BAB 12
Keesokan harinya, geng heboh, Wina dan yang lain langsung menculikku begitu
aku nongol di pintu gerbang. Jelas mereka tidak terima perihal kedekatanku
dengan Soni yang luput dari penciuman mereka. Pokoknya mereka menginterogasiku
habis-habisan. Diselingi dengan jitakan-jitakan gemas yang Cuma bisa kuterima
dengan muka pasrah.
Akhirnya aku jelaskan kalau Soni cuma membantuku bikin laporan Bahasa
Indonesia. Kukatakan bahwa dia punya kenalan yang sering bepergian ke luar
negeri, karena Soni melarangku untuk mengatakan kalau dialah yang sering ke
luar. Dan aku juga menjelaskan bahwa kedekatanku dan Soni di mulai saat aku
ikut klub PA, mengingatkan mereka pada insiden yang membuatku tak masuk sekolah
beberapa waktu yang lalu.
Wina dan yang lain langsung aja ngamuk, nggak ikhlas begitu tahu kalau Soni
adalah anggota PA. Mereka sontan berencana buat ikutan gabung. Tapi begitu
melihat jadwal mereka yang penuh, mereka semua kecewa dan mencak-mencak gak
jelas.
Aku cuma mampu menanggapinya dengan cengiran kecil dan kembali pasrah dengan cubitan dan jitakan
mereka.
Sebenarnya bukan mereka yang ada dibenakku. Pikiranku lebih fokus pada
ajakan Soni di akhir pekan nanti. Dia bilang, kami akan pergi ke suatu tempat
berdua, dan menginap! Bayangin coba?! Perasaanku campur aduk antara khawatir,
tak sabar, bingung dan juga penasaran. Benar-benar kacau!
Dan akhir pekan pun datang dengan kehebohan lain!
Di awali dengan Soni yang tiba-tiba muncul di pintu kelas pada hari sabtu di
jam istirahat. Wina dan yang lain kembali misuh-misuh karenanya, membuatku yang
melangkah mendekat ke arah Soni, hanya mampu kembali nyengir.
“Ntar kita pulang bareng. Sekalian kamu bisa pamit dan siap-siapin
keperluan. Kita berangkat dari rumahku,” jelasnya singkat tanpa memperdulikan
anak-anak cewek kelasku yang mulai agak-agak histeris dengan kemunculannya.
Entah dia benar-benar sudah terbiasa, atau emang cuek sudah menjadi bawaan
lahirnya. Dia cool aja dengan reaksi beberapa cewek teman sekelasku yang dengan
terang-terangan memberi kode keras.
Aku mengangguk, “Ok!” jawabku tak kalah singkatnya. Soni segera berlau di
iringi dengan beberapa komentar usil anak-anak. Wina dan yang lainnya segera
saja menarikku dan ribut nanya soal apa isi pembicaraanku dengan Soni tadi.
“Rahasia,” komentarku singkat. Mereka kontan protes dan menyerbuku dengan
cubitan, jambakan dan tabokan keras.
Dan hal tersebut jadi makin bertambah saat pulang sekolah Soni
menghampiriku dan mengajak pulang bareng. Aku melangkah ke lapangan parkir
dengan melambaikan tangan, di iringi oleh teriakan-teriakan gak rela Wina dan
yang lain. Soni yang melihatnya jelas merasa heran.
“Udah, gak usah di peduliin. Yuk..” ajakku santai meski dalam hati aku tak
bisa menahan kegelianku dengan reaksi Wina dan yang lain. I win!! batinku.
Beberapa hari ini aku juga telah banyak berpikir. Tentang Soni dan juga diriku.
Aku tahu kalau sebelumnya, aku sudah memutuskan untuk menjauhinya. Tapi
tenyata hal itu bukanlah perkara mudah. Sosoknya, suaranya, serta senyumnya
yang jarang terlihat selalu membayang di benakku. Niat untuk tidak mengacuhkan
dirinya yang ku susun dari rumah, seketika ambrol saat melihat sosoknya di
sekolah. Menyedihkan. Aku tahu itu. Apalagi saat kemari Soni mengatakan bahwa
kami.............berteman.
Betapa aku menginginkan hal yang lebih dari itu. Tapi itu tak mungkin kan?
Tak peduli sebesar apapun perasaanku padanya. Sudah jelas Soni bukan orang yang
memiliki kecenderungan sepertiku. Dan berteman, sepertinya menjadi salah satu
alternatif yang bagus. Dengan begitu, aku masih bisa berada didekatnya,
bersamanya. Harapanku, mungkin dengan berteman dengannya, secara
perlahan-lahan, aku bisa menemukan akal sehatku kembali. Mungkin aku nanti akan
menjadi terbiasa dengan kehadiran Soni, dan perasaaan apapun yang kurasakan
padanya, pada akhirnya akan memudar dan hanya menjadi sebuah hubungan teman
dalam artian yang sebenarnya. Yah, aku tahu. Bagiku mungkin itu hal yang sulit.
Namun aku harus bertahan. Aku harus benar-benar sadar dari mimpi yang
selalu muncul di benakku kala melihatnya. Aku harus bisa menemukan penawar akan
bius Soni padaku. Aku harus bisa mendapatkan kewarasanku kembali. Harus! Aku
memang tak bisa mengatakan dengan pasti bahwa aku akan berhasil. Karena selalu
saja, setiap kali aku melihatnya, memandang wajahnya, aku kembali lemah. Siapa
coba yang bisa tahan berada di dekat dengan Soni tanpa harus terpesona dengan
paras dan sosoknya? Wajah melankolisnya yang cenderung dingin benar-benar sulit
untuk di tak acuhkan. Berada didekatnya selalu membuat aku ingin mengulurkan
tanganku untuk menyentuhnya. Membelainya. Untuk meyakinkan bahwa dia adalah manusia
nyata dan bukan hasil dari imajinasiku akan kesempurnaan seorang cowok.
Aku sudah membaca banyak sekali novel romans dan dia adalah gambaran umum
yang ada dalam buku-buku romantis itu. Gak akan aneh kalau wajahnyna dijadikan
sampul salah satu dari novel keluarab harlequin. Dan dengan miris aku menyadari
kalau aku kan membeli buku itu.
“Sudah pamit ma Ibumu?” tanya Soni menyadarkanku saat kami sudah berhenti
di depan rumahku. Aku yang segera turun hanya mengangguk untuk menjawabnya.
“Ya,” tegasku lagi, “Udah dikasih ijin kok. Tapi Bunda tetep ingin ngomong
sama kamu.”
“Kenapa?” tanya Soni dengan kening berkerut.
“Bunda mungkin sedikit khawatir. Kamu kan gak bilang mau ajak kemana. Yuk,
masuk!” ajakku dan mendahuluinya. Hari ini Bunda sudah mengatakan kalau beliau
sudah akan ada di rumah begitu aku pulang sekolah.
“Jadi aku mau di interogasi nih?” sindir Soni dan membuka helmnya. Mulutnya
mencebik, sedikit cemberut. Ekspresi yang justru membuatnya terlihat imut dan
nyaris membuatku tak tahan untuk memeluknya. Dia memang bisa menimbulkan efek
seperti itu.
Tuh kan! Batinku. Siapa coba yang bisa tahan dengan Adonis satu ini?!
Kenapa dia begitu............... sempurna?
“TJ?!”
“Eeeuuuhh.....engga kok. Bunda cuma takut kalo ntar aku kamu jual. Atau
lebih parah lagi, di mutilasi,” sahutku dengan nada menggoda.
“Emang kamu pikir aku psikopat gila apa?!” gerutu Soni mendengarku.
“Engga sih. Cuma seorang misanthrope sinting,” jawabku cuek dan cepat-cepat
masuk sembari nyengir mendengar geraman Soni di belakangku, “BUNDAAAAAA!!!! Ada
temen TJ neeehhh?!!!” teriakku begitu masuk ke rumah.
Bunda yang muncul dari dalam menggelengkan kepalnya dengan masygul, “Memang
kamu pikir rumah kita segede stadion bola apa?! Pake teriak segala,” omelnya
yang hanya ku sahuti dengan juluran lidah. Mata beliau segera beralih pada Soni
yang ada di belakangku, “Ayo, nak. Silahkan masuk,” kata beliau mempersilahkan.
Soni yang pertamanya cuma berdiri kikuk di depan pintu mengangguk dan
melangkah masuk. Dia langsung saja menyalami Bunda, “Siang Tante. Saya Soni.”
“Oh yaa? Waaahh.........” tanpa malu-malu Bunda memperhatikan Soni dengan
seksama dari atas ke bawah, “................... nak Soni artis ya?” tuduh
Bunda asal tanpa memalingkan tatapannya dari Soni.
Soni yang diperhatikan seperti itu, jelas saja jadi kikuk gak karuan. Dia
mencoba tersenyum meski lebih mirip cengir mengenaskan untuk menutupi salah
tingkahnya, “Bu-bukan kok, Tante,” jawabnya rikuh sedikit terbata-bata.
“Yang bener? Bintang sinetron kan? Penyanyi?” tanya Bunda keukeuh. Aku yang
mendengarnya jadi ngikik. Apalagi melihat reaksi Soni yang kemudian melihatku
dengan tatapan memohon.
“Gak usah dipikirin Son. Bunda emang suka asal. Bunda juga jangan bikin
Soni makin salah tingkah deh,” seloorohku yang akhirnya tak tega, “Soni emang
bukan selebriti kok Bun. Tapi dia selebritinya sekolah TJ. Semua cewek disana
ngefans ama Soni.”
“Oh ya? Ya wajarlah. Orang ganteng gak ketulungan gini. Bener bukan artis
nak Soni? Nggak kepingin ikutan casting pilem atau peilihan model gitu? Sayang
lho kalo ngeliat potensi. Modal udah ada gini. Wajah cakep, tinggi pula.”
“Dih!! Bunda kok jadi ikut-ikutan centil kayak temen-temen Tj sih?”
gerutuku dongkol dengan Bunda yang masih juga ngotot ke Soni.
“Lho, wajah ganteng kan aset?! Sayang dong kalau tidak dimanfaatkan. Coba
kalau Bunda punya anak yang sama gantengnya dengan Soni, pasti sudah Bunda
suruh ikutan casting sinetron atau film. Kalau nggak ya jadi bintang iklan atau
model. Sayangnya........” Bunda menggantungkan kalimatnya dan menghela nafas
panjang masygul.
Terang saja aku jadi nyureng, “Apaan sih?! TJ jelek gini juga produksi
Bunda!”
“Lha siapa yang bilang jelek? Cuma nggak ganteng kayak Soni.”
“Sama aja! Bilang aja langsung, jelek!” sahutku keki dan ngeloyor ke dalam
setelah mendelik pada Soni yang kini tersenyum simpul oleh adu mulutku dengan
Bunda.
“Kalo nyadar ya syukur...” kata Bunda pelan. Aku yang masih bisa
mendengarnya, langsung teriak kenceng.
“BUNDAAAAAA!!!!!”
“Duduk dulu Nak Soni. Bunda bikini minum dulu ya?” kata Bunda tanpa
memperdulikanku.
Ku dengar suara Bunda lagi, mempersilahkan. Beberapa saat kemudian, beliau
sudah muncul di ambang pintu dapur.
“Lho? Sudah dibikinin ya?”
Aku yang sedang mengaduk minuman nyengir, “Kasian Bun. Kan panas. Oh ya Bun,
ntar kalo Wina dan yang lain nanya, bilang aja TJ pergi ke rumah sodara.
Pokoknya jangan bilng kalo TJ pergi bareng Soni ya?”
“Emang kenapa?”
“Ntar heboh mereka Bun. Wina dan yang lain ngefans berat ama Soni.”
Bunda tersenyum mendengarnya, “Kalo itu wajar kan? Orang Soni ganteng gitu.
Bunda pikir tadi bintang film lho. Dia belum punya pacar apa?”
“Yang naksir sih banyak Bun. Tiap hari juga bejibun cewek-cewek yang
nyamperin ke kelasnya. Tapi Soni mah sulit orangnya. Ga ada yang diterima,”
jelasku dan membawa minuman untuk Soni dengan baki. Berikut sebuah toples
berisi keripik pisang. Bunda mengikuti di belakangku.
“Jadi kapan kalian berangkatnya? Sekarang?” tanya Bunda dan duduk di kursi
setelah aku mempersilahkan Soni untuk minum.
“Iya Tante,” jawab Soni.
“Panggil saja Bunda seperti yang lain. Jangan panggil Tante. Bikin risih
ngedengernya. Bunda jadi ngerasa kayak ibu-ibu gak bener,” kata Bunda sambil
mengibaskan tangan.
Karuan aja aku ngedumel karenanya, “Soni juga liat-liat kali Bun, kalo mau
jadi piaraan tante-tante. Gak model yang kayak Bunda juga,” gerutuku lagi, yang
membuat Bunda langsung menggetok kepalaku.
“Maaf kalo Bunda cerewet, nak Soni. Namanya saja orang tua,” lanjut beliau
tanpa mengacuhkanku yang mengusap-usap kepala.
“Tidak apa-apa Tan...eh? Maksud saya Bunda,” ujar Soni cepat dan sedikit
salah tingkah.
“Nanti juga terbiasa. Memang rencananya kalian mau kemana?”
“Saya mau ajak TJ ke Bogor.”
Aku bengong mendengar jawaban singkat Soni, “Seriusan?”
“Ada satu tempat yang harus saya kunjungi. Ada kemungkinan kami harus
menginap. Tapi saya usahakan, minggu sore, kami sudah kembali.”
“Hmmmm..............ya sudah. Bunda hanya ingin memastikan dan tahu saja.
Jadi Bunda bisa tenang. Kalau begitu, kamu siap-siap sana gih,” kata Bunda
padaku, “Supaya gak kemaleman di jalan. Naik motor kan?”
“Enggak Tan...eh Bunda! Nanti kita balik dulu ke rumah saya buat ambil
mobil. Sekalian dengan keperluan saya yang lain.”
“Bawa mobil sendiri?”
“Dia sih udah biasa Bunda,” sahutku, “Orang kemarin aja masih bisa nyetir,
padahal diare.”
“Hati-hati ya nak?” pesan Bunda setelah diam beberapa saat. Dan untuk
sejenak, beliau menatap Soni dengan seksama. Aku yang memperhatikan menjadi
sedikit heran melihat cara Bunda memandangnya. Ada sesuatu dalam pandangannya
yang tak ku mengerti. Soni sendiri hanya mampu tersenyum kikuk dan menundukkan
kepala. Menghindar. Jelas merasa tak enak akan sikap Bunda.
“Bunda....” tegurku pelan.
Bunda sedikit tersentak dan kemudian berpaling padaku, “Ya...!
Eeeuuuuhh..........kamu cepat mandi sana. Terus makan siang bareng Soni. Dan
Soni gak boleh menolak. Karena setelah makan siang, baru kalian boleh pergi,”
kata beliau dengan senyumnya.
“Nggak perlu Bun. Nanti kita mampir ke..”
Bunda menggelengkan kepalanya dengan tegas, “Seenak apapun makanan di luar
sana, nggak akan ada yang bisa ngalahin makanan rumah. Tadi Bunda sudah bikin
sambal goreng hati, telur bumbu merah dan pepes ikan. Coba dulu masakan Bunda,
baru deh komentar. Pasti Soni bakal sering datang karena ketagihan,” kata Bunda
promosi dengan pede-nya.
Aku monyongin bibir mendengarnya, “Iya deeehh. Bunda bener, Son. Cobain
dulu deh. Nurut aja. Kalo nggak, kita gak bakal di bolehin jalan ma Bunda.”
“Sudah, cepet mandi sana. Biar Bunda yang temenin Soni,” kata Bunda dan
mendorongku untuk pergi.
“Minum dulu, Son. Aku yang bikin tuh. Ku tinggal mandi dulu ya?” pamitku
dan bangkit.
Sekitar 15 menit kemudian, aku sudah selesai mandi dan ganti baju.
Keperluanku sudah aku masukkan ke dalam tas ranselku dari kemarin. Jadi tinggal
membawa saja. Tapi saat aku kembali ke ruang depan, suasana yang ada disana
jadi terasa aneh. Soni ku lihat duduk dengan kepala yang tertunduk lebih dalam
dari sebelumnya. Sementara Bunda duduk diam ditempat dengan ekspresi yang
sedikit.........terguncang?
Ada apa nih? Pikirku heran.
Begitu tahu aku sudah kembali, Bunda langsung bangkit dan cepat-cepat
menyunggingkan senyumnya, “Nah, kita makan Yuk? Ayo Soni, ke dalam. Makannya di
dapur,” ajak Bunda dan berlalu mendahului.
“Eh bentar!” cegahku pada Soni yang juga bangkit, “Minumannya di abisin
dulu dong. Kan aku yang bikin,” candaku, mencoba menetralisir suasana yang
entah kenapa, terasa berat. Meski usahaku menyedihkan, Soni tersenyum dan
meraih gelasnya. Dia menandaskannya dengan cepat.
“Enak kan?” tanyaku, nyengir.
“Kalo cuma nyeduh pake air, anak SD juga bisa!” seloroh Bunda dari dapur.
Aku hanya menjulurkan lidahku untuk membalasnya.
“Ayo, Son. Rumah kita kecil. Ruang makan ya di dapur. Gak kayak tempatmu.”
“Biasa aja lah,” katanya pelan dan melangkah ke arahku yang berdiri diam
menunggunya.
“Bunda gak macam-macam kan?” tanyaku pelan saat dia sudah ada di dekatku.
Soni yang berhenti dan sedikit tertegun hanya diam menatapku. Dan kemudian,
dia menggelengkan kepalanya. Dia terlihat hendak mengatakan sesuatu, namun
mengurungkan niatnya.
“Maaf ya?” kataku lagi, lebih pelan dari tadi, “Terkadang Bunda memang
iseng. Tapi beliau...”
“It’s okay!” potong Soni cepat,
“Bunda tidak melakukan apa-apa. Hanya saja...” dia menggantungkan kalimatnya.
Aku yang ada didepannya hanya bisa menahan nafas sejenak.
Sekali lagi, aku di sadarkan akan beberapa hal baru yang hanya dapat aku
lihat ketika kami berdiri begitu dekat seperti sekarang. Yang pertama adalah
betapa jangkung dan tegapnya tubuh Soni. Mataku ternyata hanya sejajar dengan
garis bahunya. Membuatku merasa kalau tubuhku tiba-tiba saja menyusut, mengecil
dan tenggelam dalam bayang-bayang tubuhnnya. Tulang-tulangku terlihat begitu
kecil dibandingkan miliknya yang terkesan kuat dan solid.
Lalu wajahnya yang kian terkesan melankolis. Terutama matanya. Dari awal
aku sudah tertarik dengan mata Soni. Perpaduan kontur wajahnya yang lembut
namun toh terkesan dingin dan tak tersentuh sudah menjadi daya tarik Soni.
Garis samar kebiruan di sepanjang rahang dan dagunya mempertegas kontur wajah itu
dan semestinya, membuatnya terlihat kuat dan mungkin sedikit mengintimidasi.
Namun nyatanya, sorot mata dan aura yang aku tangkap justru membuatku ingin
memeluk dan menghiburnya. Menenangkannya. Seakan-akan ada sesuatu yang
membuatku mengkhawatirkannya.
Hal itu yang tak bisa aku mengerti dan membuatku jadi ikut-ikutan
memperhatikannya dengan seksama seperti Bunda tadi.
Kulit wajahnya yang bersih dan seakan naris tak berporia dengan warna putih
dan sedikit rona kemerahan, garis rahang pipinya yang kuat, hidung lurus dan
mancungnya dengan tulang yang menawan, menyatu dengan dua garis bercelah di
atas bibirnya yang merah dan basah. Alisnya yang tinggi dan rebah serta bulu
mata panjang dan lentiknya yang bisa membuat iri para cewek-cewek yang harus
menggunakan maskara untuk bisa memiliki apa yang Soni punya secara alami.
Semua hal itu membuatnya tampak menawan, dingin, tak tersentuh.sedikit
mengintimidasi sebenarnya bagaimana ada seseorang yang memiliki kesempurnaan
fisik sepertinya. Dia lebih cocok berada dalam majalah. Hasil jepretan dan
editan fotografer handal. Tidak di dunia nyata. Namun toh dia sedang berdiri
didepanku. Dan matanya yang dalam dan diaungi oleh bulu-bulu mata kehitaman
yang lentik itu, yang biasanya membuatku merasa tak bisa menyentuhnya, kini justru
terlihat begitu lembut, melankolis dan nyaris mengibakan. Mata yang seolah-olah
berteriak minta tolong. Dan teriakan itu begitu jelas dan sampai ke benakku
ketika kami berdiri berhadapan seperti
ini. Dengan begitu jelasnya.
Dan lebih mengejutkan lagi adalah ketika aku tiba-tiba merasakan sesak di
dadaku. Tenggorokanku tercekat, seperti ada sesuatu yang menyumbatnya. Mataku
berdenyut dan terasa panas dalam hitungan detik.
Ya Tuhan! Ada apa sebenarnya dengan cowok di depanku ini? Kenapa aku begitu
ingin meraihnya ke dalam pelukanku dan menenangkannya? Membelainya dan
meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi dari apa? Aku sama sekali
tak bisa memahami ketika kedua mata itu seolah-olah memintaku untuk ...............
mengasihinya?! Aku tahu hal itu terdengar absurd dan tak masuk akal. Tapi
memang itulah yang aku rasakan.
Lalu perlahan, kepala Soni yang ada di depanku tertunduk, seakan-akan tak
mampu membalas pandanganku. Padahal biasanya, justru aku yang tak pernah
sanggup beradu pandang dengannya. Dan hal itu justru membuatnya makin terlihat
mengibakan. Seakan-akan dia takut akan sesuatu.
Aku menghela nafas yang sedari tadi ku tahan. Bersamaan dengan keluarnya
udara dari dadaku, kurasakan ada air yang mengalir di pipiku. Dengan kaget, aku
cepat-cepat mengusapnya.
Ini tak bisa di biarkan, pikirku yang mulai merasa konyol sendiri. Otakku
terasa kacau karena tak mampu mencerna, apa yang barusan terjadi.
“A-ayo kita makan,” kataku cepat dengan suara yang sedikit bergetar dan
segera ke belakang mendahuluinya, dimana Bunda sedang menyiapkan meja makan
kecil kami. Bunda yang melihatku mendekat hanya tersenyum. Jika beliau melihat
keanehan pada diriku, beliau tidak mengatakan apapun. Namun senyumnya
menyiratkan pemahaman yang bisa aku mengerti.
Apa Bunda tadi juga merasakan hal yang sama? Pikirku.
Bagaimanapun itu, pada saat seperti ini, aku bersyukur memiliki Ibu seperti
Bunda. Dengan segala keluwesannya, beliau membuat makan siang hari itu terasa
ringan dan menyenangkan dan normal. Aku dan beliau sebisa mungkin berusaha
untuk menghapus atmosfir udara yang semula aneh dan sedikit menyesakkan. Bahkan
dengan sedikit memaksa, beliau berhasil membuat Soni untuk nambah.
“Yakin kamu nggak apa-apa?” tanyaku pada Soni saat kami melaju keluar dari
gang rumahku, menuju tempatnya. Aku masih merasakan suatu hal aneh yang tak
bisa ku jelaskan darinya. Selain itu, dia jadi terkesan menarik diri.
“Nggak apa-apa,” jawab Soni singkat.
Dan akhirnya, akupun memilih diam.
Aku tak tahu berapa lama kami melaju di jalanan. Terakhir kali ku tanya,
Soni Cuma bilang tinggal 2 jam lagi bagi kami utuk sampai ke tujuan. Dan
berhubung sedikit cape, aku memutuskan untuk tidur sejenak. Untungnya mobil
Soni termasuk mobil yang nyaman. Kursinya empuk luar biasa dan di dukung AC
yang sejuk, serta aroma pewangi yang segar, membuatku mudah terlelap.
Saat aku membuka mata, kami sedang melaju di melewati areal dataran tinggi
yang di tumbuhi pepohonan hijau. Aku bisa melihat areal perkebunan membentang
dengan luasnya.
“Sudah bangun?” sapa Soni dari arah samping kananku.
Aku menggeliat sebentar dan memalingkan muka padanya. Soni melihatku
sekilas dan tersenyum, lalu segera berpaling kembali ke jalanan di depannya.
Seperti umumnya jalanan di daerah dataran tinggi, jalan yang kami lalui banyak
sekali belokannya dan menanjak. Beberapa mobil dan kendaraan ada di depan dan
belakang kami. Sesekali ada motor yang melaju lewat.
Kuperhatikan wajah Soni sedikit kusut dan menyiratkan kelelahan. Tapi
sungguh, itu tak mengurangi daya tariknya. Hal itu justru membuatku ingin
mengulurkan tangan untuk membelai siis wajahnya dengan lembut.
“Kita istirahat yuk, sebentar saja,” kataku kemudian dengan nada membujuk.
“Nanggung,” jawab Soni singkat.
“Cari tempat yang enak saja, Son. Kita brenti sebentar untuk mengumpulkan
tenaga. Makan bekal buatan Bi Atun tadi sambil menikmati pemandangan. Indah
banget,” kataku, masih berusaha.
“Tapi.....”
“Please........?”
Kata yang ku ucapkan dengan nada pelan itu menyentuhnya. Ia menghela nafas
pendek, “Baiklah. Tapi cuma sebentar ya? Kita harus sampai ke tujuan sebelum
malam.”
Aku mengangguk cepat menyetujuinya. Yang penting dia mau istirahat.
Lagipula, pemandangan di sekitar kami
benar-benar menakjubkan. Kiri kanan jalan
di apit oleh pepohonan karet dan pinus. Meski tak jauh di belakang pepohonan
itu, aku bisa melihat jurang yang menawarkan pemandangan di bawah kami. Dan
meski hari masih cukup sore, tapi di sini sudah agak temaram. Cahaya matahari
sedikit terhalang oleh pepohonan.
“Di depan sana ada belokan yang bersisian dengan jurang. Kita bisa melihat
pemandangan di bawah,” kata Soni.
Dan Soni benar. Tempat itu sangat menakjubkan. Sebuah belokan yang di satu
sisinya ada tebing, dan sisi lainnya jurang yang dengan jelasnya memperlihatkan
pemandangan alam di daerah bawah. Jurang itu di batasi dengan pagar beton
setinggi pinggang. Dan ada sedikit tanah lapang yang sepertinya memang di
peruntukkan bagi mobil-mobil yang berhenti.
Sepertinya tempat itu memang
menjadi lokasi untuk beristirahat. Sejenis rest area yang tidak resmi.
Begitu Soni menghentikan mobilnya, aku buru-buru keluar setelah menyambar
perbekalan dari kursi belakang. Segera saja aku mencari tempat yang paling enak
untuk duduk. Dengan menghadap pemandangan di bawah, aku merentangkan kedua
tangan dan menghirup udara yang terasa bersih dan segar dalam-dalam. Terasa
dingin didadaku. Mengingatkanku akan sejuknya udara di gunung Ijen waktu itu.
Dengan tertawa kecil aku melompat duduk di pagar beton itu.
Pemandangan perkampungan dan hutan di bawah sana kembali membuatku berdecak
kagum.
“Kamu sering mampir kesini?” tanyaku agak keras saat ku dengar langkah Soni
di belakangku.
“Aku jarang berhenti,” jawab Soni agak keras pula, meningkahi bunyi derum
beberapa kendaraan yang lewat.
Aku menoleh ke arahnya yang berdiri di sampingku dengan kaget, “Kamu sering
melewatkan pemandangan ini? Rugi bener!”
Soni tertawa mendengarnya. Tawa dan senyum lepas pertamanya sejak
kediamannya yang aneh. Dan dari jarak kami yang cukup dekat, aku baru menyadari
kalau dia memiliki sedikit lekukan pada bagian tengah garis bibir bawahnya.
Juga lekukan samar di bagian dagunya. Untuk sejenak aku diam mematung dan
memandangnya.
“Ada apa?” tanya Soni bingung dan menyentuh wajahnya dengan tangan kanan.
Aku cepat-cepet memalingkan muka. Setiap kali aku memperhatikan cowok ini,
selalu saja ada hal baru darinya yang ku temukan. Selalu ada hal-hal kecil
menakjubkan yang tak pernah ku sadari sebelumnya.
“TJ...?” panggil Soni lagi.
“Eng-enggak. Aku cuma baru tahu kalau ada sedikit lekukan di dagumu,”
kataku mencoba sedikit jujur seraya berharap dalam hati, semoga dia tak
menganggapnya aneh.
“Ehm? Masa sih?” tanyanya balik. Dan saat ku lirik, kulihat dia sedang meraba
dagunya, “Dan kau...............baru sadar sekarang? Setelah lama tahu aku?”
“Terlihat saat kau tertawa tadi. Kamu kan jarang banget tertawa,” selorohku
pelan, “Udah ah. Duduk sini dan makan!” kataku dan menepuk tempat di sebelah
kananku.
Kami makan bekal buatan Bi Atun sembari ngobrol ringan. Sedikit membahas
soal area di sekitar kami. Seperti yang Soni katakan, pemandangan malam di
tempat ini jauh lebih menakjubkan. Tak kalah menariknya dengan saat terang
begini. Meski gelap, tapi sinar lampu-lampu neon dari kota di bawah, terlihat
seperti bintang-bintang di langit malam. Seakan-akan karpet malam di hamparkan
di bawah kaki kita. Cara Soni bercerita membuatku jadi ingin melihat dan
membuktikannya.
Pembicaraan kami kemudian jadi sedikit terganggu ketika ada 2 mobil sedan
yang juga berhenti di dekat mobil kami. Beberapa orang cewek seumuran kami keluar
dengan berceloteh ringan. Yang sedikit membuatku tersenyum adalah saat Soni
hanya menoleh sekilas pada mereka dan melanjutkan kembali pembicaraan kami yang
sempat terputus tadi.
“Sebenernya kita mau kemana sih di Bogor? Ke rumah siapa?” tanyaku pada Soni
yang menenggak air mineral dengan tak acuh sementara beberapa cewek yang baru
datang tadi sepertinya sudah menyadari keberadaannya dan mulai heboh kasak
kusuk. Dari ujung mataku, aku bisa melihat antusias mereka. Dua orang di
antaranya malah terlihat jelas tengah melongo seakan-akan tak sadar ke arah
Soni.
Dia memang selalu menyebabkan efek seperti ini di mana-mana. Keberadaannya
terlalu mencolok untuk di lewatkan begitu saja.
“Bukan siapa-siapa. Ntar juga tau,” sahutnya singkat.
“Bener udah deket?’
“Iya. Letaknya sedikit ke atas sana dan......”
“Maaf...”
Sapaan yang terdengar dari arah belakang kami itu sedikit mengejutkan kami
berdua. Seorang cewek dengan rambut sebahu yang hitam, cantik dan berkulit
bersih, berdiri dengan senyum santai. Pakaian casual-nya terlihat begitu apik
dan pas membungkus tubuhnya. Dia memang benar-benar figur cewek masa kini.
Atraktif, modis dan penuh percaya diri. Dia bahkan tak berkedip ketika
memusatkan perhatiannya pada Soni. Tapi cowok itu cuek bebek dan diam tanpa
mengatakan apapun meski cewek tadi jelas-jelas memperhatikannya.
“Ada apa ya?” tanyaku pelan. Aku memutuskan untuk berinisiatif karena tahu
kalau Soni tak akan melakukan apa-apa.
“Gua ma temen-temen lagi santai nih. Mau gabung ga? Ntar kita mo nginep di
villa gue di atas sana. Kalau mau, kalian bisa gabung juga,” tawarnya santai.
Jelas sekali dia bukan tipe-tipe cewek yang mudah di tolak oleh orang lain.
Percaya dirinya benar-benar membuatku salut. Tapi sayangnya, kali ini dia
berhadapan dengan Soni.
Cowok itu dengan santai trurun dari pagar beton itu sembari menyambar kotak
makannya, “Sorry, tapi kita udah mau pergi. TJ?!” katanya datar dan melangkah
menuju mobil mendahuluiku.
Aku jadi gak tega ngeliat ekspresi di wajah cewek yang terpaku kaku di
depanku terlalu lama. Aku menggumamkan kata maaf singkat dan cepat-cepat
mengikuti Soni dan masuk ke dalam mobil, tak mengacuhkan temen-temen cewek tadi
yang mulai ribut. Soni segera saja menghidupkan mobil dan kami melaju,
meninggalkan mereka yang berdengung heboh.
“Apakah tadi itu tidak terlalu.................kasar?” tanyaku meski tak
bisa menahan senyum simpulku. Cowok satu ini
benar-benar tak tersentuh. Sumpah!
Aku jadi geli setengah mati mengingat ekspresi cewek tadi. Entah apa yang dia
rasakan. Kepercayaan dirinya yang kokoh telah tertampar keras tadi.
“You know me,” sahut Soni santai
tanpa beban.
“Apa kau selalu seperti itu pada semua orang?” tanyaku lagi. Soni tak
menjawabku. Dia hanya mengangkat bahunya dengan gerakan cuek. Aku jadi
menggelengkan kepala dengan reaksinya.
“Kita sampai,” kata Soni singkat setelah hampir satu jam kami melaju dalam
keheningan. Dia membelokkan mobilnya saat mendekati sebuah gerbang besi besar.
Aku membaca papan nama besar yang terpampang di atas gerbang besi itu.
Perkebunan teh Prabowo. Di bawahnya tertulis dengan jelas, milik pribadi. Di
larang masuk selain yang berkepentingan. Ada juga salinannya dalam bahasa inggris.
Private Property. No Trespassing!
Gerbang itu terbuka setelah Soni membunyikan klakson 3 kali. Mobil kembali
melaju, mengikuti jalan aspal yang berkelok membelah perkebunan teh. Sepanjang
mataku memandang, aku hanya melihat hamparan pohon teh. Ada juga beberapa pohon
tinggi besar yang tersebar di beberapa tempat.
Dan aku hanya mampu memandang semua itu dengan mulut ternganga. Aku sudah terpana sejak
membaca papan nama tadi.
“Ini semua................milikmu?” tanyaku tak percaya.
“Begitulah,” jawab Soni singkat.
Enteng banget dia
ngomongnya, gerundengku dalam hati. Ku lihat ada beberapa orang wanita yang berjalan melewati
kami dengan membawa semacam bakul besar seperti yang biasa ku lihat di
televisi. Wanita-wanita paroh baya yang memetik teh. Agak jauh di depan, aku
melihat sebuah bangunan besar yang jelas sekali pabriknya. Aku pikir Soni akan
kesana, tapi ternyata kami melewatinya.
Lalu ku lihat villa itu.
Sebuah villa besar yang berdiri di ketinggian bukit. Di kelilingi pepohonan
besar. Seperti sebuah benteng yang sengaja di sembunyikan. Bangunan bergaya
Eropah lama itu tampak nyaris mistis oleh warna putihnya yang terang. Setelah
dekat, aku bisa melihat gerbangnya yang terbuat dari besi tempah. Bangunan itu
sendiri di kelilingi oleh pepohonan yang sebagian besar terdiri dari pohon
buah-buahan yang ku kenal.
Pintu gerbang terbuka tanpa Soni harus membunyikan klakson. Sepertinya
kedatangan kami telah ditunggu. Soni langsung menuju garasi yang berada di
samping villa. Ku lihat ada 2 mobil jenis jeep berjajar di sana. Pria berusia
pertengahan limapuluh yang tadi membukakan pintu gerbang untuk kami, datang
menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh.
“Kamarnya sudah di siapin Mang Asep?” tanya Soni yang keluar dari mobil dan
langsung membuka bagasi.
“Sudah, Den. Iyah juga sudah nyiapin makan malam,” kata pria yang dipanggil
Mang Asep itu, seraya meraih dua kopor
Soni yang ada di dalamnya. Aku yang
melihat Mang Asep meraih ranselku, segera mendahuluinya.
“Biar saya saja, Pak,” kataku pelan.
“Ini temenku, TJ. Ini mang Asep. Dia dan istrinya, Bi Iyah yang mengurus
villa ini,” kata Soni menjelaskan, “Biar Mang Asep saja yang membawa ranselnya.
Kamu ga cape apa?”
“Panggil Mang Asep aja Den TJ. Sini, biar Mang bawain,” kata Mang Asep
ramah.
Aku yang terus terang tidak pernah tahu bagaimana rasanya mempunyai
pembokat, jelas aja gerah dengan sikapnya yang begitu hormat. Ngomongnya saja
pake agak-agak membungkuk gitu, “Gak papa Mang Asep. Bawa saja punya Soni.
Ransel saya enteng kok,” kataku lagi.
“Ya sudahlah. Ayo..” ajak Soni dan melangkah mendahuluiku
Dan saat aku memasuki villa itu, kembali aku dbuat berdecak oleh desain
interiornya. Interior bernuansa country itu di dominasi oleh perkakas yang
terbuat dari kayu dan batu-batuan alam. Lukisan yang tergantung juga bertema
tentang alam. Ada beberapa kepala hewan yang di awetkan tepajang. Di ruang
utama, aku lihat 2 gading besar yang jadi hiasan. Interior rumah ini
benar-benar di buat menyatu dengan alam.
“Kamu mandi dulu gih. Kamarmu ada di ujung lorong itu,” tunjuk Soni pada
koridor yang ada di ujung ruang utama.
Aku cuma mengangguk dan menurutinya. Kamar yang di sediakan untukku
berukuran 3 kali lebih luas dari kamarku di rumah. Dengan tempat tidur besar
yang jelas sekali terlihat empuknya, jendela-jendela besar yang memperlihatkan
pemandangan perkebunan, di hiasi gorden tebal bernuansa eropah yang tebal dan
indah. Lalu ada sebuah lemari besar yang saat ku buka telah berisi beberapa
baju tidur, jubah piyama, piyama mandi dan handuk, serta beberapa peralatan
dasar lainnya. Aku segera menata beberapa barangku yang tak seberapa.
Dan kamar mandinya........
Kamar mandi itu juga di design menyatu dengan alam sekitar. Bak mandinya
terbuat dari batu alam yang di haluskan. Ada pancuran di sampingnya. Dan pada
dinding yang juga di lapisi oleh bebatuan alam, ada semacam rak keramik dengan
peralatan mandi berjejer. Dari mulai sabun cair, shampoo, after shave, lotion,
sampai parfum. Dan semuanya produksi luar yang namanya meneriakkan kata mahal
dan mewah bagiku. Dua buah handuk besar
tersampir pada pegangan besi di dekatnya. Dan pada rak kedua, terdapat
peralatan lainnya, seperti shower puff, sikat gigi dan lain-lain.
Dan yang lebih menyenangkan, shower-nya memiliki pengatur panas. Bisa mandi
pake air hangat nih, pikirku girang dan segera meloloskan bajuku.
Rasanya aku sudah berada di kamar mandi selama 1 jam lebih. Betah banget.
Setelah berganti pakaian, aku keluar kamar dan mendapati suasana lengang.
Lampu-lampu sudah dinyalakan karena di luar, hari sudah gelap.
“Son.....?” panggilku pelan.
Tak ada jawaban. Jadi aku mengulangi panggilanku dengan sedikit keras.
“Disini..!”
Sahutan itu terdengar dari arah koridor yang berada di sebelah ruang utama.
Ku lihat Soni muncul dari balik pintu yang terbuka. Dan dia mengenakan piyama
yang di bungkus jubah tidur berwarna gelap. Dia memberi tanda padaku untuk
menyusulnya.
Semula aku pikir aku akan masuk ke kamar tidurnya. Ternyata ruangan di balik pintu itu lebih tepat di sebut ruang
kerja. Ada rak buku setinggi dinding
dengan penuh berisi berbagai macam buku yang menempel di kedua sisi kamar.
Sebuah meja kerja besar lengkap dengan perangkat komputernya ada di dekat
jendela. Lalu sebuah kursi kerja yang kelihatannya nyaman membelakanginya.
Seperangkat tv dan player terpasang di dinding di depannya. Aku juga melihat 2
lemari kabinet besar serta sebuah brankas yang menempel di dinding lain. Lalu
ada juga seperangkat meja kursi tamu di tengah ruangan yang mungkin dia gunakan
untuk rapat.
Sebuah ruang kerja yang nyaman dan cukup luas. Mungkin sebanding dengan 4
kali ruang tamu rumahku. Sebenernya orang
seperti apa sih manusia di depanku ini? Pikirku tak mengerti. Semakin aku
dekat dengannya, semakin banyak pertanyaan yang muncul. Benar-benar
membingungkan.
“Ngapain?” tanyaku pelan.
Soni yang sudah kembali duduk di kursi kerjanya hanya mengangkat bahu. Dia
tampak berkonsentrasi pada beberapa berkas yang di hadapinya. Dia membukanya
dan entah melakukan apa.
“Nothing...” jawabnya kemudian
setelah diam beberapa lama, “Cuma memeriksa beberapa hal. Ku kira kau sudah
tertidur tadi,” lanjutnya lagi.
“Aku agak susah tidur kalau di tempat asing,” kataku dan duduk di kursi
yang ada di tengah ruangan.
“Oh ya?” kata Soni yang mengangkat wajahnya. Satu alisnya terangkat.
Ekspresinya yang ingin tahu seperti itu terlihat sedikit aneh, mengingat dia
sedang memakai piyama tidur namun bersikap seakan-akan seorang pengusaha, sementara
dia hanyalah seorang murid kelas 3 SMA. Namun toh dia tampak terbiasa
dan........terkesan lebih dewasa dari biasanya.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatiannya.
“Nope, kamu santai saja. Nonton tv deh,” gumam Soni sambil menunjuk pada
beberapa remote yang ada di meja depanku.
Aku menurutinya. Tapi limabelas menit kemudian, mulai tak tahan, “Gimana
kalau aku bikinin kopi?” tanyaku akhirnya dan bangkit.
“Kau bisa?” tanya Soni tanpa mengangkat wajah dari berkasnya.
“Cuman kopi? Gampang.”
“Ok. Kita lihat saja bagaimana rasa kopi buatanmu nanti. Dapur ada di
ruangan paling belakang sana,” tunjuk Soni ke arah luar.
“Hah!! Just wait. Setelah ini,
kau akan terus memintaku untuk membuatkanmu kopi. Dan aku tak akan melakukannya
meski kau memohon,” kataku sembari menjulurkan lidah.
“Ok. We’ll see,” sahut Soni dan
tersenyum simpul, “Kau bisa mencari semua yang kau perlukan di kabinet-kabinet
yang ada di dapur. Semoga saja aku masih bisa hidup setelah meminumnya.”
Aku tak menjawab celaannya, tapi dengan menggerutu aku keluar. Dan sekali
lagi, aku menemukan dapur milik Soni beberapa kali lipat lebih gede
dibandingkan punyaku di rumah. Tentu saja dengan peralatan yang juga jauh lebih
lengkap, lebih mahal dan lebih tertata dengan rapi. Bi Iyah bekerja dengan efisien sepertinya.
Aku sudah pernah lihat bagaimana orang-orang elit makan dan minum. Juga
ribet dan banyaknya peralatan yang mereka gunakan. Tak heran juga kalau
peralatan Soni lebih dari punyaku di rumah. Aku menemukan peralatan minum
lengkap yang terbuat dari perak dan jelas mahal di salah satu kabinet yang
berada di bewah meja dapur. Dan juga satu set lagi yang terbuat dari keramik cina.
Aku memilih yang cina. Kopi dan yang lainnya ada di kabinet atas. Aku bahkan
menemukan hidangan makan malam yang
belum tersentuh buatan Bi Iyah. Setelah menghidupkan kompor dan ketel di
atasnya, aku kembali ke tempat Soni.
“Kamu udah makan?” tanyaku dari depan pintu.
“Belum,” jawab Soni tanpa mengangkat wajahnya, “Kamu aja duluan.”
“Aku bawa kesini aja ya? Kita makan bareng,” usulku, membuat Soni
menghentikan kegiatannya dan melihatku.
“Ok,” jawabnya singkat. Aku tersenyum mendengarnya. Aku akan memanaskan
sebentar makan malam tadi sembari menunggu air mendidih, pikirku. Sembari
bersenandung kecil, aku bekerja di dapur Soni. Tak ku sangka kalau melakukan
sesuatu di dapur bisa terasa menyenangkan seperti ini. Padahal biasanya aku
suka ngomel pada Bunda yang terkadang minta bantuan bila beliau kewalahan.
Itu karena kau melakukan dengan cinta.
Kesimpulan singkat yang berkelebat di benakku tadi membuat senandung
pelanku terhenti seketika. Aku menghela nafas panjang tanpa aku sadari. Aku
tahu bahwa berteman dengan Soni mungkin keputusan yang bodoh. Tapi bukankah ada
kemungkinan kalau aku akan jadi terbiasa dengan dirinya bila sering berdekatan?
Mungkin saja semua debaran aneh yang kurasakan bila di dekatnya akan hilang
suatu saat dengan seiringnya waktu?
Mungkin kan?
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Mencoba menepis semua pikiran ngaco
yang mulai terbentuk. Aku kembali menyibukkan diri dengan menyiapkan nampan dan
yang lainnya. Dan beberapa menit kemudian, aku sudah berada di depan ruang
kerja Soni, sementara tanganku memegang sebuah nampan besar yang penuh dengan
hidangan makan malam kami.
“Son?!! Aku gak bisa buka pintu,” kataku di depan pintu. Kedua tanganku
menahan nampan yang lumayan berat sehingga aku tak bisa membukanya. Tak ada
sahutan yang terdengar. Tapi beberapa saat kemudian pintu terbuka. Soni berdiri
di depan pintu dengan tatapan heran. Bukannya minggir, dia malah melipat kedua
tangannya di dada, membuat dada bidangnya tampak penuh. Sementara satu alisnya
terangkat.
“Apa kita akan berpesta?”
“Thanks atas bantuannya,” sahutku dengan nada sarkas yang tidak aku
sembunyikan, “BERAT NEEHHH!!!” sergahku
dongkol.
Soni tertawa kecil dan menyambut nampanku, “Kamu panasin juga nih?” tanya
Soni yang kemudian meletakkan nampan itu di meja.
“Iya. Tunggu bentar ya? Aku ambil kopinya,” kataku lagi dan nyelonong
pergi.
“Kita makan dulu,” ajak Soni yang menyambutku di depan pintu. Dia mengambil
alih nampan yang ku pegang, “Minum kopinya ntar aja.”
“Tuan rumah dulu dong,” kataku. Soni
tertawa kecil dan segera duduk di kursi untuk mulai makan. Aku menyusulnya.
Beberapa saat kemudian, aku dibuat berdecak oleh ayam panggang hasil olahan Bi
Iyah, “Enak banget masakan Bi Iyah!”
“Bi Iyah emang jago masak. Dia ahli dalam masakan tradisional.”
“Oh ya? Ntar aku mau nanya bumbu-bumbunya ah. Bunda pasti tertarik buat
mencoba. Cuma mereka berdua yang mengurus rumah ini?”
“Secara keseluruhan? Gak mungkin lah. Ada beberapa orang yang pekerja paruh
waktu yang membantu. Mang Asep dan Bi Iyah yang tinggal di rumah belakang buat
menjaga. Juga ada beberapa orang yang bertugas sebagai keamanan setiap
malamnya.”
Aku mengaggukkan kepala seakan-akan paham, meski sebenarnya seribu macam
pertanyaan kembali muncul dalam benakku,”Lalu............berkas-berkas yang
kamu kerjain tadi apaan? Laporan kegiatan perkebunan ini?” tanyaku, mencoba
terdengar santai, menutupi rasa ingin tahuku yang sudah membesar.
Ganti Soni yang mengangguk, “Begitulah,” imbuhnya.
Untuk sesaat aku bengong di buatnya, “Yang bener? Kamu udah ngerti
manajemen perkebunan seperti ini di usia sekarang? Kan masih SMA?” kejarku
lagi.
“Secara keseluruhan sih enggak,” jawab Soni dengan senyum simpulnya, “Aku cuma
tahu sedikit kok. Untuk pengelolaan dan manajemennya sendiri, aku punya tim
khusus yang ku bentuk untuk mengawasi kegiatan operasional dan juga tetek
bengeknya,” lanjutnya.
Gila!! Pikirku terperangah sendiri. Nih cowok bener-bener ngagetin.
Kehidupan dan pola pikirnya bener-bener udah laen dari anak-anak usia sekolah.
Aku saja sudah pusing tujuh keliling kalau di suruh jadi pengurus kelas.
Apalagi kalau anak buahnya macem Wina dan yang lain. Bikin stress dan
hipertensi. Tapi dia dengan begitu kalemnya mengatakan bahwa dia sudah bisa
menangani perkebunan seluas ini. Entah berapa orang yang bekerja di dalamnya.
“Gak takut ketipu, Son?”
“Selalu ada resiko untuk itu di semua bidang usaha kan? Tapi bukankah inti
dari di bentuknya sebuah usaha kan sama. Coba pikir, apa sih yang di cari oleh
sebuah badan usaha? Laba. Itu bukan? Nah, itu juga yang aku tuntut dari semua
pegawaiku. Aku tak mau melihat grafik yang menurun. Jika gagal, pihak yang bertanggung jawa akan
kehilangan pekerjaannya. Aku tinggal mencari pegawai baru yang lebih berambisi
dan tidak memiliki kata gagal dalam kamus kerjanya. Simple aja kan?”
“Tapi selain itu, bukankah ada banyak sekali yang harus di pikikan untuk
sebuah usaha perkebunan sebesar ini? Misalnya peralatan, kesejahteraan pegawai,
asuransi dan lainnya.”
“Untuk itulah aku membentuk tim pengawas agar semua lancar. Selama mereka
mau bekerja dengan baik, maka kesejahteraan mereka akan terjamin. Sekali lagi,
aku punya tim khusus untuk semuanya. Aku cuma mengeceknya seminggu sekali,
sebulan sekali atau kapanpun aku inginkan. Aku tak punya jadwal khusus. Lebih
sering mendadak. Karena dengan begitu, aku tahu akan totalitas dan kesiapan
kerja pegawaiku.”
Aku tersenyum kagum mendengarnya. Hal itu memang sederhana, namun tepat.
Kalau dia memiliki jadwal khusus yang sudah di prediksi, mungkin para
pegawainya hanya akan rajin bekerja saat dia akan datang saja. Tapi dengan jadwal
yang tidak pasti, mereka semua dibuat untuk selalu siap.
“Ok. Harus aku akui, itu hal yang sederhana tapi pintar dan juga hebat.
Jadi itu yang sedang kau lakukan sekarang?”
“Yep!” sahutnya singkat sambil nyengir.
“Lalu apa yang bisa aku bantu? Tapi terus terang, aku tak memiliki
pengetahuan apapun tentang perusahaan,” selorohku.
“You don’t have to do anything.
Temani saja aku.”
“Masa cuma nemenin doang tugasku? Aku kan juga pengen belajar dan
mengerti,” sungutku.
“Well..........kau bisa jadi asistenku. Bikinin kopi seperti ini atau
mungkin....” dia mengedarkan pandangannya, “.......atau mungkin merapikan
berkas-berkas yang sudah ku periksa. Kau bisa?”
“Tunjukkan padaku caranya, dan aku tak akan mengecewakanmu. Aku beresin
barang-barang kotor ini. Kamu sudah
selesai?”
“Yeah........... kau letakkan saja di belakang. Biar nanti Bi Iyah yang
cuci besok.”
“Okay! Oh ya, coba cicipi kopimu. Aku menunggu komentarmu.”
“Nanti.”
“Kamu pasti akan ketagihan!” tukasku penuh percaya diri dan ngeloyor pergi
diiringi oleh tawa kecilnya. Saat kembali, aku mendapati dia sudah duduk
kembali di kursi kerjanya, menghadap ke layar komputer dengan setumpuk laporan
di meja. Ketika melihatku masuk, dia mengangkat cangkir kopi yang di pegangnya.
“Harus aku akui, lumayan untuk seorang amatir.”
“Apa?”
“Hei, ini baru uji coba pertama,” tukasnya menggoda, membuatku yang
mendengarnya mengeluarkan suara geraman jengkel.
“Jadi apa yang bisa aku kerjakan?”
“Masih belum ada. Aku belum selesai dengan laporan-laporan ini. Kamu nonton
tv aja dulu. Biasanya HBO cukup lumayan bagus film-filmnya.”
“Kamu bisa pasang tv kabel disini?” tanyaku yang dijawab Soni dengan
anggukan. Tentu saja, pikirku. Dia memiliki perkebunan ini. Tentu tak akan jadi
masalah baginya untuk membayar tagihan pemasangan saluran tv kabel. Beda
denganku.
Aku kembali duduk di kursiku. Mencoba santai nonton karena sebenarnya aku masih agak capek
karena perjalanan kami tadi siang. Dan hanya sebentar kemudian, aku terlelap
begitu saja.
Entah sudah berapa lama aku terlelap. Saat mataku terbuka, aku baru sadar
kalau aku tertidur di kursi dengan posisi setengah terbaring. Sementara kakiku
lurus di atas meja, tubuhku sudah di selimuti oleh mantel tidur yang tadinya di
pakai Soni. Perlahan aku bangkit.
“Kau...............masih belum selesai?” tanyaku dengan suara sedikit serak
karena kantuk saat kulihat Soni masih duduk di
meja kerjanya. Aku memicingkan
mata, melirik ke arah jam besar di atas tv. 12 malam.
“Aku baru saja selesai. Apa aku membangunkanmu?” tanya Soni dengan nada
letih. Dia melihatku setelah mengucek matanya sebentar.
“Nggak kok. Kamu harus istirahat. Kamu kelihatan kecapekan banget. Biar aku
yang beresin. Apa yang harus aku lakukan dengan kertas-kertas itu?”
“Kumpulkan saja berkas-berkas ini berdasarkan jenis dan tanggal
transaksinya. Masukkan ke dalam document
keeper yang sudah di susun berdasarkan alphabet. Penjualan dan pemasukan
serta transaksi lainnya memiliki kode di pojok kanan atas. Kau akan mudah
menemukannya,” jelas Soni pelan.
“Baiklah. Nah sekarang...”
“Kita tidur,” potong Soni cepat dan bangkit, “Besok saja kau rapikan
berkas-berkasnya. Kau juga masih harus istirahat.”
“Tapi........”
“Besok. Ayo...........” kata Soni dan mematikan komputernya. Dia
mendahuluiku melangkah ke arah pintu. Aku hanya mampu menghela nafas dan
mengikutinya. Begitu aku keluar, Soni segera mematikan lampu dan menutup pintu
ruang kerjanya.
“Selamat tidur,” kataku pelan. Soni membalasnya dengan senyuman letih. Dia
melangkah ke arah yang berlawanan dengan kamarku. Aku hanya termangu menatapnya
pergi, menyisakan bau samar parfumnya yang biasa dan akrab dengan hidungku.
Meski beberapa detik kemudian aku baru sadar kalau bau itu juga tercium dari
jubah tidurnya yang masih ku pegang dan lupa ku kembalikan tadi.
Malam ini akan lebih sempurna jika dia juga mengucapkan selamat tidur dan
mengecup keningku, pikirku.
Tanpa sadar tubuhku menggigil oleh pemikiran yang barusan melintas. Aku
lalu melepas jubah tidur Soni dan mendekapnya. Menghirup sisa harum tubuh Soni
di sana.
Keharuman yang sering ku rindukan.