"Lu suka banget
menyiksa diri!"
Komentar yang sedikit
pedas itu diucapkan oleh Ilung, sahabatku. Aku hanya memandangnya tanpa
menyembunyikan senyum getirku. Dia orang yang boleh dibilang tahu segalanya
tentangku. Apa yang kurasakan, ku alami ataupun inginkan. Hampir tak ada
rahasia kami. Persahabatan kami sudah berada pada fase dimana kami saling
menganggap masing-masing dari kami adalah keluarga. Karena itu, kami juga tak
segan mengungkapankan opini kami secara langsung.
"Sampe kapan lu mau
berakting gitu? Gua kira bakat lu cuma nulis fiksi doang. Ga nyangka lu pinter
akting juga. Ada audisi buat iklan obat panu di deket Tunjungan Plaza. Ga mau
ikut?" cetusnya lagi tanpa menyembunyikan nada sarkasnya.
"Gue........... harus
melakukannya!" kataku.
"Harus?" ulang
Ilung dengan nada sopan, namun toh pedas.
"Gua tahu lu
nganggep gua bodoh. Tapi gua ga bisa Lung........."
"Apa yang lu harap
Jay? Dia udah mutusin elu. Berbulan-bulan yang lalu. Dengan jelas dia udah
ngomong kalo dia ga bisa jalan ma lu. Dengan jelas pula dia udah nunjukin kalo
dia lagi pdkt ma seorang cewek. Yang artinya, lo keluar dari fokus dia. Kenapa
lo masih menyiksa diri dengan terus berada di sampingnya?"
"Lo pernah jatuh
cinta kan?"
"Gue.........."
Kali ini Ilung tak bisa
berkomentar. Karena dia tahu, cinta memang bisa mempersulit hal yang sebenarnya
mudah. Aku hanya tersenyum dan memandang sosok Miswant yang semakin tampak jauh, melaju di
atas motornya.
"Kebahagiaan dia
jauh lebih penting dari rasa sakit yang gue rasakan," kataku kemudian
pelan.
Tak ada sahutan dari
Ilung. Tapi aku bisa mendengarnya menarik nafas panjang.
Beberapa bulan kemarin, Miswant memang berstatus sebagai pacarku.
Yup!! Kami berdua gay. Setidaknya aku kira begitu. Proses jadian kami lebih
dibilang hanya main-main. Status jomblo sudah ku sandang selama belasan tahun.
Bukan karena nggak laku sih (Hey!! Itu fakta! Gue serius!!). Tapi lebih karena
belum ada yang bisa membuatku merasakan cinta seperti yang aku rasakan saat aku
pacaran dengan Hans. Mantan pertamaku. Orang yang bukan hanya menjadi cinta
pertamaku, namun juga menjadi orang yang mengenalkanku pada dunia abu-abu.
Aku tumbuh dalam
lingkungan biasa dimana saat aku masih kecil, sudah sepatutnya seorang
laki-laki, jatuh cinta dan berpacaran dengan wanita. Tapi kemudian Hans muncul
dalam kehidupanku saat aku menginjak masa balig. Masa dimana aku mulai
membutuhkkan perhatian lebih dari seseorang yang khusus. Tak ada insiden khusus
yang akhirnya membuat kami saling menyukai. Semua terjadi secara alami dan
dengan sendirinya. Aku dan Hans adalah sepasang teman satu kampung. Mulanya
hanya teman biasa seperti mereka yang lain di kampung kami. Kedekatan kami
menjadi lebih intens saat kami besar. Entah bagaimana permulaannya, kami menjadi
saling tergantung satu sama lain. Semua yang aku lakukan harus melibatkan Hans.
Begitu juga sebaliknya. Kami semakin membutuhkan kehadiran lebih dari
masing-masing kami. Membutuhkan perhatian yang lebih khusus daripada teman kami
yang lain. Kebetulan aku membentuk sebuah band dengan beberapa orang teman.
Hans yang meski tak memiliki bakat musik, tentu saja ikut gabung bareng bandku.
Sejenis groupies yang kehadirannya banyak membantu. Dan bahkan pada saat itu,
kami bersikap lebih dekat dibandingkan dengan anggota Band yang lain. Tak
canggung untuk saling memegang, saling suap makanan dan terkadang memeluk.
Tak ada anggota bandku
yang menganggap perlakuan kami aneh. Karena bahkan kami sendiripun tak merasa
lain pada awalnya. Tak ada sedikitpun terbersit dalam benak kami kalau apa yang
aku miliki bersama Hans memiliki makna lain. Kami semua bahkan sudah terbiasa
mandi telanjang bareng di kali gede yang ada dikampung kami. Tak ada perasaan
lain selain pertemanan.
Hingga suatu malam,
ketika Hans menginap di rumahku, kami melakukan sesuatu yang melewati batas
seorang teman. Rabaan-rabaan akrab kami menjadi berselimut birahi dan akhirnya
masing-masing dari kami mencari pelepasan hasrat dengan naluri kami yang polos
dan berdasarkan insting primitif kami. Pagi harinya, pertemanan yang kami
miliki telah berubah menjadi sebuah ikatan antara sepasang anak manusia.
Hubungan kami bertahan
selama setahun sebelum Hans mulai resah. Dia mulai mempertanyakan orientasinya.
Mempertanyakan masa depannya. Mempertanyakan kenormalan hubungan yang kami
miliki. Akhirnya, setelah 2 bulan ketegangan, Hans memutuskan untuk menjauh dan
melepasku. Aku tentu saja berusaha meraihnya kembali. Karena apa yang kumiliki
bersama Hans adalah hal yang terpenting saat itu. Hans mengajarkanku cinta. Mengajarkanku
bagimana menyayangi seseorang. Mengajarkanku berbagi dengan seseorang yang
spesial. Dia memberiku cinta dalam artian yang sebenarnya. Aku belum siap
kehilangan ciuman selamat pagi yang rutin dia berikan di keningku saat fajar
datang, dan dia harus menyelinap keluar dari kamarku agar tak dilihat anggota
keluargaku. Aku tak rela kehilangan kenyamanan yang kurasakan saat kami
berbaring bersama di kasurnya, dengan kepalaku yang bersandar di dadanya. Saat
dia membelai rambutku. Membiarkanku bermain dengan puting dadanya atau
pusarnya. Mendengar detak jantungnya. Aku tak rela kehilangan perasaan damai
yang kurasakan saat kedua tangan kami saling menggenggam di bawah meja, agar
tak ada teman kami yang melihatnya. Aku belum siap kehilangan semua itu.
Tapi Hans berada pada
masa kritis dimana dia mempertanyakan jati dirinya. Dan kami begitu muda untuk
memahami lebih dalam tentang apa yang kami miliki. Hingga kemudian Hans
benar-benar memutuskan ikatan denganku. Dia menjauhiku. Dan menjalin hubungan
dengan seorang cewek. Menunjukkan pada semua orng bahwa dia memiliki seorang cewek
sebagai pacar. Meninggalkanku yang tenggelam dalam kebingunganku.
Bingung akan perasasanku
padanya. Bingung akan rasa terikat yang kurasakan padanya. Bingung akan cinta
yang kurasakan padanya. Meski fakta bahwa kami sama-sama lelaki.
Hingga kemudian Hans
bertunangan dengan cewek itu!
Pukulan yang benar-benar
membuatku tertampar. Membuatku semakin merasa tersingkir dan............
abnormal.
Dari sana aku mencoba
untuk memahami semuanya. Aku banyak membaca buku, mencari di internet dan
bertanya pada beberapa orang yang jelas-jelas gay. Mereka yang termaginalkan
dalam lingkungan sosial kami dan mendapat predikat banci. Tentu saja aku juga menjaga jarak dengan
mereka. Menunjukkan pada mereka bahwa aku tidak memiliki maksud lain dan hanya
berteman dalam tingkatan yang wajar. Tapi aku memperhatikan, menyerap dan
belajar tentang semuanya. Sesekali mencoba bertanya sembari berusaha hanya
terlihat ingin tahu. Tak ada seorangpun yang tahu kalau aku memiliki
kecenderungan tertarik pada sesama sampai kemudian Ilung hadir.
Begitu melihatnya, aku
sudah bisa tahu kalau dia memiliki bakat gay. Sikapnya, cara dia berbicara dan
gerak tubuhnya. Hanya saja, reaksi pertamaku adalah iba. Dia terlihat seperti
seorang pemuda pendiam yang memiliki dunia sendiri. Tertutup dan kadang sedikit
tertekan. Aku yang dikenal supel bisa mendekatinya dengan mudah. Dan hanya
dalam hitungan bulan, aku bisa tahu sisi terdalam Ilung yang coba dia
sembunyikan dari mata semua orang. Dan untuk pertama kalinya aku membuka diri.
Mengungkapkan pada Ilung, apa yang sebenarnya kurasakan.
Tak ada tendensi lain
selain persahabatan yang kami miliki.
Bersama kami berusaha
memahami apa yang kami rasakan. Ku ceritakan apa yang yang aku alami bersama
Hans yang jelas membuatnya kaget karena tak sekalipun dia menyangkanya. Ilung
bahkan dengan santainya mengatakan kalau dia dulu juga menganggap Hans sebagai
cowok cakep.
Dengan Ilung aku
bersama-sama mencoba mencari perdamaian dengan diri kami. Mencoba menerima
fakta bahwa kami gay. Kami memiliki ketertarikan pada cowok juga. Saling
mendukung saat kami berada dalam tingkat emosi yang rendah. Dan saling
mengingatkan saat diperlukan. Bersama kami berusaha memahami pergolakan batin
kami. Perang antara apa yang kami rasakan, apa yang kami butuhkan, dengan apa
yang telah diajarkan pada kami. Perdebatan antara apa yang masyarakat sebut
dengan kenormalan, dan apa yang kami rasakan.
Membutuhkan waktu hampir
dua tahun bagiku untuk akhirnya bisa menerima kepergian Hans dan menerima fakta
bahwa aku memiliki kecenderungan menjadi gay. Dan setelah aku bisa lepas dari
bayangannya, aku berusaha membuka diri. Mencari tahu keberadaan orang-orang
sepertiku diluar sana. Hingga aku menemukan sebuah forum gay di internet.
Disini aku menemukan banyak wacana yang bermanfaat dan memperluas pemahamanku. Saat
itulah aku tahu, aku tak sendiri. Banyak mereka yang memiliki dan merasakan apa
yang telah ku alami. Disini pula aku menyalurkan hobi menulisku. Aku yang
senang menuangkan apa yang kurasakan ke dalam sebuah cerita fiksi menemukan
wadah untuk berkreasi. Dan ternyata mendapat sambutan yang cukup baik. Aku
menemukan banyak teman baru, meski kami hanya berkomunikasi lewat dunia maya.
Hingga kemudian aku
mengenal Miswant.
Dia salah satu pembacaku.
Dan yang membuatku terkesan adalah kemampuan dia membuat gambar kartun. Dia
memiliki bakat membuat sketsa. Setelah percakapan yang sederhana, kami kemudian
saling bertukar nomor. Yang menyenangkan, kami tinggal dalam provinsi yang
sama.
Hubungan kami berkembang
dengan sendirinya. Hingga kemudian kami bertemu karena pada akhirnya aku dan
Ilung memutuskan merantau ke kota Surabaya. Tempat dimana Miswant tinggal. Hubungan kamipun menjadi
intens. Hingga kemudian aku, entah karena alasan apa, meminta Miswant untuk menembakku. Miswant anak pemalu yang belum pernah
berpacaran dengan sesama cowok. Dia memang mengakui ketertarikannya pada sesama
jenis. Tapi tidak pernah sekalipun dia mengambil tindakan yang terlalu jauh.
Dia masih memiliki perdebatan dalam dirinya sendiri. Sama sepertiku, meski
secara pengalaman, aku sudah mendapatkannya dari Hans.
Singkat kata dia
menembakku, dan kami jadian. Tanggal 12 Desember 2012, jam 12 malam lebih
sedikit. Yeah............. aku memiliki ide konyol dengan menginginkan seorang
pacar pada tanggal dan jam itu. Tak ada yang serius dalam komitmen kami. Kami
berdua boleh dibilang asing, karena hubungan kami tidak pernah begitu mendalam.
Kami hanya mengenal masing-masing dari kami dari penampilan luar. Hanya hal
yang kami tunjukkan. Kami tak tahu apapun tentang latar belakang kami, keluarga
kami ataupun segala sesuatu yang mendasar. Intinya, hanya sebuah casual
relationship yang bagiku sedikit sekali maknanya.
Tapi ternyata itu menjadi
bumerang bagiku!!
Selain bakat melukisnya, Miswant adalah sosok ngocol yang kadang
membuatku gemas. Dia bisa mengeluarkan celetukan-celetukan nyeleneh yang
membuatku ingin mencekiknya karena kesal. Dia juga memiliki lesung pipit di
pipinya yang sedikit tembem. Dan yang paling ku sukai adalah, dia cadel. Dia
kesulitan dalam melafalkan huruf R dengan benar. Dan aku menyukainya. Dan tanpa
ku sadari, dia merambat masuk ke dalam hatiku yang bertahun-tahun kosong setelah
kepergian Hans.
Kesadaranku muncul ketika
suatu saat dia menghilang tanpa kabar selama seminggu. Tak ada sms, ataupun
telepon. Tentu saja aku cemas. Semua sms
yang ku kirim tak terbalas. Teleponku pun tak terjawab. Dan tidurkupun mulai
terganggu. Dalam beberapa malam aku bisa terjaga hingga menjelang subuh
memikirkannya.
Pada saat dia
meneleponku, akupun meledak!
"Lu apa-apaan sih?
Kenapa lu ngilang gitu aja? Lu ga tau kalo gua cemas apa?! Hampir tiap malam
gua gak bisa tidur gegara bingung mikir lu dimana. Lu kenapa.
Dan..........."
"Ibuku sakit,"
hanya itu penjelasan yang keluar dari mulutnya. Kalimatnya pelan, namun
terdengar begitu jelas di telingaku.
Amarahku menguap dalam
hitungan detik saat dia berdiri didepanku dengan wajah tertunduk. Ekspresi sedih
di wajahnya membuatku hampir-hampir tak bisa menahan diri. Kami berada di
pantai Kenjeran. Meski agak menjauh dari keramaian, orang-orang masih bisa
melihat dan memandang dengan aneh kalau aku memeluknya. Jadi aku berdiri diam
didepannya dengan kedua tangan terkepal. Miswant mengangkat wajahnya dan
menyunggingkan sebuah senyum sedih.
"Bagaimana keadaan
beliau?" tanyaku akhirnya.
"Sudah mending.
Aku.............. mudik seminggu kemarin," jelasnya, kembali dengan nada
pelan yang sama.
Bagaimana aku bisa marah
padanya dalam keadaan begini? Pada akhirnya kami mencari tempat duduk dan
mengobrol sembari memandang riak lautan didepan kami. Miswant menceritakan kondisi keluarganya.
tentang Ibunya yang sakit dan adiknya yang masih sekolah. Miswant yang membiayai keperluan adiknya
itu. Aku hanya mendengarkan disebelahnya. Mencoba menunjukkan dukungan lewat
kehadiranku.
"Jangan menghilang
lagi ya?" pintaku kemudian.
Miswant memandangku
dan menganggukkan kepala. Sepertinya dia masih belum ingin terlalu banyak
bicara. Tak ada celetukan-celetukan konyol yang biasanya dia keluarkan. Bahkan
lesung pipitnya pun lebih banyak bersembunyi hari ini.
"Aku ingin kita
mengenal lebih dalam," kataku lagi, setelah tahu dia tak akan mengatakan
apapun lagi. Kalimatku membuatnya memandangku dengan sorot tanya. Aku
tersenyum, "Aku tahu kita membangun sebuah hubungan berdasarkan sebuah
landasan yang abstrak. Kita tak mengenal masing-masing secara mendalam. Tapi
aku ingin mengenalmu. Memahamimu. Bisa membantuku?"
Miswant hanya
mengangkat bahunya.
Aku menghela nafas,
"Aku tahu mungkin ini bukan saat yang tepat. Tapi aku ingin mencobanya.
Setelah kau menghilang beberapa hari belakangan, aku mulai menyadari kalau aku
menyukaimu. Benar-benar menyukaimu,"
kataku jujur.
Hal itu bukan saja mengagetkan
Miswant, tapi juga
aku. Aku bukan golongan orang yang dengan gampang mengatakan apa yang
kurasakan. Aku lebih banyak mendengar dan memperhatikan. Terkadang membagi
sedikit apa yang ku miliki pada beberapa orang untuk meminta informasi atau
penjelasan dari mereka. Tapi itupun biasanya hanya mengenai apa yangg pernah ku
alami dan rasakan di masa lalu. Tak pernah aku mengatakan apa yang kurasakan
saat itu. Tapi dengan Miswant........... aku ingin memberitahukan semuanya.
"Aku tahu ini gila!
Percaya deh. Aku juga gak pernah nyangka kalau aku akan melakukan ini. Tapi aku
ingin kau tahu, aku benar-benar menyukaimu. Kau orang pertama yang bisa
membuatku sulit tidur selama beberapa malam sejak aku lepas dari Hans. Dan itu
telah bertahun-tahun yang lalu. Kau orang pertama yang membuatku merasakan
ini."
Lesung pipit itu muncul
saat dia tersenyum, "Masa?"
Aku menggeram melihat
ekspresi geli di wajahnya, "Ya! Dan aku ingin tahu, apa yang kau lakukan
sehingga aku seperti ini?!!" tanyaku tajam.
Pertanyaanku itu membuat
senyumnya menghilang, "A-apa?!!!" tanya dia kaget bercampur gugup.
"Apa yang kau miliki
sampai-sampai aku kelimpungan gini hah?!!" tanyaku lagi, masih dengan
menatap langsung ke bola matanya, "Katakan apa yang sudah kau lakukan?!
Tak mungkin aku bisa kebingungan seperti ini hanya gara-gara orang sepertimu.
Aku sudah didekati oleh seorang mantan model, pengusaha dan bahkan seorang
seleb dari Jakarta. Tapi tak ada satupun dari mereka yang membuatku kebingungan
seperti ini. Hanya kamu. Pasti kau memiliki sesuatu. Susuk? Dukun mana?"
Mulut Miswant terbuka tanpa suara. Matanya yang
membelalak menyiratkan kekagetan yang luar biasa. Dia menggeleng kuat-kuat,
"Eng-enggak ada. Ak-aku ga-gak pernah begitu," katanya tergagap-gagap
dengan wajah yang mulai sedikit memucat.
"Bohong!!! Katakan
apa yang kau miliki? Susuk apa?"
"Aku nggak punya
apa-apa. Sumpah!!" ujarnya dengan wajah memelas.
Aku tak bisa menahan
diri. Akupun tertawa terbahak-bahak. Geli oleh reaksinya. Miswant yang akhirnya sadar kalo sedang ku
kerjai hanya mampu ngedumel pelan.
"Seleb ya? Siapa?'
tanya Miswant setelah aku
bisa menguasai diri.
Aku mengibaskan tangan,
"Ada lah. Aku gak bisa bilang. Ada perjanjian tak tertulis diantara kami.
Tapi itu gak penting. Aku nggak tertarik," kataku santai.
"Kenapa?"
Aku tersenyum,
"Karena dia nggak bisa bikin aku merasakan apa yang aku rasakan
sekarang," jawabku pelan.
Miswant tertegun
sejenak, tapi kemudian balas tersenyum.
"Jangan menghilang
lagi ya?" pintaku, "Andai diibaratkan, kita berdua baru saja menanam
pohon. Pohon itu perlu disiram, di pupuk dan diperhatikan agar bisa tumbuh
dengan sehat. Kalau kita tidak merawatnya, pohon itu tentu saja akan
mati."
"Akan ku coba,"
kata Miswant dan
menggenggam tanganku sekilas dan kemudian melepasnya. Tak ingin menjadi
perhatian orang-orang yang ada di sekitar kami, "Tapi
menurutmu................. akan sampai mana hubungan yang kita miliki?"
tanya Miswant dengan mata
yang terarah lurus ke depan.
Aku menghela nafas. Aku
sudah sering membahas hal itu dengan beberapa teman yang ada di forum,
"Aku tahu tak ada yang namanya 'bahagia selamanya' bagi hubungan seperti
ini. Happily ever after tak ada dalam hubungan seperti yang kita miliki.
Pada suatu titik, kita pasti akan berpisah. Entah karena apa yang kita miliki
telah hilang, atau karena sebuah pernikahan. Kita hidup di Indonesia. Suatu
saat, hal itu pasti terjadi," kataku pelan dengan tenggorokan yang
tiba-tiba saja tercekat.
"Menikah?"
gumam Miswant pelan.
"Kau tak pernah memikirkannya?"
tanyaku tanpa menyembunyikan kegetiran yang kurasakan, "Keluargamu pasti
akan bertanya suatu saat. Dan sebesar apapun rasa sayang yang dimiliki oleh
orang-orang seperti kita, tak akan ada istilah pernikahan bagi mereka disini
kan? Kalaupun ada yang nekat, mereka harus keluar dari negara ini. Itu fakta.
Jadi................ yeah! Aku tahu, pada suatu saat, di suatu titik, kita
akan................. berpisah."
Bahkan saat aku menyadari
fakta itu, aku tak bisa menyembunyikan ketakutan yang kurasakan saat aku
mengatakannya.
"Aku tak
menginginkan janji atau harapan--harapan kosong bahwa kita bedua akan kita
bahagia bersama selamanya Wan. Sudah lama aku menyadari fakta itu. Aku juga tak
mengharapkan kalau kau berikrar sampai mati untuk bersamaku. Aku tak
menginginkan itu. Aku ingin kita bersama, menghargai apa yang kita miliki saat
ini. Aku ingin kita saling mendukung untuk kebahagiaan dan kebaikan kita
masing-masing. Saling memberikan support untuk maju dan menjadi lebih baik.
Kalaupun tiba suatu saat nanti kita harus berpisah, aku ingin kita berpisah
dalam damai dan dalam sebuah hubungan yang persahabatan yang indah. Saling
mendukung hingga saat itu tiba. Aku berjanji, aku akan ada disana saat kau akan
menikah. Aku janji akan menemanimu melewati momen itu, Memberimu dukunganku
untuk menempuh hidup baru. Dengan cinta. Tak ada marah atau sakit. Karena kita
berdua tahu, kita akan tiba disana. Itu yang aku inginkan."
Miswant menatapku
dengan intens, "Kau........... mau melakukannya?"
"Kalau itu yang kau
inginkan, aku akan disana. Aku berjanji!" kataku.
"Kau sudah lama
memikirkan ini?" tanya Miswant.
Aku mengangkat bahu,
"Kita hidup di Indonesia. Pada suatu titik, lingkungan sosial ataupun
keluarga kita pasti akan bertanya-tanya kan? Bahkan mungkin menuntut kita untuk
memiliki ikatan, yang mereka sebut normal. Pernikahan. Itu sudah tak bisa
terhindari."
"Tak
terhindari........." gumam Miswant pelan.
"Yeah! Tapi sebelum
itu, kita punya apa yang kita miliki sekarang. Dan aku ingin membaginya
denganmu. Aku ingin kita memiliki hubungan itu. Hubungan dimana kita saling
melengkapi, saling mendukung dan saling menemani. Aku ingin kita bareng menuju
kehidupan yang nantinya akan kita miliki. Saling mendukung dan membantu."
"Seks?"
Aku tertawa, "Itu
akan terjadi dengan sendirinya. Saat kau dan aku siap. Saat kau dan aku
menginginkannya," jawabku pelan.
Dia diam untuk beberapa
saat lamanya, "Aku suka itu," kata Miswant akhirnya. Aku hanya mengulas senyum
untuk membalasnya.
Kemesraan kami hanya
berlangsung sebulan. Setelah itu dia kembali menghilang. Tanpa pamit. Tanpa
memberi kabar.
Untuk beberapa hari
lamanya aku berada dalam kekalutan. Semua pekerjaanku terganggu. Sulit untuk
berkonsentrasi saat pikiran terpecah. Tidur malampun menjadi tak lelap. Aku tak
tahu harus melakukan apa. Aku sudah mencoba sms dan telepon. Semua kembali tak
terbalas. Aku tak bisa menemuinya, karena memang kami tak mengetahui dimana
masing-masing dari kami tinggal. Aku dan Miswant benar-benar menjaga agar kami tak
berinteraksi dengan orang yang sama. Hanya untuk menjaga keamanan dan
kenyamanan kami.
Aku sempat berpikiran
jelek. Mungkin telah terjadi sesuatu pada Ibunya. Mungkin dia sakit. Mungkin
dia.............
Entahlah. Aku tak tahu
harus berpikir apa lagi. Aku hanya mencoba menjalani hari-hariku dengan biasa,
dan menunggu. Ilung yang selalu menemani dan menenangkanku. Menjadi tempat
sampah di mana aku membuang semua kegundahanku. Dia mencoba memberiku opini dan
opsi. Mungkin saja Miswant memang tidak menginginkanku. Mungkin saja dia menghindar
untuk lepas dariku. Atau................. dia sudah memiliki yang lain.
Aku tahu kalau kadang hal
itu tidak membantu. Tapi setidaknya, dia bisa memikirkan hal terburuk yang bisa
terjadi. Dan aku bisa bersiap-siap. Namun............ menunggu memang pekerjaan
yang menyebalkan.
Hingga beberapa bulan,
aku masih belum menerima kabar apapun darinya. Miswant masih menghilang tanpa jejak. Hingga
kemudian salah seorang temanku di dunia maya memberiku kabar. Dia mengatakan
bahwa ada seseorang yang berusaha mencari tahu tentangku dan alamatku. Yang
mengejutkan adalah saat dia menyebutkan nama Miswant. Aku heran, tentu saja. Akhirnya aku
memberi izin pada temanku itu untuk menjawab pertanyaan Miswant dan menunggu. Apa yang sebenarnya
dia inginkan.
Dia mengirimiku kado
ulang tahun!!!
Tepat disaat aku mengira
dia sudah melupakanku, dan apa yang kami miliki telah berakhir, dia kembali
masuk dengan mudahnya ke dalam perasaanku. Aku dia buat terharu oleh usahanya
dalam mengabulkan apa yang ku inginkan. Beberapa hari sebelumnya, aku memang
membuat status dengan menyebutkan beberapa benda yang menjadi wish list
di tahun yang akan datang. Kebetulan ulang tahunku jatuh pada tanggal 2
Januari. Jadi sering aku membuat daftar wish list tentang apa yang aku
ingin miliki dan ingin lakukan di tahun yang baru.
Dia membacanya dan
memberikan satu benda diantara beberapa yang menjadi wish list ku.
"Terimakasih,"
kataku, saat beberapa hari sesudah aku menerima kadoku, kami janjian bertemu di
dekat jembatan SuraMadu, "Aku memang menginginkannya."
Dia tersenyum tanpa
membalasnya.
"Kenapa menghilang
lagi?" tanyaku tanpa bisa menahan diri. Aku sebenarnya ingin menunda hal
itu. mencoba mencari tahu nanti setelah semua kekakuan yang kami rasakan
mencair. Tapi aku tak bisa menahan diri.
"Aku.............
ada masalah di kantor," katanya sembari menendang-nendang pot semen yang
ada di sebelahnya.
"Dengan?"
"Bos ku. Gak tau
kenapa, sepertinya dia terus mencari gara-gara denganku. Mungkin aku akan
keluar dan mencari pekerjaan baru," katanya lagi.
Aku diam, sejenak
berpikir untuk bereaksi bagaimana. Kembali menjadi terharu, karena dia masih
mau menyisihkan uangnya untuk memberiku kado,
sementara aku tahu, kondisi keuangannya tidak terlalu baik. Terlebih
lagi sekarang dia bermasalah dengan Bos-nya , "Lalu............ ada
rencana mau kemana?"
"Nggak tahu,"
jawab Miswant sembari
mengangkat bahu.
"Kembali ke
Bali?" tanyaku. Dia pernah bercerita kalau dulu, dia pernah kerja di Bali
dan menyukainya.
Dia menggeleng, "Aku
sudah nggak dibolehin lagi kerja di Bali sama Ibu. Mungkin masih di Surabaya
aja," katanya singkat.
Tanpa sadar aku
menghembuskan nafas lega mendengarnya, karena tahu dia tidak akan pergi terlalu
jauh.
"Pikirkan saja dulu.
Lakukan apa yang menurutmu terbaik," ujarku, mencoba memberi dukungan.
Dia mengangguk, lalu
melihatku sejenak. Untuk beberapa saat pandangan kami bertemu, sebelum akhirnya dia memalingkan muka,
"Ada............ sesuatu yang aku ingin katakan."
Tanpa sadar tubuhku
langsung menegang. Ini dia!!!
"Sepertinya.................
aku belum siap untuk memiliki pacar," ujarnya pelan.
Aku diam, berusaha
menceerna makna kalimatnya tadi. Tapi aku benar-benar tak mengertI,
"Ma-maksudmu?" tanyaku, berusaha terdengar biasa.
"Sebaiknya
kita.............. jangan pacaran ya? Istilah pacaran sepertinya terlalu berat.
Bagaimana kalau kita jadi teman tapi mesra saja?"
"TTM?" tanyaku
tak percaya. Dia menjawabku dengan anggukan, "Alasannya?" kejarku.
"Istilah pacar
membuatku merasa ..................memiliki suatu kewajiban yang harus ku
lakukan. Sedikit........... tidak nyaman. Terlalu berat untukku," katanya
tanpa memandangku.
Aku menghela nafas
mendengarnya, "Masih ingat percakapan kita dulu? Bahwa aku ingin kita
menjadi pasangan yang saling mendukung dan membantu menuju hal yang lebih baik?
Bahwa meski itu berarti kita harus berada di sisi salah satu dari kita yang
nantinya akan menikah dulu? Bukankah itu juga bisa disimpulkan sebagai sebuah
hubungan persahabatan sejati? Meski mungkin akan ada seks didalamnya. Seperti
yang kau singgung dulu."
Dia tak langsung
menjawab. Tapi diam dengan kepala tertunduk.
"Harus berapa kali
aku memintamu untuk terbuka padaku? Berbagi padaku. Biarkan aku menjadi bagian
dari hidupmu agar aku bisa mengerti."
Dia tak menjawab. Hanya
membuang muka dan kemudian menatap lururs kedepan dengan pandangan yang
menerawang. Ada apa sebenarnya Wan? Apa yang membuatmu tak bisa
bercerita padaku?
batinku. Kadang aku merasa seperti seorang pasangan yang terlalu menekan dan
memaksa. Tapi seingatku, aku malah mencoba toleran dengan sikapnya. Aku tak
pernah menuntutnya untuk melakukan macam-macam hal.
"Baiklah...........,"
kataku akhirnya, memecah keheningan diantara kami yang semakin terasa tak
nyaman, "Kita gunakan istilahmu."
Itu membuatnya sedikit
tersenyum. Dia masih tak mengatakan apa-apa. Tapi satu tangannya meraih tangan
kananku dan menyatukan jari jemari, kemudian meremasnya. Aku mencoba
menampilkan wajah senangku, meski dalam hati, aku msih penuh dengan tanya.
Dan selang beberapa
waktu, dia kembali menghilang.
Kali ini aku mencoba
mengikuti pola sikapnya. Aku tak lagi sms atau mencoba menelponnya. Aku tak
lagi heboh dan bingung kemana-mana. Kali ini aku hanya diam, membiarkannya.
Memberinya waktu untuk datang sendiri padaku. Aku hanya berharap bahwa apapun
yang sedang dia alami, dia akan baik-baik saja.
Dan waktupun berlalu.
Hari......
Minggu.....
Bulan........
Tak ada sedikitpun kabar.
Bahkan status facebooknya pun jarang sekali updet. Aku tetap bersabar dan
menunggu. Sesekali bila ku lihat dia updet status, aku bisa menarik nafas lega,
karena dengan begitu aku tahu dia baik-baik saja. Tapi tak pernah sekalipun dia
memberiku kabar. Aku tetap menahan diri.
Aku bahkan tak ingat
berapa lama dia mendiamkanku. Aku sudah berhenti menghitung hari, minggu dan
bulan yang berlalu. Hingga kemudian aku pergi ke Bali untuk menjenguk Ibuku.
Minimal setahun sekali
aku memang pergi ke Bali. Sekedar bertemu dan menjenguk Ibu yang bekerja
disana. Juga menjenguk Alejandro, anjing peliharaan Dudi yang selalu membuatku
gemas. Hari itu setelah berjalan-jalan ke Duta Plaza dan Gramedia, aku santai
ngobrol bersama Ibu sembari nonton tv. Sampai kemudian dering ponselku memotong
pembicaraan kami. Sebuah nomor asing yang tak ku kenal.
"Ya, halo..?"
sapaku.
"Hai, lagi
dimana?"
Aku mengernyitkan dahi
karena tak bisa mengenali suaranya, "Maaf, ini siapa?"
Dia menjawab, tapi aku
tak bisa dengan jelas menangkapnya karena terganggu suara tv.
"Maaf, siapa?"
ulangku.
" Miswant”.
Satu kata itu membuatku
terdiam beberapa saat. Aku bahkan tak mengenali sama sekali suaranya tadi.
Setelah sadar siapa yang menghubungiku, akupun bangkit dari dudukku, keluar
menuju halaman samping.
"Sebentar,"
pamitku padanya dan keluar. Alejandro yang melihatku langsung menyalak senang.
Dia melompat-lompat dan memainkan kedua kaki depannya ke kakiku. Mengajak
bermain. Aku hanya tersenyum dan mengusap kepalanya, lalu duduk di bale-bale,
"Hai....apa kabar?" sapaku.
"Alhamdulillah baik.
Kamu gimana?" tanya Miswant balik.
"Alhamdulillah baik.
Ini lagi di Bali, jenguk Ibu," jawabku. Alejandro menyalak dan kemudian
duduk berbaring disebelahku, "Dan juga Alejandro," sambungku lagi dan
tertawa kecil sembari mengusap lagi kepala Ale. Dia memejamkan matanya dengan
lidah terjulur keluar. Sementara Laura, pasangan Alejandro yang masih asing padaku
hanya memandang dari bawah mobil tanpa mendekat.
"Itu tadi
Alejandro?" tanya Miswant. Dia memang sudah mendengar soal Ale dari ceritaku.
"Yup!" jawabku
singkat, "Jadi............... habis kemana aja?" tanyaku kemudian.
"Hmmmm......... lagi
ada di kampung."
Aku langsung menegakkan
punggungku, "Ibu baik-baik saja?"
"Sudah jauh lebih
baik," jawab Miswant.
Aku menarik nafas lega
mendengarnya, "Syukurlah," komentarku singkat.
Miswant diam
sejenak, "Aku jahat ya?"
Aku mengangkat sebelah
alisku, "Iya, memang!" jawabku lugas.
Dia tertawa kecil,
"Dari kemarin aku tuh berpikir. Aku ngerasa bener-bener jahaaaat padamu.
Suka ngilang gitu aja. Ga perhatian. Semaunya. Ga pernah kasih kabar."
"Alhamdulillah
nyadar," celetukku.
"Karena itu aku
merasa kalo aku tuh nggak pantas untukmu."
Hening!
Aku bahkan terlalu kebas
untuk langsung bereaksi. Kata pertama yang melintas di benakku adalah, klasik!
Skenario klasik dimana sang pacar menggunakan frase 'aku tidak pantas untukmu'
itu sebagai intro bahwa dia............. hendak memutuskan hubungan. Aku tahu
kalimat apa yang akan dia katakan selanjutnya. Tanganku yang membelai-belai
kepala Alejandro langsung berhenti. Ale mengendus-endus dan menjilat tanganku
karenanya.
"Kamu layak untuk
mendapatkan orang yang lebih baik."
"Kamu mau
putus?" bisikku pelan langsung. Aku tak tahan mendengar basa basi
kosongnya.
"Menurutku akan
lebih baik begitu," ujarnya.
Aku memejamkan mata, tak
memperdulikan dengkingan pelan Ale yang kemudian menyurukkan kepalanya ke
pangkuanku. Dia mungkin sudah memiliki orang lain Jay. Karena itu dia
menghilang selama ini. Apa yang kau harapkan? batinku.
"Jay?" panggil Miswant.
"Ya..."
jawabku, mencoba terdengar biasa, meski aku yakin dia bisa menangkap yang lain
dari nada suaraku, "Jadi........... kau ingin kita berteman?"
"Iya. Menuruku akan
lebih baik kita berteman saja," katanya membenarkan.
Aku tertawa kecil, getir,
"Hubungan kita lucu ya? Dari pacaran, turun jadi TTM. Sekarang turun
derajat lagi menjadi teman."
"Aku sudah banyak
bikin kamu susah Jay. Aku tahu itu. Aku minta maaf. Beberapa hari ini aku
memikirkannya terus. Rasa-rasanya nggak pantas aku perlakukan kamu begini. Aku
tak pernah memberitahukan apapun padamu. Aku suka tiba-tiba menghilang tanpa
menjelaskan dan memberi kabar."
Lalu kenapa kau tidak
melakukannya? Sebegitu susahkah mengetik sebuah sms singkat untukku?
"Rasanya nggak adil
bagimu."
Dengkingan Alejandro
membuat mataku berkerjap. Tanpa sadar aku mengangkat tangan dan mengusap sebuah
aliran bening di pipiku. Aku memandang Alejandro yang melihatku dengan lidah
terjulur. Seakan-akan dia mengerti kegundahanku. Untuk sejenak, telingaku
seolah-olah memblokir suara Miswant yang mengajukan berbagai dalih dan permintaan maaf.
"Kadang aku merasa
kalau manusia itu benar-benar mahluk yang kompleks dan rumit. Berbeda dengan
anjing ya?" gumamku pelan.
Miswant diam
sejenak, sepertinya dia kaget dengan kalimatku yang mungkin dia pikir ngaco,
"Anjing?" ulangnya.
"Ya," jawabku
dan kembali mengelus kepala Ale, "Anjing adalah makhluk sederhana yang
menakjubkan. Beri saja dia sedikit kasih sayang dan perhatian, maka dia akan
memberikan kesetiaannya seumur hidup. Berbeda dengan manusia. Meski kita sudah
berusaha untuk menyayangi, memperhatikan dan mencintai................ reaksi
yang dia tunjukkan bisa jauh berbeda. Malah menyakitkan."
"Jay.........."
"Jadi kau ingin
berteman? Baiklah," potongku cepat, tak ingin mendengar lebih lanjut
dalihnya.
"Bener?"
"Yup!!" jawabku
mantap, "Tapi............ aku minta sedikit pengertian darimu."
"Soal?"
"Aku sudah pernah
bercerita sedikit tentang masa laluku kan? Tentang Hans dan segalanya. Kamu
orang pertama yang berhasil membuatku kembali merasakan cinta, setelah
bertahun-tahun ini. Mungkin aku akan membutuhkan waktu untuk lepas dengan
sepenuhnya darimu. Aku minta, kau sedikit bersabar ya? Mungkin aku masih akan
sms kamu. Komen di statusmu. Atau mungkin meneleponmu. Ku harap kau tidak
merasa terganggu. Aku janji, suatu saat, aku akan bisa melupakanmu. Tapi saat
ini, aku belum bisa."
Aku tahu kalau aku terdengar
menyedihkan. Tapi dengan Miswant, aku tak segan untuk mengatakan apa yang kurasakan.
Aku tak ingin dia memiliki dugaan tak enak atau apapun. Sejak awal, aku sudah
memutuskan untuk jujur padanya. Dan aku berniat melakukannya hingga akhir.
"Bersabarlah
denganku untuk sementara waktu," lanjutku, menguatkan suara agar aku tak
terdengar lemah, "Akan ada masa dimana aku akan mengingat hari ini dengan
tawa. Tapi.........itu membutuhkan waktu."
"Tentu saja,"
ujar Miswant.
Aku tertawa kecil,
"Baiklah. Kalau begitu kita berteman. Aku masuk dulu, ok? Malam Want."
"Malam!"
Aku memutuskan kontak dan
memeluk Alejandro yang telah bangkit dan menyurukkan kepalanya di leherku.
"Makasih ya
Le," bisikku lirih, membiarkan semua kesedihan yang kurasakan mengalir.
Hanya pada Ilung aku
menceritakan akhir dari hubunganku dengan Miswant secara detil. Dia mendengus keras
saat aku selesai bercerita.
"Lo kasih nomer dia
ke gue deh!" tukasnya.
"Buat apa?"
tanyaku bingung.
"Mo gua damprat tuh
orang!"
Aku tertawa kecil,
sedikit terhibur oleh reaksinya, "Apaan sih? Udahlah. Emang udah ga bisa
jalan kali Lung. Ga bisa dipaksa kan. Lagipula............. semua itu cuma
membuktikan kalo cinta gue bertepuk sebelah tangan," kataku. Ilung hanya
tersenyum mengerti waktu itu dan meremas bahuku pelan.
Dan hubungan kamipun
menjadi seperti awal kami berkenalan. Hanya aku yang sesekali mengirim sms atau
meneleponnya. Miswant menanggapinya dengan sopan dan biasa, layaknya seorang teman. Bahkan
saat membalas smsku, sesekali dia menggunakan panggilan sayang yang dia berikan
padaku, sweetie. Aku tak bisa menyangkal kalau ada sedikit harapan di sudut
hatiku, kalau kami bisa bersama lagi. Aku masih menyukainya. Aku masih
menyimpan beberapa fotonya di ponselku. Aku masih memandangi foto itu saat aku begitu
merindukannya.
Benar-benar menyedihkan.
Karena sikap Miswant selalu berada dalam batas pertemanan saja. Aku saja yang masih
bergantung pada selembar harapan tipis yang rapuh. Dan bahkan lembaran tipis
itu pada akhirnya harus ku lepas saat kemudian dia meng-upload sebuah
foto di facebook. Foto itu menunjukkan sketsa wajah seorang cewek yang
menggunakan kerudung. Di sebelah sketsa itu tergeletak ponsel Miswant yang menunjukkan foto cewek yang
sama di screen-nya.
Rasa-rasanya ada sebuah
tamparan keras yang dia berikan ke mukaku. Tanganku yang waktu itu memegang
ponsel gemetar keras. Apa yang kau harapkan Jay? Dalam hati kau sudah
mengetahuinya kan? Dia sudah memiliki orang lain. Berhentilah mempermalukan
dirimu!!
Aku memejamkan mata,
membiarkan rasa pahit dan sakit itu merambati tubuhku. Membiarkannya
menyengatku dengan begitu hebatnya, berharap dengan begitu aku segera sadar dan
mengusai diri. Tahu bahwa semua telah berakhir. Dan aku harus segera menjauhkan
diri.
Ya.............
Menjauhkan diri!
Itu yang harus aku
lakukan.
Aku segera mengetik
sebuah sms untuknya.
To : Miswant
Aq sudah liat fotonya.
Dan aq ngerti. Selamat.
Aku pamit.
Terimakasih atas smua
ksabaranmu.
Aq sudah siap skrng.
Sudah blokir facebook n unfollow twttrmu.
Hapus sja kontak q
Bye!
Taklama kemudian dia
membalasnya.
From Miswant
Lho?
Ada apa?
Kok tiba2?
Jgn bunuh diri dulu.
Aq masih pngen baca
critamu
Khas Miswant. Selalu menemukan celetukan konyol.
Tapi aku sudah tak mau merasakan sakit lagi. Seperti yang ku bilang, aku segera
memblokir akun facebooknya. Juga unfollow akun twitter-nya. Aku juga menghapus
namanya dari daftar kontakku. Rasanya seperti menarik tiba-tiba sebuah perekat
di kulit. Perih dan nyeri.
Aku mencoba menjalani
hari-hariku dengan normal. Mencoba mengabaikan semua hal yang mengingatkanku
pada Miswant. Menggunakan
waktu luang yang ku miliki dengan menulis fiksi bersambung yang ku posting di
sebuah forum gay. Sesekali berinteraksi dengan beberapa pembaca yang tertarik
untuk mengenalku.
Aku tahu aku akan tetap
hidup tanpa Miswant. Aku paham kalau aku akan terus menjalani hari-hariku meski dia sudah
menghilang dari gambar. Tapi aku tak bisa begitu saja mengacuhkan ruang hampa
yang dia tinggalkan di hatiku. Terdengar konyol? Mungkin. Tapi dia adalah orang
yang mampu memberi sedikit kesegaran dalam hidupku yang beberapa tahun ini
kering. Dan kepergiannya memberikan bekas yang tak mungkin hilang begitu saja.
Aku masih membutuhkan waktu untuk terbiasa.
Lucu sebenarnya kalau
berpikir bahwa aku bisa merasa begitu kehilangan oleh seseorang yang ku kenal
hanya dalam waktu singkat. Tapi memang seperti itu kan bila hati kita telah
terjerat? Pertimbangan-pertimbangan logis dan rasional seakan-akan tertutup.
Akal sehat menjadi lumpuh. Dan mata serta telinga kita tak berfungsi dengan
sempurna. Bahkan disaat kebenaran dan fakta yang sebbenarnya ada didepan kita,
pikiran kita akan menemukan dalih untuk menyangkalnya.
Aku merasakan itu.
Aku bukan orang yang
gampang menyukai seseorang. Tapi dengan Miswant............ aku kalah. Aku tak
menyukainya. Aku benci menjadi lemah dan terkesan pecundang. Karena itu, sebisa
mungkin aku berusaha untuk terus melangkah maju. Meyakinkan diriku sendiri
bahwa semua baik-baik saja. Ini hanya proses. Dan suatu saat nanti, saat
menoleh ke belakang, aku akan menertawakan kekonyolan yang ku rasakan sekarang.
Hal itu yang terus ku
ulang-ulang dalam hatiku. Dari luar aku memang terlihat baik-baik saja. Tapi
tiba-tiba saja, kulit wajahku yang jarang bermasalah, mulai ditumbuhi jerawat.
Dan hanya Ilung yang tahu, bahwa bila aku berpikir terlalu berat, efeknya bisa
diindikasi dari kulit wajahku. Aku sempat berkilah bahwa jerawat itu tumbuh
karena air di Surabaya ini yang tidak cocok dengan kulitku. Aku bahkan nyaris
bisa meyakinkan diriku sendiri, hingga beberapa hari kemudian aku mengecek akun
twitter ku.
Aku melihat kalau aku memiliki
beberapa follower baru. Karena iseng, aku mengeceknya. Dan ku lihat, Miswant masih mem-follow akunku. Foto profil
yang dia gunakan telah diganti. Aku memandang ponselku itu dengan pandangan
menerawang untuk beberapa saat lamanya. Hingga kemudian tanganku bergerak untuk
membuka akunnya.
Ada beberapa status baru.
Tapi mataku terpaku pada status yang dia tulis beberapa hari yang lalu. Status
yang berbunyi
@m#$&*% Miswant
Kangen seseorang.......
dia jg kangen g ya?
Bahkan hanya dengan
membacanya, aku bisa merasakan sensasi perasaan yang tak nyaman di perutku.
Otakku mulai berteriak, mengingatkan diriku untuk bisa menguasai diri.
Akhirnya, dengan impulsif, aku me-reply statusnya.
@SoniDamian
Ehemm!!! Cieeee.... yg
lagi jatuh cinta.
Kenalin nape...
Saat aku kembali mngecek
akunku beberapa saat kemudian, dia telah membalasnya.
@m#$&*% Miswant :
@SoniDamian sms aja aq
kasih tau dah 08********** hahahaha....
Aku membalasnya
@Soni Damian :
@m#$&*% Miswant takut ntar galao lg gw....
@m#$&*% Miswant :
@SoniDamian tenang.
Dokter Cinta siap melayani anda,.....
Ada sedikit perdebatan
dalam hatiku. Apakah aku harus menghubunginya, atau membiarkan semua ini
berlalu? Ada beberapa opsi, dugaan dan pertimbangan yang berkelebat di benakku.
Ada dugaan bahwa yang
sedang dirindukan adalah aku. Kalau memang benar, apa gunanya? Toh dia sudah
dengan jelas mengatakan bahwa kami hanya berteman. Tak ada yang spesial. Dan
kalaupun nantinya dia membenarkan, hal itu hanya akan membuatku sulit. Karena
ada kemungkinan bahwa aku akan kembali berharap. Berharap bahwa hubungan kami
akan kembali akan berkembang. Dan aku tak ingin kembali terjerat pada pola yang
sama. Masalah yang sama. Terlebih lagi oleh orang yang sama. Keledai saja tak
akan terantuk pada satu yang sama dua kali. Meski dia hewan terbodoh didunia.
Kalau sampai aku melakukan kesalahan yang sama persis dua kali, berarti aku
lebih bodoh dari keledai.
Yang kedua, jika dia
menyangkalnya, itu akan lebih parah. Jika yang dia maksud adalah pacarnya,
cewek yang berkerudung itu, aku cuma akan sakit hati.
Dua jenis jawaban yang
mungkin akan dia berikan, sama-sama berefek tak baik untukku.
Tapi, sekali lagi,aku
kalah oleh diriku sendiri. Aku. mengetikkan sebuah pesan sms padanya.
To : Miswant
“ Oke, siapa?! “
*sambil siapin batu buat
nimpuk+tali buat gantung diri
Aku sengaja memberikan
sedikit sentuhan humor agar tak ada kesan serius dalam percakapan kami.
Dia menjawabnya dengan :
From : Miswant
“Yaelahh...
Orang yg aq maksud tuh
kamu, tau.
Sana, timpuk diri
sendiri.”
Untuk beberapa detik
lamanya, aku terpaku. Membaca kembali kalimat yang dia kirim beberapa kali. Aku
kemudian membalasnya dengan,
To : Miswant
“Eaaaaa!!!!
Paling pintar ngegombal dah!!!
*gampar”
From: Miswant
“Ya udahlah kalo ga
percaya.
Udah lewat juga
Udah kadaluarsa.”
Aku harus meyakinkan
diriku bahwa tak ada yang serius dalam hal ini. Aku akhirnya mengajak Miswant untuk membahas beberapa hal lain
sekedar untuk mengalihkan perhatian. Sampai kemudian aku teringat akan cewek
berkerudung itu. Dengan iseng dan terkesan santai, aku menanyakan kabar
pacarnya itu.
To: Miswant
“Pa kbr Pacar?
Udah jadian ma cwe
brkerudung kmrn?”
Jawaban Miswant adalah :
From Miswant :
“Blom ada progress
Ga bs dbilang pacar sih”
Saat itu juga aku tahu.
Dia kangen padaku, bukan karena dia menyukaiku. Maka setelah berpikir sejenak
dan mencoba menekan sedikit nyeri di sudut hatiku, aku membalas pesannya dengan
jujur.
To : Miswant
“Ya udahlah
Good luck
n just so u know, u do me
no good by asking me to text u
it still hurts
thnx anyway 4 missing me
for a bit”
Meski sudah menyiapkan
diri sebelumnya, memang masih terasa menyakitkan. Dan aku tak menyembunyikannya
dari Miswant. Dengannya
aku bisa bersikap apa adanya. Mengatakan apa yang ku rasakan dan ku pikirkan.
Aku sudah berniat untuk kembali menghapus nomornya dari hapeku saat balasannya
masuk.
From : Miswant
“Eh tp yg aq blng di
twitter itu bener lho
Serius!
Jujur!”
To : Miswant
“Even if it's true.
kangen lu bkn krn lu suka
ma gw
Lebih krn (munqn) brsalah
Lu munqn inget gmn lu
prlakuin gw gegara prlakuan cewe itu ke lu kan?”
From : Miswant
“ehmm.....”
To: Miswant
“Knp?
Salah?
Hehe...
Trlepas salah/betul, dah
ga penting kok
Gw ga marah ma lu
Swear!Sakit, iya. Marah,
engga.
Inget kan pas qta jadian
gw blng kalo gw akan dukung lo
buat kbaikan?Meski lu
mnta gw dampingin elu pas lu nikah ntar
Gw tulus pas bikin janji
itu
Tp lu mnta qta
bubaran,sblemum lu nikah
Rasanya sprti
dkhianati.Sumpah sakit dada gw pas liat lu upload
foto lu bikin gmbar
dia+ada foto dia di hp lu.
Seakan2 lu teriak ke gw
WE ARE OVER!!
Krn itu gw sontan pamit
krn gw ngrasa bodoh masih ngegantung ke lo yg jelas ga peduli ma gw.
Maaf ya?
Tp sulit buat lngsng
lepas kalo dlm 13 taon ini,baru lu yg bs bikin gw jatuh cinta
Saran gw,kalo lo
emang tulus ma tuh cewe,keep pursuing her.
Tunjukin tekad+niat baik lo. Kalo jodoh kalian pasti 1
good luck
n bye!
(smiley) “
From : Miswant
“Eh jgn Bye dong!
Aq kan msh pengen qta
kontak”
To: Miswant
Wan,gw bs suka ma lo
lg kalo qta tetep kontak.
Ini aja td gw udah
senyum2 ga jelas.
Dr awal gw dah ga mau sms
dg 2 kmungkinan lu blng kangen td
1. Kalo yg lu mksd itu
bkn gw, gw pasti sakit hati krn lu nemuin orang baru
2. Kalopun itu gw,hal itu
cm bikin gw mewek ma lu lg,pdhl gw tau kangen yg
lu blng platonik n ga
brmakna.
See?
Keduanya sama2 ga baik
buat gw
Lu mau kita gmn coba?
Jelasin deh yg komplit
spy gw ngerti
From : Miswant
Tidak bisakah kita
berteman?
Tp kalo memang
kehadiranku bikin kmu sakit...
aku bs ngerti
To : Miswant
Could we?
Gmn kalo lo di posisi gw?
Lu suka banget ma gw.Trs
gw putusin elu.Lu berusaha tetep maju
N tiba2, gw blng gw kangen
ma lu
Lu gmn?
From : Miswant
Jd aku sdh masuk dlm
daftar orang2 yg hrs kmu jauhin?
To: Miswant
Engga lah
Mesku munqn lo ga
prcaya,gw brharap yg terbaik ma lo
Orang gw peduli kok ma lo
From : Miswant
Oke. Sudah ku putuskan.
Aku gak akan pacaran atau
nikah sebelum kamu dapet pengganti aku
Gak bisa diganggu gugat!
Tentu saja aku kaget
dengan isi smsnya.
To : Miswant
Wan, please...
From : Miswant
Sudah diputuskan!
Nggak bisa diubah!!
Aku benar-benar merasa
jahat. Seakan-akan menghalangi dia untuk melangkah maju. Menghalanginya untuk
mendapatkan kebahagiaan yang mungkin bisa dia raih. Aku merasa begitu bersalah
dan egois. Tanpa sadar aku melanggar janji yang dulu pernah aku ucapkan.
Mendukungnya untuk menjadi lebih baik.
Karena itu, akupun memutuskan,
To : Miswant
Okay fine!
Qta tetp kontak.
Gw ga akan singgung soal
kita lg.
Qta BERTEMAN!!
Gw akan buka lg fb lu,
ok?
Lu tarik tekad lu td
Gw baik2 aja!
Pasti!
Ya?
Gw buka skrg lngsng
Aku segera membuka akun
facebook ku, dan membuka blokiranku pada akun Miswant. Aku kembali mengirimkan friend
request padanya. Aku kemudian memberitahunya, dan memintanya untuk confirm,
sembari memintanya untuk menarik kembali tekadnya tadi.
Pada akhirnya dia setuju
untuk menariknya kembali.
Dan malam itu aku kembali
sulit untuk tidur. Aku menceritakannya pada Ilung tentang percakapan kami
semalam. Tentu saja Ilung hanya tertawa sinis dan sedikit meledak.
"Lu sejak kapan alay
bin mello gak jelas gini? Emang lu yakin dia bakal ngelakuin kata-katanya itu?
Lo ga nyadar, bisa aja dia cuman pura-pura doang? Setelah semua yang lo alami,
lo masih percaya ma dia? Lu kasih kontak dia ke gue deh. Biar gue yang beresin
ma dia!"
Aku hanya menggeleng dan
tersenyum tipis, "Gua ga tau apa dia bohong atau enggak. Tapi gue selalu
percaya ma dia. Dan gue hanya mo pastiin dia bisa melangkah maju. Karena
kebahagiaan dia, lebih penting dari gue," kataku.
Ilung mendengus sinis,
"Homo idiot!" celanya kesal
Aku kembali tersenyum dan
bahkan tertawa kecil. Aku tahu dia marah untukku. Bukan karena dia menganggapku
benar-benar idiot. Memang ada sedikit dugaan dalam hatiku, setelah Ilung
mengatakan dugaannya tadi, bahwa apa yang Miswant ucapkan hanyalah sekedar lip service
biasa. Tapi kepercayaanku padanya jauh lebih besar.
Karena itu aku akan terus
mendampinginya. Melihatnya melangkah menjalani kehidupan yang dia inginkan.
Membiarkan hatiku terbiasa oleh kehadirannya. Membiarkannya luka sedikit demi
sedikit. Berharap kalau suatu saat nanti, hatiku akan mengeras dan pada
akhirnya kebal akan luka yang Miswant bawa.
Aku tahu hal itu
membutuhkan waktu.
Tapi aku sudah
memutuskan. Dan aku kembali mengulang tekadku itu sambil melihatnya menjauh
seperti sekarang
"Yuk," ajakku
dan menarik tangan Ilung untuk melangkah.
Menapaki hari.
Berharap ada kebahagiaan
baru didepanku nanti.
Rgj, November 9th 2013
Pheeewwww.........................
Akhirnya kelar juga.
Just info, percakapan
terakhir gw ma Yuyud OR Miswant lewat sms yang gua cantumin dlm cerpen diatas tejadi tgl 6
kemarin. Hampir 90% semua yg terjadi disini based on true events. Beberapa
detil kecil aja yang ku rubah.
N you know what the good news
is, I FEEL BETTER!!!
Menulis ternyata benar-benar menjadI
wadah yang bagus buat terapi. Dengan menceritakan sejarah yang gua alami bareng
Yuyud, seakan-akan gue kembali napak tilas buat memahami, apa yang sebenarnya
terjadi.
Ga ada yang salah atau benar
dalam kisah ini.
Ini hanya satu episode hidup
yang gua alami. Episod dimana Yuyud menjadi salah satu lead actornya. Dan
sebelum kelarin cerpen ini, gua udah minta izin ma Yuyud buat bikin cerpen
tentang kami berdua. Dia membolehkannya, dan meminta buat jadi pembaca pertama.
Bahkan bantuin. Arsip sms yang gua kirim ke dia terhapus dari hp gue
wkkwwkwkwkwkk....
Jadi gua telepon Yuyud en
nanya, apa dia masih simpan sms gue. Ternyata masih ada di ponselnya. Tp cuman
sms gua aja. Sementara balesan dari dia nggak. Jadi gua minta dia buat ngirimin
lagi ke gue hahahaha.............(dan setelah gue selesein cerpen ini, ternyata dia nemu sms dia en doi kirim lewat facebook. TELAT CADEEEEELLLL!!!!!! ggggrrrrrrrr.......)
Dan dalam kesempatan ini,
dengan tersenyum en tulus gue ucapin, TERIMAKASIH YUUUDD!!!
Makasih ya Yuyud jelek cadel
en ga bisa ngomong rrrrrrrr!!!!
Dengan menyelesaikan cerpen
ini, gue ngerasa JAUUUUHH LEBIH BAIKKK!!!
wkwkwkwkkk.............!
Gue bisa melihat kalo cerita
gua ma lo hanya menjadi sebuah masa lalu yang bisa gua kenang en bisa gua
jadiin dalam menjalani masa depan gue. Thanks Dude! Thanks for keeping as a
friend! And that we wil be.
Gua siap buat episode baru
dalam hidup gue.(kira-kira siapa kali ini bintangnya ya? *mikir)
Sukses buat lu!