BAB 13
Pagi itu ketika aku baru saja selesai ganti pakaian dengan seragam
harianku, jeans dan t-shirt, pintu kamarku di ketuk pelan.
“TJ?!! Udah bangun?” panggil Soni. Aku tak menyahut, tapi langsung berjalan
untuk membuka pintu.
Tuhanku!!
Kembali aku harus memanggil namaMu kali ini. Pagi ini Soni muncul dengan
setelan baju yang mirip pakaian berburu yang berkesan sporty. Celana warna
abu-abu kehijauan yang pas di kakinya, kemeja putih army cut dengan lengan
panjang yang membuatnya tampak cemerlang membungkus tubuh atasnya. Baju itu
membuat kulit bersihnya jadi lebih bersinar dengan siluet cahaya pagi. Wajahnya
tampak segar. Dan senyum yang terkembang itu begitu menakjubkan. Harum tubuhnya
yang biasa kembali memasuki indra penciumanku.
Ya Bunda! Tolong anakmu
ini!! Desahku dalam hati.
“Lho? Udah mandi rupanya. Gimana tidurmu?”
“Sempurna,” kataku pelan. Aku tak punya komentar lain yang bisa aku
ucapkan. Semua kosakata yang aku miliki menguap begitu saja.
“Great! Ayo kita sarapan dulu.
Setelah itu, kita bisa jalan-jalan keliling perkebunan,” ajaknya dan
mendahuluiku.
Aku hanya mengikutinya saja tanpa berkata apa-apa lagi. Dia bilang mau jalan-jalan
ke perkebunan, tapi kok dia lebih mirip orang mau pemotretan gitu sih? gerundengku
dalam hati. Sarapan kali ini, kami hanya makan sereal dan susu. Seumur-umur,
baru kali ini aku makan pagi model begini. Meski mulanya agak terasa aneh karen
masih baru, tapi lama-lama aku menikmati rasanya yang tidak biasa. Meski jelas
kalau di rumah, aku tak akan pernah melakukannya lagi. Mumpung bareng Soni. Aku nikmati saja sarapan ala orang modern
gini, batinku lagi.
Setelah sarapan, Soni mengajakku untuk ke belakang rumahnya. Dan makin
mendekati bagian belakang, samar-samar aku bisa mendengar suara ringkikan kuda.
Suara itu makin terdengar jelas saat kami mendekati pintu belakang. Dan
keherananku akan pakaian Soni pun terjawab. Pakaian yang dia kenakan itu bukan
baju berburu. Itu baju buat berkuda. Sepatu bootsnya juga!
Sontan aku berhenti melangkah.
“Son..............yang kau maksud jalan-jalan tadi, adalah jalan-jalan dengan
menggunakan kuda?”
“Tentu. Kan lebih enak. Sekalian olah raga.”
Aku mendengus keras dan segera berbalik. Tapi aku kalah cepat dengan Soni
yang segera menahan lenganku. Aku mencoba mengibaskannya dan gagal, “Aku nggak
bisa berkuda!” kataku sedikit keras akhirnya dengan nada sedikit kesal.
“Lho. Ntar aku ajarin kan? Cuma buat jalan-jalan aja. Bukan adu cepat,”
sahutnya santai.
“Tetep saja. Aku juga gak mungkin bisa langsung melakukannya saat ini juga
kan? Gak mungkin juga aku bisa ahli dalam beberapa menit kan? Jangan gila dong!” gerutuku lagi.
Soni tertawa kecil melihatku merengut marah, “Kamu pasti bisa. Gak sulit
kok. Lagipula kudaku jinak dan pintar.”
“Thank you, but no. Thanks!” jawabku singkat akan tawarannya dan kembali
berbalik. Tapi sekali lagi, Soni menahan. Kali ini meraih tanganku dan
menarikku pelan.
“Percayalah. Kau akan menyukainya. Ayo...” katanya dengan nada membujuk.
Aku mengerang keras di buatnya. Aduh
Bundaaaa!!! Bagaimana aku bisa menolaknya kalau dia begituu?!!! Apalagi dia
memandangku dengan tatapan meminta seperti itu. Aku hanya mampu menghela
nafas. Okay! Ini Cuma naik kuda kan? Aku
pasti bisa kan? Lagipula, kapan lagi aku bisa melakukan hal begini kan? Pikirku
dan akhirnya hanya bisa mengikuti Soni.
Dan aku menyesali keputusanku itu!!
Soni hanya memiliki 2 pasang kuda. Dan ke empat-empatnya adalah jenis kuda
pacuan yang gedenya bisa bikin aku nelen ludah. Aku buta sama sekali soal kuda.
Tapi aku bisa mengatakan kalau kuda-kuda Soni berukuran super. Tinggi kuda itu
saja sudah melebihi tinggiku. Dan dia mengenalkan mereka padaku dengan bangga.
Theodore, Casey, Armand dan Hitam.
Kuda terakhir yang paling gede! Begitu Soni mendekat, kuda itu menyorongkan
wajah panjangnya dan langsung menyantap apel yang dipegang oleh Soni. Dia
memang terlihat akrab dan jinak.Apalagi saat Soni membelainya. Kuda itu
mendengus dan meringkik kecil. Kelihatan girang menerimanya. Meski sebenarnya
terlihat lucu, tapi ukurannya yang alaihim itu membuatku keder duluan.
“Nanti kamu naik si Hitam saja. Dia yang paling pintar dan juga jinak.”
Dan dia mengatakan itu dengan nada seakan-akan memberiku sebuah hadiah yang
super keren! Padahal aku melotot bukan karena kaget, tapi lebih karena ngeri.
“Ogah! Takut!!” sahutku segera melangkah mundur.
“Jangan takut. Dia benar-benar jinak kok,” kata Soni dan membuka pintu
kandangnya. Dia masuk untuk sekali lagi membelai si Hitam. Dia memberiku tanda untuk
mengikutinya dan kemudian mengulurkan sebutir apel, “Kenalan dan berikan itu
padanya. Ayo...”
Aku menggelengkan kepala. Tapi Soni kembali memintaku, “Dia bisa mengigit
tanganku!” kataku mencoba membanta.
“Letakkan di telapak tanganmu seperti aku tadi dan biarkan dia melakukan
sisanya,” kata Soni.
Akhirnya, dengan setengah terpaksa dan setengahnya lagi takut, aku
melakukannya. Aku mengulurkan tanganku dengan sebuti apel di atasnya ke moncong
si Hitam. Dan sekali lagi, si Hitam mendengus keras. Mulanya dia melakukan
gerakan mundur yang hampir membuatku berteriak kaget. Tapi Soni membelai dan
mengeluarkan suara-suara membujuk.
Mengajaknya bicara seakan-akan si Hitam akan
mengerti.
“Ajak dia bicara seperti teman. Mereka bisa meresponnya. Jangan takut. Anggap
saja kau sedang berbicara dengan hewan peliharaan biasa. Jangan lihat
ukurannya. Si Hitam tak lebih dari seekor peliharaan seperti seekor anjing atau
kucing. Atau paling baik, bersikaplah seakan-akan kau kawan akrabnya,” katanya
lagi.
“Gampang bagimu...” gerutuku jengkel. Tapi aku melakukannya. Menyapa Hitam
seakan-akan kami kenalan laa, meski dengan nada yang sedikit gemetar. Aku lalu
kembali mengulurkan tanganku yang memegang apel dengan instruksi dari Soni. Dan..................dia
memakannya. Aku memejamkan mata saat moncong Hitam mendekat. Dan dia mencaplok
apel
itu tanpa menggigit satupun jariku!
“Coba belai dia,” kata Soni kemudian.
Dan dengan gerakan yang sangat perlahan, aku mengulurkan tangan untuk
menyentuh wajah si Hitam. Agak sedikit kaget saat dia kembali mendengus keras
dan mengangkat wajahnya lalu meringkik pelan. Aku mundur dan menoleh pada Soni
dengan tatapan panik. Tapi dia hanya mengangguk dan memberi isyarat dengan
kepalanya agar aku kembali maju.
“Ayo...” katanya yang masih terlihat geli denganku yang terperanjat.
Aku hanya nyengir kecut dan kembali memberanikan diri. Aku kembali
mengulurkan tanganku hingga akhirnya menyentuh wajah si Hitam. Tepat di antara
kedua matanya. Kuda itu menggerakkan sedikit kepalanya saat tanganku menyentuhnya.
Aku tertawa dengan gugup.
“Lihat, gak papa kan?”
Aku hanya nyengir untuk menyahutinya karena masih gugup dan sedikit takut.
Soni lalu melangkah mundur untuk keluar. Aku sudah mau panik dan menahannya.
“Aku akan mengambil pelana. Kalau si Hitam mulai menunduk dan mencari
tanganmu lagi, kasih lagi apel ini,” kata Soni menenangkanku dan memberiku
sebuah apel lain. Dia meninggalkan kami berdua. Aku mengelus-elus lagi si
Hitam.
“Jangan berontak yaaa.....” bujukku pelan. Hitam mendengus dan kepalanya
turun dan menyundul pelan tanganku seperti dugaan Soni tadi. Jadi aku
mengulurkan apel yang ku pegang dan segera sajaapel itu menghilang dalam
mulutnya.
“Dia memakannya?” tanya Soni yang sudah kembali dengan pelana di tangannya.
Aku hanya mengangguk. Aku diam saja dan memperhatikan Soni memasang pelana ke
tubuh Hitam dengan cepat. Kuda itu hanya sedikit menggerakkan kepala dan
mengibaskan ekornya beberapa kali. Sepertinya sudah sangat biasa.
“Dia gak ngamuk?”
“Nope! Sepertinya malah tidak
sabar untuk keluar dari kandangnya. Ayo! Coba naik!” kata Soni santai. Mataku
melebar mendengarnya.
“Nggak deh, Son. Makasih. Beneran!” tolakku tanpa pikir panjang.
Soni mendecak gemas dan menarik tanganku, “Naik, cepetan!” perintahnya
tegas.
“Kapan-kapan aja deh ya? Kalo kita kesini lagi,” tolakku sembari nyengir.
Soni tak menyahut. Tapi dia diam menatapkau dengan kedua tangan yang terlipat
di depan dada. Meski tak ada kata yang dia ucapkan, aku tahu arti dari semua
sikapnya itu.
Aku memutar bola mataku, “Iya deh, iya. Ntar kalo gue kena apa-apa, elu
yang tanggung!” gerundengku.
“Pegangan pada bagian depan pelana. Gunakan sadel ini sebagai pijakan,”
kata Soni singkat. Meski grogi, aku melakukannya dan mengangkat tubuhku naik
dengan satu kaki di sisi lain tubuh Hitam. Aku sudah pernah melihat orang
melakukannya di tv. Jadi sedikit banyak, aku sudah tahu. Dan Soni juga
membantuku menahan gerakan si Hitam. Tapi begitu aku duduk di punggung kuda
itu, rasa grogi yang kurasakan tadi mulai berkembang menjadi panik dan takut.
“Son!!! A-aku....g-gak bisa. A-aku......”
Hanya itu saja yang bisa aku katakan. Sumpah!! Begitu berada di atas sini
dan melihat ketinggian tubuh si Hitam, tubuhku langsung berkeringat dingin.
Bayangkan saja kalau si Hitam tiba-tiba saja jadi liar dan melonjak-lonjak seperti
kuda rodeo. Aku pasti akan.....
“Tenang saja. Dia.....”
“AKU NGGAK BISA!!!!” kataku keras dengan tangan mencengkeram kuat bagian
depan pelana. Tubuhku mulai gemetar dengan hebatnya. Keringat mulai bermunculan
dari semua pori-poriku. Aku segera memejamkan mata.
Tak ada sahutan dari Soni. Hanya saja, sesaat kemudian aku merasakan sebuah
hentakan keras. Lalu..........
“Sekarang tenang. Aku dibelakangmu...” kata Soni yang sudah naik juga ke
punggung si Hitam. Dengan tubuh kami yang saling menempel sekarang ini, aku
bukanya tambah tenang, malahan jadi lebih grogi dari sebelumnya. GILAA!!
Nafasku saja jadi tersendat. Aku nyaris takut kalau-kalau Soni yang duduk
dibelakangku bisa mendengar degupanku jantungku yang menggila.
“Sekarang pegang tali kekangnya,” kata Soni di belakangku.
Aku harus menenangkan diri. Nggak lucu kalau Soni jadi curiga dan mikir
macem-macem, batinku. Aku menarik nafas panjang beberapa kali untuk mengontrol
diri. Aroma parfum Soni kembali memenuhi rongga dadaku. Tenang TJ. Tenangin diri lo! Nggak usah norak! Jangan biarin Soni tau
apa yang lo rasain saat ini. Atau tak akan lagi ada pertemanan di antara
kalian. Labelmu akan berubah dari kawan menjadi MUSUH!!
“TJ?!!”
“Iyaaaa,” sahutku cepat dan membuka mata. Dengan gerakan pelan dan masih
dengan sedikit gemetar, aku meraih tali kekang si Hitam, “Terus gimana?”
“Gini...”
Soni mengulurkan tangannya, memegang pergelangan kedua tanganku yang
memegang kekang. BUNDAAAAAA!! TANGANYA!
TANGANNYAAAAA!!!!!!
“Gerakkan seperti ini dan tepuk perlahan tubuh Hitam dengan kedua kakimu
seperti ini, dan dia akan berjalan,” kata Soni lagi. Dan memang si Hitam
melangkah dengan anggunnya keluar dari kandangnya. Tak lama, kami sudah keluar
dari istal, “Lalu kalau kau tahan seperti ini, dia akan berhenti! Gampang kan?”
jelasnya lagi memberi contoh.
DUH MAAAKK!! Enteng aja
dia bilang gitu. Ga tau apa kalau jantungku jungkir balik sekarang?
“Sekarang kamu coba...”
Aku menghentak pelan tali kekang Hitam dan menepuk tubuhnya dengan kedua
kakiku.
“KYAAA!!!!” pekikku saat si Hitam melangkah. Meski dia terlihat tenang, aku
tetap memegang tali kekang dengan erat sehingga tanganku sakit. Masih ada
ketakutan dalam diriku.
“Tenang. Tanganmu terlalu tegang dan dingin. Rileks...”
Rileks? Dengan tubuhnya menempel di punggungku? Dengan tangannya di atas
tanganku? Dengan hembusan nafasnya yang kadang menerpa leherku? MANA
BISAAAAAA?!!!!!!
“Kamu aja deh yang kendaliin,” kataku akhirnya sedikit kesal. Enak aja dia
ngomong. Coba dia ada di posisiku sekarang.
“Hei, yang perlu belajar kan kamu? Tubuhmu terlalu kaku dan tegang. Kau
justru akan sakit semua nantinya. Kendurkan ototmu dan lihat sekeliling.”
Sejenak aku memejamkan mata. Kembali menarik nafas panjang beberapa kali
untuk menenangkan diri dan mengendurkan tubuhku yang kaku. Mencoba mengenyahkan
sensasi aneh yang kurasakan tiap kali punggungku bergesekan dengan tubuh Soni.
Juga tangannya yang masih memegang pergelanganku.
“Bagus! Tarik nafas panjang sekali lagi dan hembuskan perlahan,” bisiknya
di telingaku.
JREEEENGG!!!!
Sedikit ketenangan yang ku peroleh dengan susah payah tadi, langsung
hilang. Suara Soni yang begitu dekat di telingaku segera saja membuat bulu
kudukku meremang.
“Bukannya ngebantu, malah bikin tambah gugup,” gerutuku jengkel.
“Hah? Maksudnya?” tanya Soni bingung.
“Lupakan!” kataku dan mengibaskan tangan dengan cepat, “Kita jalan,”
lanjutku dan menghentakkan kekang si
Hitam dengan keras. Walhasil, si Hitam meringkik nyaring dan berlari. Aku tak
ingat kapan terakhir kali aku merasakan kengerian seperti saat ini. Yang bisa
aku lakukan hanyalah menjerit panik dengan tangan yang refleks memegang lengan
Soni yang memelukku kuat-kuat. Untunglah Soni tanggap. Dengan cepat dia meraih
tali kekang HI tam dan mengendalikannya. Menghentikan kuda yang kami naiki
hanya dalam hitungan beberapa detik.
Untuk beberapa saat lamanya aku tak mampu melakukan ataupun bereaksi
apa-apa. Aku duduk disana dengan mata terbelalak, kedua tangan mencngkeram
lengan Soni dengan tubuh yang bersandar sepenuhnya pada dadanya, mencari
perlindungan. Dadaku bergemuruh dengan jantung yang berdetak gila-gilaan.
“Fiiuuuhhh......” Soni menghela nafas, “Are
you okay?”
“No,” jawabku dengan suara yang
terdengar mengenaskan, “Bisa kita pulang sekarang?” rengekku. Sumpah! Aku takut
beneran! Super takut!
Bukannya menuruti permintaanku, Soni malah kembali tertawa kecil, “Jangan
langsung menyerah gitu, dong. Kesalahan
itu normal.”
“Aku nggak mau mati!”
“Nggak akan! Makanya nurut saja. sekarang duduklah dengan tegak,” kata Soni
lagi dan dengan perlahan mencoba melepaskan cengkeramanku pada lengannya. Dia
mendorong bahuku dengan lembut, “Rilekskan tubuhmu. Sekarang biar aku yang
memegang kendali dan kamu letakkan tanganmu di atas tanganku.”
“Sooooonn...” aku kembali merengek.
“Lakukan saja,” ujarnya singkat, tak ingin di bantah. Merasa percuma untuk
protes, akupun menurutinya. Soni kemudian menghentakkan tali kekang si Hitan
dengan pelan. Dan dengannya tenangnya, kuda yang sesaat tadi terkesan beringas
dan menakutkan, mulai melangkah pelan, “enaknya naik kuda adalah kamu gak perlu
harus lihat ke depan terus. Dia gak bakal nabrak. Kamu hanya harus memberi
isyarat kapan harus berbelok, berhenti ataupun lari. Kamu bisa menikmati
pemandangan dengan lebih santai. Lihat! Nggak kalah dengan tikungan kemarin
kan?”
Meski sedikit tidak ikhlas, aku harus mengakui kalau dia benar.
Pemandangan perkebunan di pagi hari benar-benar menakjubkan. Di sana sini
masih terlihat kabut yang menyamarkan bentuk pepohonan yang membayang di kejauhan.
Juga benda-benda lain yang bergerak pelan di sekeliling kami. Aku bahkan nyaris
bisa mendengar suara kendaraan dari jalan raya yang berada di luar perkebunan
ini. Kesegraan udaranya juga lebih terasa sekarang. Hawa dingin yang
menyegarkan membuat dadaku seakan-akan mengembang dari ukuran normalnya.
Sepanjang mata memandang, warna hijau memenuhi mataku. Aroma teh tercium di
hidungku, sesekali berganti dengan harum Soni yang biasa. Harus yang segera
saja membuatku sedikit menggigil.
“Udara pagi disini memang sedikit lebih dingin dari Jakarta,” komentar Soni
yang sepertinya salah menangkap reaksiku, “Aku sangat suka berkuda di pagi hari
kalau berada di sini. Oh ya, beberapa waktu yang lalu aku juga sempat menanam
sebuah pohon apel di sana,” katanya dan
menunjuk ke arah bukit di barat yang masih berselimut kabut. Tanah perkebunan
yang berbukit-bukit membuat tanaman-tanaman teh yang ada disana mirip dengan
gelaran karpet hijau yang berkembang. Diatasnya, gulungan-gulungan kabut
bergerak perlahan dengan gerakan-gerakan yang nyaris mistis.
“Apel?” tanyaku.
“Iya. Beberapa jenis apel. Seharusnya sudah mulai berbuah sekarang. Tahun
kemarin aku sempet berkuda kesana dan sarapan apel segar yang aku petik. Kau
pernah merasakan kesegaran buah yang langsung di petik dari pohonnya?”
Aku menggeleng dan sedikit tertular oleh antusiasnya.
“Kalau kau beruntung, kau akan segera merasakannya. Kita kesana. Kesegaran
dan rasa dari buah yang di nikmati dari pohonnya langsung tak tertandingi.”
“Benarkah?”
“Tentu saja. dan serunya, aku menanam beberapa pohon itu di dekat sebuah
sumber mata air. Airnya segar dan jernih.”
“Sumber mata air?”
“Yup! Alirannya cukup deras dan menjadi salah satu sungai kecil yang
bersatu dengan sungai besar di bawah. Penduduk sekitar banyak yang mengambil
air disana saat musim kemarau panjang. Terkadang sumber air dekat daerah mereka
kering. Tapi mata air di perkebunan ini tak pernah berhenti mengalir sepanjang
tahun.”
“Berapa mereka harus membayar?”
Soni mendengus pelan, “Mata air itu sudah ada di sini bahkan sebelum aku
lahir. Penduduk daerah sini juga sudah menggunakannya, jauh sebelum aku ada.
Jadi, untuk apa mereka membayar?”
Aku nyengir, sedikit menyesal, “Maaf kalau pertanyaanku menyinggung. Hanya
saja, di jalan masuk kemarin aku membaca dengan jelas tulisan ‘MILIK PRIBADI.
DI LARANG MASUK!’ di pintu gerbang. Jadi ku pikir....”
“Jawabannya tidak. Asal mereka tidak merusak ataupun mengotori perkebunan,
mereka di persilahkan untuk memanfaatkan mata air itu dengan bebas. Lihat! Itu pohonnya dan sepertinya........kau
kurang beruntung.”
Dalam jarak 10 meter, aku bisa melihatnya dengan jelas. Soni benar.
Sepertinya pohon setinggi 5 meter itu sedang tidak berbuah. Tapi saat semakin
dekat, aku ternyata salah.
“Hei, lihat!! Ada buahnya kok. Tapi masih kecil-kecil,” seruku girang.
“Yeah..... kau benar. Masih butuh beberapa minggu lagi sebelum bisa di
makan. Kita langsung ke sumber mata airnya saja,” kata Soni dan kembali
menghentakkan tali si Hitam.
“Jenis apa saja, Son? Fuji? Hijau? Kalau sudah bisa di panen, jangan lupain
aku ya?”
Kembali Soni tertawa, “Beberapa di
antaranya. Beres deh! Nah lihat. Itu mata airnya!”
Soni menghentikan Hitam di bawah sebatang pohon dan menunjuk ke rimbunan
pepohonan pada sebuah bukit kecil di depan kami. Aku mengerutkan kening. Sumber
mata air di dataran yang lebih tinggi? Aku semula hendak protes sampai kemudian
aku melihat sebuah jalan turunan di dekat sebatang pohon luar biasa tinggi yang
berdiri sekitar 20 meter di sebelah gindukan tanah itu.
Aku mendekat dan baru sadar kalau di kanan kami terdapat tanah yang menurun
dan sedikit tertutupi oleh tanaman perdu dan merambat yang tumbuh di antara
pepohonan tinggi. Soni yang sudah mengikat Hitam di pohon segera memanggilku
untuk mengikutinya. Di sana, di bawah
rimbunnya pepohonan, yang mungkin bisa di sebut sebagai hutan kecil, terlihat
sebuah kolam yang berukuran 4x4 meter dengan sebuah mata air yang memancar dari
tanah di atasnya.
Benar kata Soni. Sumber mata air yang sudah di beri jalan air menjadi
sebuah pancuran yang terbuat dari bambu dan kayu itu memancar dengan deras. Dan
alirannya yang jatuh ke kolam kemudian mengalir pada sebuah sungai kecil di
sepanjang turunan ini. Sungai yang airnya begitu jernih dan terlihat sangat
menyegarkan. Suara gemericik air yang mengalir perlahan terdengar seperti musik
alam yang menenangkan. Bebatuan gunung yang menjadi dasarnya terlihat dengan
jelas karena kedalaman alirannya yang mungkin hanya sekitar 50cm.
Sungai kecil yang begitu menggoda. Sorga kecil yang tersembunyi oleh
hijaunya pepohonan.
“UGH!!! Kalau saja udara tak sedingin ini, aku pasti sudah mandi di sini,”
gumamku dan mendekat. Aku menyentuhkan tanganku pada aliran air yang jatuh ke
bawah. Dingin dan segar seperti kelihatannya. Pasti menyenangkan duduk di bawah
pancuran yang tingginya hanya sekitar 2 meter itu.
“Yeah.... pasti akan menyenangkan kalau melakukannya di siang terik yang
panas. Sayangnya pagi ini aku harus ke pabrik. Ada beberapa hal yang harus aku
periksa.”
“Oh ya? Aku juga belum ngeberesin berkas-berkas yang semalam. Kalau begitu,
kita pulang saja. tapi kapan-kapan ajak aku main ke sini lagi ya?”
“Sure. Why not?” ujar Soni saat
kami kembali ke kuda kami. Kali ini aku bisa naik hanya dengan sedikit bantuan
darinya. Dan kami berjalan dengan tenang kembali ke arah rumah Soni tadi. Dan
kembali aku tak bisa menahan kekagumanku akan kehijauan daerah ini yang begitu
permai. Aku yang sudah terbiasa dengan hutan gedung di Jakarta, serasa berada
di
sebuah dunia lain.
Sebuah dunia yang udaranya begitu bersih dan bebas dari polusi.
Aku menghirup dalam-dalam udara itu ke paru-patuku, “Beneran ajak aku ke
sini lagi ya, Son! Di sini rasanya seperti mengisi kembali baterai hidup yang
sudah habis. Udara bersihnya bikin semangat kembali pulih,” desahku pelan.
Soni terkekeh kecil, “Iya. Nanti. Dan mungkin saat itu kau sudah berkuda
sendiri. Kau sudah bisa rileks sekarang di atas kuda.
Eh ya! Aku juga baru nyadar. Tadi kan aku sudah berkuda dengan santai
sembari ngobrol ma dia asli! Aku jadi tidak ingat dengan ketakutan yang pertama
kali kursakan saat naik si hitam tadi. Ngobrol dengan Soni sembari menikmati
udara serta pemandangan di perkebunan ini membuatku terlupa, bahwa aku sekarang
sedang berada di punggung seekor kuda hitam besar.
“Well.............sepertinya tadi
aku sudah bisa membuatku lupa. Tapi setelah kau mengatakannya, aku jadi inget
lagi nih,” gerutuku.
Soni tertawa mendengarnya. Dan sesaat kemudian kurasakan hawa hangat dari
tubuhnya mendekat sehingga aku nyaris bisa merasakan detak jantungnya.
Punggungku menempel di dadanya, semenatra wajah Soni makin merapat ke sisi
wajahku. Dan tanpa sadar aku menahan napas dengan tubuh menegang, “Mau mencoba
lari?” bisiknya pelan di telingaku.
“Son, jangan giLAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!”
Aku berteriak keras saat Soni menggebah si Hitam. Kuda itu meringkik keras
dan kemudian berlari kencang. Aku yang tadinya sudah sedikit tegang dengan
tubuh kami yang berdekatan, kini menjadi ketakutan. Kedua tanganku mencengkeram
lengannya dengan kuat sementara punggungku rapat menempel padanya. Aku
menyandarkan tubuhku sepenuhnya dengan mata terpejam rapat. Aku tak berani
membuka mata. Apalagi dengan guncangan guncangan keras yang kurasakan.
“RILEKSKAN TUBUH! JANGAN TEGANG KARENA JUSTRU AKAN MEMBUATMU TERLUKA! IKUTI
GERAKAN TUBUH SI HITAM!! DAN BUKA MATAMU!!!” kata Soni keras.
“OGAAAAHHH!!!!!!” balasku super jengkel. Aku sudah mulai merasa mual dan
ingin muntah, tapi mati-matian menahan diri. Beberapa menit kemudian – yang
bagiku terasa begitu lama- Soni menghentikan laju si Hitam dan satu tangannya
menahan perutku agar tubuhku tak terhempas ke depan. Sepertinya kami sudah
kembali ke istal karena aku mendengar suara beberapa ekor kuda yang lain.
“See? Tidak mengerikan bukan?”
kata Soni ceria dan turun dari kuda.
Aku tak mampu menjawab. Dia tak tahu kalau perutku serasa jungkir balik dan
tubuhku panas dingin tak karuan. Aku gemetaran hebat dengan kedua kaki yang
terasa lemas. Sepertinya aku akan pingsan. Dan Soni sepertinya juga mulai
menyadari kondisiku, karena detik berikutnya dia memekik kecil.
“OH NO!! TJ!!!”
Dengan sigap dia menangkap tubuhku yang oleng dan hampir jatuh dari
punggung si Hitam. Cepat dia membopongku dan membawaku ke dalam rumah. Soni
membaringkanku di sofa dan meneriakkan beberapa kata pada seseorang. Sepertinya dia mengatakan
sesuatu tentang minuman.
Ada sedikit keributan kecil yang terjadi. Aku tak tahu apa yang dikatakan
oleh orang-orang yang ada di ruangan ini.
Telingaku tak bisa berfungsi normal.
Begitu juga dengan benakku yang kacau. Aku hanya ingin memejamkan mata dan
menenangkan diri. Sesaat kemudian, Soni menyorongkan sebuah gelas dan memaksaku
meminumnya. Minuman teh manis yang hangat itu membantu menennangkan perutku
yang berontak. Dan aku kemudian kembali menyandarkan tubuhku dan menutup mata,
menennagkan diri.
“TJ..........kau mendengarku?” panggil Soni pelan. Ada nada panik dalam
suaranya, “TJ!! Kau bisa mendengarku?”
“I’m okay,” sahutku pelan sedikit
lemah, tak ingin membuatnya khawatir. Pelan aku membuka mataku. Soni berjongkok
di sebelahku dengan wajah yang sejajar denganku. Aku bisa menangkap kecemasan
dalam sorot matanya.
“Aku gak apa-apa,” kataku lagi menenangkannya.
“Maaf. A-aku gak tahu ka-kalau kamu tadi..................”
Sepertinya dia bingung harus mengatakn apa. Dia bergerak-gerak dengan resah
di tempatnya dan berulang kali menjilat bibir bawahnya sembari sesekali
menggigitnya. Aneh! Justru dalam keadaannya yang sekarang, dia terlihat semakin
imut dan menggemaskan. Aku sendiri heran bagaimana otakku yang tadinya kacau
balau, kini bisa memikirkan hal ini. Aku begitu terpesona dan hampir-hampir tak
bisa mengalihkan mataku dari bibirnya yang kini terlihat basah.
“Maaf, aku.....................”
Suara Soni yang gugup itu membuatku sadar kembali. Aku memejamkan mataku
lagi sejenak. Menutup indra pengelihatanku dari pesonanya, “Aku nggak apa-apa
Son. Tenang saja.”
“TJ.......”
Aku membuka mata dan memandangnya sejenak, “Aku cuma kaget. Aku pelajar
yang lamban, Son. Jadi lain kali kalau mau mengajariku sesuatu, apapun itu,
seperti berkuda misalnya, lakukan dengan pelan-pelan. Ok?”
“TJ, I’m sorry. Aku............”
“Soni, I’m okay!” kataku
menegaskan, “Jangan khawatir. Sebentar lagi aku akan-baik-baik saja. hanya
sedikit shock.”
“Tapi........”
“Den, mobilnya sudah dipanaskan. Mau berangkat sekarang?” tanya Mang Asep
yang muncul dari belakang. Kemunculannya yang tiba-tiba sedikit mengejutkan
kami.
“Nanti saja ke pabriknya Mang. TJ sakit dan.........................”
“Pergilah,” kataku cepat memotongnya. Aku bangkit perlahan, “Aku akan ke
ruang kerjamu dan membereskan berkas-berkas semalam.”
“Tidak. Kau istirahat saja.”
“Soni, sekali lagi aku bilang. I AM
FINE,” kataku dan bangkit. Aku memang merasa jauh lebih baik. Aku tak akan
membiarkan urusan Soni di sini tebengkalai karena insiden kecil tadi, “Sekarang
berhenti mengomel dan pergi saja ke pabrik. Selesaikan urusanmu disana. Pergi! Or I’l l kick your ass!”
Soni menggeram pelan, “Fine! Tapi
kau harus berhenti melakukan apapun kalau kau mulai merasa tidak enak. Aku bisa
membereskan berkas-berkas itu sendiri nanti.”
“Ok! Fine! Promise!” jawabku dan
menyeretnya untuk bangkit juga, “Sekarang jelaskan lagi padaku, apa yang harus
aku lakukan dengan berkas-berkas didalam itu?”
Secara singkat dia menjelaskannya. Bukan hal yang sulit kalau hanya
mengelompokkan berkas-berkas sesuai dengan tanggal kejadiannya. Dia measih
sempat menanyakan keadaanku beberapa kali lagi sebelum puas, dan melarangku ini
itu ketika kami berjalan menuju garasi. Aku hanya mengangguk patuh dan
mengiyakan semuanya. Hanya untuk menghindari argumen.
“Jadi jangan paksakan dirimu ya?” kata Soni lagi, entah untuk keberapa
kalinya sebelum naik ke jeep putih dengan atap terbukanya.
“Yes, Sir! Saya sudah mendengar
dengan jelas. Sekarang, pergi!” sahutku.
Soni menggelengkan kepala karena kecuekanku. Akhirnya, dengan perlahan,
mobil itu menderu pergi. Aku segera berbalik menuju kantor Soni ketika mobilnya
menghilang di balik pagar. Rumah ini jadi sedikit terasa mencekam karena kehilangan
Soni. Apalagi Mang Asep juga ikut bareng Soni. Lebih baik aku segera membereskan dokumen-dokumennya, pikirku. Toh
aku bisa mengerjakannya dengan santai sambil nonton Tv.
Tumpukan dokumen setinggi hampir 30 cm itu masih ada diatas meja kerja
soni. Aku segera mengurusnya meskipun sebenarnya ada dorongan lain yang lebih menggoda. Yaitu kesempatan untuk mencari
tahu tentang Soni. Aku yakin ada sedikit hal tentangnya yang bisa ku dapat didalam ruangan ini. Tapi
ku pikir hal itu akan kulakukan nanti.
Butuh waktu hampir dua jam bagiku untuk menata dokumen-dokumen itu ke dalam
lemari arsip, tempat dimana seharusnya mereka berada. Dan saat aku
mengembalikan arsip yang berisi daftar gaji pegawai, aku menemukan arsip yang
berisi tentang struktur inti dari perkebunan itu. Ada biodata lengkap dengan
tentang orang-orang yang bekerja disana. Dan arsip paling atas adalah milik
soni.
Soni Prabowo Damian
Duainne ? Kubaca nama lengkapnya dengan kening berkerut. Aku tak tahu kalau itu nama
lengkapnya. Nama yang terakhir jelas bukan nama Indonesia. Lahir tanggal 29 November?! Berarti
sebentar lagi dia ultah dong. Sekarang baru tanggal 15 sekitar dua mingguan,
aku bergumam sendiri. Kayaknya seru kalo
gue kasih dia surprise, pikirku lagi. Keterangan lain yang tercantum disana
tak begitu penting lagi bagiku. Aku segera mengembalikan arsip itu ke tempatnya.
Tak banyak hal lain yang bisa kutemukan selain bebarapa koleksi cd nya yang
eksentrik. Remaja seusia Soni dan aku biasanya suka musik-musik pop. Tapi
satu-satunya CD yang ku kenal pada koleksi Soni cuma CD album dari Cold Play Dan
anggun. Ada juga Kenny G, Yani dan juga Kitaro. Selain nama-nama itu, aku tak
tau. Kebanyakan CD-CD Soni berisi musik-musik klasik yang dimainkan oleh London
Orchestra Symphony Karya Mozart, Benthoven, Bach, Vivaldi dan entah apalagi.
Buku-buku yang ada disana juga rata-rata buku –buku berat berbahasa
inggris. Beberapa buku berbahasa Perancis, dan mungkin Jerman. Satu-satunya
novel yang ku temukan adalah novel politik karya Allan Drury yang pernah meraih
Pulitzer. Informasi itupun aku baca disampulnya. Aku tak kenal siapa Allan Drury
itu.
Tuhan...!!!
Segala sesuatu tentang Soni benar-benar samar seperti mimpi yang sulit
ditangkap maknanya. Bahkan keberadaanku disini, diperkebunan miliknya terasa tak
nyata bagiku. Perkembangan kedekatan kami hampir-hampir seperti ilusi.
Aku hanya mampu menghela nafas memikirkannya. Mencoba menekan perasaanku
dengan berteman dengan Soni ternyatasama sulitnya dengan menjauhinya. Tadinya
aku berharap aku akan terbiasa dengan keberadaan nya. Berharap bahwa hatiku
yang kalang kabut, jantungku yang berdebaran, dan nervous yang selalu kurasakan
saat berdekatan dengannya, akan hilang saat aku terbiasa dengan kehadirannya.
Tapi sepertinya aku memerlukan waktu yang cukup lama. Contohnya tadi saat
kami duduk berdekatan diatas punggung si hitam. Rasa-rasanya aku hampir meleleh
dengan menyedihkan saat tubuh kami berdekatan. Aku merasa tenggelam dalam
naungan tubuhnya. Seakan-akan udara disekelilingku dipenuhi oleh aroma
tubuhnya.menyelimutiku,memenuhi rongga dadaku. Begitu nyaman, harum, dan damai.
Begitu menyejukkan. Perasaan seperti ini hanya sebelumnya hanya ku kenal lewat
buku-buku percintaan dan lagu saja. Tapi kini aku merasakannya sendiri. Kini, deskripsi
dari buku-buku dan lagu itupun terasa begitu dangkal. Perasaan yang kurasakan
ini jauh lebih indah, lebih menakjubkan dari ungkapan-ungkapan dalam
novel-novel romans itu. Juga lebih
menyakitkan.
Jatuh cinta !!!!!
Andai saja semua sama seperti mereka-mereka diluaran sana . Seandainya kami
berbeda.........
Lamunanku terputus ketika aku mendengar pekikan yang lumayan keras dari
luar. Karena sedikit kaget dan juga penasaran, aku keluar untuk mencari
sumbernya. Diruang tengah aku berpapasan dengan Bi Ijah, Istri mang Asep yang berjalan
tergesa-gesa dengan wajah luar biasa kalut.
“Ada apa Bi ?!”
“Mobil Den Soni........mo....mobil....” Bi Ijah mencoba menarik nafasnya
yang tersendat. Jelas berusaha untuk menguasai kekagetannya, “...................tadi
di serempet tru truk, ke-ke-kecelakaan...”
“APA??111” pekikku luar biasa kaget membuat Bi Ijahyang sudah gugup kehabisan
nafas terperanjat. Tubuhku sendiri serta merta diserang hawa dingin yang
menusuk, “Soni gimana Bi ?!’’ buruku
bahkan lebih keras dari tadi
“Pa.......Pabrik Den........”
Aku sudah berlari keluar sebelum Bi Ijah menyelesaikan kalimatnya.
Diserempet truk ? kecelakaan ?!!
Ya Tuhan ....!!!!
Pabrik itu hanya berjarak
beberapa ratus meter dari rumah ini, dan dengan berlari aku bisa mencapainya dalam
beberapa menit ,pikirku. Dengan pikiran kalut aku terus berlari tak ku
perdulikan nafasku yang tersengal-sengal. Jantungku, paru-paruku seakan protes
karna kekurangan suplai oksigen. Jantungku berdetak begitu keras sehingga
detakannya bergema ditelingaku. Dadaku begitu sakit dan sesak. Tapi pikiran itu
hanya melintas begitu saja. Tubuhku bereaksi sendiri sejalan dengan otakku. Aku
harus segera tiba di pabrik. Soni ada disana dan entah bagaimana keadaannya.
AUCCH !!
Aku mengumpat keras saat kakiku menyandung sesuatu sehingga
tubuhkuterjerembab menghantam aspal. Cepat aku bangkit sembari mengibaskan
kotoran yang menempel dibajuku. Sialnya, saat menunduk aku tak memperhatikan jalan.
Alhasil aku kembali sukses nyusruk ke parit di pinggir aspal saat aku berlari
terlalu ke tepi.
Kembali aku menyumpah keras sembari bangkit dan buru-buru kembali berlari.
Aku sudah dekat ! pabrik itu sudah kelihatan. Ada banyak orang yang bergerombol
didepan pabrik.
Ya Tuhan Semoga Soni
tidak terluka parah, harapku dalam hati dan mempercepat lariku meski seluruh
tubuhku sudah protes. Minta untuk diistirahatkan
Aku bisa mendengar suara-suara dari beberapa orang bersahutan. Tak jelas
apa yang mereka bicarakan mataku terus menerus mencari soni sambil berlari
mendekat.
“SONIII.............!!! SONIII...........?!!” aku berteriak-teriak
kesetanan saat aku hampir mencapai kerumunan. Banyak kepala berpaling kearahku.
“Pa.....pak...... So........... Soni....” hanya itu yang bisa ku ucapkan
dengan nafas ngos-ngosan pada seorang bapak-bapak yang terdekat dariku.
“Didalam Pak Soni...............” kata bapak itu dengan gugup menunjuk
kedalam pabrik. Aku tak perlu menunggu penjelasan lagi dan segera berlari
menuju pabrik. Aku hampir terjerembab lagi saat menaiki anakan tangga didepan
gedung.
“SONI.............?!!!! SONI...............??!!!!” teriak ku keras-keras
dan menjeplakkan pintu masuk yang
sepertinya kantor pabrik. Ada bebrapa orang disana yang berpaling kaget
kearahku dan berdiri didepan pintu yang keadaan yang entah terlihat seperti
apakah “SONI......!!!” teriak ku lagi tanpa memperdulikan mereka.
Seorang wanita menghampiriku dengan wajah sedikit bingung, “Maaf, Bapak Soni.....
“TJ?!” Panggilan heran yang memotong kata-kata wanita itu berasal dari
kananku. Cepat aku berpaling ! Disana Soni berdiri memandangku heran dalam
jarak 10 meter. Utuh dan rapi, tak kurang suatu apa.
“ SON!!” aku berlari kearahnya dan langsung menghambur kepelukannya.
Memeluknya erat seakan-akan nyawaku bergantung padanya.
“TJ!!! Ada apa?!” tanya Soni dan menarikku kedalam ruangan dibelakangnya.
“Kau tak apa- apa ??? !!” tanyaku cepat dan melepaskan pelukanku. Aku
memeriksa dan meraba-raba tubuhnya. Tak
ada luka atau bahkan goresan sedikitpun, “Ya Tuhan. Syukurlah ! Kau baik-baik
saja. baik-baik saja...” Aku ngoceh tak karuan dan tak berhenti memeriksa
tubuhnya terus seperti orang gila...
“TJ!!”
“Kau baik.... ... kecelakaan.............. Bi Ijah ...........mobilmu....
truk,“ kataku terbata-bata dan sialan !!
Mataku kabur dan kemudian akupun terisak-isak karena perasan lega luar biasa yang
kurasakan melihatnya dalam kondisi baik. Lalu rasa sakit didada dan sekujur
tubuhku kembali menyerangku. Tak lama kemudian aku sudah jatuh pingsan.
Begitu sadar aku sudah berada dalam
kamarku. Kembali ke villa Soni. Pelan aku mencoba mengumpulkan ingatan
tentang apa yang sebelumnya terjadi. Perlahan pula aku bangkit. Sekujur tubuhku
terasa remuk. Dan kudapati beberapa plester dan perban yang melekat dikaki dan tangan
ku.
Dan perlahan pula semua menjadi jelas
“YA Tuhan....!!!
Aku kembali menghempaskan tubuhku ke tempat tidur. Aku mulai ingat semuanya. Tentang kecelakaa,
tentang keributan di pabrik, tentang tingkahku yang seperti orang kesetanan dan
histeris. Tuhanku !!! Aku benar-benar merasa ingin ditelan bumi rasanya!!!!
Memalukan sekali.
Kira-kira apa yang dipikirkan Soni dengan tingkahku yang menggelikan
seperti tadi. Sepertinya aku tak akan sanggup menghadapinya. Aku..........
Suara pintu dibuka dan kulihat Soni yang melangkah masuk.
Please !! Jangan sekarang
dooong!! keluhku dalam hati dan cepat-cepat memalingkan muka tak sanggup bertatapan
dengannya . Kupejamkan mataku rapat-rapat dan menulikan telingaku, meski tak
mungkin dan nafasku sedikit tertahan ketika kurasakan Soni duduk disisi
ranjang.
“Bagaimana keadaanmu ?” tanya Soni dengan nada lembut. Suaranya yang
terdengar menenangkan sedikit mengherankanku. Pelan kubuka mataku meliriknya
sekilas, lalu cepat-cepat mengalihkan pandanganku pada hiasan dinding yang
terpajang ditembok kamar
“Baik....” sahutku pelan dengan nada ragu. Kapan kira-kira Soni akan
meledak?
“TJ... aku.....”
“I’m sorry!” potongku cepat
mendahuluinya. Tak ada jawaban dari Soni. Dia diam. Aku sendiri tak tahu harus
melanjutkan bagaimana kalimat tadi.
“Untuk apa ?” tanya Soni setelah keheningan panjang yang menusuk.
“Untuk kekonyolan siang tadi,” jawabku lirih, “Aku benar-benar minta maaf
telah berbuat bodoh dan histeris dan membuat keributan. Aku benar-benar minta
maaf telah membuatmu malu dan marah !Aku................”
“Marah ? Karena kau mengkhawatirkanku?”
Aku mengeluh lirih.
“Aku tahu seharusnya aku bersikap lebih tenang dan tidak membuat keributan
seperti tadi.”
“TJ. Look at me,” pinta Soni
pelan.
“NO!” sahutku cepat dan berbalik
memunggunginya, “I’m so sorry, okay !!
Aku akan diam mulai sekarang,” kataku dengan nada bergetar. Aku tak tahan,
ketenangan Soni justru membuatku semakin konyol. Aku tutup mukaku dengan bantal
dan ............
SIAL !!
Mataku kembali berair dan nafasku mulai tersendat. Sungguh!!! Mungkin akan
lebih baik jika Soni meledak dan memarahiku. Bukannya tenang dan lembut seperti
sekarang ini.
“ TJ....!! Soni berusaha mengambil bantal yang kugunakan untuk menutupi
wajahku tapi aku menahannya. “TJ... lihat dan dengarkan aku. Aku mau bicara, “
kata Soni lagi sembari berusaha kembali menarik bantalku.
“Nggak mau!!!!” Sahutku dengan suara teredam oleh bantal. Tak ingin dia
melihatku melakukan hal konyol seperti menangis lagi.
“TJ....”
Sesaat kemudian kurasakan tangan Soni menyentuh punggung tanganku dan
membelainya pelan. Perlahan pula dia menyelipkan jemarinya dan menarik tanganku
kiriku kemudianmenggenggamnya dengan hangat.
“Kau mau melihat dan mendengarkanku ?” tanya Soni lagi, lebih lembut dari
yang sebelumnyaseraya membelai lembut jemari tangan kiriku yang dia pegang. Tubuhku yang semula agak tegang
perlahan –lahan jadi rileks. Aku menurunkan bantal yang menutupi wajahku dan
melihat kearahnya ragu.
Soni tak berkomentar apa-apa melihatku yang mungkin tampak konyol,
sementara tangan kirinya masih memegang tanganku. Ia mengulurkan tangan
kanannya. Mengusap kedua pipiku dan tersenyum, “ Maaf, hari ini sudah dua kali
aku membuatmu hampir terkena serangan jantung. Pertama si hitam..........lalu
kecelakan tadi yang menimpa salah seorang pegawaiku. Mungkin....seharusnya
memberitahumu kalau aku tidak apa-apa. Aku meminta salah seorang pegawaiku
membelikanku sesuatu dikota dengan memakai mobilku hingga kemudian ia mengalami
kecelakaan. Aku tak berfikir bahwa kau bisa mendapatkan berita yang salah.
Lihatlah dirimu.....
“Tubuhmu penuh luka. Kau pasti sudah jatuh bebrapa kali saat kau lari ke
pabrik mencariku. Kau bahkan tidak menggunakan alas kaki sehingga kakimu robek
bahkan kau tak menyadarinya. Saat kau tiba di pabrik kau terlihat begitu lega
saat melihatku tak kurang suatu apapun. Padahal waktu itu kau tampak
berantakana, terengah-engah, luka dan berdarah. Kau cuma mengkhawatirkanku. Kau
lihat ? Justru aku yang seharusnya meminta maaf padamu.”
Ampun!!! Apa yang bisa kukatakan untuk menjawabnya?! Tambah lagi dia
mengucapkan kalimatnya dengan lembut dan sementara tangannya menggenggam hangat
jemari kiriku dengan tatapan yang teduh dan ekpresi yang begitu menyentuh. Dia
mengungkapkannya seolah-olah aku telah melakukan suatu hal yang luar biasa . Bukannnya
senang aku malah merasa tambah cengeng dan lemah. Mataku kembali berair.
“Sebenarnya kamu mau menghibur atau mau membuatku menangis sih?” gerutuku
pelan.
Soni bengong. “Hah?!”
“Kalimatmu tadi justru bikin aku mau nangis tau?!!” gerutuku lagi tanpa
melihatnya. Aku menunduk sembari mengusap pipiku. Gila!!!! Sudah berapa kali
aku mempermalukan diri dan menangis didepan cowok ini? Berada didepannya
benar-benar membuatku merasa lemah, rapuh dan cengeng. Detik berikutnya aku
dibuat sedikit terkesiap saat tangan kiri Soni terulur dan ikut mengusap
pipiku. Sementara tangan kanannya masih menggenggam tangan ku yang sebelah.
“Kamu kok cengeng banget sih?” tegur Soni pelan lebih karena heran, bukan
bermaksud merendahkanku.
“Sebodo” gumamku pelan agak tersendat, “Kamu yang selalu bikin aku merasa
konyol seperti ini.”
“Sebenarnya apa yang kau pikirkan tadi siang?” tanya Soni lagi.
“Maksudmu bagaimana aku bisa gila seperti itu ?” tanyaku balik
“ TJ.........”
“I dont know, “ kataku akhirnya
mendengar tegurannya, “................panik, khawatir, takut .........entahlah!!”
Untuk sejenak tak ada reaksi dari Soni karna sama-sama terdiam terjebak
dalam keheningan yang menyesakkanku.
“Sekarang sepertinya aku yang harus cemas,“ kata Soni akhirnya nyaris
membuatku berpaling kearahnya heran. “Sekarang
jam dua siang dan kita masih disini . Kita tidak akan bisa ke Jakarta sore
nanti seperti yang aku janjikan pada Bunda. Kau harus istrahat kan?”
“I’m okay. Aku bisa pulang!!!” sahutku
cepat
“Really?” tanya Soni dengan alis
terangkat sebelah membuat ekspresi wajahnya terlihat menggemaskan. Jangan bikin gue gemes donk!!! gerutuku
dalam hati
“Cuma sedikit lecet kok. Gak apa-apa !! urusanmu sudah selesai?”
Soni mengangguk, “Kalo gitu kamu telfon Bunda gih ! Bilang kalo kita kan
pulang terlambat nanti!” kata Soni dan mengaangsurkan HP keluaran terbaru yang memiliki banyak fitur
seperti yang diiklan di tv akhir-akhir ini. Harganya bisa buat beli hape
seperti punyaku sekarung. Aku menderu dalam hati.
Pada Bunda aku cuma mengatakan kalo kami akan terlambat pulang karena Soni
masih belum selesai dengan urusannya. Untungnya Bunda gak tanya macem-macem,
“Bunda cuma pesen buat hati-hati,” kataku sembari mengangsurkan hpnya kembali.
Soni bangkit tanpa mengambil hp yang ku angsurkan, “Kalo gitu aku akan
minta Bi Ijah buat beresin barang-barang kita. Kita bisa pulang setelah makan
siang,” katanya singkat dan berbalik.
“Son!” panggilku cepat, “Hp mu.....”
Soni berbalik dan tersenyum, “You can
keep that.”
Sesaat aku pikir kalo aku salah dengar, “Hah?!!”
“Hadiah dariku karena kamu telah menemaniku, membantuku dan juga sebagai
permintaan maaf karena sudah
mengagetkanmu 2 kali’’
“Son kamu gak harus.....”
“I insist. Aku benar-benar ingin
kau menerimanya. Aku sudah memasukan nomorku kesana. Juga nomor barumu,” kata Soni
dan pergi tanpa menghiraukan protesku.
Dia gila! Harga ponsel ini jutaan! Dan dia kasih benda ini ke aku
seakan-akan dia cuma ngasih tahu goreng. Aku bangkit perlahan. Ada nyeri di
beberapa bagian tubuhku tapi tidak parah, jadi aku masih bisa menahannya. Aku
harus menemui Soni dan bikin dia waras lagi.
Soni kutemukan diruang kerjanya. Dia sedang mengambil bebrapa map dari
lemari arsip.
“Hei kenapa bangun ? Kau bisa tiduran kan sebentar lagi makan siang siap,”
tanya Soni dan mendekatiku
Aku menggelngkan kepala, “Aku cuma mau mengembalikan ini. Ini terlalu mahal
untuk menjadi sebuah hadiah!!” kataku serasa mengangsur kembali ponsel tadi
Sejenak Soni hanya menatap ponsel yang kuulurkan tanpa menyentuhnya,
kemudian menghela nafas, “Ini terakhir kalinya aku mengatakannya. Aku ingin
kamu memilikinya dan berhentilah mengatakan tentang nilai suatu benda. Aku tak
suka memperhitungkan perkara remeh.”
“Tapi Son....”
“Terima atau lupakan kalau kita saling mengenal!!” kata soni keras dan
tegas. Aku terperangah mendengar nada suaranya yang terdengar final, “Itu yang
kau inginkan?”
“Tidak,” jawabku pelan
“Great. Nah sekarang kamu duduk
dulu, aku akan minta Bi Ijah membawakan makan siang kita kesini, ok?!”.kata Soni
ceria dan menuntunku duduk dikursi dan kemudian keluar.
Aku cuma mampu duduk termangu.
Aku tak tahu harus berkomentar apa pada Soni. Bahkan saat kami berada
dimobil dalam perjalanan pulang, aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku
hanya mampu diam. Soni yang tadinya membiarkanku akhirnya kehabisan kesabaran.
Dia menepikan mobilnya dan berhenti.
“Ok. Tell me what’s going on?”
tanya Soni cepat.
Aku yang semula bengong tenggelam dalam lamunan akhirnya sadar kalau dia
sedang berbicara padaku, “Apa?!” tanyaku tak mengerti.
“Kau ingin mengatakan sesuatu ?”
“Apa??” tanyaku makin tak mengerti dengan kegusarannya.
Soni mendengus dan tanpa berkata apapun dia menghidupkan mobil dan mengemudi kannya dengan cemberut.
“Kenapa Son ?” tanyaku pelan sedikit khawatir.
“No. Nothing !!!” jawab Soni
singkat tanpa memalingkan wajahnya padaku. Ekspresi mukanya masih tak berubah
“Nothing tapi kok kamu terlihat
gusar?”
“Gusar ?! Apa mungkin seharusnya aku yang bertanya seperti padamu ?”
“Apa?”
“Look, jika kamu tidak menyukai ponsel itu, kau boleh melemparnya keluar.”
“Apa ?!! Ponsel ini ? Sayangkan ! Ponsel mahal dan bagus kok disuruh buang ?!!!”
gerutuku pelan.
Soni melirikku dengan alis terangkat sebelah, “Kau menyukainya?”
“Well ,yeah?!”
“Tapi kenapa kau tak terlihat senang ? Dari tadi kau terus memegangnya. Kau
juga terus diam, you dont say a word
sepanjang perjalanan.”
Aku ternganga setelah tahu apa yang menjadi sumber kemarahannya.
“ Ya Tuhan, Soni. Aku sangat menyukai ponsel ini. Aku cuma gak tau harus
ngomong apa. Ini ............. ini terlalu mahal dan......... dan ..”
“Sudahlah !!” kata Soni menenangkanku yang gelagapan tak tau harus berkata
apa. Dia melirikku dan tersenyum, “Aku senang kau menyukainya”
“Thanks.!!” kataku pelan setelah
terdiam untuk beberapa saat.
“You are welcome. Dan ngomong-ngomong
kira-kira apa yang akan dilakukan bunda padaku ?”
“Apa ???” tanyaku tak mengerti.
“Ketika aku membawamu, kau baik-baik saja dan sekarang lihat dirimu ? Penuh
dengan gores dan luka. Kurasa beliau akan membunuhku “ kata Soni pelan.
Aku yang mendengarnya hanya tertawa kecil, “Mungkin saja” kataku lagi.
“Kukira kita harus memberinya kejutan supaya aku bisa tetap hidup”
Untuk sesaat aku hanya mampu terdiam, “Kejutan,” gumamku. Kata itu
mengingatkanku akan apa yang aku temukan diruang kerja Soni tadi. Hari
lahirnya...
“Apa?” tanya Soni yang melihatku diam dan berfikir.
“Ehmm. sekitar dua minggu mendatang akan ada acara dirumah. Kau bisa ...
datang ?” tanyaku ragu.
“Emang ada apa ??”
“Cuma selamatan kecil. Cuma makan-makan bersama. Mungkin hanya beberapa
orang yang datang.”
“Selamatan ???”
“Orang-orang seperti kami tak mengenal cocktail
ataupun barbeque party Son.”
“Don’t say that ! Baiklah aku
akan datang.”
“Cool!!” kataku senang
Soni hanya membalasku dengan senyuman.