heran, bukan bermaksud merendahkanku.

“Sebodo” gumamku pelan agak tersendat, “Kamu yang selalu bikin aku merasa konyol seperti ini.”

“Sebenarnya apa yang kau pikirkan tadi siang?” tanya Soni lagi.

“Maksudmu bagaimana aku bisa gila seperti itu ?” tanyaku balik

“ TJ.........”

I dont know, “ kataku akhirnya mendengar tegurannya, “................panik, khawatir, takut .........entahlah!!”

Untuk sejenak tak ada reaksi dari Soni karna sama-sama terdiam terjebak dalam keheningan yang menyesakkanku.

“Sekarang sepertinya aku yang harus cemas,“ kata Soni akhirnya nyaris membuatku berpaling kearahnya heran.  “Sekarang jam dua siang dan kita masih disini . Kita tidak akan bisa ke Jakarta sore nanti seperti yang aku janjikan pada Bunda. Kau harus istrahat kan?”

I’m okay. Aku bisa pulang!!!” sahutku cepat

Really?” tanya Soni dengan alis terangkat sebelah membuat ekspresi wajahnya terlihat menggemaskan. Jangan bikin gue gemes donk!!! gerutuku dalam hati

“Cuma sedikit lecet kok. Gak apa-apa !! urusanmu sudah selesai?”

Soni mengangguk, “Kalo gitu kamu telfon Bunda gih ! Bilang kalo kita kan pulang terlambat nanti!” kata Soni dan mengaangsurkan HP  keluaran terbaru yang memiliki banyak fitur seperti yang diiklan di tv akhir-akhir ini. Harganya bisa buat beli hape seperti punyaku sekarung. Aku menderu dalam hati.

Pada Bunda aku cuma mengatakan kalo kami akan terlambat pulang karena Soni masih belum selesai dengan urusannya. Untungnya Bunda gak tanya macem-macem, “Bunda cuma pesen buat hati-hati,” kataku sembari mengangsurkan hpnya kembali.

Soni bangkit tanpa mengambil hp yang ku angsurkan, “Kalo gitu aku akan minta Bi Ijah buat beresin barang-barang kita. Kita bisa pulang setelah makan siang,” katanya singkat dan berbalik.

“Son!” panggilku cepat, “Hp mu.....”

Soni berbalik dan tersenyum, “You can keep that.”

Sesaat aku pikir kalo aku salah dengar, “Hah?!!”

“Hadiah dariku karena kamu telah menemaniku, membantuku dan juga sebagai permintaan maaf  karena sudah mengagetkanmu 2 kali’’

“Son kamu gak harus.....”

I insist. Aku benar-benar ingin kau menerimanya. Aku sudah memasukan nomorku kesana. Juga nomor barumu,” kata Soni dan pergi tanpa menghiraukan protesku.

Dia gila! Harga ponsel ini jutaan! Dan dia kasih benda ini ke aku seakan-akan dia cuma ngasih tahu goreng. Aku bangkit perlahan. Ada nyeri di beberapa bagian tubuhku tapi tidak parah, jadi aku masih bisa menahannya. Aku harus menemui Soni dan bikin dia waras lagi.

Soni kutemukan diruang kerjanya. Dia sedang mengambil bebrapa map dari lemari arsip.

“Hei kenapa bangun ? Kau bisa tiduran kan sebentar lagi makan siang siap,” tanya Soni dan mendekatiku

Aku menggelngkan kepala, “Aku cuma mau mengembalikan ini. Ini terlalu mahal untuk menjadi sebuah hadiah!!” kataku serasa mengangsur kembali ponsel tadi

Sejenak Soni hanya menatap ponsel yang kuulurkan tanpa menyentuhnya, kemudian menghela nafas, “Ini terakhir kalinya aku mengatakannya. Aku ingin kamu memilikinya dan berhentilah mengatakan tentang nilai suatu benda. Aku tak suka memperhitungkan perkara remeh.”

“Tapi Son....”

“Terima atau lupakan kalau kita saling mengenal!!” kata soni keras dan tegas. Aku terperangah mendengar nada suaranya yang terdengar final, “Itu yang kau inginkan?”

“Tidak,” jawabku pelan

Great. Nah sekarang kamu duduk dulu, aku akan minta Bi Ijah membawakan makan siang kita kesini, ok?!”.kata Soni ceria dan menuntunku duduk dikursi dan kemudian keluar.

Aku cuma mampu duduk termangu.

Aku tak tahu harus berkomentar apa pada Soni. Bahkan saat kami berada dimobil dalam perjalanan pulang, aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku hanya mampu diam. Soni yang tadinya membiarkanku akhirnya kehabisan kesabaran. Dia menepikan mobilnya dan berhenti.

Ok. Tell me what’s going on?” tanya Soni cepat.

Aku yang semula bengong tenggelam dalam lamunan akhirnya sadar kalau dia sedang berbicara padaku, “Apa?!” tanyaku tak mengerti.

“Kau ingin mengatakan sesuatu ?”

“Apa??” tanyaku makin tak mengerti dengan kegusarannya.

Soni mendengus dan tanpa berkata apapun dia menghidupkan  mobil dan mengemudi kannya dengan cemberut.

“Kenapa Son ?” tanyaku pelan sedikit khawatir.

No. Nothing !!!” jawab Soni singkat tanpa memalingkan wajahnya padaku. Ekspresi mukanya masih tak berubah

Nothing tapi kok kamu terlihat gusar?”

“Gusar ?! Apa mungkin seharusnya aku yang bertanya seperti padamu ?”

“Apa?”

“Look, jika kamu tidak menyukai ponsel itu, kau boleh melemparnya keluar.”

“Apa ?!! Ponsel ini ? Sayangkan ! Ponsel mahal dan bagus kok disuruh buang ?!!!” gerutuku pelan.

Soni melirikku dengan alis terangkat sebelah, “Kau menyukainya?”

Well ,yeah?!

“Tapi kenapa kau tak terlihat senang ? Dari tadi kau terus memegangnya. Kau juga terus diam,  you dont say a word sepanjang perjalanan.”

Aku ternganga setelah tahu apa yang menjadi sumber  kemarahannya.

“ Ya Tuhan, Soni. Aku sangat menyukai ponsel ini. Aku cuma gak tau harus ngomong apa. Ini ............. ini terlalu mahal dan......... dan ..”

“Sudahlah !!” kata Soni menenangkanku yang gelagapan tak tau harus berkata apa. Dia melirikku dan tersenyum, “Aku senang kau menyukainya”

Thanks.!!” kataku pelan setelah terdiam untuk beberapa saat.

You are welcome. Dan ngomong-ngomong kira-kira apa yang akan dilakukan bunda padaku ?”

“Apa ???” tanyaku tak mengerti.

“Ketika aku membawamu, kau baik-baik saja dan sekarang lihat dirimu ? Penuh dengan gores dan luka. Kurasa beliau akan membunuhku “ kata Soni pelan.

Aku yang mendengarnya hanya tertawa kecil, “Mungkin saja” kataku lagi.

“Kukira kita harus memberinya kejutan supaya aku bisa tetap hidup”

Untuk sesaat aku hanya mampu terdiam, “Kejutan,” gumamku. Kata itu mengingatkanku akan apa yang aku temukan diruang kerja Soni tadi. Hari lahirnya...

“Apa?” tanya Soni yang melihatku diam dan berfikir.

“Ehmm. sekitar dua minggu mendatang akan ada acara dirumah. Kau bisa ... datang ?” tanyaku ragu.      

“Emang ada apa ??”

“Cuma selamatan kecil. Cuma makan-makan bersama. Mungkin hanya beberapa orang yang datang.”

“Selamatan ???”

“Orang-orang seperti kami tak mengenal cocktail ataupun barbeque party Son.”

Don’t say that ! Baiklah aku akan datang.”

Cool!!” kataku senang

Soni hanya membalasku dengan senyuman.