VI
Sore itu aku ke rumah Rafly dengan membawa sekeranjang buah-buahan. Kali ini dia sudah siap menerimaku. Wajahnya yang baru saja mandi tampak segar. Pakaian yang ia kenakan pun bersih dan rapih. Dia tampak santai
dengan celana pendek dan
t-shirtnya. Dan mau tak mau aku harus mengakui kalau dia anak yang menarik. Selama ini aku cuma melihatnya dalam
keadaan sakit, coreng moreng
oli, dan dalam balutan seragam. Tapi sekarang, saat dia santai, dalam
keadaan bersih segar serta busana normal, dia benar-benar menarik untuk ukuran anak cowok. Tubuhnya tegap
berisi dengan wajah yang
terkesan jantan. Kuat dan bisa diandalkan adalah kesan pertama yang tertangkap darinya.
Bahkan rumahnya juga tampak lebih bersih dari sebelumnya.
"Kamu gak perlu bawa ginian kan?"
gerutunya yang cuma ku jawab
dengan geraman jengkel
hingga membuatnya angkat tangan pasrah. "Kamu duduk dulu," katanya
mempersilahkan ku lalu dia sendiri masuk ke dalam. Tak berapa lama aku
mendengar suara dentingan logam sehingga sebelah alisku terangkat.
"Ngapain Raf?" tanyaku dari ruang tamu.
"Nggak ada. Kamu tunggu aja!" jawab Rafly.
Tapi karena setelah menunggu beberapa saat dia belum muncul-muncul juga, aku jadi penasaran. Akupun memberanikan diri untuk
nyelonong masuk Kutemukan dia sedang didapur dengan kompor gas menyala.
"Ngapain sih?" tanyaku sedikit
mengagetkannya yang sedang
mengupas mangga. Dan dia melakukannya dengan terampil.
"Eehhmmm. . . sedang bikin teh," jawabnya
sedikit tersipu. Aku melongo mendengarnya.
"Teh? Emang kamu bisa?" tanyaku takjub.
"Kenapa nggak? Cuma teh
aja," sahutnya heran.
Aku mengedarkan pandanganku ke dapur yang kecil namun toh rapi itu. "Kamu masak
sendiri?"
Rafly mengangguk. "Boros kalo aku harus beli.
Kalo masak sendiri, selain irit bisa puas makannya."
"Serius? Kamu bisa masak apa aja?" tanyaku
antusias dan mendekatinya.
"Macam-macamlah.
Tapi paling sering
cuman tumisan doang. Simpel dan cepet. Jarang masak yg ribet-ribet. Kelamaan. Paling kalo lagi pengen aja baru
bikin."
"Gila!!" decakku tak percaya.Dengan penampilan
macho bin super sangar gitu dia masak? Rasa-rasanya
gak mungkin banget. "Ajarin dong?" pintaku tertarik.
"Apa?" tanyanya sedikit kaget.
"Ajarin aku!" tegasku. "Serius! Boro-boro masak. Bikin
kopi
atau teh aja aku gak becus. Kalo gak
kemanisan, pasti kepahitan."
"Kamu mau diajarin masak apa?"
"Apa aja deh.Sekarang bisa?" pintaku
semangat.
"Tapi. . . gak ada apa-apa
dirumah sekarang. Paling-paling kita cuman bisa
bikin nasi goreng doang!"
"Aku suka kok! Ada bahan-bahan yang kurang gak?
Telur? Bahannya apa aja? Biar aku beli di toko depan"
"Gak perlu!" cegah Rafly. "Kalo cuma
buat bikin nasi goreng, semua ada kok."
"Siiip! Ngapain
dulu nih?" tanyaku bersemangat dan menggulung lengan kemejaku keatas.
Butuh waktu satu jam bagi kami untuk selesai. Kalo
kata Rafly sih, biasanya dia cuma butuh waktu 15 mdnit. Tapi karena aku yang
bikin, waktunya jadi sejam. Belom lagi alat-alat
dapur kotor yang bertebaran karena keteledoranku.
Aku sih cuma nyengir. Namanya juga orang belajar, kilahku.
"Hmmmm. . . .," aku mendesah saat suapan
pertama masuk ke mulutku. "Enak juga masakanku."
Rafly mendengus mendengarnya. "Nasi goreng
ngaco gini kok dibilang enak. Keasinan nih!" gerutunya.
"Eh, enak lagi! Habisin ya?" cengirku.
Emang sih agak keasinan. Tapi enak kok. Kayaknya dia juga suka, pikirku
saat Rafly menyendok nasinya. Kami makan dalam diam. Sesekali dentingan alat-alat makan kami mengisi kekosongan suara.
"Aku sudah lupa," kata Rafly pelan setelah
terdiam beberapa lama.
"Lupa apaan?" tanyaku heran sembari
kembali menyendok nasi gorengku.
"Lupa gimana rasanya makan bareng satu meja di
rumah sendiri," jelasnya pelan. Membuatku urung menelan makanan yang sudah kukunyah. Saat kami bertemu pandang, dia
hanya tersenyum tipis lalu menunduk. "Orang tuaku meninggal hampir 2 tahun
yg lalu karena kecelakaan. Rumah ini adalah satu-satunya
peninggalan mereka yg masih utuh. Juga sedikit uang di bank.Aku masih ingat. .
. . . malam pertama aku sendiri di rumah ini. Beberapa hari setelah mereka pergi. Begitu.
. . . .sepi. Benar-benar mencekam.
Semaleman aku cuma duduk diam dikamarku. Sampai pagi. Berpikir. Aku harus
bagaimana? Aku harus melakukan apa?
Tak ada saudara yg mau menampungku. Selain mereka telah memiliki
keluarga dan beban sendiri, mereka juga tinggal diluar
pulau."
Aku diam, membiarkan Rafly yang membuka dirinya padaku.
"Saat itulah aku sadar. Aku harus kuat,tegar, mandiri dan tak tergantung pada orang lain. Hal
pertama yang kupikirkan
adalah, aku harus kerja. Aku harus punya penghasilan. Karena seberapapun banyaknya uang yang
ditinggalkan orang tuaku, suatu saat pasti akan habis. Karena itu aku
mendatangi Mas Arif dan memintanya untuk
menerimaku. Mulanya sih aku berniat berhenti sekolah dan kerja saja. Tapi aku tahu, untuk
maju, aku memerlukan pendidikan. Jadi aku mencoba melakukan keduanya. Meski hasilnya tidak
begitu baik."
"Tidak begitu baik?" aku mendengus keras.
"Dengan kesibukanmu mencari nafkah, kau masih bisa masuk dalam daftar 10
besar kelas. Itu hebat! Padahal waktu
dan tenagamu banyak tersita. Kalo kamu serius belajar, kamu bisa jadi juara
kelas tahu?!!"
Rafly tertawa kecil. Tawa dan senyum nyata pertama yang kulihat darinya. Perubahan ekspresinya benar-benar mampu membuatku tertegun. Kesan dingin, acuh dan
serem pada dirinya serta merta lenyap. Dia lebih terlihat sebagai orang yg ramah, hangat dan. . . . . . . . menawan?
Yang terakhir itu
tentu saja membuatku heran luar biasa. Sejak
kapan aku menganggap Rafly sebagai sosok yang
menawan? Perasaan tadi aku cuma berpikir kalo dia menarik doang?
Kenapa jadi naik derajat gini?
"Sebetulnya banyak kok soal-soal dalam pelajaran kita yg gak aku mengerti. Cuman. .
. gak ada yang bisa atau mau ngejelasin padaku."
"Mereka takut Raf," selorohku. "Habis
kamu serem sih! Makanya banyakin senyum biar mereka mau deket ma kamu. Taruhan!
Bakalan banyak temen cewek kita yang
naksir kalo kamu baik ma mereka."
Rafly tersenyum tipis. "Untuk saat ini, aku gak mau repot dengan urusan begitu."
"Eh kalo kamu mau, aku bisa bantu. Aku ikut
bimbingan belajar. Jadi kalo ada soal yg rumit,
aku bisa nanya ke pembimbingku."
"Kamu udah banyak bantu aku."
"Terus kenapa?" tanyaku
balik. "Saling tolong menolong kan udah jadi keharusan kita. Siapa tahu
ntar aku butuh bantuanmu. Kan bisa langsung nodong?" cengirku.
Untuk sejenak, dia cuma memandangku diam.
"Terima kasih," katanya pelan.
Aku cuma mengibaskan tangan mendengarnya.
VII
Hubungan kami berkembang dengan cepat. Aku
lumayan sering main ke rumahnya. Selain untuk belajar bersama, kami juga sering masak
bersama. Kadang sengaja ku bawakan makanan agar dia tak perlu lagi memasak.
Terkadang aku mampir ke bengkel Mas Arif, meski Rafly tak pernah suka kalau aku
melakukannya. Dia selalu menggerutu kalo aku datang. Dia tak suka aku
melihatnya dalam keadaan kacau begitu. Meski aku tak terlalu peduli, tapi aku mencoba
untuk mengerti perasaannya. Jadi kuperjarang kunjunganku ke bengkel. Jecuali kalau
kangen ku tak tertahan.
Kangen?!
Memang terdengar
janggal. Tapi aku tak bisa menemukan kata lain untuk mewakili apa
yang kurasakan. Aku suka berada di dekatnya, melihatnya
tersenyum, mendengar suaranya dan berkomunikasi dengannya. Aku selalu merasa lebih damai dan nyaman
bersamanya. Aneh rasanya kalau dalam 1 hari, aku tak melihat atau mendengarnya.
Serasa hari itu belum lengkap. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku.
Hingga hari itu tiba. . . . .
Hari minggu siang yg mendung, tiba-tiba saja aku begitu ingin menemuinya. Jadi tanpa berpikir
lagi, aku melajukan mobilku ke bengkel Mas Arif. Seperti biasa, Rafly langsung
cemberut dan menggerutu melihatku datang.
"Ngapain sih kesini segala?" gerundengnya tanpa melihatku lagi, lalu
kembali memeriksa motor yg ia tangani.
"Kangen sama Mas Arif. Kenapa? Gak boleh?"
balasku, membuatnya kembali menggerutu dan menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti sinting. Aku nyengir
mendengarnya.
"Gak kok. Kangen sama masakanmu. Masak-masakan yuk?"
"Gak liat aku sibuk?" tanya dia balik.
"Pulang sajalah Wan. Bentar lagi aku mau tutup
kok," kata Mas Arif yg tiba-tiba
nongol dibelakang kami.
"Ada apa Mas?" tanya Rafly heran.
"Mertuaku sakit. Aku mau jenguk kesana bareng
istri. Jadi kamu pulang saja kalo itu selesai."
"Sudah kok Mas."
"Ya sudah. Pulang aja bareng Dhek Dimaz.
Mumpung bawa mobil. Takutnya ntar hujan Mendungnya pekat gini lho!" kata
Mas Arif lagi dan memandang langit yang
berwarna gelap.
"Nah kan? Harusnya kamu bersyukur aku
dateng," kataku nyengir menang, "Nih, kamu yg bawa!" tukasku dan
menyerahkan kunci mobil padanya.
"Kamu gak liat badanku kotor gini?"
Aku mendecak kesal mendengarnya. "Jangan mulai
deh!" gerundengku dan melempar kunci itu padanya. Tanpa berbicara atau menunggunya, aku langsung
masuk ke kursi penumpang didepan, membuat Rafly tak punya pilihan lain dan
mengikuti mauku.
"Dasar orang aneh!" Rafly ngedumel pelan
dan menghidupkan mobil.
Komentarnya yang
singkat dan ringan itu justru membuatku tertegun. Aku tahu,dia tidak bermaksud
menyinggungku dengan kalimat tadi. Tapi entah bagaimana, aku merasa rangkuman singkatnya
itu mewakili apa yang kurasakan
selama ini.
"Iya ya. . . . Aku memang merasa aneh,"
gumamku setengah melamun, "Kamu sendiri. . . . ngerasa aneh gak akhir-akhir ini?"
"Maksudnya?" tanya Rafly tak mengerti.
Aku tak menjawab, tapi malah melihat ke luar jendela dengan mata
menerawang. Menimbang dalam hati. Rasanya janggal kalau aku harus menjelaskan
apa yang saat ini kurasakan pada
Rafly. Tapi ada keingintahuan dalam hatiku yang bertanya tanya, apakah Rafly juga merasakan yang sama? Meski juga ada kekhawatiran akan efek yang mungkin timbul kalau aku bicara jujur.
"Dimaz?" tegur Rafly.
Aku memandangnya kaget! Fakta yang akhirnya kusadari membuatku tertegun, dan untuk
sejenak aku tak mampu memalingkan mukaku darinya. Wajah ini, yang tak bisa lepas dari benakku. Orang ini, yg dalam beberapa bulan kemarin
telah memporak porandakan emosiku. Hariku yang
jadi aneh jika tak melihatnya. Perasaanku yang
begitu senang jika bersamanya. Belum lagi perubahan irama detak jantung yg
kurasakan bila ada didekatnya, seperti sekarang ini. Kesimpulannya adalah aku
telah jatuh. . . . .
"Ya Tuhan! Tak mungkin!!" desisku tercekat
dan bersandar lemas dikursi.
"Apa?" tanya Rafly bingung.
Gak mungkin kan? pikirku panik.
Pasti ada penjelasan lain yg lebih masuk akal dari ini! Aku bukan seorang
homoseksual seperti yang pernah kubaca
dalam beberapa buku agama itu. Aku tak pernah tertarik dalam artian
romantis dengan sesama jenis.
Semua itu bertentangan dengan budaya, adat serta kepercayaan yg ku anut. Lebih-lebih lagi, apa yang akan Rafly pikir kalau sampai tahu?!
"Dimaz?" Rafly mengguncang tubuhku sedikit
keras. "Kenapa? Ada masalah apa?" tanyanya cemas.
Aku cuma bisa menatapnya bingung dengan mulut terbuka tanpa ada suara. Sesaat kemudian kami
dikejutkan oleh kilatan petir
yg segera diikuti oleh gelegar guntur keras. Tak berapa lama, hujan deras mengguyur. Rafly menepikan mobil
didekat gang yang menuju
rumahnya.
"Ada apa?" tanya Rafly lagi. "Kamu
paham kalau aku nggak serius waktu aku bilang kamu aneh tadi kan?"
"Tapi itu benar," gumamku pelan, membuar
Rafly semakin bengong. "Pernah nggak dalam beberapa waktu, pikiranmu tersita hanya pada satu orang
saja? Pernah nggak. . . . ,kamu merasa aneh kalo kamu gak melihat satu orang dalam sehari
saja?" tanyaku dengan nada lemas. Aku tak mampu memandangnya sekarang.
Mataku tertancap pada dashboard mobil.
Tak ada reaksi.Dia juga tertegun diam, sementara diluar mobil suara keras
guyuran hujan terdengar semakin menggila.
"Kamu sebut itu apa? . . . . . jatuh
cinta?" tanyaku lagi, pelan.
Kembali tak ada jawaban. Hanya keheningan yang canggung. Kuberanikan diri untuk meliriknya. Dia
hanya memandangku dengan bingung dan sedikit panik. Aku tadinya berpikir
kalau dia akan pucat pasi, pingsan, atau mungkin meledak. Tapi dia justru
tertegun disana, membuatku sedikit bertanya-tanya.
"Kau pernah merasakannya?" tanyaku tak
tahan untuk memastikan keingintahuanku. Sesaat kemudian, kulihat dia cuma
menelan ludah. Membuatku jadi kasihan karenanya. Mungkin ini terlalu aneh bagi Rafly
untuk bisa ia terima.
Aku tertawa gugup. "Sepertinya aku sudah error
berat ya? Aku jadi benar-benar aneh kan?"
Secara impulsif, aku keluar dari mobil. Dalam sekejap tubuhku basah kuyup dan
menggigil oleh hujan. Tak kuacuhkan panggilan Rafly. Aku hanya ingin agar
otakku yg terasa panas ini jadi sedikit dingin. Siapa tahu hujan bisa
membersihkan otakku. Sepertinya ada kerak-kerak aneh yang melekat disana.
Rafly akhirnya keluar dari mobil juga.
"DIMAZ! JANGAN GILA!! CEPAT MASUK KE MOBIL
LAGI!!"
Aku diam melihatnya yang
berdiri didepanku, ikut-ikutan basah dan
menggigil. Benarkah aku jatuh cinta pada
orangn ini? Mustahil kan? Bukan saja aneh,
tapi itu tak boleh terjadi. Tidak ada satu syariatpun yg membolehkan hal
seperti itu terjadi antara 2 orang yg berjenis kelamin sama. Otakku benar-benar telah dihinggapi oleh pikiran-pikiran kotor yang harus segera
kubersihkan. Tapi apa mungkin air
hujan yg dingin ini bisa menghanyutkan pikiran-pikiran itu?
“Dimas, nanti kamu sakit,” bujuknya lagi dengan suara yg lebih
pelan.
“AKU MAU MEMBERSIHKAN OTAKKU DULU!!” teriakku dengan bibir gemetar.
Untuk sejenak dia memandangku. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, dia menarik tanganku untuk berlari. Ya Tuhan. Percayakah kau, bahwa hanya dengan begini hatiku
sudah jumpalitan tak karuan? Hanya dengan genggaman
tangan yang sebelumnya tak
memiliki makna, kenapa sekarang terasa
begitu lain? Kemana akal sehatku?
Aku benar-benar
merasa kacau. Tanpa kusadari kami sudah sampai didepan rumah Rafly. Rafly
langsung menarikku masuk begitu dia telah membuka gembok.
“Cepat buka bajumu! Kamu harus bilas air hujan
ditubuhmu dg air bersih. Kau kedinginan!” katanya cepat. Aku bisa mendengar
jelas apa yg ia katakan. Anehnya, responku benar-benar
tumpul. Aku cuma berdiri
bingung, masih dg pikiran hampa yg kabur. Akhirya karena tak sabar dia kembali menarik tanganku, terus kedalam menuju
kamar mandi.
Aku sedikit terhenyak saat dia menyiramkan segayung
air ketubuhku.
“Lepas sepatumu!” perintahnya singkat. Dg perlahan
dan gemetaran aku menurutinya. Tapi kelambatanku semakin membuat Rafly tak sabar. Dg cepat dia membantu ku melepas
sepatu dan kaos kakiku, lalu beralih ke bajuku. Dalam keadaan biasa, mungkin
aku akan merasa risih atau mungkin terangsang dg yg dia lakukan. Tapi bahkan
saat dia melepas lapisan terakhir pakaian yg kukenakan, aku tetap diam tanpa
reaksi. Pikiranku benar-benar tumpul dan
menolak bereaksi normal.
Kembali aku sedikit terpekik ketika dia menyiramkan air ke tubuh telanjangku. Setelah beberapa kali melakukannya, dia kembali menyeretku. Kali ini ke kamarnya.
Sejenak dia meninggalkanku berdiri dipojokan, telanjang dan kebingungan,
sementara dia mencari sesuatu dilemarinya.
Sesaat kemudian dia menarik keluar sebuah selimut dan membungkus tubuhku.
“Kamu tiduran dulu. Hangatkan tubuhmu. Aku akan
segera kembali,” pamitnya pelan. Setelah mendudukanku di ranjang, dia segera
keluar. Aku benar-benar berrsyukur dg
kesigapan dan kecakapannya dalam menghadapi situasi yg tak terduga. Dan entah
berapa menit kemudian, dia kembali dg segelas minuman yg beraroma jahe.
“Minumlah, untuk menghangatkan tubuhmu!” katanya dan
menyorongkan gelas itu padaku. Aku menerimanya tanpa berbicara dan mencoba
meminumnya. Dia benar. Kehangatan yg mengalir ditenggorokanku sungguh
terasa nyaman, hingga beberapa saat kemudian aku menyadari keadaan Rafly yg
masih dalam balutan baju bengkelnya yg basah kuyup.
"Kamu
jg cepet ganti bajumu yg basah. Jangan sampai kamu sakit," kataku pelan
mengingatkannya. Rafly mengangguk dan segera bangkit menyambar handuknya.
"Aku
mandi dulu," pamitnya dan meninggalkanku sendiri.
Suhu
tubuhku berangsur-angsur membaik. Pikiranku pun perlahan pulih, sehingga aku
sadar, bahwa dibalik selimut ini, aku telanjang bulat. Bagaimana tadi Rafly
menelanjangiku, aku tak ingat persis.Yang jelas, wajahku terasa memanas
sekarang mengingat ketololanku tadi. Hari yg hebat! Dalam hitungan menit aku
sudah melakukan tindakan konyol lebih banyak dibandingkan 16 tahun hidupku
sebelumnya.
Aku
mengeluh lirih.
"Kenapa?"
Aku
sedikit kaget dg kemunculan Rafly yg tiba-tiba. Dia berdiri didepanku dg tubuh
bagian bawah tertutup handuk yg ia ikat sekedarnya. Perlahan dia bersimpuh dan
meletakkan telapaknya didahiku. Mengecek suhu tubuhku. Aku hanya diam
memperhatikannya. Bahunya yg lebar, dadanya yg bidang, tangan yg kokoh, serta
perutnya yg kencang dan rata, menandakan bahwa dia seorang pemuda yg aktif dan
pekerja berat.
Sebelumnya,
aku tak pernah merasakan apapun melihat seorang cowok telanjang didepanku. Tp
kini, saat Rafly didekatku dg tubuh polosnya, aku merasakan gelenyar aneh
dibagian bawah perutku. Aliran darahku menambah kecepatannya. Dan aku hampir-hampir
tak bisa menahan diriku untuk menyentuhnya.
Aku
kembali mengeluh lirih. Bagaimana bisa? pikirku
sedih, sekaligus ngeri.
"Apa
yg sakit?" tanya Rafly terdengar khawatir.
Aku hanya
tersenyum pahit tanpa mampu memandangnya. Kuangkat tanganku, dan kutempelkan
telapakku di dadanya. "Ini salah kan? Seharusnya, aku tak bisa merasakan
apapun saat melihatmu seperti ini. Tp kenapa. . . .," kalimatku terhenti.
Ada yg
aneh!
Aku bisa
merasakan perubahan suhu tubuh Rafly. Suara detakan jantungnya yg bisa
kurasakan lewat telapakku jg jadi semakin cepat. Gerakan naik turun dadanya pun
semakin bertambah. Rafly tertunduk dan menatap sesuatu disampingku saat
kuangkat kepalaku, terperangah. Dan dia . . . . tersipu?
Ya Tuhan?!! desisku dalam hati terkesiap!
"Aku
. . . . . . , juga tak mengerti," kata Rafly lirih tanpa mampu
memandangku.
Debaran di
dadaku makin menggila. Akal sehat dan pengendalian diriku perlahan sirna dan
tak kuperdulikan lagi. Tanganku terulur mengusap lembut rahang dan lehernya.
"Kalau begitu. . . . , kenapa tidak kita coba cari tahu?" kataku
lembut membuatnya berpaling pdku. Untuk beberapa waktu lamanya, kami hanya
saling menatap. Ada sesuatu dalam pandangan kami yg sulit dijabarkan dg kata-kata,
tp kami saling memahami. Ku lingkarkan satu tanganku ke belakang lehernya dan
pelan, kutarik wajahnya mendekat, untuk menyatukan bibir kami.
(Guys. . .
. apa yang terjadi selanjutnya kalian bayangin sendiri ya? Maaf banget!
Bener-bener gak bisa kalo kudu ceritain gimana mereka make out. . . . UGH!!
Nyerah deh! hehehe. . . . Maklum aja ya? Gw kan masih polos soal beginian!!
Jadi. . . biarkan imajinasi kalian aja yang melanjutkan!)