Translate

Jumat, 15 November 2013

SEBUAH EPISODE BERSAMA SI CADEL



"Lu suka banget menyiksa diri!"
Komentar yang sedikit pedas itu diucapkan oleh Ilung, sahabatku. Aku hanya memandangnya tanpa menyembunyikan senyum getirku. Dia orang yang boleh dibilang tahu segalanya tentangku. Apa yang kurasakan, ku alami ataupun inginkan. Hampir tak ada rahasia kami. Persahabatan kami sudah berada pada fase dimana kami saling menganggap masing-masing dari kami adalah keluarga. Karena itu, kami juga tak segan mengungkapankan opini kami secara langsung.
"Sampe kapan lu mau berakting gitu? Gua kira bakat lu cuma nulis fiksi doang. Ga nyangka lu pinter akting juga. Ada audisi buat iklan obat panu di deket Tunjungan Plaza. Ga mau ikut?" cetusnya lagi tanpa menyembunyikan nada sarkasnya.
"Gue........... harus melakukannya!" kataku.
"Harus?" ulang Ilung dengan nada sopan, namun toh pedas.
"Gua tahu lu nganggep gua bodoh. Tapi gua ga bisa Lung........."
"Apa yang lu harap Jay? Dia udah mutusin elu. Berbulan-bulan yang lalu. Dengan jelas dia udah ngomong kalo dia ga bisa jalan ma lu. Dengan jelas pula dia udah nunjukin kalo dia lagi pdkt ma seorang cewek. Yang artinya, lo keluar dari fokus dia. Kenapa lo masih menyiksa diri dengan terus berada di sampingnya?"
"Lo pernah jatuh cinta kan?"
"Gue.........."
Kali ini Ilung tak bisa berkomentar. Karena dia tahu, cinta memang bisa mempersulit hal yang sebenarnya mudah. Aku hanya tersenyum dan memandang sosok Miswant yang semakin tampak jauh, melaju di atas motornya.
"Kebahagiaan dia jauh lebih penting dari rasa sakit yang gue rasakan," kataku kemudian pelan.
Tak ada sahutan dari Ilung. Tapi aku bisa mendengarnya menarik nafas panjang.


Beberapa bulan kemarin, Miswant memang berstatus sebagai pacarku. Yup!! Kami berdua gay. Setidaknya aku kira begitu. Proses jadian kami lebih dibilang hanya main-main. Status jomblo sudah ku sandang selama belasan tahun. Bukan karena nggak laku sih (Hey!! Itu fakta! Gue serius!!). Tapi lebih karena belum ada yang bisa membuatku merasakan cinta seperti yang aku rasakan saat aku pacaran dengan Hans. Mantan pertamaku. Orang yang bukan hanya menjadi cinta pertamaku, namun juga menjadi orang yang mengenalkanku pada dunia abu-abu.
Aku tumbuh dalam lingkungan biasa dimana saat aku masih kecil, sudah sepatutnya seorang laki-laki, jatuh cinta dan berpacaran dengan wanita. Tapi kemudian Hans muncul dalam kehidupanku saat aku menginjak masa balig. Masa dimana aku mulai membutuhkkan perhatian lebih dari seseorang yang khusus. Tak ada insiden khusus yang akhirnya membuat kami saling menyukai. Semua terjadi secara alami dan dengan sendirinya. Aku dan Hans adalah sepasang teman satu kampung. Mulanya hanya teman biasa seperti mereka yang lain di kampung kami. Kedekatan kami menjadi lebih intens saat kami besar. Entah bagaimana permulaannya, kami menjadi saling tergantung satu sama lain. Semua yang aku lakukan harus melibatkan Hans. Begitu juga sebaliknya. Kami semakin membutuhkan kehadiran lebih dari masing-masing kami. Membutuhkan perhatian yang lebih khusus daripada teman kami yang lain. Kebetulan aku membentuk sebuah band dengan beberapa orang teman. Hans yang meski tak memiliki bakat musik, tentu saja ikut gabung bareng bandku. Sejenis groupies yang kehadirannya banyak membantu. Dan bahkan pada saat itu, kami bersikap lebih dekat dibandingkan dengan anggota Band yang lain. Tak canggung untuk saling memegang, saling suap makanan dan terkadang memeluk.
Tak ada anggota bandku yang menganggap perlakuan kami aneh. Karena bahkan kami sendiripun tak merasa lain pada awalnya. Tak ada sedikitpun terbersit dalam benak kami kalau apa yang aku miliki bersama Hans memiliki makna lain. Kami semua bahkan sudah terbiasa mandi telanjang bareng di kali gede yang ada dikampung kami. Tak ada perasaan lain selain pertemanan.
Hingga suatu malam, ketika Hans menginap di rumahku, kami melakukan sesuatu yang melewati batas seorang teman. Rabaan-rabaan akrab kami menjadi berselimut birahi dan akhirnya masing-masing dari kami mencari pelepasan hasrat dengan naluri kami yang polos dan berdasarkan insting primitif kami. Pagi harinya, pertemanan yang kami miliki telah berubah menjadi sebuah ikatan antara sepasang anak manusia.
Hubungan kami bertahan selama setahun sebelum Hans mulai resah. Dia mulai mempertanyakan orientasinya. Mempertanyakan masa depannya. Mempertanyakan kenormalan hubungan yang kami miliki. Akhirnya, setelah 2 bulan ketegangan, Hans memutuskan untuk menjauh dan melepasku. Aku tentu saja berusaha meraihnya kembali. Karena apa yang kumiliki bersama Hans adalah hal yang terpenting saat itu. Hans mengajarkanku cinta. Mengajarkanku bagimana menyayangi seseorang. Mengajarkanku berbagi dengan seseorang yang spesial. Dia memberiku cinta dalam artian yang sebenarnya. Aku belum siap kehilangan ciuman selamat pagi yang rutin dia berikan di keningku saat fajar datang, dan dia harus menyelinap keluar dari kamarku agar tak dilihat anggota keluargaku. Aku tak rela kehilangan kenyamanan yang kurasakan saat kami berbaring bersama di kasurnya, dengan kepalaku yang bersandar di dadanya. Saat dia membelai rambutku. Membiarkanku bermain dengan puting dadanya atau pusarnya. Mendengar detak jantungnya. Aku tak rela kehilangan perasaan damai yang kurasakan saat kedua tangan kami saling menggenggam di bawah meja, agar tak ada teman kami yang melihatnya. Aku belum siap kehilangan semua itu.
Tapi Hans berada pada masa kritis dimana dia mempertanyakan jati dirinya. Dan kami begitu muda untuk memahami lebih dalam tentang apa yang kami miliki. Hingga kemudian Hans benar-benar memutuskan ikatan denganku. Dia menjauhiku. Dan menjalin hubungan dengan seorang cewek. Menunjukkan pada semua orng bahwa dia memiliki seorang cewek sebagai pacar. Meninggalkanku yang tenggelam dalam kebingunganku.
Bingung akan perasasanku padanya. Bingung akan rasa terikat yang kurasakan padanya. Bingung akan cinta yang kurasakan padanya. Meski fakta bahwa kami sama-sama lelaki.
Hingga kemudian Hans bertunangan dengan cewek itu!
Pukulan yang benar-benar membuatku tertampar. Membuatku semakin merasa tersingkir dan............ abnormal.
Dari sana aku mencoba untuk memahami semuanya. Aku banyak membaca buku, mencari di internet dan bertanya pada beberapa orang yang jelas-jelas gay. Mereka yang termaginalkan dalam lingkungan sosial kami dan mendapat predikat banci.  Tentu saja aku juga menjaga jarak dengan mereka. Menunjukkan pada mereka bahwa aku tidak memiliki maksud lain dan hanya berteman dalam tingkatan yang wajar. Tapi aku memperhatikan, menyerap dan belajar tentang semuanya. Sesekali mencoba bertanya sembari berusaha hanya terlihat ingin tahu. Tak ada seorangpun yang tahu kalau aku memiliki kecenderungan tertarik pada sesama sampai kemudian Ilung hadir.
Begitu melihatnya, aku sudah bisa tahu kalau dia memiliki bakat gay. Sikapnya, cara dia berbicara dan gerak tubuhnya. Hanya saja, reaksi pertamaku adalah iba. Dia terlihat seperti seorang pemuda pendiam yang memiliki dunia sendiri. Tertutup dan kadang sedikit tertekan. Aku yang dikenal supel bisa mendekatinya dengan mudah. Dan hanya dalam hitungan bulan, aku bisa tahu sisi terdalam Ilung yang coba dia sembunyikan dari mata semua orang. Dan untuk pertama kalinya aku membuka diri. Mengungkapkan pada Ilung, apa yang sebenarnya kurasakan.
Tak ada tendensi lain selain persahabatan yang kami miliki.
Bersama kami berusaha memahami apa yang kami rasakan. Ku ceritakan apa yang yang aku alami bersama Hans yang jelas membuatnya kaget karena tak sekalipun dia menyangkanya. Ilung bahkan dengan santainya mengatakan kalau dia dulu juga menganggap Hans sebagai cowok cakep.
Dengan Ilung aku bersama-sama mencoba mencari perdamaian dengan diri kami. Mencoba menerima fakta bahwa kami gay. Kami memiliki ketertarikan pada cowok juga. Saling mendukung saat kami berada dalam tingkat emosi yang rendah. Dan saling mengingatkan saat diperlukan. Bersama kami berusaha memahami pergolakan batin kami. Perang antara apa yang kami rasakan, apa yang kami butuhkan, dengan apa yang telah diajarkan pada kami. Perdebatan antara apa yang masyarakat sebut dengan kenormalan, dan apa yang kami rasakan.
Membutuhkan waktu hampir dua tahun bagiku untuk akhirnya bisa menerima kepergian Hans dan menerima fakta bahwa aku memiliki kecenderungan menjadi gay. Dan setelah aku bisa lepas dari bayangannya, aku berusaha membuka diri. Mencari tahu keberadaan orang-orang sepertiku diluar sana. Hingga aku menemukan sebuah forum gay di internet. Disini aku menemukan banyak wacana yang bermanfaat dan memperluas pemahamanku. Saat itulah aku tahu, aku tak sendiri. Banyak mereka yang memiliki dan merasakan apa yang telah ku alami. Disini pula aku menyalurkan hobi menulisku. Aku yang senang menuangkan apa yang kurasakan ke dalam sebuah cerita fiksi menemukan wadah untuk berkreasi. Dan ternyata mendapat sambutan yang cukup baik. Aku menemukan banyak teman baru, meski kami hanya berkomunikasi lewat dunia maya.
Hingga kemudian aku mengenal Miswant.
Dia salah satu pembacaku. Dan yang membuatku terkesan adalah kemampuan dia membuat gambar kartun. Dia memiliki bakat membuat sketsa. Setelah percakapan yang sederhana, kami kemudian saling bertukar nomor. Yang menyenangkan, kami tinggal dalam provinsi yang sama.
Hubungan kami berkembang dengan sendirinya. Hingga kemudian kami bertemu karena pada akhirnya aku dan Ilung memutuskan merantau ke kota Surabaya. Tempat dimana Miswant tinggal. Hubungan kamipun menjadi intens. Hingga kemudian aku, entah karena alasan apa, meminta Miswant untuk menembakku. Miswant anak pemalu yang belum pernah berpacaran dengan sesama cowok. Dia memang mengakui ketertarikannya pada sesama jenis. Tapi tidak pernah sekalipun dia mengambil tindakan yang terlalu jauh. Dia masih memiliki perdebatan dalam dirinya sendiri. Sama sepertiku, meski secara pengalaman, aku sudah mendapatkannya dari Hans.
Singkat kata dia menembakku, dan kami jadian. Tanggal 12 Desember 2012, jam 12 malam lebih sedikit. Yeah............. aku memiliki ide konyol dengan menginginkan seorang pacar pada tanggal dan jam itu. Tak ada yang serius dalam komitmen kami. Kami berdua boleh dibilang asing, karena hubungan kami tidak pernah begitu mendalam. Kami hanya mengenal masing-masing dari kami dari penampilan luar. Hanya hal yang kami tunjukkan. Kami tak tahu apapun tentang latar belakang kami, keluarga kami ataupun segala sesuatu yang mendasar. Intinya, hanya sebuah casual relationship yang bagiku sedikit sekali maknanya.
Tapi ternyata itu menjadi bumerang bagiku!!
Selain bakat melukisnya, Miswant adalah sosok ngocol yang kadang membuatku gemas. Dia bisa mengeluarkan celetukan-celetukan nyeleneh yang membuatku ingin mencekiknya karena kesal. Dia juga memiliki lesung pipit di pipinya yang sedikit tembem. Dan yang paling ku sukai adalah, dia cadel. Dia kesulitan dalam melafalkan huruf R dengan benar. Dan aku menyukainya. Dan tanpa ku sadari, dia merambat masuk ke dalam hatiku yang bertahun-tahun kosong setelah kepergian Hans.
Kesadaranku muncul ketika suatu saat dia menghilang tanpa kabar selama seminggu. Tak ada sms, ataupun telepon. Tentu saja aku cemas.  Semua sms yang ku kirim tak terbalas. Teleponku pun tak terjawab. Dan tidurkupun mulai terganggu. Dalam beberapa malam aku bisa terjaga hingga menjelang subuh memikirkannya.
Pada saat dia meneleponku, akupun meledak!
"Lu apa-apaan sih? Kenapa lu ngilang gitu aja? Lu ga tau kalo gua cemas apa?! Hampir tiap malam gua gak bisa tidur gegara bingung mikir lu dimana. Lu kenapa. Dan..........."
"Ibuku sakit," hanya itu penjelasan yang keluar dari mulutnya. Kalimatnya pelan, namun terdengar begitu jelas di telingaku.
Amarahku menguap dalam hitungan detik saat dia berdiri didepanku dengan wajah tertunduk. Ekspresi sedih di wajahnya membuatku hampir-hampir tak bisa menahan diri. Kami berada di pantai Kenjeran. Meski agak menjauh dari keramaian, orang-orang masih bisa melihat dan memandang dengan aneh kalau aku memeluknya. Jadi aku berdiri diam didepannya dengan kedua tangan terkepal. Miswant mengangkat wajahnya dan menyunggingkan sebuah senyum sedih.
"Bagaimana keadaan beliau?" tanyaku akhirnya.
"Sudah mending. Aku.............. mudik seminggu kemarin," jelasnya, kembali dengan nada pelan yang sama.
Bagaimana aku bisa marah padanya dalam keadaan begini? Pada akhirnya kami mencari tempat duduk dan mengobrol sembari memandang riak lautan didepan kami. Miswant menceritakan kondisi keluarganya. tentang Ibunya yang sakit dan adiknya yang masih sekolah. Miswant yang membiayai keperluan adiknya itu. Aku hanya mendengarkan disebelahnya. Mencoba menunjukkan dukungan lewat kehadiranku.
"Jangan menghilang lagi ya?" pintaku kemudian.
Miswant memandangku dan menganggukkan kepala. Sepertinya dia masih belum ingin terlalu banyak bicara. Tak ada celetukan-celetukan konyol yang biasanya dia keluarkan. Bahkan lesung pipitnya pun lebih banyak bersembunyi hari ini.
"Aku ingin kita mengenal lebih dalam," kataku lagi, setelah tahu dia tak akan mengatakan apapun lagi. Kalimatku membuatnya memandangku dengan sorot tanya. Aku tersenyum, "Aku tahu kita membangun sebuah hubungan berdasarkan sebuah landasan yang abstrak. Kita tak mengenal masing-masing secara mendalam. Tapi aku ingin mengenalmu. Memahamimu. Bisa membantuku?"
Miswant hanya mengangkat bahunya.
Aku menghela nafas, "Aku tahu mungkin ini bukan saat yang tepat. Tapi aku ingin mencobanya. Setelah kau menghilang beberapa hari belakangan, aku mulai menyadari kalau aku menyukaimu. Benar-benar menyukaimu,"  kataku jujur.
Hal itu bukan saja mengagetkan Miswant, tapi juga aku. Aku bukan golongan orang yang dengan gampang mengatakan apa yang kurasakan. Aku lebih banyak mendengar dan memperhatikan. Terkadang membagi sedikit apa yang ku miliki pada beberapa orang untuk meminta informasi atau penjelasan dari mereka. Tapi itupun biasanya hanya mengenai apa yangg pernah ku alami dan rasakan di masa lalu. Tak pernah aku mengatakan apa yang kurasakan saat itu. Tapi dengan Miswant........... aku ingin memberitahukan semuanya.
"Aku tahu ini gila! Percaya deh. Aku juga gak pernah nyangka kalau aku akan melakukan ini. Tapi aku ingin kau tahu, aku benar-benar menyukaimu. Kau orang pertama yang bisa membuatku sulit tidur selama beberapa malam sejak aku lepas dari Hans. Dan itu telah bertahun-tahun yang lalu. Kau orang pertama yang membuatku merasakan ini."
Lesung pipit itu muncul saat dia tersenyum, "Masa?"
Aku menggeram melihat ekspresi geli di wajahnya, "Ya! Dan aku ingin tahu, apa yang kau lakukan sehingga aku seperti ini?!!" tanyaku tajam.
Pertanyaanku itu membuat senyumnya menghilang, "A-apa?!!!" tanya dia kaget bercampur gugup.
"Apa yang kau miliki sampai-sampai aku kelimpungan gini hah?!!" tanyaku lagi, masih dengan menatap langsung ke bola matanya, "Katakan apa yang sudah kau lakukan?! Tak mungkin aku bisa kebingungan seperti ini hanya gara-gara orang sepertimu. Aku sudah didekati oleh seorang mantan model, pengusaha dan bahkan seorang seleb dari Jakarta. Tapi tak ada satupun dari mereka yang membuatku kebingungan seperti ini. Hanya kamu. Pasti kau memiliki sesuatu. Susuk? Dukun mana?"
Mulut Miswant terbuka tanpa suara. Matanya yang membelalak menyiratkan kekagetan yang luar biasa. Dia menggeleng kuat-kuat, "Eng-enggak ada. Ak-aku ga-gak pernah begitu," katanya tergagap-gagap dengan wajah yang mulai sedikit memucat.
"Bohong!!! Katakan apa yang kau miliki? Susuk apa?"
"Aku nggak punya apa-apa. Sumpah!!" ujarnya dengan wajah memelas.
Aku tak bisa menahan diri. Akupun tertawa terbahak-bahak. Geli oleh reaksinya. Miswant yang akhirnya sadar kalo sedang ku kerjai hanya mampu ngedumel pelan.
"Seleb ya? Siapa?' tanya Miswant setelah aku bisa menguasai diri.
Aku mengibaskan tangan, "Ada lah. Aku gak bisa bilang. Ada perjanjian tak tertulis diantara kami. Tapi itu gak penting. Aku nggak tertarik," kataku santai.
"Kenapa?"
Aku tersenyum, "Karena dia nggak bisa bikin aku merasakan apa yang aku rasakan sekarang," jawabku pelan.
Miswant tertegun sejenak, tapi kemudian balas tersenyum.
"Jangan menghilang lagi ya?" pintaku, "Andai diibaratkan, kita berdua baru saja menanam pohon. Pohon itu perlu disiram, di pupuk dan diperhatikan agar bisa tumbuh dengan sehat. Kalau kita tidak merawatnya, pohon itu tentu saja akan mati."
"Akan ku coba," kata Miswant dan menggenggam tanganku sekilas dan kemudian melepasnya. Tak ingin menjadi perhatian orang-orang yang ada di sekitar kami, "Tapi menurutmu................. akan sampai mana hubungan yang kita miliki?" tanya Miswant dengan mata yang terarah lurus ke depan.
Aku menghela nafas. Aku sudah sering membahas hal itu dengan beberapa teman yang ada di forum, "Aku tahu tak ada yang namanya 'bahagia selamanya' bagi hubungan seperti ini. Happily ever after tak ada dalam hubungan seperti yang kita miliki. Pada suatu titik, kita pasti akan berpisah. Entah karena apa yang kita miliki telah hilang, atau karena sebuah pernikahan. Kita hidup di Indonesia. Suatu saat, hal itu pasti terjadi," kataku pelan dengan tenggorokan yang tiba-tiba saja tercekat.       
"Menikah?" gumam Miswant pelan.
"Kau tak pernah memikirkannya?" tanyaku tanpa menyembunyikan kegetiran yang kurasakan, "Keluargamu pasti akan bertanya suatu saat. Dan sebesar apapun rasa sayang yang dimiliki oleh orang-orang seperti kita, tak akan ada istilah pernikahan bagi mereka disini kan? Kalaupun ada yang nekat, mereka harus keluar dari negara ini. Itu fakta. Jadi................ yeah! Aku tahu, pada suatu saat, di suatu titik, kita akan................. berpisah."
Bahkan saat aku menyadari fakta itu, aku tak bisa menyembunyikan ketakutan yang kurasakan saat aku mengatakannya.
"Aku tak menginginkan janji atau harapan--harapan kosong bahwa kita bedua akan kita bahagia bersama selamanya Wan. Sudah lama aku menyadari fakta itu. Aku juga tak mengharapkan kalau kau berikrar sampai mati untuk bersamaku. Aku tak menginginkan itu. Aku ingin kita bersama, menghargai apa yang kita miliki saat ini. Aku ingin kita saling mendukung untuk kebahagiaan dan kebaikan kita masing-masing. Saling memberikan support untuk maju dan menjadi lebih baik. Kalaupun tiba suatu saat nanti kita harus berpisah, aku ingin kita berpisah dalam damai dan dalam sebuah hubungan yang persahabatan yang indah. Saling mendukung hingga saat itu tiba. Aku berjanji, aku akan ada disana saat kau akan menikah. Aku janji akan menemanimu melewati momen itu, Memberimu dukunganku untuk menempuh hidup baru. Dengan cinta. Tak ada marah atau sakit. Karena kita berdua tahu, kita akan tiba disana. Itu yang aku inginkan."
Miswant menatapku dengan intens, "Kau........... mau melakukannya?"
"Kalau itu yang kau inginkan, aku akan disana. Aku berjanji!" kataku.
"Kau sudah lama memikirkan ini?" tanya Miswant.
Aku mengangkat bahu, "Kita hidup di Indonesia. Pada suatu titik, lingkungan sosial ataupun keluarga kita pasti akan bertanya-tanya kan? Bahkan mungkin menuntut kita untuk memiliki ikatan, yang mereka sebut normal. Pernikahan. Itu sudah tak bisa terhindari."
"Tak terhindari........." gumam Miswant pelan.
"Yeah! Tapi sebelum itu, kita punya apa yang kita miliki sekarang. Dan aku ingin membaginya denganmu. Aku ingin kita memiliki hubungan itu. Hubungan dimana kita saling melengkapi, saling mendukung dan saling menemani. Aku ingin kita bareng menuju kehidupan yang nantinya akan kita miliki. Saling mendukung dan membantu."
"Seks?"
Aku tertawa, "Itu akan terjadi dengan sendirinya. Saat kau dan aku siap. Saat kau dan aku menginginkannya," jawabku pelan.
Dia diam untuk beberapa saat lamanya, "Aku suka itu," kata Miswant akhirnya. Aku hanya mengulas senyum untuk membalasnya.

Kemesraan kami hanya berlangsung sebulan. Setelah itu dia kembali menghilang. Tanpa pamit. Tanpa memberi kabar.

Untuk beberapa hari lamanya aku berada dalam kekalutan. Semua pekerjaanku terganggu. Sulit untuk berkonsentrasi saat pikiran terpecah. Tidur malampun menjadi tak lelap. Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku sudah mencoba sms dan telepon. Semua kembali tak terbalas. Aku tak bisa menemuinya, karena memang kami tak mengetahui dimana masing-masing dari kami tinggal. Aku dan Miswant benar-benar menjaga agar kami tak berinteraksi dengan orang yang sama. Hanya untuk menjaga keamanan dan kenyamanan kami.
Aku sempat berpikiran jelek. Mungkin telah terjadi sesuatu pada Ibunya. Mungkin dia sakit. Mungkin dia.............
Entahlah. Aku tak tahu harus berpikir apa lagi. Aku hanya mencoba menjalani hari-hariku dengan biasa, dan menunggu. Ilung yang selalu menemani dan menenangkanku. Menjadi tempat sampah di mana aku membuang semua kegundahanku. Dia mencoba memberiku opini dan opsi. Mungkin saja Miswant memang tidak menginginkanku. Mungkin saja dia menghindar untuk lepas dariku. Atau................. dia sudah memiliki yang lain.
Aku tahu kalau kadang hal itu tidak membantu. Tapi setidaknya, dia bisa memikirkan hal terburuk yang bisa terjadi. Dan aku bisa bersiap-siap. Namun............ menunggu memang pekerjaan yang menyebalkan.
Hingga beberapa bulan, aku masih belum menerima kabar apapun darinya. Miswant masih menghilang tanpa jejak. Hingga kemudian salah seorang temanku di dunia maya memberiku kabar. Dia mengatakan bahwa ada seseorang yang berusaha mencari tahu tentangku dan alamatku. Yang mengejutkan adalah saat dia menyebutkan nama Miswant. Aku heran, tentu saja. Akhirnya aku memberi izin pada temanku itu untuk menjawab pertanyaan Miswant dan menunggu. Apa yang sebenarnya dia inginkan.

Dia mengirimiku kado ulang tahun!!!
Tepat disaat aku mengira dia sudah melupakanku, dan apa yang kami miliki telah berakhir, dia kembali masuk dengan mudahnya ke dalam perasaanku. Aku dia buat terharu oleh usahanya dalam mengabulkan apa yang ku inginkan. Beberapa hari sebelumnya, aku memang membuat status dengan menyebutkan beberapa benda yang menjadi wish list di tahun yang akan datang. Kebetulan ulang tahunku jatuh pada tanggal 2 Januari. Jadi sering aku membuat daftar wish list tentang apa yang aku ingin miliki dan ingin lakukan di tahun yang baru.
Dia membacanya dan memberikan satu benda diantara beberapa yang menjadi wish list ku.
"Terimakasih," kataku, saat beberapa hari sesudah aku menerima kadoku, kami janjian bertemu di dekat jembatan SuraMadu, "Aku memang menginginkannya."
Dia tersenyum tanpa membalasnya.
"Kenapa menghilang lagi?" tanyaku tanpa bisa menahan diri. Aku sebenarnya ingin menunda hal itu. mencoba mencari tahu nanti setelah semua kekakuan yang kami rasakan mencair. Tapi aku tak bisa menahan diri.
"Aku............. ada masalah di kantor," katanya sembari menendang-nendang pot semen yang ada di sebelahnya.
"Dengan?"
"Bos ku. Gak tau kenapa, sepertinya dia terus mencari gara-gara denganku. Mungkin aku akan keluar dan mencari pekerjaan baru," katanya lagi.
Aku diam, sejenak berpikir untuk bereaksi bagaimana. Kembali menjadi terharu, karena dia masih mau menyisihkan uangnya untuk memberiku kado,  sementara aku tahu, kondisi keuangannya tidak terlalu baik. Terlebih lagi sekarang dia bermasalah dengan Bos-nya , "Lalu............ ada rencana mau kemana?"
"Nggak tahu," jawab Miswant sembari mengangkat bahu.
"Kembali ke Bali?" tanyaku. Dia pernah bercerita kalau dulu, dia pernah kerja di Bali dan menyukainya.
Dia menggeleng, "Aku sudah nggak dibolehin lagi kerja di Bali sama Ibu. Mungkin masih di Surabaya aja," katanya singkat.
Tanpa sadar aku menghembuskan nafas lega mendengarnya, karena tahu dia tidak akan pergi terlalu jauh.
"Pikirkan saja dulu. Lakukan apa yang menurutmu terbaik," ujarku, mencoba memberi dukungan.
Dia mengangguk, lalu melihatku sejenak. Untuk beberapa saat pandangan kami bertemu,  sebelum akhirnya dia memalingkan muka, "Ada............ sesuatu yang aku ingin katakan."
Tanpa sadar tubuhku langsung menegang. Ini dia!!!
"Sepertinya................. aku belum siap untuk memiliki pacar," ujarnya pelan.
Aku diam, berusaha menceerna makna kalimatnya tadi. Tapi aku benar-benar tak mengertI, "Ma-maksudmu?" tanyaku, berusaha terdengar biasa.
"Sebaiknya kita.............. jangan pacaran ya? Istilah pacaran sepertinya terlalu berat. Bagaimana kalau kita jadi teman tapi mesra saja?"
"TTM?" tanyaku tak percaya. Dia menjawabku dengan anggukan, "Alasannya?" kejarku.
"Istilah pacar membuatku merasa ..................memiliki suatu kewajiban yang harus ku lakukan. Sedikit........... tidak nyaman. Terlalu berat untukku," katanya tanpa memandangku.
Aku menghela nafas mendengarnya, "Masih ingat percakapan kita dulu? Bahwa aku ingin kita menjadi pasangan yang saling mendukung dan membantu menuju hal yang lebih baik? Bahwa meski itu berarti kita harus berada di sisi salah satu dari kita yang nantinya akan menikah dulu? Bukankah itu juga bisa disimpulkan sebagai sebuah hubungan persahabatan sejati? Meski mungkin akan ada seks didalamnya. Seperti yang kau singgung dulu."
Dia tak langsung menjawab. Tapi diam dengan kepala tertunduk.
"Harus berapa kali aku memintamu untuk terbuka padaku? Berbagi padaku. Biarkan aku menjadi bagian dari hidupmu agar aku bisa mengerti."
Dia tak menjawab. Hanya membuang muka dan kemudian menatap lururs kedepan dengan pandangan yang menerawang. Ada apa sebenarnya Wan? Apa yang membuatmu tak bisa bercerita padaku? batinku. Kadang aku merasa seperti seorang pasangan yang terlalu menekan dan memaksa. Tapi seingatku, aku malah mencoba toleran dengan sikapnya. Aku tak pernah menuntutnya untuk melakukan macam-macam hal.
"Baiklah...........," kataku akhirnya, memecah keheningan diantara kami yang semakin terasa tak nyaman, "Kita gunakan istilahmu."
Itu membuatnya sedikit tersenyum. Dia masih tak mengatakan apa-apa. Tapi satu tangannya meraih tangan kananku dan menyatukan jari jemari, kemudian meremasnya. Aku mencoba menampilkan wajah senangku, meski dalam hati, aku msih penuh dengan tanya.


Dan selang beberapa waktu, dia kembali menghilang.
Kali ini aku mencoba mengikuti pola sikapnya. Aku tak lagi sms atau mencoba menelponnya. Aku tak lagi heboh dan bingung kemana-mana. Kali ini aku hanya diam, membiarkannya. Memberinya waktu untuk datang sendiri padaku. Aku hanya berharap bahwa apapun yang sedang dia alami, dia akan baik-baik saja.

Dan waktupun berlalu.
Hari......
Minggu.....
Bulan........
Tak ada sedikitpun kabar. Bahkan status facebooknya pun jarang sekali updet. Aku tetap bersabar dan menunggu. Sesekali bila ku lihat dia updet status, aku bisa menarik nafas lega, karena dengan begitu aku tahu dia baik-baik saja. Tapi tak pernah sekalipun dia memberiku kabar. Aku tetap menahan diri.
Aku bahkan tak ingat berapa lama dia mendiamkanku. Aku sudah berhenti menghitung hari, minggu dan bulan yang berlalu. Hingga kemudian aku pergi ke Bali untuk menjenguk Ibuku.
Minimal setahun sekali aku memang pergi ke Bali. Sekedar bertemu dan menjenguk Ibu yang bekerja disana. Juga menjenguk Alejandro, anjing peliharaan Dudi yang selalu membuatku gemas. Hari itu setelah berjalan-jalan ke Duta Plaza dan Gramedia, aku santai ngobrol bersama Ibu sembari nonton tv. Sampai kemudian dering ponselku memotong pembicaraan kami. Sebuah nomor asing yang tak ku kenal.
"Ya, halo..?" sapaku.
"Hai, lagi dimana?"
Aku mengernyitkan dahi karena tak bisa mengenali suaranya, "Maaf, ini siapa?"
Dia menjawab, tapi aku tak bisa dengan jelas menangkapnya karena terganggu suara tv.
"Maaf, siapa?" ulangku.
" Miswant”.
Satu kata itu membuatku terdiam beberapa saat. Aku bahkan tak mengenali sama sekali suaranya tadi. Setelah sadar siapa yang menghubungiku, akupun bangkit dari dudukku, keluar menuju halaman samping.
"Sebentar," pamitku padanya dan keluar. Alejandro yang melihatku langsung menyalak senang. Dia melompat-lompat dan memainkan kedua kaki depannya ke kakiku. Mengajak bermain. Aku hanya tersenyum dan mengusap kepalanya, lalu duduk di bale-bale, "Hai....apa kabar?" sapaku.
"Alhamdulillah baik. Kamu gimana?" tanya Miswant balik.
"Alhamdulillah baik. Ini lagi di Bali, jenguk Ibu," jawabku. Alejandro menyalak dan kemudian duduk berbaring disebelahku, "Dan juga Alejandro," sambungku lagi dan tertawa kecil sembari mengusap lagi kepala Ale. Dia memejamkan matanya dengan lidah terjulur keluar. Sementara Laura, pasangan Alejandro yang masih asing padaku hanya memandang dari bawah mobil tanpa mendekat.
"Itu tadi Alejandro?" tanya Miswant. Dia memang sudah mendengar soal Ale dari ceritaku.
"Yup!" jawabku singkat, "Jadi............... habis kemana aja?" tanyaku kemudian.
"Hmmmm......... lagi ada di kampung."
Aku langsung menegakkan punggungku, "Ibu baik-baik saja?"
"Sudah jauh lebih baik," jawab Miswant.
Aku menarik nafas lega mendengarnya, "Syukurlah," komentarku singkat.
Miswant diam sejenak, "Aku jahat ya?"
Aku mengangkat sebelah alisku, "Iya, memang!" jawabku lugas.
Dia tertawa kecil, "Dari kemarin aku tuh berpikir. Aku ngerasa bener-bener jahaaaat padamu. Suka ngilang gitu aja. Ga perhatian. Semaunya. Ga pernah kasih kabar."
"Alhamdulillah nyadar," celetukku.
"Karena itu aku merasa kalo aku tuh nggak pantas untukmu."
Hening!
Aku bahkan terlalu kebas untuk langsung bereaksi. Kata pertama yang melintas di benakku adalah, klasik! Skenario klasik dimana sang pacar menggunakan frase 'aku tidak pantas untukmu' itu sebagai intro bahwa dia............. hendak memutuskan hubungan. Aku tahu kalimat apa yang akan dia katakan selanjutnya. Tanganku yang membelai-belai kepala Alejandro langsung berhenti. Ale mengendus-endus dan menjilat tanganku karenanya.
"Kamu layak untuk mendapatkan orang yang lebih baik."
"Kamu mau putus?" bisikku pelan langsung. Aku tak tahan mendengar basa basi kosongnya.
"Menurutku akan lebih baik begitu," ujarnya.
Aku memejamkan mata, tak memperdulikan dengkingan pelan Ale yang kemudian menyurukkan kepalanya ke pangkuanku. Dia mungkin sudah memiliki orang lain Jay. Karena itu dia menghilang selama ini. Apa yang kau harapkan? batinku.
"Jay?" panggil Miswant.
"Ya..." jawabku, mencoba terdengar biasa, meski aku yakin dia bisa menangkap yang lain dari nada suaraku, "Jadi........... kau ingin kita berteman?"
"Iya. Menuruku akan lebih baik kita berteman saja," katanya membenarkan.
Aku tertawa kecil, getir, "Hubungan kita lucu ya? Dari pacaran, turun jadi TTM. Sekarang turun derajat lagi menjadi teman."
"Aku sudah banyak bikin kamu susah Jay. Aku tahu itu. Aku minta maaf. Beberapa hari ini aku memikirkannya terus. Rasa-rasanya nggak pantas aku perlakukan kamu begini. Aku tak pernah memberitahukan apapun padamu. Aku suka tiba-tiba menghilang tanpa menjelaskan dan memberi kabar."
Lalu kenapa kau tidak melakukannya? Sebegitu susahkah mengetik sebuah sms singkat untukku?
"Rasanya nggak adil bagimu."
Dengkingan Alejandro membuat mataku berkerjap. Tanpa sadar aku mengangkat tangan dan mengusap sebuah aliran bening di pipiku. Aku memandang Alejandro yang melihatku dengan lidah terjulur. Seakan-akan dia mengerti kegundahanku. Untuk sejenak, telingaku seolah-olah memblokir suara Miswant yang mengajukan berbagai dalih dan permintaan maaf.
"Kadang aku merasa kalau manusia itu benar-benar mahluk yang kompleks dan rumit. Berbeda dengan anjing ya?" gumamku pelan.
Miswant diam sejenak, sepertinya dia kaget dengan kalimatku yang mungkin dia pikir ngaco, "Anjing?" ulangnya.
"Ya," jawabku dan kembali mengelus kepala Ale, "Anjing adalah makhluk sederhana yang menakjubkan. Beri saja dia sedikit kasih sayang dan perhatian, maka dia akan memberikan kesetiaannya seumur hidup. Berbeda dengan manusia. Meski kita sudah berusaha untuk menyayangi, memperhatikan dan mencintai................ reaksi yang dia tunjukkan bisa jauh berbeda. Malah menyakitkan."
"Jay.........."
"Jadi kau ingin berteman? Baiklah," potongku cepat, tak ingin mendengar lebih lanjut dalihnya.
"Bener?"
"Yup!!" jawabku mantap, "Tapi............ aku minta sedikit pengertian darimu."
"Soal?"
"Aku sudah pernah bercerita sedikit tentang masa laluku kan? Tentang Hans dan segalanya. Kamu orang pertama yang berhasil membuatku kembali merasakan cinta, setelah bertahun-tahun ini. Mungkin aku akan membutuhkan waktu untuk lepas dengan sepenuhnya darimu. Aku minta, kau sedikit bersabar ya? Mungkin aku masih akan sms kamu. Komen di statusmu. Atau mungkin meneleponmu. Ku harap kau tidak merasa terganggu. Aku janji, suatu saat, aku akan bisa melupakanmu. Tapi saat ini, aku belum bisa."
Aku tahu kalau aku terdengar menyedihkan. Tapi dengan Miswant, aku tak segan untuk mengatakan apa yang kurasakan. Aku tak ingin dia memiliki dugaan tak enak atau apapun. Sejak awal, aku sudah memutuskan untuk jujur padanya. Dan aku berniat melakukannya hingga akhir.
"Bersabarlah denganku untuk sementara waktu," lanjutku, menguatkan suara agar aku tak terdengar lemah, "Akan ada masa dimana aku akan mengingat hari ini dengan tawa. Tapi.........itu membutuhkan waktu."
"Tentu saja," ujar Miswant.
Aku tertawa kecil, "Baiklah. Kalau begitu kita berteman. Aku masuk dulu, ok? Malam Want."
"Malam!"
Aku memutuskan kontak dan memeluk Alejandro yang telah bangkit dan menyurukkan kepalanya di leherku.
"Makasih ya Le," bisikku lirih, membiarkan semua kesedihan yang kurasakan mengalir.


Hanya pada Ilung aku menceritakan akhir dari hubunganku dengan Miswant secara detil. Dia mendengus keras saat aku selesai bercerita.
"Lo kasih nomer dia ke gue deh!" tukasnya.
"Buat apa?" tanyaku bingung.
"Mo gua damprat tuh orang!"
Aku tertawa kecil, sedikit terhibur oleh reaksinya, "Apaan sih? Udahlah. Emang udah ga bisa jalan kali Lung. Ga bisa dipaksa kan. Lagipula............. semua itu cuma membuktikan kalo cinta gue bertepuk sebelah tangan," kataku. Ilung hanya tersenyum mengerti waktu itu dan meremas bahuku pelan.

Dan hubungan kamipun menjadi seperti awal kami berkenalan. Hanya aku yang sesekali mengirim sms atau meneleponnya. Miswant menanggapinya dengan sopan dan biasa, layaknya seorang teman. Bahkan saat membalas smsku, sesekali dia menggunakan panggilan sayang yang dia berikan padaku, sweetie. Aku tak bisa menyangkal kalau ada sedikit harapan di sudut hatiku, kalau kami bisa bersama lagi. Aku masih menyukainya. Aku masih menyimpan beberapa fotonya di ponselku. Aku masih memandangi foto itu saat aku begitu merindukannya.
Benar-benar menyedihkan. Karena sikap Miswant selalu berada dalam batas pertemanan saja. Aku saja yang masih bergantung pada selembar harapan tipis yang rapuh. Dan bahkan lembaran tipis itu pada akhirnya harus ku lepas saat kemudian dia meng-upload sebuah foto di facebook. Foto itu menunjukkan sketsa wajah seorang cewek yang menggunakan kerudung. Di sebelah sketsa itu tergeletak ponsel Miswant yang menunjukkan foto cewek yang sama di screen-nya.
Rasa-rasanya ada sebuah tamparan keras yang dia berikan ke mukaku. Tanganku yang waktu itu memegang ponsel gemetar keras. Apa yang kau harapkan Jay? Dalam hati kau sudah mengetahuinya kan? Dia sudah memiliki orang lain. Berhentilah mempermalukan dirimu!!
Aku memejamkan mata, membiarkan rasa pahit dan sakit itu merambati tubuhku. Membiarkannya menyengatku dengan begitu hebatnya, berharap dengan begitu aku segera sadar dan mengusai diri. Tahu bahwa semua telah berakhir. Dan aku harus segera menjauhkan diri.
Ya.............
Menjauhkan diri!
Itu yang harus aku lakukan.

Aku segera mengetik sebuah sms untuknya.

To : Miswant

Aq sudah liat fotonya.
Dan aq ngerti. Selamat.
Aku pamit.
Terimakasih atas smua ksabaranmu.
Aq sudah siap skrng. Sudah blokir facebook n unfollow twttrmu.
Hapus sja kontak q
Bye!


Taklama kemudian dia membalasnya.

From Miswant

Lho?
Ada apa?
Kok tiba2?
Jgn bunuh diri dulu.
Aq masih pngen baca critamu


Khas Miswant. Selalu menemukan celetukan konyol. Tapi aku sudah tak mau merasakan sakit lagi. Seperti yang ku bilang, aku segera memblokir akun facebooknya. Juga unfollow akun twitter-nya. Aku juga menghapus namanya dari daftar kontakku. Rasanya seperti menarik tiba-tiba sebuah perekat di kulit. Perih dan nyeri.


Aku mencoba menjalani hari-hariku dengan normal. Mencoba mengabaikan semua hal yang mengingatkanku pada Miswant. Menggunakan waktu luang yang ku miliki dengan menulis fiksi bersambung yang ku posting di sebuah forum gay. Sesekali berinteraksi dengan beberapa pembaca yang tertarik untuk mengenalku.
Aku tahu aku akan tetap hidup tanpa Miswant. Aku paham kalau aku akan terus menjalani hari-hariku meski dia sudah menghilang dari gambar. Tapi aku tak bisa begitu saja mengacuhkan ruang hampa yang dia tinggalkan di hatiku. Terdengar konyol? Mungkin. Tapi dia adalah orang yang mampu memberi sedikit kesegaran dalam hidupku yang beberapa tahun ini kering. Dan kepergiannya memberikan bekas yang tak mungkin hilang begitu saja. Aku masih membutuhkan waktu untuk terbiasa.
Lucu sebenarnya kalau berpikir bahwa aku bisa merasa begitu kehilangan oleh seseorang yang ku kenal hanya dalam waktu singkat. Tapi memang seperti itu kan bila hati kita telah terjerat? Pertimbangan-pertimbangan logis dan rasional seakan-akan tertutup. Akal sehat menjadi lumpuh. Dan mata serta telinga kita tak berfungsi dengan sempurna. Bahkan disaat kebenaran dan fakta yang sebbenarnya ada didepan kita, pikiran kita akan menemukan dalih untuk menyangkalnya.
Aku merasakan itu.
Aku bukan orang yang gampang menyukai seseorang. Tapi dengan Miswant............ aku kalah. Aku tak menyukainya. Aku benci menjadi lemah dan terkesan pecundang. Karena itu, sebisa mungkin aku berusaha untuk terus melangkah maju. Meyakinkan diriku sendiri bahwa semua baik-baik saja. Ini hanya proses. Dan suatu saat nanti, saat menoleh ke belakang, aku akan menertawakan kekonyolan yang ku rasakan sekarang.
Hal itu yang terus ku ulang-ulang dalam hatiku. Dari luar aku memang terlihat baik-baik saja. Tapi tiba-tiba saja, kulit wajahku yang jarang bermasalah, mulai ditumbuhi jerawat. Dan hanya Ilung yang tahu, bahwa bila aku berpikir terlalu berat, efeknya bisa diindikasi dari kulit wajahku. Aku sempat berkilah bahwa jerawat itu tumbuh karena air di Surabaya ini yang tidak cocok dengan kulitku. Aku bahkan nyaris bisa meyakinkan diriku sendiri, hingga beberapa hari kemudian aku mengecek akun twitter ku.
Aku melihat kalau aku memiliki beberapa follower baru. Karena iseng, aku mengeceknya. Dan ku lihat, Miswant masih mem-follow akunku. Foto profil yang dia gunakan telah diganti. Aku memandang ponselku itu dengan pandangan menerawang untuk beberapa saat lamanya. Hingga kemudian tanganku bergerak untuk membuka akunnya.
Ada beberapa status baru. Tapi mataku terpaku pada status yang dia tulis beberapa hari yang lalu. Status yang berbunyi

@m#$&*% Miswant
Kangen seseorang....... dia jg kangen g ya?


Bahkan hanya dengan membacanya, aku bisa merasakan sensasi perasaan yang tak nyaman di perutku. Otakku mulai berteriak, mengingatkan diriku untuk bisa menguasai diri. Akhirnya, dengan impulsif, aku me-reply statusnya.


@SoniDamian

Ehemm!!! Cieeee.... yg lagi jatuh cinta.
Kenalin nape...

Saat aku kembali mngecek akunku beberapa saat kemudian, dia telah membalasnya.

@m#$&*% Miswant :
@SoniDamian sms aja aq kasih tau dah 08********** hahahaha....

Aku membalasnya

@Soni Damian :
@m#$&*% Miswant takut ntar galao lg gw....

@m#$&*% Miswant :
@SoniDamian tenang. Dokter Cinta siap melayani anda,.....



Ada sedikit perdebatan dalam hatiku. Apakah aku harus menghubunginya, atau membiarkan semua ini berlalu? Ada beberapa opsi, dugaan dan pertimbangan yang berkelebat di benakku.
Ada dugaan bahwa yang sedang dirindukan adalah aku. Kalau memang benar, apa gunanya? Toh dia sudah dengan jelas mengatakan bahwa kami hanya berteman. Tak ada yang spesial. Dan kalaupun nantinya dia membenarkan, hal itu hanya akan membuatku sulit. Karena ada kemungkinan bahwa aku akan kembali berharap. Berharap bahwa hubungan kami akan kembali akan berkembang. Dan aku tak ingin kembali terjerat pada pola yang sama. Masalah yang sama. Terlebih lagi oleh orang yang sama. Keledai saja tak akan terantuk pada satu yang sama dua kali. Meski dia hewan terbodoh didunia. Kalau sampai aku melakukan kesalahan yang sama persis dua kali, berarti aku lebih bodoh dari keledai.
Yang kedua, jika dia menyangkalnya, itu akan lebih parah. Jika yang dia maksud adalah pacarnya, cewek yang berkerudung itu, aku cuma akan sakit hati.
Dua jenis jawaban yang mungkin akan dia berikan, sama-sama berefek tak baik untukku.
Tapi, sekali lagi,aku kalah oleh diriku sendiri. Aku. mengetikkan sebuah pesan sms padanya.

To : Miswant
Oke, siapa?!
*sambil siapin batu buat nimpuk+tali buat gantung diri

Aku sengaja memberikan sedikit sentuhan humor agar tak ada kesan serius dalam percakapan kami.
Dia menjawabnya dengan :

From : Miswant
Yaelahh...
Orang yg aq maksud tuh kamu, tau.
Sana, timpuk diri sendiri.


Untuk beberapa detik lamanya, aku terpaku. Membaca kembali kalimat yang dia kirim beberapa kali. Aku kemudian membalasnya dengan,

To : Miswant
Eaaaaa!!!!
Paling pintar ngegombal dah!!!
*gampar

From: Miswant
Ya udahlah kalo ga percaya.
Udah lewat juga
Udah kadaluarsa.

Aku harus meyakinkan diriku bahwa tak ada yang serius dalam hal ini. Aku akhirnya mengajak Miswant untuk membahas beberapa hal lain sekedar untuk mengalihkan perhatian. Sampai kemudian aku teringat akan cewek berkerudung itu. Dengan iseng dan terkesan santai, aku menanyakan kabar pacarnya itu.

To: Miswant
Pa kbr Pacar?
Udah jadian ma cwe brkerudung kmrn?


Jawaban Miswant adalah :

From Miswant :
Blom ada progress
Ga bs dbilang pacar sih


Saat itu juga aku tahu. Dia kangen padaku, bukan karena dia menyukaiku. Maka setelah berpikir sejenak dan mencoba menekan sedikit nyeri di sudut hatiku, aku membalas pesannya dengan jujur.

To : Miswant
Ya udahlah
Good luck
n just so u know, u do me no good by asking me to text u
it still hurts
thnx anyway 4 missing me for a bit


Meski sudah menyiapkan diri sebelumnya, memang masih terasa menyakitkan. Dan aku tak menyembunyikannya dari Miswant. Dengannya aku bisa bersikap apa adanya. Mengatakan apa yang ku rasakan dan ku pikirkan. Aku sudah berniat untuk kembali menghapus nomornya dari hapeku saat balasannya masuk.

From : Miswant

Eh tp yg aq blng di twitter itu bener lho
Serius!
Jujur!

To : Miswant
Even if it's true.
kangen lu bkn krn lu suka ma gw
Lebih krn (munqn) brsalah
Lu munqn inget gmn lu prlakuin gw gegara prlakuan cewe itu ke lu kan?

From : Miswant

ehmm.....


To: Miswant

Knp?
Salah?
Hehe...
Trlepas salah/betul, dah ga penting kok
Gw ga marah ma lu
Swear!Sakit, iya. Marah, engga.
Inget kan pas qta jadian gw blng kalo gw akan dukung lo
buat kbaikan?Meski lu mnta gw dampingin elu pas lu nikah ntar
Gw tulus pas bikin janji itu
Tp lu mnta qta bubaran,sblemum lu nikah
Rasanya sprti dkhianati.Sumpah sakit dada gw pas liat lu upload
foto lu bikin gmbar dia+ada foto dia di hp lu.
Seakan2 lu teriak ke gw WE ARE OVER!!
Krn itu gw sontan pamit krn gw ngrasa bodoh masih ngegantung ke lo yg jelas ga peduli ma gw.
Maaf ya?
Tp sulit buat lngsng lepas kalo dlm 13 taon ini,baru lu yg bs bikin gw jatuh cinta
        Saran gw,kalo lo emang tulus ma tuh cewe,keep pursuing her.
        Tunjukin tekad+niat baik lo. Kalo jodoh kalian pasti 1
good luck
n bye!
(smiley) “

From : Miswant
Eh jgn Bye dong!
Aq kan msh pengen qta kontak

To: Miswant
Wan,gw bs suka ma lo lg kalo qta tetep kontak.
Ini aja td gw udah senyum2 ga jelas.
Dr awal gw dah ga mau sms dg 2 kmungkinan lu blng kangen td
1. Kalo yg lu mksd itu bkn gw, gw pasti sakit hati krn lu nemuin orang baru
2. Kalopun itu gw,hal itu cm bikin gw mewek ma lu lg,pdhl gw tau kangen yg
lu blng platonik n ga brmakna.
See?
Keduanya sama2 ga baik buat gw
Lu mau kita gmn coba?
Jelasin deh yg komplit spy gw ngerti
 

From : Miswant

Tidak bisakah kita berteman?
Tp kalo memang kehadiranku bikin kmu sakit...
aku bs ngerti


To : Miswant
Could we?
Gmn kalo lo di posisi gw?
Lu suka banget ma gw.Trs gw putusin elu.Lu berusaha tetep maju
N tiba2, gw blng gw kangen ma lu
Lu gmn?


From : Miswant
Jd aku sdh masuk dlm daftar orang2 yg hrs kmu jauhin?


To: Miswant
Engga lah
Mesku munqn lo ga prcaya,gw brharap yg terbaik ma lo
Orang gw peduli kok ma lo

From : Miswant
Oke. Sudah ku putuskan.
Aku gak akan pacaran atau nikah sebelum kamu dapet pengganti aku
Gak bisa diganggu gugat!

Tentu saja aku kaget dengan isi smsnya.

 To : Miswant
Wan, please...


From : Miswant
Sudah diputuskan!
Nggak bisa diubah!!


Aku benar-benar merasa jahat. Seakan-akan menghalangi dia untuk melangkah maju. Menghalanginya untuk mendapatkan kebahagiaan yang mungkin bisa dia raih. Aku merasa begitu bersalah dan egois. Tanpa sadar aku melanggar janji yang dulu pernah aku ucapkan. Mendukungnya untuk menjadi lebih baik.
Karena itu,  akupun memutuskan,

To : Miswant
Okay fine!
Qta tetp kontak.
Gw ga akan singgung soal kita lg.
Qta BERTEMAN!!
Gw akan buka lg fb lu, ok?
Lu tarik tekad lu td
Gw baik2 aja!
Pasti!
Ya?
Gw buka skrg lngsng

Aku segera membuka akun facebook ku, dan membuka blokiranku pada akun Miswant. Aku kembali mengirimkan friend request padanya. Aku kemudian memberitahunya, dan memintanya untuk confirm, sembari memintanya untuk menarik kembali tekadnya tadi.
Pada akhirnya dia setuju untuk menariknya kembali.

Dan malam itu aku kembali sulit untuk tidur. Aku menceritakannya pada Ilung tentang percakapan kami semalam. Tentu saja Ilung hanya tertawa sinis dan sedikit meledak.
"Lu sejak kapan alay bin mello gak jelas gini? Emang lu yakin dia bakal ngelakuin kata-katanya itu? Lo ga nyadar, bisa aja dia cuman pura-pura doang? Setelah semua yang lo alami, lo masih percaya ma dia? Lu kasih kontak dia ke gue deh. Biar gue yang beresin ma dia!"
Aku hanya menggeleng dan tersenyum tipis, "Gua ga tau apa dia bohong atau enggak. Tapi gue selalu percaya ma dia. Dan gue hanya mo pastiin dia bisa melangkah maju. Karena kebahagiaan dia, lebih penting dari gue," kataku.
Ilung mendengus sinis, "Homo idiot!" celanya kesal
Aku kembali tersenyum dan bahkan tertawa kecil. Aku tahu dia marah untukku. Bukan karena dia menganggapku benar-benar idiot. Memang ada sedikit dugaan dalam hatiku, setelah Ilung mengatakan dugaannya tadi, bahwa apa yang Miswant ucapkan hanyalah sekedar lip service biasa. Tapi kepercayaanku padanya jauh lebih besar.
Karena itu aku akan terus mendampinginya. Melihatnya melangkah menjalani kehidupan yang dia inginkan. Membiarkan hatiku terbiasa oleh kehadirannya. Membiarkannya luka sedikit demi sedikit. Berharap kalau suatu saat nanti, hatiku akan mengeras dan pada akhirnya kebal akan luka yang Miswant bawa.
Aku tahu hal itu membutuhkan waktu.
Tapi aku sudah memutuskan. Dan aku kembali mengulang tekadku itu sambil melihatnya menjauh seperti sekarang
"Yuk," ajakku dan menarik tangan Ilung untuk melangkah.  Menapaki hari.
Berharap ada kebahagiaan baru didepanku nanti.



Rgj, November 9th 2013







Pheeewwww.........................
Akhirnya kelar juga.
Just info, percakapan terakhir gw ma Yuyud OR Miswant lewat sms yang gua cantumin dlm cerpen diatas tejadi tgl 6 kemarin. Hampir 90% semua yg terjadi disini based on true events. Beberapa detil kecil aja yang ku rubah.
N you know what the good news is,  I FEEL BETTER!!!
Menulis ternyata benar-benar menjadI wadah yang bagus buat terapi. Dengan menceritakan sejarah yang gua alami bareng Yuyud, seakan-akan gue kembali napak tilas buat memahami, apa yang sebenarnya terjadi.
Ga ada yang salah atau benar dalam kisah ini.
Ini hanya satu episode hidup yang gua alami. Episod dimana Yuyud menjadi salah satu lead actornya. Dan sebelum kelarin cerpen ini, gua udah minta izin ma Yuyud buat bikin cerpen tentang kami berdua. Dia membolehkannya, dan meminta buat jadi pembaca pertama. Bahkan bantuin. Arsip sms yang gua kirim ke dia terhapus dari hp gue wkkwwkwkwkwkk....
Jadi gua telepon Yuyud en nanya, apa dia masih simpan sms gue. Ternyata masih ada di ponselnya. Tp cuman sms gua aja. Sementara balesan dari dia nggak. Jadi gua minta dia buat ngirimin lagi ke gue hahahaha.............(dan setelah gue selesein cerpen ini, ternyata dia nemu sms dia en doi kirim lewat facebook. TELAT CADEEEEELLLL!!!!!! ggggrrrrrrrr.......)
Dan dalam kesempatan ini, dengan tersenyum en tulus gue ucapin, TERIMAKASIH YUUUDD!!!
Makasih ya Yuyud jelek cadel en ga bisa ngomong rrrrrrrr!!!!
Dengan menyelesaikan cerpen ini, gue ngerasa JAUUUUHH LEBIH BAIKKK!!!
wkwkwkwkkk.............!
Gue bisa melihat kalo cerita gua ma lo hanya menjadi sebuah masa lalu yang bisa gua kenang en bisa gua jadiin dalam menjalani masa depan gue. Thanks Dude! Thanks for keeping as a friend! And that we wil be.
Gua siap buat episode baru dalam hidup gue.(kira-kira siapa kali ini bintangnya ya? *mikir)

Sukses buat lu!