Translate

Senin, 06 Mei 2013

MEMOIRS III ( Tthe Triangle) Chapter 1 : The Pilot


Guys ni adalah seri terakhir dari memoirs yg gw garap. Honestly, gw masih bingung mo bawa cerita ini kemana. Baru nulis dapet bbrp part. Jadi. . . ga tau deh. Semoga aja ga mengecewakan.
 En buat temen2 yg ada 'perlu' dg cerita ini, gw minta hubungi gw dulu ya?
 thanks!


REGHA



Gila! Orang-orang kota besar memang ngeselin! batinku saat kembali aku harus melayani salah satu customer warung Bu Indri. Emang mereka nggak bisa ya ngambil kotak tissue yang jaraknya cuman dua meter dari tempat mereka duduk itu sendiri? Ngapain pake teriak-teriak gitu sih?!

 Coba kalo uang kiriman dari Abah dikampung cukup buat hidup disini, gerundengku. Nasib jadi mahasiswa perantauan emang gini. Aku harus bisa berusaha survive dengan cara apapun. Dengan kerja pagi di warung Bu Indri, selain bisa dapat makan gratis, aku juga mendapat uang. Tidak banyak, tapi kalau digabung sama uang kiriman bapak, cukuplah untuk membayar uang kuliah dan keperluan hidup lainnya disini. Kalo lebih juga cuma sedikit. Lagipula, jam kerjaku cuma dari jam 7 sampe jam 12 doang. Sementara kuliahku dimulai jam 1. Jadi tak terganggu.

 Cuman itu, kadang suka ada pelanggan yang rese. Bikin empet abis!!. Pertama kali tiba dikota Bandung ini aku sempat agak shock dengan perilaku penghuninya. Sumpah mampus aku pikir orang Bandung itu ramah-ramah! Orang Sunda Bandung kalo di tv kan sepertinya ramah gitu. Ya Allah, ternyata. . .

 Bukannya nggak ada sih yang ramah. Ada juga satu dua, tapi banyakan yang nge-bete-in. Dulu waktu berhasil tembus ujian seleksi di Perguruan Tinggi tempat ku belajar, aku sempat excited banget. Bandung cuy! Kayaknya keren! Bisa hang out, ngumpul ma anak-anak gaul, pacaran ma cewek cakep. Kedengarannya bakalan seru. Temen-temen sekolahku aja banyak yang iri!

 Tapi kenyataan gak seseru itu.

 Disini orang lebih dilihat karena 3 hal. Money, performance and speak! Diskriminasi yang aku liat di film-film drama remaja produksi Amrik, ternyata berlaku disini. Para nerd berkumpul dengan nerd yang lain. Cewek-cewekdan cowok-cowok gaul, tajir plus cakep membentuk gank sendiri. Mereka seakan-akan membentuk gank exclusive dengan anggota yang harus berstandar sama.
 Paling susah kalo yang kelompok abu-abu kayak aku gini. Cakep nggak, gaul nggak, tajir nggak, pinter banget juga nggak. Bener-bener biasa. Gaulnya juga sama anak-anak biasa aja. Habis gimana coba?

 Mau gaul ma anak-anak pinter, jadi bengong gak ngeh ma pembicaraan mereka. Malah keliatan banget dongo'nya. Mau gaul ma gank populer, nggak kuat ma gaya mereka. Baju bagus, bling-bling, tongkrongan keren ,plus hang out ke diskotik atau club2 -club yang cover charge nya bisa langsung bikin aku miskin!

 Sigh. . . !

 Bodo banget lah! Pada akhirnya aku harus mau memilih dan memilah. Juga harus sadar diri. Aku yang berasal dari keluarga yang serba nge-pas, harus bisa bersyukur bisa kuliah disini. Harus berusaha sebisa mungkin untuk survive. Nggak usah mikirin hal yang neko-neko. Yang sederhana saja.

Aku melihat jam sudah hampir jam 12. Sudah waktunya aku pulang dan bersiap-siap kuliah. Aku segera berpamitan pada Bu Indri.

 "Sudah mau pulang Gha?!" tanya Bu Indri. Wanita berusia akhir 40 an yang sangat baik. Beliau sendiri istri dari seorang pejabat daerah setempat. Sebenernya Bu Indri sendiri bisa saja diam santai dirumah tanpa perlu bekerja. Gaji suaminya lebih dari cukup bila sekedar untuk biaya hidup. Tapi Bu Indri sangat hobi memasak dan tidak suka duduk diam dirumah sendiri. Putra tunggal beliau, Mas Rizky kuliah kedokteran di UGM.

 Karena itu, iseng-iseng beliau membuka rumah makan kecil-kecilan tak jauh dari rumahnya. Siapa sangka kalau usaha kecil2an beliau menjadi lahan bisnis yang berkembang pesat dalam hitungan bulan. Sekarang Bu Indri punya 5 cabang yg tersebar di beberapa tempat di Kota Bandung ini. Beliau sendiri lebih suka berada disini, rumah makan yang paling dekat dengan rumah beliau. Rumah makan yang pertama beliau buka. Disini juga pusat dari semua kegiatan rumah makan beliau dilakukan. Setiap pagi ada sebuah truk pick up yg khusus digunakan untuk mengantar bumbu-bumbu ke cabang rumah makan Bu Indri yang tersebar.

 Ada sepuluh orang yang bekerja khusus untuk membuat bumbu disini. 3 orang memasak. Dan 12 orang pelayan, yang dibagi menjadi 2 shift. Aku sendiri boleh dibilang hanya sebagai tenaga pembantu. Ceritanya dulu aku nyari kerja part time selama liburan kuliah. Bu Indri menerimaku disini. Alhamdulillah nya beliau senang karena aku bisa membantu beliau dengan pembukuannya.

 Karena itu beliau mempertahankanku untuk bekerja disini. Meski aku hanya bekerja 5 jam sehari. Tapi seminggu sekali aku mengerjakan pembukuan usaha beliau.

 "Iya Bu! Siap-siap kuliah," jawabku sembari melepas celemek putih yang kupakai.

 "Tadi Ibu bikin rendang kesukaanmu lho. Nih bawa!" kata beliau dan mengangsurkan rantang bersusun 3 padaku. Jelas isinya lebih dari sekedar rendang. Dan kalau Bu Indri masak rendang berarti. . . .

 "Mas Rizky datang Bu?" tanyaku antusias.

 Bu Indri tersenyum melihatku. "Iya! Tadi subuh! Sekarang mungkin masih tidur."

 "Tumben mendadak Bu?" gumamku pelan dan menerima rantang tadi.

 "Mungkin mau kasih surprise buat Ibu? Ibu aja kaget tiba2 nongol dirumah subuh tadi. Sekarang pasti masih kecapekan! Sudah cepet sana.Nanti terlambat kuliahnya!" kata Bu Indri mengingatkan.

 "Waduh!!! Iya Bu! Terimakasih! Mari! Assalamu'alaikum!" pamitku dan cepat-cepat ngacir. Hari ini aku banyak sekali tugas. Plus kegiatan di club jurnalistik yg ku ikuti. Issue bulan kemarin cukup mendapat perhatian anak kampus. Soanya kami membahas tentang cowok en cewek favorit di kampus kami. Redaksi akhirnya mengadakan polling, siapa aja cowok cewek yg dianggap paling keren sekampus, dan juara 5 besar akan diliput dalam majalah kami.

 Siapa sangka kalo animo mahasiswa kampus kami besar sekali dengan ide ini. Email club sempat membuat alis terangkat dengan suara-suara yg masuk. Dimana-mana cowok en cewek cakep emang selalu jadi pusat perhatian ya?!




"REGHA!!!"

 Suara panggilan itu membuatku menoleh ke belakang. Alvin temanku satu jurusan melambaikan tangannya dari jarak sekitar 15 meter.

 "Sorry Vin! Gw keburu!" balasku tanpa menghentikan langkah. "Ada pertemuan di klub dan. . ."

 "GHAAAAA!!!!" Alvin berteriak ngeri dg tangan terulur seolah ingin meraihku. Hanya selisih beberapa detik kemudian aku mendengar decit ban dan makian keras seseorang.

 Aku terpaku kaku ditempatku berdiri!

 Karena ceroboh dan terburu-buru aku tak sadar kalo aku sedang melintas di jalan raya kampus. Mobil yang datang dari arah samping kiriku tak kulihat. Untungnya si pengendara cukup sigap menginjak rem. Mobilnya terhenti hanya sekitar 10 senti dari tempatku berdiri.

 Kalau saja dia tak sigap. . . .

 Aku tak sanggup memikirkannya. Aku hanya berdiri bengong disana dengan lutut gemetar.

 Alvin berlari memburuku. Sementara pengendara mobil sedan itu keluar dengan umpatan keras.

 "BUTA LO?!!" bentaknya marah. "LO KIRA INI JALAN MOYANG LO APA?! MAU MATI HAH?!! PAKE TUH MATA KALO JALAN?!!"

 Aku hanya mampu diam memandangnya yang berdiri didepanku dengan wajah merah marah. Sumpah! Aku nggak tahu harus bereaksi seperti apa, karena aku sadar kalau aku nyaris saja tergeletak dan kehilangan nyawa. Alvin sedikit menyeretku yang mirip orang linglung ke pinggir jalan sembari mengucapkan permintaan maaf pada orang tadi. Beberapa orang mulai mengerubungi kami.

 "Gha! Gha!!" Alvin memanggilku, mencoba menyadarkanku dari trans. Aku mendengarnya, tapi tubuh dan pikiranku ku yang kaget, menolak untuk bereaksi. "GHA!!!" panggil Alvin keras, diikuti oleh tamparan sedikit menyakitkan dipipiku.

 Mataku berkerjap kaget. Aku seakan-akan baru bangun dari mimpi buruk. "Vin. . . ," gumamku pelan dan meraba pipiku yang terasa panas.

 "Udah sadar?" tanya Alvin yg ku jawab dengan anggukan linglung.

 "Minum ini!" kata seseorang dan mengulurkan sebotol air mineral. Alvin yang cepat tanggap dan menerimanya. Dia segera membuka botol itu dan menyorongkannya padaku. Aku yg menurut, sadar kalo orang yang memberikan botol itu adalah si pengendara mobil tadi.

 "Temanmu yang idiot itu nggak apa-apa kan?" tanyanya lagi. Sepertinya pertanyaan itu dia ajukan pada Alvin. Jadi, aku adalah si idiot yg dia maksud. Sial!!

 "Aku nggak apa-apa. Cuma kaget! Maaf!" kataku cepat, mencoba mengembalikan sedikit harga diriku yang tercecer.

 "Kalo jalan jangan meleng!" gerutunya kesal dan segera berlalu. Kembali ke mobilnya dan melesat pergi. Orang-orang yg berkerumun pun mulai pergi sembari bergumam. Beberapa diantaranya tampak tertawa kecil. Hebat! pikirku. Aku jadi badut dadakan.

 "Maaf Gha! Aku tadi manggil kamu!" pinta Alvin dan membantuku berdiri.

 "Nggak Vin!" sangkalku dan menggeleng. "Aku yang ceroboh gak liat jalan!"

 "Kamu tadi keburu mau ke. . . ," Alvin menggantungkan kalimatnya.

 "KLUB!!!" pekikku sadar dan segera ngacir.

 "WOYY!! GHA!!!" teriak Alvin.

 Aku hanya melambaikan tanganku tanpa menoleh padanya. Aku harus segera sampai ke kantor redaksi. Hari ini pengumuman hasil dari polling kami kemarin, sekaligus penunjukkan siapa aja yang bertugas mewawancarai para pemenang. Siapa tahu aku dapet tugas ngewawancarain si Emma. Cewek beken di kampus yang bikin aku ingat terus sejak pertama kali melihatnya setahun lalu.

 Suara Mas Angga, ketua redaksi telah kudengar pada jarak 5 meter dari gedung redaksi. Gawat! Gw telat! Aku kembali berlari kecil lalu segera mengetuk pintu sembari mengucap salam. Mas Angga yg menyahut hanya menatapku sedikit tajam. Aku nyengir kuda dan cepat-cepat duduk di bangku kosong. Sialnya, aku dapat tempat disebelah Vivi. Cewek bertubuh subur yg agak sinting, karena dia gemar banget dengan segala sesuatu yg berhubungan dengan dunia gay.

Mana ada coba, cewek normal yang tertarik sama gay? Jelas-jelas yg namanya gay gak bakalan suka ma cewek. Tapi cewek edan ini berkilah kalo dia adalah contoh nyata atas apa yang disebut dengan fag hag! Apapun artinya itu.

 Dan disebelah kiri kursi kosong itu ada Regi! Cowok bertubuh langsing yang hobi banget ngomong pake bahasa banci salon. Bahasa tubuhnya yang melambai dan flamboyan sudah merupakan indikasi kalo dia 'sakit'. Tapi kadang kelakuannya suka rese. Gak liat-liat tempat kalo lagi kumat ngondek dan latahnya. Kadang suka bikin tengsin kalo dia mulai nyerocos pake bahasa anehnya ditempat umum. Apalagi suaranya cempreng abis. Tanpa pake megaphone, orang se Mall pasti bisa denger suaranya. Tapi dia bisa membuat kita tertawa dengan tingkahnya.

"Diem aja Kuntil!" umpatku pelan pada Vivi yang sudah hendak nyolot padaku. Dia cuma monyongin bibirnya.

 "Jij dari mandra ajijah sih Cin?! Sampe ngos-ngosan gitu," tanya Regi.

 "Udah diumumin?" tanyaku pd Regi, tanpa memperdulikan pertanyaannya tadi.

 "Belanda!" jawab Regi yg berarti belum. Aku menarik nafas lega dan segera konsentrasi pada Mas Angga. Dia menjelaskan tentang issue yg bakal dikeluarkan untuk bulan depan. Regi yang kebagian fashion departement sudah menyampaikan idenya tentang Paris Fasion week. Vivi, psychology sudah siap dengan eating disorder dan penyimpangan sex di lingkungan remaja. Health department sudah siap pula dengan makanan bebas bahan kimia berbahan dasar sayuran yg serba organik. Aku yang kebagian sebagai jurnalis bebas tinggal nunggu saja tugas dari Mas Angga.

 "Ok! Sekarang tentang hasil polling kita. Ada result yg mengejutkan pada kategori cowok. Pemenangnya. . . . ," Mas Angga menarik nafas sejenak, seolah-olah sengaja membikin kami semua tambah tegang. "Zaki Christian Osmond! Dia mahasis. . . . . "

 "KYAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!! IKKE MENAAAAAAAANNGG!!!!" jerit Regi beberapa detik kemudian mengagetkan kami semua. Dia jingkrakjingkrak kegirangan sembari langsung joget ngebor ditempat. Dia lalu berkacak pinggang dan menoleh ke beberapa orang. "Jij! Jij dan Jij!!!" tunjuknya semangat pada Vivi, Anggi dan Dina. "Bayar ikke seratus ribu, em?!" tuntutnya girang.

Hening!

Suasana redaksi benar-benar senyap. Semua terlalu kaget atas reaksi Regi yg tak terduga. Kami semua hanya mampu menatapnya bengong! Regi yang akhirnya sadar atas tingkahnya cuma bisa nyengir. Dengan malu dia berdehem pelan.
  
"Maaf!" katanya pelan dan kembali duduk.

 Detik berikutnya tawa kami pun pecah!

 "OK SEMUA!!!! CUKUP!!!" potong Mas Angga pada kami semua yg masih terkekeh karena ulah Regi tadi. "Hasilnya memang sedikit mengejutkan. Semuanya menyangka kalo Alvian, ketua BEM kita yg bakal jadi pemenangnya. Siapa sangka kalau justru mahasiswa pindahan dari Australia, Zaki yg jadi pemenangnya," lanjutnya dan mengetik sesuatu dikomputernya. Pada layar putih dibelakangnya muncul lima gambar pemenang kategori cowok kami.

Yang disebut Zaki pd urutan pertama. Alvian Reza Mahardika, ketua BEM kami yg terkenal cakep dan berprestasi pada posisi kedua. Ibrahim Ahmadi, ketua Rohis kampus kami (pasti yg milih para akhwat bin ikhwan nih! pikirku), pada posisi ketiga. Lucky Alamsyah, cowok yg pernah jadi bintang iklan diposisi ke empat. Dan terakhir, Dio Arwendra, kapten basket kampus kami yang tingginya hampir dua meter.

 Mataku langsung tertancap pada Zaki. Bukan karena wajahnya yang harus kuakui tampan dan agak bule, tapi karena mobil sedan yang ada dibelakangnya. Aku ingat jelas mobil itu. Mobil yg tadi hampir menabrakku!!

 "Dan Regha, kamu yg bertugas mewawancarai Zaki. Harus kuingatkan, ada rumor yg beredar kalau dia orangnya agak sulit. Jadi mungkin kau harus berusaha sedikit ekstra. Aku mau laporan perkembangannya minggu depan. Dan. . ."

Aku sudah tak mendengarnya lagi.

APA????!!!!!!!!



NOTE: Kamus kecil bahasa Banci Salon buat kalian.
 Jij (dibaca yey, berasal dari bahasa Belanda jij) = kamu
 Mandra = Mana
 Belanda = belum
 Ajijah = aja
 Ikke (jg berasal dari bahasa Belanda ik) = aku
 Em = singkatan dari emang/ember





RIZKY

 
Saat mataku terbuka pertama kali, hal pertama yang kuingat adalah, bahwa aku sudah pulang. Kembali ke tempat dmana aku dibesarkan. Tempat orang tuaku bermukim. Tempat dimana pemuda itu tinggal sekarang.
 
Aku menghela nafas. Bahkan pada saat pertama kali aku membuka mata, dia langsung muncul dalam pikiranku. Satu setengah tahun, batinku sedikit kesal. Satu setengah tahun aku memendam perasaan ini tanpa melakukan apapun untuk menghadapinya. Bukan karena tak mau, atau tak mampu. Tapi lebih karena aku tak memiliki pilihan lain.
 
"Regha. . . ," gumamku pelan. Nama itu sering tanpa sadar kuucapkan dengan nada lirih, sehingga hanya aku yang bisa mendengarnya. Masih kuingat dengan jelas saat pertama kali aku melihatnya. Waktu itu aku mampir ke rumah makan Ibu karena dirumah tak ada makanan. Aku yang baru datang dari Yogya, entah kenapa ingin makan disana.
 
"Selamat datang," sapa Regha yg waktu itu menyambutku. "Silahkan! Tempat duduk disana kosong."
Pegawai baru, batinku. Dia tak mengenalku sebagai putra tunggal Bos nya. Aku hanya mengangguk sekilas lalu nyelonong kedalam tanpa memperdulikannya.
 
"LHO?! MAS?!!" Dia menahanku yang sudah hendak mencapai pintu masuk ke ruang belakang warung. "Maaf Mas! Tapi selain pegawai, dilarang untuk masuk kedalam," terangnya dengan nada sedikit tegas.
 
Aku hanya tersenyum tipis mendengarnya. "Kalau putra pemiliknya?" tanyaku datar.
Mulut pemuda itu terbuka kaget. Dan sebelum pemuda itu bisa mengatakan apapun, pintu itu terbuka.
 
"Lho? Mas Rizky? Mau nyari Ibu Mas?" sapa Mbak Rasti yg sudah bekerja disini selama 3 tahun.
 
"Iya Mbak. Ada?" tanyaku.
 
"Didalam Mas. Langsung saja," jawab beliau dan melangkah untuk mengantarkan pesanan pelanggan.
Aku kembali berpaling pada pemuda yang masih berdiri dg satu tangannya yang menahan lengan kananku. "Sekarang boleh?" tanyaku dan melirik pada tangannya.
 
Pemuda itu cepat melepasnya dengan muka yang memerah. Dia mengangguk dengan gerakan sedikit kikuk sembari menggumamkan kata maaf yang kuacuhkan. Melihatnya mau tak mau membuatku geli. Aku berbalik dengan cepat, menyembunyikan senyumku.
Dari ibuku aku tahu kalau dia adalah seorang mahasiswa yang kerja part time. Namanya Regha dan berasal dari Majalengka. Pemuda yang kuliah jurusan akuntansi itu banyak membantu Ibu dengan pembukuan rumah makan ibu. Dan dia cukup bagus dalam bidangnya. Selain itu, Ibu bilang dia pemuda yang baik dan jujur. Karena itu Ibu mempertahankannya.
Beliau hanya tertawa saat kuceritakan insiden kami tadi. Regha kadang memang sedikit ceroboh dan kekanakan. Tapi selain itu, dia baik.
 
Waktu itu aku hanya mengangkat bahu acuh.
 
Bahkan saat Ibu memperkenalkan kami, aku pura-pura tak peduli, meski diam-diam aku memperhatikannya. Kata ceroboh dan kekanakan mungkin cocok untuk menggambarkan Regha. Saat kulihat dia beberapa kali tersandung saat berjalan. Pernah salah membawa pesanan pelanggan. Saat aku berada dalam mobil hendak pulang, kulihat dia keluar membawa sampah untuk dibuang ke tong yang berada bbrp meter dari Rumah Makan. Ada beberapa kotoran yang jatuh mengenai sepatunya. Dengan ngedumel pelan dia jongkok untuk membersihkannya tanpa sadar kalo saat itu dia menggunakan apron/celemek panjang yg tentu saja menjuntai dan mengenai genangan air bekas hujan. Sehingga kini bukan hanya sepatunya yang kotor, apronnya juga.
 
Aku cuma menggeleng kepala dengan keteledorannya. Tertawa kecil saat kudengar dia mengumpat pelan. Teledor dan kekanakan, batinku.
 
Tapi ternyata justru itu yang membuatku jatuh cinta padanya.
 
Yeeeaaaahhh!!!
 
I'm gay! Aku sudah menyadarinya sejak kelas 3 SMA. Pernah beberapa kali pacaran meski harus dengan super kucing-kucingan. Aku sudah melewati masa-masa galau dan bingung. Kini aku sudah bisa menerima keadaanku. Aku sudah bisa menerima perbedaanku. Meski aku masih merahasiakannya. Apa lagi dari orang tuaku.
 
Aku adalah anak tunggal mereka yg diharapkan meneruskan garis keturunan. Tak bisa kubayangkan kekecewaan di wajah mereka kalau tahu keadaanku. Karena itu aku sangat berhati-hati dalam menjalani kehidupan gandaku. Selalu berhubungan dengan orang lain daerah dg sangat rahasia. Baru saat kuliah di Yogya aku sedikit berani untuk berkencan dengan pacarku. Tapi disini, aku benar-benar menjaga diri. Mungkin karena itu juga aku tak punya begitu banyak teman. Meski banyak yang mendekatiku, aku selalu merasa sendiri dan kadang minder.
 
Dengan mereka yang straight, aku selalu merasa kalau lain dengan mereka. Banyak hal dari cara bersikap mereka yang membuatku tak nyaman. Contohnya, teman-teman ku kerap membuat lelucon soal kaum gay, terutama para banci. Bagi mereka, mereka hanya sosok aneh yg hanya menjadi bahan olok-olok. Itu salah satu hal yang membuatku tak nyaman. Karena mau tak mau, aku punya sebuah kesamaan dengan mereka. Kami sama-sama tertarik dengan sesama jenis.
Mau bergaul dengan para gay, aku juga tak mampu. Aku ngeri kalau harus bergaul dengan sekelompok orang yang kerjaannya ngomongin alat vital cowok doang. Berjalan dengan langkah yg sedikit melambai, berbicara dengan bahasa yang absurd dan aneh, serta sikap kemayu dan suara cempreng.
 
Tidak!
 
Aku tidak seperti itu.
 
Karena itu aku lebih suka sendiri. Dan lebih suka menjalin hubungan dengan orang luar daerah. Itupun dengan sangat berhati-hati, dan melalui proses dan penyelidikan yg lama. Aku tak mau berhubungan dg seseorang yang tinggal didaerah yang sama denganku. Karena aku benar-benar tak mau orang tuaku tahu.
 
Sialnya, aku justru jatuh cinta pada Regha, yang bukan hanya tinggal didekat rumahm tapi juga salah satu pegawai ibuku.
Mulanya kukira ini hanya naksir sesaat dan akan langsung hilang setelah beberapa lama. Aku lumayan sering mengalami hal itu. Naksir sebentar. Hanya sekedar kagum saat ada seseorang yang menarik lewat.
 
Tapi aku salah.
 
Sosok Regha benar-benar membuatku jatuh hati. Semakin aku memperhatikannya, semakin aku jatuh cinta.
Aku suka cara dia berjalan yang sedikit berjinjit. Cara dia ngedumel pelan karena kesal. Cara bibirnya mengerut kesal. Atau cara dia tertawa lepas. Aku suka semua tentangnya.
 
Tapi tentu saja, aku tak pernah bisa atau mau menunjukkan perasaanku yang sebenarnya. Aku lebih sering menghindarinya. Hanya memperhatikannya dari jauh. Pembicaraan yang kami lakukan pun selalu kubuat singkat. Karena aku tahu, terlalu berbahaya kalau aku bertindak.
 
Yang tak kusangka, bayangan anak itu selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Dalam waktu satu setengah tahun ini, aku masih menyukainya. Dia tak pernah lepas dari benakku. Tak perduli seberapa keras usahaku. Orang2 yg kuharap bisa membantuku menghapus bayangannya tak bisa melakukan apapun. Mereka hanya sosok-sosok pengganti yang hanya lewat sementara saja.
 
"Regha. . . ," gumamku lagi. Aku melirik jam wekerku. Hampir jam 11.30. Mungkin kalau aku mampir ke rumah makan sebentar, aku bisa melihatnya. Melepas kerinduanku.
 
Dengan pemikiran itu, aku bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi.



ZAKI

Bener-bener deh hari ini!
 
Dari permulaan,hari ini sudah membuatku kesal. Totally sucks! Dimulai dengan berita dari Mommy kalau dia masih akan berada di Singapura dua minggu ini. Padahal kemarin dia bilang akan kembali hari ini. Karena itu semaleman aku begadang menyelesaikan laporan bulanan Panti Jompo yang beliau minta.
 
Tapi dengan santainya, dia cuma memberi pesan singkat di mesin penjawab teleponku, dan mengatakan kalau kepulangannya tertunda.
 
Bukan hal baru sebetulnya. Tapi tetap saja aku kesal. Selama ini aku memang jauh dengan sosok Mommy. Seorang wanita karier yang kadang kehadirannya hanya seperti sosok bayangan cuma datang dan pergi semaunya. Sosok yang nyaris tak ia kenali. Hanya berstatus sebagai wanita yang melahirkannya.
 
Bahkan dulu, saat Daddy nya masih hidup. Mommy adalah orang yg jarang untuk bisa mempunyai waktu bersama. Dan setelah Daddy meninggal, frekuensi pertemuan mereka menjadi semakin sedikit.
Ada saat dimana aku berharap wanita itu bisa lebih dekat dengannya. Tapi kenyataan sudah mengajariku untuk berpikir lain. Dan aku sudah membiasakan diri dengan hal itu sejak dulu.
 
But it pissed me! A lot!!
 
Lalu tadi, ditengah perjalanan ke kampus, ban mobil kempes tanpa sebab yang jelas. Jadi aku harus menambalnya. Untungnya ada bengkel didekat ku berhenti. Jadi aku bisa langsung memperoleh pertolongan.
Jelas saja aku terlambat. Hanya sedikit waktu yg tersisa untuk tiba dikampus. Jadi aku sedikit ngebut.
Eh begitu hampir sampai, ada anak bego yang nyelonong nyebrang jalan tanpa lihat-lihat jalan. Hampir saja aku menabraknya. Untung saja aku cukup sigap. Bukannya menghindar, tapi kunyuk satu itu cuma berdiri bengong kayak pengidap autis ditengah jalan.
 
Mood ku yang sudah jelek dari tadi langsung membuatku ngamuk. Kubentak dia dengan kasar. Tapi begitu melihat tampangnya yang bego itu aku malah jadi tak tega. Tubuhnya gemeteran. Dia terlihat mengenaskan dan luar biasa kaget. Sehingga aku malah lupa hendak ngamuk dan justru memberikan botol air mineralku pada temannya yang membantu tadi, agar dia minum untuk menenangkan anak itu.
 
Karena tak ingin bertambah kesal lagi, aku cepat-cepat pergi dari sana. Dosen yang pertama mengajar adalah Pak Fauzi. Terlambat berarti aku akan dipermalukan didepan kelas. Dan aku tak sudi kalau hal itu terjadi. Apalagi hari ini.
Begitu memarkir mobil, aku segera berlari keruang kelas. Keningku sedikit berkerut karena dari jarak beberapa meter, aku bisa mendengar suara-suara berisik. Tumben-tumbenan Pak Fauzi membiarkan hal seperti ini terjadi.
 
"HONEY!!!!!" pekikan keras Emma menyambutku. "Why are you so late?!" tanyanya dengan bahasa Inggris ngeselin. Aksennya lebih mirip Cinta Laura wanna be yang suka bikin napsu pengen ngegaplok pake sandal.
Hari ini aku agak males untuk menggubrisnya.Tak ada penampakan Pak Fauzi. Aku masuk dan melihat kalau beberapa anak bergerombol membentuk kelompok. Emma sendiri langsung menarik tanganku untuk bergabung.
 
"Honey, gimana rambutku? Oke nggak?" tanya Emma dan beraksi menyibakkan rambutnya yang sekarang berwarna burgundy. Aku hanya mengangkat sebelah alis.
 
"Pak Fauzi?" tanyaku pada Noval dan langsung duduk disebelahnya. Tak kuperdulikan Emma yg tampak kesal karena tak mendapat responku
 
"Gak masuk dan ngasih tugas kelompok!" jawabnya singkat.
 
Aku menarik nafas lega mendengarnya. "Thank God! At least there's one thing good," gumamku pelan.
 
"Kenapa?"
 
"Let's just say that today is sucks!" sahutku singkat dan segera join mengerjakan tugas.

Bad mood hari itu tidak bisa sepenuhnya hilang. Belum lagi tingkah Emma yang bikin empet. Cari-cari perhatian gak jelas, dan ngomongin hal-hal yang tak bermutu, sama sekali.
 
Entah apa yg dulu membuatku mau untuk berpacaran dengannya. Mungkin hanya karena fakta bahwa dia cewek terngetop disini. Everybody likes her. Never know why. Tentu saja dia memang berparas cantik, bertubuh bagus dan bergaya up to date.
 
Tapi kadang omongannya suka gak jelas. Hobi banget ngeributin hal2 gak penting. Doyan belanja dan ke salon. Khas cewek. Tapi mungkin itu 2 hal yg membuatnya tampil selalu menarik.
 
Tadinya!
 
Sekarang, aku mulai jenuh dan lebih suka menimpali omongannya dengan jawaban-jawaban singkat yang tentu saja, tidak memuaskannya.
Begitu tugas selesai, kami (aku, Emma, Noval dan Egidia pacarnya, juga Reno dan Alvan. Kami selalu sama-sama) pergi ke kantin Pak Rahmat untuk minum es kelapa muda nya yg menyegarkan.
 
"Ntar malem kita nonton yuk Hon?" rengek Emma yang duduk disebelahku. Tangannya melingkar di lengan kananku. "Aku lagi pengen nonton film nih!"
 
"Gampanglah!" sahutku lagi singkat.
 
"Kamu kok dari tadi cuek gitu sih?!" gerutunya kesal. "Ditanyain jawabannya ngirit terus. Kamu bahkan gak perhatiin rambutku."
 
"Udah tau kalo ganti warna," sahutku cuek membuatnya makin cemberut. "Look, I'm just not in a good mood okay?! Just ignore me! I'll be fine. Later," pintaku.
 
"Eh Em, lo liat majalah C*sm* ga? Tas yg dipake Paris Hilton keren banget lho!" celetuk Egi. Dan tak lama kemudian mereka dengan seru ngomongin Paris Hilton dari ujung kaki sampai ujung kepalanya, sambil sesekali menjerit heboh.
I mean, do they have to? Mereka gak pernah liat apa video porno Paris Hilton sama pacarnya itu?! How she could be a total bitch in it?! Apa coba yang bisa dicontoh dari cewek yg mantan pacarnya ada dimana-mana?! What a waste! gerundengku dalam hati.
 
"Ada yang bisa gua bantu Bro?" tanya Noval yang duduk didepanku.
 
"It's fine. Sorry, but today's really sucks big time for me. Tadi aja aku hampir nabrak mahasiswa bego yang nyebrang ga liat-liat," jelasku sedikit menggerutu.
 
"Eh?! Yang bener? Siapa?" tanya Reno.
 
"Who cares?!" sergahku. "Begonya, tuh anak malah diem aja ditengah jalan meski gua klakson berkali-kali. What a douche!"
 
"Gimana kalo ntar malem kita ke club, supaya bete lo ilang?!" tawar Noval.
 
"Eh tapi nonton dulu dong?!" tukas Emma yang didukung oleh Egi. "Setelah itu baru kita ke club. Ya Hon?!"
 
Aku hanya mengangkat bahu. Emma ldan Egi langsung jingkrak-jingkrak seneng.
 
My God, please!!!!!
 
Jadi ingat dulu waktu di Australia zaman aku SMA. Kalo pada waktu itu cewek-cewek seperti Emma ini pasti masuk club cheerleader. Cantik, modis, dikenal dan populer. And usually they act like a total bitch. Stereotype dari film-film remaja Hollywood yang kukira cuma hasil imajinasi saja. Tapi ternyata benar-benar ada didunia ini.
 
Dulu aku juga nge-date dengan salah satu cewek cheer disana. Kimberly. Meski aku bukan member dari club basket/baseball. Aku anggota club renang dengan prestasi yang lumayan. Dan sepertinya itu cukup menarik perhatian karena Kim mendekatiku. Aku sih sebenarnya tidak begitu peduli dengan diskriminasi disekolah. Tapi kalo memang ada orang yang menganggapmu layak masuk gank elit, why should l deny it. Besides,it was fun and l got a hot girlfriend.
 
Dan lucunya, disini hal zaman SMA ku itu terulang. Emma yang dulu mendekatiku. Dan sepertinya dia cewek yang cukup dikenal, karena kulihat dia banyak menerima perhatian cowok-cowok disekelilingnya.
 
Jadi kupikir, kenapa tidak?!
 
Dering ponsel menyadarkanku dari lamunan. "Yes?" jawabku.
 
"Zaki, Mommy minta laporan yg dia minta kamu kirim segera. Bisa kan?" kata Lita asisten Mommy yang cekatan.
 
"Aku sedang kuliah. Nanti sore akan segera kukirim Lita!" jawabku cepat dan menghela nafas.
 
"Ok! Akan kutunggu!" jawab Lita dan menutup telepon.

Aku menatap ponselku seakan-akan itu barang dari luar angkasa. Padahal hanya berlangsung beberapa detik. Tapi itupun dia meminta asistennya! gerutuku dalam hati.
 
It's official.
 
Today's sucks! BIG TIME!!
 
Damn it!!!