Translate

Rabu, 18 Mei 2016

THE MEMOIRS, a gay chronicle Bab 2

BAB 2



Aku baru sadar kalo aku ini idiot! Ini mimpi buruk! Bunda toloooongng!!! keluhku. Entah sudah berapa makian dan keluhan yang kuucapkan dalam hati. Tapi sayangnya, hal itu tidak membuat semuanya jadi lebih menyenangkan. Aku benar-benar menyesali keikutsertaanku di klub ini. Mulanya kupikir bakalan seru. Apa lagi dengan adanya Soni.

Tapi aku salah!!

Dari awal,segala sesuatunya menjadi mimpi buruk bagiku!

Di stasiun kereta,kita berlimabelas sudah jadi pusat perhatian. Dalam hiking kali ini,cuma 5 senior yang ikut. Andri, Adi, Soni, Endah dan Rasti. Entah sudah berapa pasang mata yang mengawasi gerombolan kami dengan curiga tadi. Grup kami memang tampak mencolok. Selain karena dandanan cuek,ransel gede yang kami bawa, juga karena ramenya kita semua. Berubung hampir semuanya sudah akrab dengan kegiatan begini, member baru dan yang lama, segera saja nyambung. Mereka langsung akrab dan bisa becanda gila-gilaan. Saling dorong, teriak dan bahkan uber-uberan. Mereka cuek aja dengan pandangan orang-orang di sekitar.

Rasti dan Endah, dua member cewek senior klub malah lebih gila lagi. Mereka dengan cuek pake t-shirt tipis dan celana pendek yang mungkin akan membuat sie agama OSIS kami berteriak kalap. Sementara yang lain, mengenakan kostum yang tak kalah gembel dan nyentrik. Si yoga malah dengan cueknya pake topi pantai dari jerami yang gedenya bisa saingan ama payung. Yang bikin aku heran, Soni dengan semua atribut kecuekannya, tetep aja terlihat bergaya. Dan dia juga masih  tetap  tidak mengacuhkanku.

SIALAN!

Kereta dari stasiun Gambir yang kami tumpangi, berhenti di Gubeng, Surabaya. Dari Surabaya,kami ke Banyuwangi naik kereta kelas  ekonomi yang berisiknya minta ampun. Aku yang hampir 24 jam tidak tidur sama sekali, makin stress karena kereta ini membuat kemungkinanku terlelap menjadi nol! Sebenarnya aku punya Oom yang tinggal di Banyuwangi. Tapi gak ada gunanya kan kalo aku menyebutnya? Dan didalam kereta ini,lagi-lagi kami jadi pusat perhatian.

Biasa! Manusia-manusia hutan kalo lagi ngumpul, ramenya bisa ngalahin pasar bebek. Maen gitar, bercanda, ketawa-ketawa ngakak dan lain sebagainya. Sementara Soni tetep aja pasang tampang kalem. Paling banter cuma mesem oleh polah gila teman-temannya.

Asli! Tuh cowok betah banget kalo disuruh tutup mulut. Melihatnya bener-bener bikin gemes. Dia tenang aja ngeliat tingkah polah temannya yang begajulan. Mulanya aku pikir ini adalah kesempatanku untuk bisa akrab dengannya. Tapi reaksinya bener-bener bikin aku jengkel mampus.

"Kakak udah dari kelas 1 gabung di klub?" tanyaku pas bangku disebelahnya kosong. Dan tanpa minta izin,aku main 
duduk aja disana. Agak grogi sih. Jantungku aja deg-degan karenanya.

Cowok itu cuma menoleh,menatapku sejenak lalu mengangguk. Setelah itu dia bangkit dan melangkah pergi. Entah kemana.

Aku bengong melongo!

Apa aku sudah melakukan kesalahan?!

Hal itu tidak cuma terjadi sekali. Tiap kali aku mencoba mendekati dan mengajaknya bicara, Soni cuma menjawab seperlunya lalu cepat-cepat pergi. Emang aku punya penyakit menular apa? pikirku jengkel. Atau mungkin bau badan? Perasaan enggak. Aku selalu pake deodorant kok. Aku suka wangi-wangian, dan paling gondok dengan orang yang bau badannya saingan sama jin.  Dan karena itu pula aku suka banget didekat Soni. Dia selalu harum. Aku tak tahu bagaimana dia melakukannya. Tapi dia selalu wangi . Selalu bau yang sama. Harum floral yang mengingatkanku akan bau pegunungan dan pinus. Aku sukamenghirupnya.
Tapi yah…. itu tadi!! Dia seperti tak tahan kalau berada didekatku. Kurang dari lima menit, dia akan pergi, pindah ke tempat lain.Dan lama-lama aku jadi jengkel.

Sialan!

Sok kecakepan banget sih dia. Emang sih cakep.Tapi itu kan gak berarti dia bisa memperlakukan aku ,seakan-akan aku ini sampah yang bau.Atau lebih parah…orang yang berpenyakit menular.

Aku memutuskan untuk mulai menjauhinya ketika kereta berhenti di stasiun Banyuwangi. Imej Soni kini tak lebih dari cowok cakep yang super sombong dimataku.

“Nah,dari sini, kita akan mencari kendaraan umum yang bisa membawa kita ke kaki gunung!Ayo!” kata Andri seraya beranjak. Kami segera meraih barang-barang kami dan mengikutinya. Tak berapa lama, setelah negoisasi ulet, Andri berhasil menyewa sebuah mobil pick up yang bersedia mengantar kami.

Diatas kendaraan, Andri briefing singkat.

Seperti yg sudah aku katakan, Gunung Ijen relatif aman. Gunung in, selain memiliki akses yang mudah dan aman, juga bebas dari hewan buas seperti serigala atau harimau. Selain itu paling-paling cuma ular doang yang harus kita waspadai. Gunung ini juga sangat mudah untuk didaki. Jalan-jalannya landai dan jelas. Mudah diikuti.Yang harus kita waspadai hanyalah kabut. Jika kabut datang, dan kita lengah, bisa-bisa terperosok kedalam jurang. Jadi….”

Aku sudah tak mendengarkannya ! Kami mulai memasuki daerah pegunungan. Udara yang tadinya panas, berubah menjadi sejuk sekarang. Aku memejamkan mata dan menghirupnya perlahan-lahan.

Segar !!

Well…. Ini pendakian pertama yang aku lakukan sepanjang hidupku ! Aku akan mencoba untuk menikmatinya. Dan… semoga saja aku mampu. Karena ini juga merupakan pembuktian akan eksistensiku sebagai cowok.
Semangat !



Mobil pick up itu menurunkan kami di kaki gunung yang masih masuk areal sebuah perkebunan. Entah apa namanya. Gumaman antusias terdengar saat kami mulai turun.

“Nah semua. Dari sini kita akan berjalan mengikuti jalan beraspal ini sampai ke pos pertama disini yang dikenal dengan 
Pal Duding. Yang harus kalian ketahui adalah,meski jalan ini beraspal,tapi jalanan ke atas sangat curam dan banyak sekali jurang di pinggirnya. Beberapa bagian jalan juga rusak dan cukup licin. Jadi meski sudah biasa dilewati, jalanan ini tetap berbahaya. Menanjak dan melelahkan,” jelas Andri.

“Kenapa kita gak nunggu truk belerang yang biasa naik sampai parkiran atas?” celetukku spontan. Hampir semua orang berpaling menatapku, terutama para senior yg terlihat keheranan. “Kenapa?” tanyaku bingung.

“Bagaimana kamu bisa  tahu?” tanya Andri.

“Pernah diliput di televisi kan?” tanyaku balik, “Lagipula, tak mungkin ada aspal tanpa ada kendaraan yang lewat.”

“Oh. . . .pikiran yg rasional. Tapi sayangnya, truk belerang itu tidak setiap hari lewat. Jadi untuk sementara ini, kita harus berjalan dan menikmati pemandangan,” ujar Andri tersenyum.

Satu jam kemudian, makian pertama ku umpatkan lirih. Dan beberapa menit  kemudian, aku sudah menyesali keberadaanku disini.

Jalan yg kami lalui benar-benar terjal. Satu kilometer yang ku tempuh disini, mungkin seimbang dengan 3 km berjalan di dataran landai. Belum lagi tas ransel gede yang harus kubawa. Aku benar-benar kelelahan. Sementara manusia-manusia hutan didepanku masih asyik berjalan sambil ngobrol. Soni berjalan didepan bersama dengan Andri. Sesekali menoleh ke belakang dan salingberbisik.

Secara naluriah, aku tahu kalau mereka sedang membicarakan ku. Persetan!! Aku memang luar biasa lelah. Tapi aku harus bisa melakukan ini. Masa bodoh dengan mereka. Terutama cowok sombong yang sok seleb itu. Tapi. . . . . ini kapan istirahatnyaaaaaaa??!!

“Guys, didepan ada dataran yang agak landai. Kita istirahat disana,” kata Andri keras.

Sontan aku mendongak.Yah. . . benar.Di depan sana ada sebidang tanah yang agak datar, di kelilingi oleh pepohonan besar. Mungkin bekas warung atau entah apa. Akhirnyaaaaaa. . . . .!! Aku bersorak dalam hati.

Dengan girang aku berlari kecil ke tempat itu. Saking terburu-buru nya aku tak melihat ada lubang kecil di jalan yang ada didepanku.Kakiku terperosok dan dengan sukses, aku terjerembab jatuh diiringi suara gedebukan keras.

BRUAAGHH!!!!

“I’M OKAY!!!!” kataku keras dengan tubuh masih tengkurap di tanah, “Sial!!” rutukku pelan dan mencoba bangkit. Namun aku jadi agak terpekik kecil saat aku melangkah ada satu sentakan nyeri di kaki kiriku.

“Kamu baik2 saja?” tanya Andri yg mendekat sementara lainnya tertawa geli.

Aku meringis kecil, “Sepertinya sedikit terkilir. Ga papa kok,” kataku cepat seraya melangkah agak terpincang-pincang menuju tempat istirahat itu. Begitu sampai, aku langsung meletakkan ranselku dan berbaring seraya mengerang lega. Agak sedikit mengernyit karena nyeri di kakiku.

Ya Tuhan!!nAku lelah sekali.

Aku hirup udara pegunungan yang segar dan bersih. Kupejamkan mata dan mengatur nafasku yang terengah-engah. Kuusap keringat yang menetes di wajahku dengan sapu tangan sembari memejamkan mata. Sebenernya, sedikit banyak aku sudah membayangkan, akan seperti apa kegiatan klub PA. Tapi pendakian ini benar-benar mendadak dan mengejutkanku. Aku belum siap baik secara mental ataupun fisik. Jadi..............rasanya cukup bisa diterima kalau aku kewalahan.

Tapi udara gunung ini benar-benar segar dan bersih!Saat mataku terpejam begini, baru kusadari ramainya alam yang semula kukira sepi disekililing kami.Dan betapa berbedanya udara disini dengan udara Jakarta. Aku bisa mendengar suara berbagai macam burung dan serangga di sekelilingku. Saat kubuka mata, aku bisa melihat mereka bergerak diantara pepohonan. Berkelebat cepat dan terlihat kabur. Sesekali suara tawa teman2 terdengar.

“Kecapekan?” tanya Andri yang tiba-tiba saja telah duduk disampingku. Aku tak mendengarnya mendekat tadi.
Aku memalingkan muka dan tersenyum. Kuterima botol air yang ia ulurkan padaku, “Lumayan Kak. Ini pertama kalinya aku naik gunung.”

“Yeah! Wajar saja kalau kamu kecapekan.Bagaimana? Masih tertarik atau. . . . ” dia menggantung kalimatnya.

Aku yg semula tiduran duduk, ”Akan kuberitahu kalau pendakian ini selesai,” kataku tersenyum. Dan baru aku sadari sekarang, kenapa Andri ditunjuk sebagai ketua. Cowok ini benar-benar berjiwa pemimpin. Dia tahu kalau aku perlu panduan dan dia melakukannya tanpa diminta,  "Sudah brp kali kakak melakukan pendakian?"

"Sebelumnya, panggil aku Andri saja. Panggil semua disini dengan nama saja. Kami lebih suka begitu untuk mempersempit celah. Disini kita semua sejajar. Dan jawaban untuk pertanyaanmu….. beberapa kali. 4 kali bareng Rasti en Indah. 2 kali bareng Adi. Dan 3 kali bareng Soni.

"3 kali? Bareng Soni?" tanyaku heran.

Andri mengangguk, "Soni sebenarnya tidak terlalu aktif dalam klub. Dia jarang bisa mengikuti kegiatan klub. Biasanya cuma membantu dalam tahap persiapan. Dan juga sangat support kami dari segi finansial. Banyak yang menyangka orang dengan penampilan elegan seperti dia, tak akan cocok dihutan. Tapi dia tangguh. Aku pernah melakukan sebuah pendakian dengannya, dimana semua anggota sudah hampir menyerah. Hanya dia yang terus bisa kuat dan memberi semangat pada kami yang kepayahan. Sampai akhirnya kami bisa menyelesaikan pendakian itu."

"Masa?!"

"Beneran!" kata Andri meyakinkan, "Dia kuat,tangguh dan tahu banyak tentang hutan dan pendakian. Juga bagaimana harus bertahan dalam keadaan terdesak. Berbeda dengan penampilannya yang cenderung aristokrat dan elegan itu."

"Maksud Andri, sombong?Arogan?!" kataku, mencoba memberi istilah yang lebih tepat.

Andri tersenyum mendengar nada kesal dalam suaraku, "Mungkin dia tertutup, pendiam dan kurang suka bergaul. Aku  yang 2 tahun berada di klub yang sama,belum bisa akrab dan memahami sifatnya. Tapi kalau arogan,sombong. . .?" Andri menggelengkan kepalanya,"Kurasa tidak. Dia baik. Selalu siap membantu saat kami memintanya. Tapi yaaaah. . . sifat tertutup dan pendiamnya kadang membuat orang salah sangka. Tapi sungguh. . .dia baik."

"Benarkah? Sepertinya agak sulit untuk dibuktikan,"selorohku tak percaya namun sopan.Andri tertawa kembali mendengar kalimatku.

"Suatu saat nanti, kau akan tahu. Bagaimana kakimu?"

"Sedikit nyeri. Tapi tak apa-apa kok. Permisi. Aku harus pergi sebentar. Panggilan alam," pamitku.
Andri hanya mengangguk mempersilahkan.

"TJ mau kemana?" teriak Sari,salah seorang teman junior di klub.

"Buang limbah! Ikut?!" balasku dan terus melangkah sedikit terpincang tanpa menoleh. Aku udah kebelet. Harus cepat-cepet cari tempat untuk buang air kecil. Tapi baru berjalan 10 m, aku sudah berhadapan dengan jurang. Muter aja deh, batinku dan melangkah kembali,sedikit memutar dari arah datangku tadi.

Akhirnya,setelah beberapa meter, aku menemukan tempat yang nyaman dan tersebunyi dari teman-temanku untuk menuntaskan hajat. Setelah selesai, aku segera kembali. Namun beberapa meter, sebelum mencapai tempat teman-teman tadi,aku terhenti. Tak jauh dariku,kulihat para senior sedang berunding.

"Ayolah An! Kau bisa liat sendiri bagaimana TJ," tukas Resti. "Semua anak-anak itu memenuhi syarat, kecuali dia. Dia hanya akan memperlambat kita! Iya ga Di?"

Adi mengangguk, "Kau yang bilang sendiri kalau pendakian ini juga jadi ajang seleksi anggota baru. Kita kurang dari separuh perjalanan, tapi aku bisa mengatakan kalau dia gagal. Dia akan menghambat teman-temannya yang lain."

"Dia sudah berusaha hingga kini teman2. Dia tidak menyulit- kan kita kan?" kata Andri.

"Belum Andri!" potong Endah. "Bukannya tidak. Belum."
Ada sakit hati yang kurasakan mendengar mereka. Sebagian besar dari yang mereka katakan tadi memang benar. Tapi tetap saja, ada sakit.

"Menurutmu Son?" tanya Andri lagi.Aku langsung kembali memasang telinga mendengarnya.

"Aku yakin dia tak akan sampai puncak. Disini bukan tempatnya. Dia hanya akan membuat kesulitan. Bagi klub,juga bagi dirinya sendiri."

Dia mengatakannya dengan nada datar,lugas dan hamper-hampir dingin. Begitu acuh.SIALAN!!!

Darahku menggelegak dengan cepat.Aku harus mengepalkan tanganku kuat-kuat untuk menahan marahku. Sakit hatiku hampir-hampir  tak tertahankan. Kata-kata Soni tadi membuat telingaku berdenging. Ingin sekali aku keluar dari persembunyianku dan mengkonfrontirnya. Anjrit! Sepertinya aku benar-benar salah mengagumi orang.Aku berbalik perlahan, menjauh. Memutar ke tempatku pergi td.Dadaku sesak,sementara mataku sedikit mengabur. Kugelengkan kepalaku kuat-kuat.

Enggak! Aku ga boleh nangis! Aku harus tunjukkan pada manusia sombong itu kalau aku bisa! Bahwa dia salah! Aku akan sampai dipuncak. HARUS!!

Setelah sedikit tenang,aku kembali ke tempatku tadi. Berbaring dan memejamkan mata. Mengumpulkan tenaga yang akan kuperlukan nanti.

"Semuanya! Kita lnjutkan perjalanan!" kata Andri sekitar setengah jam kemudian. Dia mendekat ke arahku yangtengah bersiap mengangkat ransel,"TJ,kau bisa?Gimana kakimu?"

Aku tersenyum tipis,"Aku nggak papa."

"Bener?" tanya Andri agak khawatir.

Aku menatap Andri sejenak,lalu mengerling tajam pada Soni yang berdiri seitar 6 meter dariku. Entah kebetulan atau tidak, dia juga melihatku. Kutatap dia dengan pandangan marah.Aku tak peduli kalau dia tahu aku membencinya. Masa Bodoh! "Nggak papa An. Aku akan berusaha untuk tidak membuat masalah bagi kalian!" kataku cukup keras sehingga yang lain bisa mendengar.

Andri akhirnya hanya mampu mengangkat bahu.

"Kakimu sakit?" tanya Sari yang mendekat dan berjalan disampingku.

Aku yang melangkah agak terpincang tersenyum,"Ga apa-apa Sar. Cuma terkilir sedikit. Ntar juga baik."
Sari hanya membalas senyumku. Kami mengobrol sepanjang perjalanan. Kebetulan sekali, aku memerlukannya untuk mengalihkan perhatianku. Karena kurang dari 5 menit kemudian kakiku mulai berdenyut sakit. Aku harus berusaha keras untuk menjejeri langkah Sari. Jalanan yang naik dan curam membuatku semakin payah. Tapi aku tak boleh kalah. Aku harus kuat. Aku gak boleh nyerah dan membiarkan cowok sialan itu menang.

"TJ,kakimu. . .?" Sari menggantung kalimatnya,menatapku yang mengernyit menahan sakit.Dia terlihat khawatir.
Sebelum aku menjawab, kalimatku terpotong oleh derum keras sebuah tru yang berjalan perlahan dari arah dibelakang kami.

"Truk pengangkut belerang. Mungkin kita bisa menumpang!" seru Andri gembira. Akhirnya kami menunggu truk itu di pinggir jalan. Aku melihat ada beberapa orang di bak truk, selain sopir dan keneknya yang menjulurkan kepala ingin tahu ke arah kami. Tak berapa lama kemudian, truk itu berhenti didepan kami dengan mesinnya yang menggerung,  menyala.

"Milu mendhuwur ta lare?"tanya si sopir.

Aku menoleh pada Andri yang bengong bego ga ngerti."Dia nanya apa kita mau ikut ke atas," jelasku,  membuat teman-teman yang lain kaget dan menolehku heran, " Inggih pak. Tumut!" jawabku.
(Iya pak. Ikut)

Sopir itu tersenyum padaku,"Munggaho wes!"
(naik deh!)

"Ayo naik!" ajakku pada yang lain dan mendahului mereka dengan langkah terpincang. Aku sudah hampir tak tahan oleh rasa sakit dikakiku.Saat hendak naik,aku baru sadar kalau teman-temanku yang lain masih bengong ditempa

."Kalian ngapain sih? Pak sopir tadi sudah mempersilahkan kita buat naik.Ayo!Tolong pak!" pintaku pada salah seorang bapak-bapak yang ada di dalam bak truk. Aku tak sanggup mengangkat tubuhku.

"Apuwo lek?" tanya lelaki separuh baya yang membantuku.(Knp nak?)

"Keseleo pak!! sahutku singkat sembari meringis saat aku telah duduk di dalam bak,lega bisa mengistirahatkan kakiku. Seperti truk-truk pengangkut lainnya,truk ini memiliki bau pekat belerang. Meski saat ini, aku tak perduli.Yang penting aku bisa istirahat dan kakiku tak perlu kesakitan lagi.

Sementara bapak itu terus berbicara dan memberi nasehat yang hanya mampu kuiyakan saja sembari nyengir kecut.Setelah semua anggota PA naik,truk pun bergerak. Andri yang terakhir naik langsung menghampiriku

"Kamu nggak pernah bilang kalo kamu bisa bahasa lokal disini?"tanyanya heran.

"Gak ada yg nanya kan?"sahutku sembari mengernyit saat truk terguncang keras. Andri hanya menggeleng oleh jawaban acuhku.

"Bagaimana kakimu?"tanyanya.


"Hanya sedikit bengkak. Jangan khawatir,"sahutku.

"Akan kita lihat nanti saat turun.Sepertinya bengkak dan parah."

"Aku nggak apa-apa!" kataku ngeyel.

"Yeah! Baiklah.Tapi akan tetap kita lihat nanti," tegas Andri. Jelas dia tak mau dibantah. Disaat seperti ini, jiwa kepemimpinannya keluar. Dan tentu saja, aku hanya mampu diam. Saat aku membuang pandanganku kedepan, kulihat Soni sedang memperhatikanku dengan tatapan heran. Aku balas menatapnya sengit. Marah akan kelemahanku yang pastinya telah membuktikan komentarnya tentangku tadi.

Setelah hampir satu jam berkendara, kami sampai di pos terakhir Gunung Ijen. Dari sini kendaraan tak bisa naik lagi. Perjalanan ke puncak jelas harus ditempuh dengan berjalan kaki. Hari sudah beranjak gelap saat kami sampai. Pak Sopir yang baik tadi mengatakan  bahwa besok, mereka baru turun gunung untuk mengangkut belerang. Disini ada 2 buah warung kecil yang menjual beberapa keperluan dasar, dan sebuah pondok kayu besar yang biasanya digunakan para penambang belerang untuk beristirahat dan menaruh hasil tambang mereka. Tak jauh dari sana ada sebuah rumah kayu yg memiliki semacam pendopo besar yang bisa menampung sekitar 20 orang. Pak Sopir bilang dulunya itu kantor milik pemerintah yang sekarang terlantar.

Mereka bilang kami bisa tinggal disana, dan melanjutkan berjalan kaki ke puncak malam nanti bersama para penambang.

Andri membantuku turun dan mendampingiku saat kami menuju rumah itu. Saat kami masuk, rumah itu sepenuhnya kosong. Tapi didepan rumah kami menemukan sisa-sisa kayu bakar dan arang yang lumayan baru.

"Ok. Kita bagi tugas," kata Andri cepat, "Seperti info yg kita dapat tadi, kita beristirahat disini. Perjalanan ke puncak akan kita tempuh tengah malam nanti. Kita bisa mencapai puncak sekitar subuh. Dan kalau kita beruntung dan cuaca cerah, kita akan bisa melihat matahari terbit besok. Jadi gunakan waktu istirahat sebaik mungkin. Sementara itu kita harus memasak dan mencari kayu bakar. Andri, kamu bawa Rico, Ari, Pras dan Aldo untuk cari kayu bakar."

Yang ditunjuk tak berkata apa-apa lagi. Mereka segera beranjak pergi.

"Endah, Sari, Rini dan Asti, kalian siapkan makanan. Soni bantu aku. Sepertinya TJ butuh perawatan. Rasti keluarkan kotak P3K-nya. Cepat!"

Aku yang sudah duduk bersandar pada tiang agak beringsut saat Andri dan Soni mendekat dan jongkok didepanku. Mereka memeriksa kakiku yang kuluruskan.

"Aku harus melepas sepatunya. Mungkin agak sakit. Tahan," kata Soni datar membuatku mulai meradang oleh kecuekannya.

"Gak usah. Kakiku nggak apa-apa!" sahutku cepat agak ketus dan menarik kakiku. Namun aku langsung terpekik pelan saat rasa nyeri menyerang dan langsung merambat kesekujur tubuhku, memaksaku untuk menggigit bibir kesakitan. Keringat dinginku mulai keluar tak terkendali.

"Sebaiknya kamu menurut TJ. Soni ahli dalam hal ini, dan dia tahu harus bertindak apa. Dia dokter dalam klub ini," kata Andri menenangkan dan membantu Rasti mengeluarkan obat-obatan.

Aku melihatnya dengan pandangan agak kesal, "Seperti yang ku bilang, ini hanya terkilir sedikit. Jangan khawatir. Aku tak akan membuat kesulitan untuk kalian dan. . . AAWWWW!!!" Aku terpekik kaget saat kurasakan ada sentakan di kaki kiriku membuat kakiku yang sudah berdenyut sakit sedari tadi, jadi luar biasa nyeri. Aku melotot marah pada Soni yang telah mencopot sepatuku tanpa kusadari.

Kunyuk satu itu tampak tak terpengaruh dan bahkan tidak melihatku. Dia hanya diam dengan perhatian terpusat pada kakiku.

"Apa kau tak bisa melakukannya dengan perlahan?!" tanyaku sengit sementara nafakus mulai memburu karena rasa sakit dan kaget.

"Mungkin kita harus memberinya obat penenang dan penahan nyeri sekaligus An," katanya acuh tanpa menoleh padaku.

Ya Tuhan! Kenapa makhluk seperti ini bisa ada?! Terbuat dari apa sih hati dan perasaannya?! pikirku gemas, "Apa aku juga perlu obat bius? Chloroform mungkin?" tanyaku menantang.

Masih gak ngaruh. Kali ini dia melepas kaos kakiku dengan lebih perlahan. Aku semula sudah hendak kembali menyerang Soni jadi urung saat melihatnya. Kakiku terlihat bengkak, lebam kebiruan dan bentuknya jadi sedikit aneh.

"Ya ampuuuun! TJ, gimana tadi kamu masih bisa jalan dengan kaki seperti itu?" desis Rasti agak ngeri.

"Dislokasi?" tanya Andri pada Soni.

"Mungkin," jawab Soni muram. "Kamu bawa paracetamol kan?" tanya Soni menoleh ke Rasti.

"Tentu saja!" jawab Rasti megangguk, "Ayo Tj,minum ini dulu," kata Rasti dan meyodorkan 3 butir obat padaku. Aku yang mulai dirambati rasa cemas dan takut segera meminum obat yang dia berikan.

"Kalian pegangi dia," kata Soni kemudian, membuatku bingung.

"Apa?! Pegangi?! Apa yg mau kau lakukan?!!" tanyaku sedikit panik saat Andri dan Rasti mendekat kesampingku.

"Tenang saja. Jangan bergerak TJ. Mungkin ini akan terasa agak sakit, ok?" bujuk Andri.

"Apa? AAAAAKKHH!!!" aku terjingkat saat Soni mengurut kakiku yang bengkak kebiruan. "HEI,APA YANG KAU.   . .  AAAAWWW!!!!!" aku sudah hendak berontak, tapi Andri dan Rasti segera memegangiku dengan kuat.

"Tahan Tj. Tidak akan lama!" kata Andri lagi, mencoba menenangkan, "Ini, gigit sapu tangan ini untuk menahan sakit!" katanya.

Aku tak punya pilihan! Aku menggigit sapu tangan Andri kuat-kuat untuk menahan sakit dan memejamkan mata rapat. Benar-benarsakit! Ngilu yang terasa disekujur tubuhku. Seakan-akan aku sedang dipukuli oleh beberapa orang secara bersamaan. Rasa nyerinya terasa disekujur tubuh. Hingga akhirnya, ada sebuah sentakan keras dengan nyeri luar biasa, yang tidak hanya membuatku menjerit, tapi juga membuatku tenggelam dalam kegelapan. Semua menjadi tak terlihat.